desclaimer: Kuroko no Basuke masih punya Fujimaki Tadoshi yang saya harepin dijual di ebay. Biar nanti saya ganti jadi Akashi no Basuke. Abis dia chara season dua tapi kaya mainchara #lel

warning: Masih sama seperti kemarin. OOC!OgiAka (buat yang biasa ngadepin bokushi pasti nganggepnya ini OOC. Muahaha). Italianvers, dua ekor charanya HimaPapa #tebarconfettibuatLoviFeli. Mafia!AU, adegan berdarah, tembak-tembakkan dan saling tebas peluru. Saya ngga bisa bikin action. Jadi sorry dory strawberry ajah kalau absurd begindang. Hahaha... Slight NashAka. OgiAka nya? Ntar lha ya hahaha saya bikin chapter khusus buat mereka.

note: Pertama-tama, selamat atas keberhasilan sidang kak Yuna! Sukses ya kak Yunaaa~ #lemparShige Maaf cuman bisa ngasih kaya beginian dan maaf baru bisa update inespettato. LoL. Dan juga, minal adzin walfaidzin ya.. Hehehe.. Saya sadar punya banyak salah. Apalagi saya suka ngibarin kancut Akashi. #ditebas

.

.

.


Mobil hitam tersebut melaju cepat diambang batas rata-rata membelah jalanan Italia, mengabaikan segala umpatan para pengendara lain setelah dia lewati dengan semena-mena. Peduli setan, ini menyangkut nyawa seseorang dan Ogiwara tidak memiliki banyak waktu hanya untuk meladeni bacotan orang-orang.

Kejadian tadi masih membekas diingatan Ogiwara di tiap lini adegan dari serangan tiba-tiba oleh berbagai tembakan dan pukulan yang sukses membuat Akashi kehilangan kesadaran seketika. Lalu membawanya tidak tahu kemana. Ogiwara tak sempat menolongnya karena disibukkan serangan.

Lagi-lagi umpatan terucap mulus dari bibir mengingat bagaimana lemahnya dia saat itu gagal menyelamatkan Akashi dari serangan tersebut. Ditangkapnya Akashi memang salah dia yang tidak bisa melindungi. Kali ini dia akan membayar dengan segera mencari dan selamatkan. Bagaimanapun caranya.

Seperginya komplotan penculik tak dikenal itu, Ogiwara langsung mengejarnya namun tertahan ketika ledakan muncul menghadang langkahnya. Menutup segala akses keluar. Yang bisa dia lakukan hanya menunggu pertolongan sambil merutuki betapa bodohnya dia. Selepas dia, Lovino dan Feliciano. Ogiwara langsung melesat pergi tak, menghiraukan panggilan Lovino.

Sekarang dia bingung harus bagaimana dan berbuat apa? Tahu yang menculik Akashi saja tidak. Dia terlalu gegabah dan bodohnya Ogiwara baru sadar sekarang.

Sedang sibuknya dengan pikiran, tiba-tiba handphone di saku kemeja bergetar. Membuyarkan lamunannya. Dari layar Ogiwara bisa melihat ada nama Lovino disana. Setelah membuang nafas panjang untuk menenangkan kepanikan akhirnya Ogiwara mengangkat panggilan tersebut.

"Halo?" Sapanya menggunakan bahasa Italia yang dibalas dengan bahasa serupa.

"Dimana kau, bastardo?" Ogiwara bisa mendengar Lovino mendesis ketika bertanya.

"Aku sedang dijalan."

"Jangan bilang kau akan mencari Akashi sendirian! Dove è la tua mente?! Tahu musuh saja tidak, kau ingin sembrono dengan bertindak sendirian! Mau jadi pahlawan hah? Bodoh!"

Ogiwara sampai harus menjauhkan HP-nya saat Lovino berteriak penuh umpatan.

"Scusa, signore. Aku tak bisa berpikir jernih. Dipikiranku sekarang hanya Akashi."

Meski tak melihatnya langsung namun Ogiwara bisa mengetahui jika Lovino tengah menenangkan dirinya. Memang saat ini marah-marah sendiri bukanlah keputusan tepat untuk menyelesaikan masalah.

"Aku akan mencari informasi. Kau lakukan saja apapun sebisamu. Ingat, jangan gegabah!" Seru Lovino diseberang sana, Ogiwara hanya bisa meringis sembari mengangguk patuh. "Tenang saja, Shige. Kau tidak sendiri. Bagaimanapun Akashi itu klienku."

"Iya, signore. Aku mengerti." sahut Ogiwara mengakhiri sambungan telpon. Dia menghembuskan nafas. Sekarang dia sudah mulai tenang lagi. Gilirannya bekerja. Saat itulah sebuah ide terpikirkan olehnya dan tanpa pikir panjang dia menekan dial-up nomor seseorang di telpon. "Ciao, Ahomine! Ho bisogno del vostro aiuto. Bisa pinjamkan senjatamu? Aku memerlukannya untuk menangkap ikan dan menyelamatkan seorang pangeran. Hahaha... Aku serius, stupido."

.

.

.

Semuanya masih gelap meski Akashi merasa sudah sadar sedari sepuluh menit lalu. Kedua tangan dan kaki susah digerakkan. Sudah dipastikan saat ini dia dalam keadaan terikat, ditempat luar biasa pengap dan minim cahaya. Bagaimana bisa Akashi tahu? Oh gerakan musuh saja bisa dia perkirakan apalagi ruangan yang pasti hanya seluas 4x6 meter ini. Soal kasus tertangkapnya dia sekarang itu benar-benar diluar perkiraan sang emperor. Tahu sendiri keadaannya, seperti satu lawan lima sekaligus dan mereka melawan menggunakan senjata, bukan bola basket. Jadi otak saja tidak cukup, sayangnya soal skill menembak Akashi minim.

Damn! Tenggorokannya sakit. Berapa hari tidak diguyur air? Sudah berapa lama dia diikat disini tanpa diberi kesempatan melihat dan membuka mulut. Hanya disisakan celah untuk bernafas.

Terikat, tak bisa bernafas, kehausan, tidak berdaya dan susah bergerak adalah saat-saat dimana sosok Akashi Seijuurou yang paling disegani terlihat lemah.

Akashi tersentak ketika tiba-tiba penutup mata dilepaskan secara kasar dan cahaya lampu yang menyorot nusuk tepat ke mata membuatnya terpaksa menyipit. Kepalanya digelengkan pelan mengusir pening yang mendera, namun baru saja Akashi berniat menunduk rambutnya dijambak dari belakang. Memaksanya kembali mendongkak melihat orang yang dengan kurang ajar membuatnya begini.

"Dia sudah sadar! Kita apakan dia?" Suara seseorang terdengar disamping, sepertinya orang yang sedang menjambaknya.

"Tunggu dulu, stupido! Kita tidak diperintahkan membunuhnya. Hahahaha!" Dari jauh terdengar seorang lagi, tapi tawanya lebih dari satu orang. Lima orang mungkin?

"Lalu apakan dia?" Suara lain bertanya.

"Biarkan saja."

"Hei, tapi ternyata dia manis ya. Tidak seperti yang diceritakan boss kalau dia mengerikan."

"Dasar! Sudah, biarkan saja dia."

Mata Akashi menyipit, berusaha melirik siapa saja orang sialan yang mengikatnya dan mencemooh ketika dalam keadaan mengenaskan begini.

Tapi tidak mampu. Pelipis kirinya terasa nyeri luar biasa dan pipi kiri juga seperti dialiri sesuatu yang lengket yang terlanjur kering. Entah apa itu, tapi Akashi perkirakan ini adalah darah. Luka dari pukulan pipa waktu dia diculik mungkin.

Sekarang memori ketika penyerangan itu kembali terulang di otaknya. Tapi dari semua kepingan hanya suara Ogiwara yang terdengar jelas. Sebegitu khawatirnya kah Ogiwara terhadap dirinya? Memang siapa dia? Hanya seorang Tuan dan bodyguard, mustahil. Tak ada urusan sama sekali.

Alih-alih memikirkan dirinya, Akashi justru mengkhawatirkan Ogiwara. Bagaiman keadaannya sekarang?

Omong-omong, dimana dia? Dan siapa yang menculiknya? Ada urusan apa mereka dengannya?

Pertanyaan tersebut kini berputar di kepala Akashi.

Sekarang apa yang bisa Akashi Seijuurou lakukan? Hanya bisa pasrah, menunggu pertolongan dan berharap tidak ada adegan pembunuhan kedepannya.

Untuk pertama kali seumur hidup Akashi mengharapkan, siapapun, tolonglah dia.

.

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujumaki

.

Mata Ogiwara memincing menatap Aomine yang tengah tertawa lepas dengan tiga perempuan dia rangkul mesra. Mengabaikan eksistensinya yang sedari tadi hanya duduk sambil menyesap gin. Sudah lima menit dia hanya melihat Aomine asik dengan wanita, sedangkan Ogiwara dibiarkan asik dengan minuman dan pikiran sendiri, sambil terus mengumpat untuk cowok dekil sok kecakepan satu itu.

"Please, are you fucking kidding me?! Kita sudah membuang waktu, Aomine sialan! Ini menyangkut nyawa seseorang!" Seru Ogiwara kemudian, menarik perhatian para pengunjung klub.

Aomine tertawa keras menanggapi, tangannya terkibas pelan dan wanita di dekapannya pun ikut tertawa. "Relax, Shige. Relax. Tidak ada gunanya jika kita terburu-buru." Ogiwara mendengus kasar, sebisa mungkin tidak meledakan kepala berambut navy blue orang itu. "Così, apa yang kau butuhkan?" tanya Aomine Daiki

Mencondongkan tubuh pada Ogiwara yang dibalas dengan senyuman puas.

"Aku butuh banyak senjata, Aomine. Stai ascoltando?"

"Sì, capisco. Ikut denganku." Aomine berdiri diikuti Ogiwara yang juga berdiri dan melangkah kemana Aomine pergi. Ogiwara dibawa ke sebuah ruangan kerja pria bertubuh tinggi besar ini ternyata. Namun tujuan utama mereka bukan ada disini, Aomine meraba sesuatu dinding yang tiba-tiba dindingnya terbelah, ternyata sebuah pintu rahasia. Memberi mereka jalan masuk. Kesimpulan yang jelas adalah ini adalah ruangan rahasia. Didalamnya tidak seperti ruang rahasia lain yang selalu menggambarkan tempat pengap dan gelap, alih-alih silau terkena cahaya yang memantul ke kaca pelindung beberapa senjata disana. Semuanya terpajang rapi, lengkap pula. Dari senjata jenis handgun, shotgun, riffle sampai granat pun ada. Ogiwara menatap semuanya dengan pandangan puas dan bahagia, seperti kucing menemukan ikan salmon berukuran besar dalam wadah makan siang. "Bagaimana? Berterima kasihlah pada Taiga. Dia yang selalu rajin merawat senjata disini."

"Tentu saja! Aku akan sangat berterima kasih pada Taiga dan padamu, Aomine. Grazie." ujar Ogiwara sumringah mengambil handgun jenis FN-FNP45 buatan Belgia yang terasa nyaman di genggaman. "Nah, aku akan ambil seperlunya saja." Kock Mk23 beserta magazine berisi peluru di ambil Ogiwara sekaligus sarung tempat pistolnya. Menyempatkan untuk menjajal membidik sasaran.

"A proposito, siapa yang ingin kau tolong?" pertanyaan Aomine berhasil menghentikan aksi menata senjata Ogiwara, dia menerawang sebentar kemudian menjawab sekilas.

"Kakak Kuroko Tetsuya, tahu 'kan?"

"Heh, Akashi Seijuurou? Sekarang kau jadi bodyguardnya?!" Suara Aomine berubah antusias mendengar kakak sahabat dekatnya kini menjadi atasan Ogiwara.

Ogiwara mengangguk masygul, kembali sibuk dengan kegiatannya lagi.

"Its suprised me. Hahaha... Jadi, kapan penyergapannya? Kau butuh bantuanku lagi?"

Magazine FN-FNP45 di dorong sekali hentak. "Tidak tidak. Aku sudah dibantu signore Lovino, tidak usah repot-repot. Aku sudah tahu kalau kau hanya mengincar uang Akashi."

Tawa Aomine menggema di dalam ruangan lumayan luas tersebut, Ogiwara melirik saja pria itu tanpa harus mempedulikan lebih lanjut.

"Ini pinjam atau beli?" Tanya Ogiwara lagi, menunjuk tas punggung berisi beberapa senjata.

"Kuberi." Jawab Aomine singkat, jarinya sibuk mencari harta karun di salah satu lubang hidung dan saat menemukannya dibuang dengan sentilan ringan. Menjijikan.

"Serius? Tumben baik."

"Bisnis ku sedang bagus di Mexico. Makanya bisa baik begini. Sudah sana pergi." Jawab Aomine melambaikan sebelah tangan. Ogiwara paham bisnis apa yang Aomine maksud.

Setelah melambai sekilas pada Aomine, pemuda berambut coklat Belgia itu pergi. Sekeluarnya dia dari gedung tempat milik Aomine ponselnya bergetar panjang tanda panggilan masuk. Ada nama Lovino di layarnya, pasti Lovino mau memberikannya info soal pelaku penculikan Akashi.

Saat itulah segala syaraf gerak Ogiwara serasa mati seketika mendengar satu kelompok yang disuarakan lewat speaker.

"...jadi kau harus hati-hati, Shige." Tak ada jawaban. "Shige?! Kau dengar aku? Ingat satu hal lagi! Jangan bawa perasaan! Nyawa Akashi Seijuurou tergantung usahamu."

Ogiwara hanya bisa berharap tidak harus berhadapan dengan orang itu.

.

.

.


.

.

.

Akashi tersentak kaget wajahnya diguyur air. Sampai ada yang tertelan dan masuk melalui hidung hingga Akashi terbatuk-batuk, berusaha mengeluarkan air yang masuk. Mendadak kepalanya kembali berdenyut nyeri. Tetap saja dia harus tahu siapa manusia brengsek yang menyiramnya.

"Bangun!" Rambut belakang lagi-lagi dijenggut seseorang, memaksa Akashi mendongkak dengan ringisan sakit. Sampai kapan dia akan terus disiksa begini. Dan pertanyaan—siapa dalang drama penculikan ini?—masih berseliweran dalam pikiran. "Oh sudah bangun ternyata! Bagus deh." Mata delima Akashi langsung terbelalak kaget ketika bibirnya disentuh bibir orang yang tengah menjambaknya. Dia meronta, menghindari kecupan orang ini yang mulai memaksa masukan lidahnya. Akashi mengerang, menolak segala perilaku yang sungguh diluar perkiraannya. Dengan terus mengatupkan bibirnya meski orang ini terus mengigit meminta akses.

Satu menit Akashi masih bersikukuh menahan mulut akhirnya orang itu menyerah. Dia mengangkat wajahnya, menatap Akashi dengan seringai terukir di wajah. Barulah Akashi bisa melihat sosok itu sebenarnya.

"Aku belum memperkenalkan diri ya? Halo Akashi Seijuurou. Kenalkan, aku Nash."

Nash? Nash Golden Jr?

Akashi mendengus, "ternyata kau. Ada urusan apa denganku?"

Kini pria berambut pirang bernama Nash sudah melepaskan jambakan Akashi dan pindah duduk didepannya. "Terlalu banyak, sampai aku yakin kau sendiri tidak pernah mau memberikannya." Kata Nash mengambil rokok disaku kemeja dan menyalakan. Asap rokok sengaja dihembuskan ke wajah Akashi hingga membuatnya harus memalingkan wajah. "Haruskah aku katakan?"

"Tidak perlu. Aku sudah tahu." Kepala yang sedari tadi terasa berat dipaksa terangkat, menatap keji Nash dengan sepasang mata yang mendadak berubah. "Manusia hina sepertimu tidak akan mendapatkan apapun. Merayaplah dibawah kakiku, dan jilat semua omong kosongmu. Menjijikan."

Nash kehilangan kontrol langsung memukul wajah Akashi sekali. "Sialan kau!" Beberapa menit kemudian seolah Nash tersadar, dia kembali duduk tenang. Memalingkan wajah Akashi perlahan. "Tolonglah Akashi, bersikap baik padaku. Aku pasti akan bersikap baik padamu."

Air ludah meluncur menuju wajah Nash, sukses membuatnya murka lagi. Tanpa memikirkan apapun dia menendang kursi Akashi sampai jatuh. Menyebabkan tangan yang terikat dibelakang tertekan beban tubuh.

"Dasar monyet!" Sebelah tangan Nash terangkat diudara, siap melayangkan pukulan kedua. "Jika saja aku tak ingat siapa kau, sudah kubunuh kau sekarang." Ujarnya menarik Akashi kembali ke posisi semula.

"Kenapa tidak bunuh saja aku? Seberapa penting aku sampai kau menunda-nunda? Kau takut denganku?" Tantang Akashi menarik sudut bibir. Memberi seringai meremehkan.

Sontak Nash tertawa sangat keras terpingkal-pingkal sampai memegang perut. Akashi masih memperhatikan pria pirang itu, entah apa yang tengah dia lakukan? Apa yang lucu? Dasar gila.

"Lucu ya, aku makin ingin memilikimu."

Mata Akashi mendelik, Nash menyerang lehernya dan menggigitnya. Sangat menyakitkan sampai Akashi yakin pasti berdarah.

"Tidak berdarah, hanya membekas merah." Nash menjawab seperti tahu apa yang dipikirkan Akashi saat ini. "Dan kau manis sekali."

"Langsung saja, apa maumu?!" Desis Akashi tak sabaran. Main-main dengan Nash sangat membuang-buang waktu.

Tak ada jawaban langsung, dia mendekatkan wajahnya ke wajah Akashi sampai bau rokok dan alkohol bisa terhirup olehnya. "Segalanya yang kau miliki. Hartamu," kulit seputih susu Akashi disentuh perlahan. "Dan tubuhmu."

.

.

.

Ini diluar rencana. Ogiwara kira tempatnya tidak semengerikan ini. Ada berapa—entah, Ogiwara tidak bisa memperkirakan jumlah penjaga gedung yang kata Aomine adalah markas tempat Akashi diculik. Masalahnya, disini dia sendirian. Walaupun dia tahu kelompok ini tapi soal markas tidak semua Ogiwara tahu, apalagi jumlah anak buahnya. Mana sempat Ogiwara menghitung.

Tiba-tiba ponsel dalam saku celana bergetar, ada nomor tak dikenal tapi Ogiwara penasaran. "Halo? Siapa ini?"

'Ogiwara Shigehiro,' Ah Ogiwara kenal suara ini. 'Aku berada di area B. Kau ada di area C. Kau akan menyusup ketika ada kode dariku. Jangan banyak berpikir, ingat?' Ogiwara mengiyakan. Lovino sudah memperingatkan dia tadi. 'Dan jangan ragu.' Lalu sambungan diputuskan.

"Dasar muka triplek, rambut uban!"

Ponselnya bergetar lagi dengan kasar Ogiwara mengangkatnya, "Apa lagi—"

'Aku dengar itu, sialan.' Putus.

Lama-lama Ogiwara banting juga hp ini.

Tapi tidak ada waktu untuk sibuk mengutuki orang itu, sekarang dia harus fokus pada misi.

'Ah, semoga saja Akashi tidak apa-apa. Perasaanku tidak enak.'

DHUAR!

Ledakan terdengar dari arah selatan. Ogiwara tahu siapa pelakunya dan ledakan itu adalah kode baginya bergerak. Setelah yakin para penjaga beralih pada ledakan Ogiwara masuk lewat pintu kecil samping gedung. Hati-hati dia menyusuri tangga tersebut yang sangat gelap. Senjata sudah dikokang berada di tangan siap menyerang. Di pertigaan Ogiwara langsung menempel pada tembok, mengeluarkan sedikit kepala untuk melihat situasi. Aman. Namun baru saja tiga langkah suara derap kaki mendekat. Sial!

Untung Ogiwara cepat-cepat mundur dan bersembunyi kalau saja dia terlambat beberapa detik pasti mereka bisa menemukannya. Yang lewat ada sekitar dua belas orang, mereka berlari menuju selatan. Rencana berhasil. Mereka berhasil dialihkan. Jadi sekarang tugasnya adalah mencari dimana Akashi berada.

Getaran ponsel dalam saku lagi-lagi mengagetkannya, dia sudah bersiap melontarkan segala umpatan ketika suara disebrang sana menginterupsi. 'Semuanya sesuai rencana kan, Ogiwara? Jadi sekarang carilah Akashi!'

"Tapi aku tidak tahu dimana dia!"

'Cari. Pake otak dan matamu! Bodoh.'

Kalau tidak ingat Mayuzumi Chihiro adalah seniornya, Ogiwara sudah balas dengan bentakan. "Yaya―" dan sambungan diputus secara sepihak. Hampir saja Ogiwara meremukkan ponselnya.

Tapi masih ada tugas yang harus dia kerjakan. Cari Akashi.

Lorong benar-benar sepi, semuanya pindah ke daerah selatan. Ogiwara bersyukur memiliki kenalan pembunuh pro dan mafia kelas atas macam Lovino. Dengan begini dia bisa cepat menyelamatkan Akashi.

Setidaknya itu yang dia pikirkan dua menit lalu sebelum dihadang seseorang.

Sontak pistol dalam genggaman dia angkat mengarah pada lelaki tersebut. "Chi sei?" tanya Ogiwara dengan nada tinggi.

Lelaki yang tersembunyi dalam bayangan itu melangkah mendekati Ogiwara yang langsung bersikap siaga. Sampai akhirnya bayangan menghilang, menampakkan sosok sesungguhnya. Dan mata Ogiwara langsung menyipit benci padanya.

"Mau menolong Akashi Seijuurou?" Tanya sosok itu dalam bahasa Jepang. Ogiwara masih diam. "Aku beri petunjuk. Cari ruangan berpintu kayu Yunani. Disana dia disekap. Aku beri kau waktu sepuluh menit untuk mengabisiku. Kalau gagal, jangan harap bisa menyelamatkannya." Mulut Ogiwara menganga lebar, tiba-tiba saja orang yang notabene musuh justru memberikan bantuan seperti ini? Apapula itu kayu Yunani? Setelah membuang putung rokok lelaki itu langsung berlari menerjangnya. Tidak memberikan kesempatan Ogiwara melepaskan tembakan.

Tubuhnya terlempar jauh setelah mendapat tendangan di perut. Berusaha bangkit dan membalas Ogiwara malah mendapat pukulan kedua. "Ayo Ogiwara! Serang aku! Atau kau tidak akan bisa menolong Akashi?"

Mendengar nama Akashi entah kenapa tubuh Ogiwara menegang. Seolah mendapat kekuatan besar Ogiwara bangun dan kembali melancarkan serangan. Tapi tetap saja Ogiwara tidak bisa mengalahkannya, yang ada dia justru terpental lagi.

"Sepuluh menit, Ogiwara! Dan kau melewatinya." Pria itu mengeluarkan sebuah pistol dari saku jas dan mengarahkan pada kepala Ogiwara. "Sebelumnya aku minta maaf jika nanti meleset. Aku ini kebalikanmu. Tidak pandai memegang senjata." Pelatuk ditarik siap melepaskan tembakan. Dan bunyi letusan membahana di lorong panjang tersebut.

"Argh!"

Itu bukan teriakan Ogiwara. Dia masih sehat hanya ada bekas pukulan dibeberapa tempat saja, lantas siapa?

"Sudah kubilang, cari Akashi! Bukan malah mainan disini, dasar!"

Bentakan itu menarik kepala Ogiwara menoleh kebelakang. Seorang lelaki berambut abu-abu tengah mengangkat senjata yang masih mengepulkan asap dari moncongnya. Lalu Ogiwara beralih ke orang tadi, dia tengah memegang lengan kiri. Jadi itu tembakan berasal dari Mayuzumi.

"Mayuzumi Chihiro. Lama tak jumpa." Ujar lelaki berambut hitam itu meringis menahan nyeri.

Mayuzumi membuang magazine berisi peluru yang kosong dan mengganti dengan magazine baru. "Aku masih ingat kau, Nijimura Shuuzou. Ya setelah malam itu kita tidak bertemu lagi." Sahutnya memberi senyuman tipis.

Ogiwara masih tak mengerti situasi jadi dia memilih berdiri dan memilih menonton reuni dadakan ini.

"Mau apa kau masih disini?" Tanya Mayuzumi sinis pada Ogiwara.

"Ya mungkin saja kau butuh bantuan mengalahkannya. Aku siap."

Dengusan remeh keluar dari Mayuzumi, sesaat dia tertawa. "Tidak usah. Aku bisa selesaikan ini sendiri."

Lelaki yang dipanggil Nijimura menyeringai lebar. "Senang bisa mendengarnya, Chi." Dia memposisikan kedua lengan di depan dada. Begitupun Mayuzumi. "Pergi, Ogiwara! Kekasihmu dalam bahaya!" Teriak Nijimura sebelum melesat menyerang Mayuzumi. Apa maksudnya kalimat tadi itu?

Sama sekali tidak peduli pada dua lelaki itu namun Ogiwara sangat berterima kasih pada mereka yang secara tak langsung sudah membantu meski dia masih tak tahu siapa itu Nijimura Shuuzou.

Larinya tidak berhenti dan ini sudah menit ke dua puluh, lantai entah berapa yang Ogiwara naiki. Sudah berapa ruang dia telusuri yang Ogiwara dapatkan hanya kekosongan ataupun para anak buah biasa didalam yang dengan mudah dia habisi. Ogiwara tidak berniat untuk main pukul karena badannya saja sudah remuk dihantam Nijimura. Sakitnya pun masih membekas sampai sekarang.

Dimana itu pintu kayu Yunani. Itu pasti teka-teki mudah tapi kenapa Ogiwara masih tidak bisa menemukannya―

"Argh!"

Terdengar jelas erangan itu. Berasal dari sebuah ruangan berpintu kayu ukuran besar dengan ukiran indah patung Yunani. Oh mungkin ini dia yang dimaksud Nijimura.

Tanpa banyak berpikir Ogiwara langsung menedang pintu tersebut hingga pemandangan isinya terlihat jelas.

Disana, Akashi Seijuurou, tanpa sehelai benang pun menempel pada tubuh, sedang diikat dengan posisi tangan diatas kepalanya, dalam keadaan mengenaskan, penuh luka. Deskripsi yang sungguh membuat gigi Ogiwara bergemelutuk menahan amarah.

"Akashi―"

Dor!

Hampir saja peluru tadi menembus kepala kalau saja Ogiwara tidak menghindar. Cepat kepala berambut chocolate-Belgia itu menoleh ke asal penembakan. "Nash―" Desisnya sarat akan kebencian.

"Tidak kusangka yang muncul justru kau, Ogiwara." Kata Nash berjalan menuju Akashi. Membelai paha penuh cairan aneh itu dan menjilatnya sensual. Seolah sedang memanas-manasi Ogiwara disini.

Terotomatis emosi dalam dirinya memuncak seketika.

"Be-berhenti, Shige—" Akashi dengan kekuatan tersisa berujar lirih menghentikan langkah Ogiwara yang berniat mendekatinya. Matanya berusaha menatap Ogiwara yang cemas luar biasa.

"Aku mau menolongmu, Akashi!"

Rambut merah Akashi bergoyang mengikuti gerakan gelengannya. Sebisa mungkin sensasi antara nikmat menyakitkan yang terasa di bagian bawah dia lupakan. "Y-ya, aku tahu itu. Tapi—akh—tidak! Ja—engh! Nash sialan! Hentikan!"

Mata coklat Ogiwara beralih pada Nash, dia terlihat menikmati gerakan tangannya di milik Akashi yang mengocoknya cepat.

"Kau dengar itu, monyet sialan? Jangan ganggu kami. Pergilah. Hahahaha..." Tawa Nash kontras sekali dengan desah dan erangan yang keluar dari mulut Akashi.

Lama-lama melihat semua itu membuat Ogiwara muak. Dia tidak pandai dalam hal mengendalikan emosi. Persetan pada kenyataan siapa Nash di masa lalunya. Dia benci melihat Akashi seperti itu!

Senjata jenis Kock Mk23 dikeluarkan dari saku jas dan mengarah pada Nash. "Lepaskan dia!" Seru Ogiwara memperingatkan siap melepaskan pelatuk. Matanya memincing menatap Nash yang menyeringai senang. "Atau kubunuh kau!"

"Apa? Kau berani membunuhku hah?! Hahahaha... Bahkan semua hutangmu padaku lebih besar dari dendammu."

Ogiwara geram mendengarnya. "Tidak! Rasa cintaku bahkan lebih besar dari dendam maupun hutangku padamu, Nash."

Tanpa mereka ketahui sepasang mata delima membelalak kaget mendengar penuturan Ogiwara tadi. Cinta? Siapa yang Ogiwara cintai? Jangan bilang itu adalah dirinya. Dia yang sudah membuat Ogiwara kerepotan seperti ini. Akashi masih tidak percaya. Dia hanya berharap kalimat tadi salah dengar. Itu delusi karena getaran dalam lubang belakangnya.

"What the hell are you saying, Ogiwara?! Bitch please! Cinta? Hahahaha... Aku mual tiap mendengar kata penuh bullshit itu." Seru Nash tak kalah keras. Dia juga mengeluarkan sepucuk pistol dari sakunya. Ikut mengarahkan. Bukan pada Ogiwara, melainkan pada Akashi. "Lalu bagaimana jika aku menghancurkan cintamu ini?"

Suara tembakan terdengar keras dalam ruangan besar itu.

Akashi terbatuk merasakan peluru mengujam perut kirinya. Darah keluar deras dan terlihat jelas seberapa banyak.

"Tidak! Akashi! Bajingan kau, Nash! Lepaskan Akashi! Apa sih maumu darinya?"

"Bukan urusanmu." Kata Nash penuh penekanan. Pistol yang tadi sudah dia gunakan sekali dibuang ke pojok ruangan. Kemudian beralih pada Ogiwara. Tatapan matanya berubah. "Pengkhianat sepertimu tidak pantas mengetahui apapun. Pergi dari sini atau kau mau mati."

"Lebih baik aku mati daripada meninggalkan Akashi!" Teriak Ogiwara berlari sembari mengarahkan pistol, sesekali menembak ke arah Nash hati-hati agar tak mengenai Akashi. Nash berlari mengelilingi ruangan. Ogiwara mengejarnya hingga peluru teriakhir pun dia tak dapat mengenai Nash meski dia adalah seorang penembak jitu. "Kubunuh kau, brengsek!"

Sadar Ogiwara sudah tidak memegang senjata, Nash berbalik menyerang Ogiwara. Dia melompat dan menendang telak kepalanya dengan lutut. Membuat Ogiwara terhuyung ke belakang, kesempatan digunakan Nash untuk melancarkan tinju-tinju andalan ke bagian tubuh Ogiwara tanpa ampun. Kemudian mendorong Ogiwara ke tembok dekat dimana Akashi terikat. Melihat Nash berjarak jauh darinya terjatuh, Ogiwara berdiri dan melepaskan ikatan Akashi sebentar.

Mengetahui Ogiwara makin melemah ketika berusaha menurunkan Akashi, dia melancarkan tendangan yang mementalkan tubuh pemuda berambut coklat menabrak laci. Menjatuhkan beberapa guci yang untung sekali tidak menjatuhi Ogiwara.

Nash berjalan menuju Ogiwara, berniat menariknya namun justru hal tersebut digunakan sebagai serangan balasan. Ogiwara bangkit dan langsung melempar salah satu guci di dekatnya sampai mengenai kepala Nash. Helai kuning itu pun berubah merah. Nash mundur beberapa langkah tapi masih bisa berdiri tegak. Tak membiarkan Nash kembali, Ogiwara melayangkan tinju ke wajah Nash yang menjauh darinya, namun tidak cukup cepat untuk menghindari serangan Ogiwara. Hidung Nash bertemu kontak dengan kepalan sang pemuda, membuat tulang hidungnya remuk dan mengeluarkan banyak darah.

Saat-saat Nash lengah tidak disia-siakan oleh Ogiwara melakukan serangan lain. Dia mencengkeram tubuh Nash dari belakang, mencekik leher dengan kedua lengan. Meski tubuhnya tidak sebanding dengan Nash yang tinggi besar namun dia bisa membuatnya kewalahan dan kehabisan nafas dalam kuncian lengan. Tidak mau kalah, Nash menggenggam lengan Ogiwara yang ada di lehernya, lalu membanting Ogiwara kedepan, tepat ke lantai yang keras.

Pemuda berambut coklat menggeliat, merasakan nyeri luar biasa di sekujur tubuh. Dia pun berusaha mengesampingkan rasa sakitnya. apalagi ketika dia melihat kondisi Akashi yang kritis dengan darah keluar banyak. Pasti tembakan tadi mengenai ulu hatinya.

"Ogiwara! Perhatikan musuhmu!"

Berguling menghindari tembakan tiba-tiba Nash. Tanpa sepengetahuan Ogiwara pria berambut pirang itu mengambil pistolnya dan sekarang tengah berusaha menembakki Ogiwara.

"Bodoh! Dasar monyet bodoh! You asshole!" Teriak Nash mengeluarkan sepucuk senjata lagi dari balik kemeja. Ogiwara bingung harus bagaimana. "Mati kau!"

Akhirnya satu tembakan berhasil mengenai kaki kiri. Ogiwara mengerang kesakitan. Banyak darah keluar dari betisnya. Sialan!

"Kau tidak ada bedanya dengan monyet, tahu! Dasar pengkhianat! Kusuruh kau membunuh Kuroko Tetsuya, kau malah berteman dengannya! Lalu jatuh cinta dengan kakak Kuroko! Bodoh! Sekarang kau berpihak pada Lovino? Cih! Sampai kapan kau tidak sadari diri hah? Bitch! Harusnya kau bersyukur aku hanya membunuh ayahmu! Dan menjadikan adik perempuanmu pelacur! Aku belum membunuh semua orang yang kau cintai itu! Hahahahaha..."

Mati-matian Ogiwara menahan amarahnya. Hingga setetes air mata mengalir di pipi penuh lebamnya.

"Shi-shige. Bangun—" Ogiwara tersentak. Dia langsung menoleh pada Akashi yang berusaha menarik sudut bibirnya. Sangat terbalik dengan Akashi Seijuurou yang dia kenal. Arogan dan berharga diri tinggi, tidak lemah seperti sekarang. Sepersekian detik, dia sungguh sangat menyesal pernah memiliki niatan membunuh Akashi. "Berdiri." Tangan Akashi sedikit terulur. Sayangnya Ogiwara tidak bisa menggapainya.

Kenapa semua ini terasa sulit bagi Ogiwara?

"Atau ku bunuh saja Akashi sekarang—Ogiwara? agar kau sadar bahwa nafasmu pun beli padaku." Nash meludah tepat di depan Ogiwara, membuatnya geram seketika.

Tiba-tiba Ogiwara berdiri menghantamkan kepalan tangannya ke dagu Nash hingga pria Amerika itu mundur. Tak disiakan kesempatan tersebut, Ogiwara langsung mendorong Nash menabrak jendela kaca. Memecahkannya dan sekuat tenaga memojokkan Nash ke pinggiran balkon.

"Ingat ini satu hal, Nash! Hari ini, aku akan membalas semua kekejianmu!"

"Brengsek kau, Ogiwara! Akan kubalas kau nanti!"

Dan mereka terdorong bersamaan ke bawah.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tidak

Tidak

Tidak mungkin.

Akashi masih bisa melihat semuanya. Dia melihat saat-saat Ogiwara mendorong Nash. Dan jatuh kebawah sana, bertektinggian puluhan meter di lantai tujuh.

Lucu sekali jika ternyata dia mati sekarang.

Masih banyak hal yang harus Ogiwara jelaskan dan pertanggung jawabkan.

Sepenuh tenaga Akashi berusaha berdiri, berpegangan pada tembok disekitarnya. Akashi harus memastikan sendiri.

Tanpa sadar, air mata membasahi pipinya. Pertama kali dalam belasan tahun, seorang Akashi Seijuurou menangis. Kalau tidak salah terakhir dia menangis adalah saat kekalahannya dalam basket. Sekarang dia menangisi seseorang yang bahkan baru dikenalnya kemarin. Seseorang yang meninggalkan kesan luar biasa buruk padanya.

Akashi mencoba tegar menghadapi kenyataan Ogiwara mati terjun dari lantai tujuh bersama si brengsek Nash.

Namun yang dia lihat saat melongok balkon yaitu—

"Ha-halo, Akashi."

Tubuh Ogiwara menggantung. Dia masih berpegangan. Dan Nash sudah tidak nampak dimanapun. Mati di semak belukar atau apapun itu. Akashi tak peduli.

"Bisa tolong aku?"

"Urus dirimu sendiri." Ujarnya datar. Ada senyuman tipis penuh lega terukir di wajah lelahnya.

.

.

.

"Kakak!" Kuroko Tetsuya berteriak histeris melihat keadaan memprihatinkan kakak dan sahabatnya. Ogiwara berjalan pincang membawa Akashi dalam gendongan berbalut jas hitam miliknya. "O-ogiwara-kun. Kau tidak apa?" Ogiwara mengangguk. Dia menidurkan Akashi ke ranjang ambulans. Membiarkan mobil putih itu membawah Akashi demi mendapatkan perawatan intensif. Disini dia yang paling parah menghadapi siksaan. "Kenapa tidak memberiku kabar jika kakakku dalam masalah?" Tanya Kuroko tak sabaran.

"Maaf Kuroko, pikiranku buyar." Ujar Ogiwara mencari tempat untuknya duduk. Kakinya sakit sekali.

"Medis! Disini ada yang butuh bantuan."

"Percuma, Kuroko. Kau sadar tidak jika hawa keberadaanmu itu sangat tipis."

Jika tak ingat Ogiwara yang menolong kakaknya sudah dia tampar lelaki ini. Akhirnya Kagami Taiga lah yang memanggil medis untuk Ogiwara.

Seminggu lebih mereka harus dirawat di rumah sakit. Menjalani beberapa terapi konyol tidak penting.

Ogiwara dulu yang keluar dan langsung kembali ke Italia. Karena dengan seenaknya Kuroko mengirimnya dan Akashi ke Jepang. Katanya disana peralatan medis lebih lengkap. Ya Tuhan. Sepertinya karena panik otak Kuroko jadi kosong. Dia lupa apa jika Italia termasuk negara maju?

Baru saja terpisah dengan Akashi selama satu bulan, Ogiwara baru merasakan yang namanya rindu.

Jujur saja dia merindukan Akashi, merindukan omelannya, dan wajah memerah lelaki itu.

Ogiwara sadar jika perasaan ini sangat salah. Dia menyukai Akashi. Dia laki-laki dan Akashi laki-laki. Sudah jelas dimana tabunya. Apalagi Ogiwara masih tidak tahu jika Akashi juga menyukainya atau tidak.

Jack daniel dia tenggak untuk kesekian kali, ada tequilla tawaran aomine namun di tolaknya. Kepalanya pusing dan rasanya mau pecah. "Kalau begini caranya, kau bisa ended up dengan wanita, Shige." Ujar Aomine berusaha menyadarkan Ogiwara.

"Hmm... Aku tak peduli." Gumam pemuda berambut coklat tak acuh. Sejak pisah dengan Akashi dia berubah drastis.

"Ya sudahlah. Terserah." Akhirnya Aomine menyerah dan turun ke dancefloor yang tengah memutar lagu Nicki Minaj. Berdansa tak jelas sambil menggesekkan tubuh kekar sekalian menarik perhatian wanita yang mau dia tiduri. Dasar gila lelaki dim itu. Tidak ingat kekasihnya juga ada disitu.

Sebelah tangan terangkat berniat menenggak lagi gelas cocktail namun terhenti ketika ada seseorang menahannya. Ogiwara menggeram berusaha melepaskan. Tubuhnya terdorong kasar alih-alih diserang.

"Merda! Who the hell are you?!" Desisnya pada sosok diatas tubuh.

Kekuatan orang diatasnya ternyata cukup kuat hingga Ogiwara tidak bisa menyingkirkannya. "Beraninya, pergi tanpa pamit dan sekarang asik-asikkan di bar! Sadar tidak kalau kau punya hutang banyak penjelasan padaku? Aku yang harusnya teriak; merda! Dove sei stato?!"

Ogiwara kenal suara ini. Dia masih berusaha memfokuskan diri yang justru membuat kepalanya didera nyeri. "Akashi?" Tanyanya memastikan.

"Bisakah kau bawa sialan ini ke mobilku?"

Terakhir Ogiwara merasa dirinya masih berada di bar ketika mendengar suara itu. Tapi sekarang dia sudah berada di sebuah ruangan tak asing. Matanya memperhatikan ruangan huniannya. Ogiwara merasa memang pernah kesini, tapi bersama siapa dia benar-benar lupa.

"Niatnya aku mau menyirammu, ternyata sudah bangun."

"Akashi?"

"Diam!" Seru pemuda berambut merah itu menahan tubuh Ogiwara yang ingin bangkit. "Diam disitu! Cukup jelaskan saja semuanya."

Nafasnya tercekat mendengar perintah Akashi. Harusnya sudah dari kemarin Ogiwara sadar saat seperti ini pasti akan tiba. Akashi pasti menodongnya dengan semua kejelasan yang Ogiwara sembunyikan.

Helaan nafas panjang keluar dari mulut Ogiwara, menenangkan segala saraf tegang dan jantungnya yang berdegup tak nyaman. "Oke, aku akan menjelaskan semuanya."

"Katakan." Kata Akashi seakan sudah tidak sabar. Tentu saja, sudah berapa lama Ogiwara menghindarinya.

"Mau darimana aku harus jelaskan?"

"Semuanya."

Dalam seumur hidup Ogiwara baru kali ini dia ketakutan, perasaan takut yang melebih takutnya saat mendengar kabar adiknya mau dijadikan pelacur dan beruntungnya Lovino membantu. "Oke, kau sudah tahu jika aku adalah bodyguardmu atas perintah Kuroko 'kan? Darimana Kuroko mengenalku? Ya, aku adalah orang yang hampir membunuhnya."

"Karena hutang ayahku? Kenapa harus Tetsuya?" Tanya Akashi penuh tekanan. Sepasang mata delima itu menghujam Ogiwara telak.

"Kuroko itu pemain dibalik layar perusahaan Masaomi. Dia melakukan segalanya demi kelancaran perusahaan kalian meski harus mempertaruhkan nyawa sendiri. Dia gila, kalau kau belum tahu fakta sebenarnya dibalik wajah polosnya. Kuroko mengenal Nash dari Lovino, mereka membuat perjanjian dan ayahmu tahu. Namun semua itu dianggap salah oleh ayah yang kau banggakan, Akashi. Kau tidak tahu?"

Akashi menggeleng. Wajahnya masih datar seperti tadi.

"Sadar diri jika Kuroko tidak mungkin bisa sepertimu akhirnya dia hanya melakukan kegiatan kerja kotor perusahaanmu." Ogiwara menanti reaksi Akashi, namun tetap sama. "Lagi-lagi kau tidak tahu. Kakak macam apa kau, adik sendiri melakukan hal seperti itu kau tidak tahu?" Tanyanya mencemooh. "Asal kau tahu, Akashi Seijuurou. Ayahmu itu licik. Dia dengan seenaknya merebut segala kerja keras Kuroko. Dia mengganti perannya menghadapi Nash. Tapi apa? Justru keburukan yang dia dapat. Dia salah langkah dengan meminjam uang pada Nash, dan dengan sengaja membeberkan kelompoknya. Dasar orang tua bodoh! Dia tidak tahu berurusan dengan mafia itu beresiko. Tapi Kuroko mengambil semua resiko itu. Demi siapa? Demi kau!"

Air mukanya berubah, tidak sedatar tadi. Meski masih measang wajah sama. Ogiwara tahu Akashi kaget mendengar penjelasannya. Semua yang tidak sempat dijelaskan Nash dulu.

"Aku diperintahkan membunuh Kuroko oleh Nash itu namun gagal karena ada Kise dan Kagami disampingnya. Seharusnya aku membunuhnya, dia justru menolongku. Dia membebaskan semua hutangku pada Nash, menolong adikku dan membiarkanku hidup. Membuatku menjadi pengkhianat untuk kelompok Nash itu. Sekali lagi, dia gila!" Teriak Ogiwara tepat diwajah Akashi. Bisa dilihat sekarang Akashi mengernyitkan dahinya. "Sebagai bayaran, aku dimintanya melindungimu. Ya, aku sudah lama mengenalmu, melindungi dari jarak jauh. Makanya aku langsung tahu dimana kau. Saat di Doge's Palace aku memperhatikanmu, aku mengikutimu dari bandara, ke hotel. Aku tahu semuanya, Akashi!" Ogiwara tidak bisa menghentikan mulutnya. Khawatir jika sesuatu tersembunyi itu terucap dengan gamblang. Tidak. Ini belum saatnya Akashi tahu. "Saat tahu Nash gagal membunuh Kuroko, dia akhirnya tahu jika kunci segalanya ada padamu. Akhirnya dia berniat membunuhmu. Tapi ternyata dibalik rencana itu dia memiliki niatan lebih. Makanya malam itu kau—" Ogiwara tak lagi melanjutkan kalimatnya. Hatinya berdenyut ngilu mengingat bagaimana keadaan Akashi.

"Kenapa ayah diam saja?"

Ogiwara mendengus remeh, sudut bibirnya membentuk seringai. "Akashi, ayahmu itu licik!" Serunya menekan kata akhir. "Demi perusahaan diapun mengorbankan anaknya. Cih! Asal kau tahu, semua kata-kata Kuroko soal kau yang dipercayai ayahmu itu salah. Ayahmu itu sama saja seperti sengaja membuangmu ke dalam kandang singa."

"Kenapa kau tidak katakan semuanya dari dulu?"

"Memang itu penting?"

Sekarang Akashi mengerti kenapa Ogiwara bisa tiba-tiba menjadi bodyguardnya.

Perlahan cengkraman pada bahu Ogiwara dilepas. Akashi bangkit dari kasur kemudian melangkah pergi meninggalkan lelaki itu. Hingga suara pintu ditutup secara keras terdengar.

Namun sebelum Akashi keluar, Ogiwara melihat jelas raut wajahnya yang susah dideskripsikan.

.

.

.

Semuanya terjadi tiba-tiba, mendadak dan tanpa perkiraan. Fakta soal adiknya, ayahnya dan nasibnya. Kenapa hal ini harus terjadi? Selama ini hidup Akashi selalu tenang dan damai. Tidak pernah diusik siapapun karena yang akan mengganggunya pasti harus berpikir dua kali. 'Dirinya' selalu melindunginya dengan sisi kejam dan sadis. Tapi disaat dia kembali semuanya berubah sedikit demi sedikit.

"Kau suka apa? Coffe Americano atau Cappucino? Aku hanya punya ini. Uangku ketinggalan di bar jadi hanya bisa membeli minuman murahan. Oh iya, mau makan pasta? Pizza? Keliling Italia? Sepertinya kau baru pergi ke Doge's Palace. Aku ada rekomendasian banyak. Sungai Venecia? Kita bisa menikmati sungai terbersih di dunia sambil mendengar para pendayunngnya bernyanyi. Atau Pasticerria Alba? Kau suka es krim? Disana cita rasa es krimnya luar biasa, kau pasti ketagihan. Akashi," orang itu dibiarkannya terus mengoceh tentang Italia yang Akashi sama sekali tak hiraukan namun hanya menatapnya datar. "Kenapa? Kau lapar? Mau gelato? Atau mau ke pasar Vucciria untuk makan panino con la milza? Enak lho."

"Mau apa kau ke sini, Ogiwara?" Suara Akashi mendesis tajam ketika melontarkan sebuah pertanyaan tapi terdengar seperti usiran.

Ogiwara mendesah tanda menyerah, alih-alih pergi dia justru duduk di kursi taman dekat hotel tadi. Gelas coffe Americano ditaruh ditengahnya lantas kopi Cappucino dia tenggak tanpa basa-basi. "Padahal aku sedang menawari beberapa tempat menarik tentang Italia. Mumpung sedang disini lho."

Decihan kasar dilontarkan, Akashi sudah berniat bangkit dan pergi ketika bergelangan tangannya ditahan. Dia menoleh dan mendapat Ogiwara menatapnya dalam. Hampir saja pukulan mengenai wajah lelaki itu dalam dua centi lagi ketika dia mendengarkan ucapan Ogiwara.

"Aku mencintaimu."

Akashi kehilangan kata. Dia diam dalam posisi, menatap manik caramel yang melembut. Jantungnya berdegup tak karuan dan mendadak perut terasa teraduk.

"Dasar gila! Sadar tidak kalau aku ini laki-laki?!"

"Aku tahu. Makanya aku juga tahu rasa ini salah."

"Kenapa kau mengatakannya?! Bodoh!"

"Tidak bisa kutahan lagi."

Lemas. Tubuh Akashi seolah tak ada tenaga hanya sekedar membalas ucapan Ogiwara. Akhirnya dia menyerah dan kembali duduk, meski tak ingin lagi memandangnya.

Pergelangan masih dalam genggaman itu diremas lembut, menyalurkan segala perasaan yang sama sekali tak dipahami Akashi. Baru kali ini ada orang yang berani menyatakan cinta dan Akashi merasa tak nyaman.

"Aku memiliki perasaan ini ketika pertama kali melihatmu di foto kiriman Kuroko. Dan semuanya jelas ketika pertemuan di Doge's Palace. Semua yang ada pada dirimu, aku menyukainya. Entah kenapa. Aku suka caramu menyeringai, caramu menatapku tajam, senyuman tipismu, bicaramu, semuanya. Kau bahkan tidak tahu jika selama kau diculik aku langsung kalang kabut."

"Sungguh aku tidak peduli semua itu, Ogiwara Shigehiro! Mau kau menyukaiku dengan caramu, terserah! Bukan urusanku."

Bukannya dia marah dibentak olehnya, justru Ogiwara mengembangkan senyuman lebar. "Aku sudah tahu semua itu, Akashi. Jadi, semua keputusanmu ada padamu. Terima kasih."

Tubuhnya menegang namun masih diam ketika Ogiwara mendekatkan wajahnya dan memberikan sebuah kecupan di bibir Akashi.

Semua kata, menguap. Meski itu hanya kecupan tiga detik.

.

.

.

to be continued

.

.

.

Dove è la tua mente?!: Dimana otakmu?!

Scusa: Maaf

Ho bisogno del vostro aiuto: Aku butuh bantuanmu.

Stai ascoltando: Kau mendengarkanku?

Sì, capisco: Iya, aku mengerti.

.

.

.

a/n:

Saya kehilangan minat di FknBI gara-gara banyak penistaan dimana-mana. Apapula itu CharaxReader. Padahal kata guru bahasa Indonesia saya gak ada tuh sudut pandang orang kedua. Tapi kayanya saya harus kasih fict fandom ini biar tahu kaya apa itu sudut pandang orang kedua. Mending make OC sumpah. Tapi OC cowo napa. Yang kece gitu. Jangan cewe. #digantung

Pas mau nulis bersambung sebenernya saya mikir; 'lha ini twoshoot masa mau dijadiin threeshoot? Kak Yuna ajah belum menyajikan SuShi ini lha.. Tapi kalau dilanjutin sampe End ya bakal panjang banget. Ini ajah udah panjang.' Ya udah saya tbc in ajah. Makanya saya minta review ya? Biar saya dikit ajah dikasih semangat buat nyelesein. Please reviewnya juga jangan cuman 'lanjut thor' heh lu kate gue makhluk mitologi Yunani berbadan kekar yang suka bawa palu?

Ikh sumpah plotnya jelek banget! Alesan Ogiwara nyelametin Akashi pun parah! Salahkah moodbooster saya yang kaya rollercoster ini. Naik turun dibanting kaya ingus, ngek. Gak papa lha ya masukin NashAka. Kak Yuna lagi doyan tuh pair itu. Hahahaha... OgiAka nya? chap besok. Saya mau memanjakan anak dan menantu dulu #peluk Panca Tapi saya ngga janji ya cepet update. Gak ada semangat sama sekali.

Btw, makasih yang udah review di chap satu. Saya sebenernya bingung mau bales gimana. Saking bahagianya. Hahaha saya baru buka lho beneran. Pokoknya, ya sini saya temenin teriak Aaaaa . Moga ajah chap ini ngga mengecewakan anda semua ya...

Oh ya, minal aidzin walfaidzin ya. Mohon maaf lahir dan batin. Maaf saya jahatin Akashi. Huhuhu...

See you in the next chapter—doain ajah ada mood gitu. Kalian mau saya update cepet dan ada jeruk kecut kan? Makanya review, Muahahaha...