Dengan senyum yang lebar, aku pergi untuk bertemu seseorang
Memakai baju bagus dan menata rambut, aku merasa sedikit berbeda
Perasaan menderu yang baru sekali ini kurasakan, aku ingin menyampaikannya

Aku masih belum mengerti alfabet tentang cinta ini,
Aku masih belum mengerti apa arti debaran yang berpacu kencang ini,
Karena itu maukah kau menuntunku, yang ceroboh ini, dari titik nol?

Aku, yang selalu mengurung diri dalam duniaku yang gelap,
Bila aku membuka pintu ini, cinta apa yang menungguku di luar sana?
Bila hari ini cerah… Bisakah aku memandang angkasa?

.

.


Someday's Romance

A Kuroko no Basuke fanfiction
Special for AoSaku Day 2015

Pair
Aomine Daiki x Sakurai Ryou

Disclaimer
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
Story © kiyoha

Rate
T


.

.

"Begini ya, Sakurai-kun." Seorang gadis bersurai merah muda menghela napas, jemari lentiknya membolak-balik tumpukan kertas yang ia pegang sejak tadi. "Sudah kubilang 'kan, ada satu masalah yang sulit dihilangkan di tiap ceritamu."

Sang brunet—orang yang menjadi lawan bicara—tersedak teh. "Ma-maaf… Apa maksudmu, Momoi-san? Aku sudah berusaha membedakan tema cerita kali ini dengan sesuatu yang beda, lho… Apalagi yang masalah? Waktu kita membahas name pun, tidak ada yang salah, 'kan?" protesnya, membuat gadis bernama Momoi itu mendesah pelan.

"Iya, memang tidak ada masalah." Kembali ekor matanya melirik satu persatu panel di secarik kertas—naskah manga. "Memang tidak ada masalah saat itu… Masalahnya malah baru ada waktu Sakurai-kun menggambarkan adegan-adegan di sini."

"Err, maaf, masalah bagaimana?" Masih tidak terima, Sakurai kembali bertanya.

"Begini ya… Walau Sakurai-kun selalu membuat shojo manga bertemakan romansa remaja, entah mengapa… Rasanya monoton, di tiap cerita rasanya begitu-begitu saja." Kembali gadis itu berceloteh. "Aku 'kan editormu… Sekaligus penikmat shojo manga juga. Memang sih temanya tidak semuanya sama… Tapi konflik, jalan cerita, rasanya…"

Mendengar itu, Sakurai menempelkan pipinya ke permukaan meja, cemberut.

"Terus aku harus bagaimana. Iya, iya, aku memang akhir-akhir ini kena artblock, jadi setengah-setengah begitu deh jadinya." ucapnya—terdengar ngambek. Bagaimana tidak, usaha kerasnya menuangkan ide ke dalam plot manga dibilang monoton, biasa-biasa saja, tidak menarik. Sakit, tahu.

"Mou~ Bukan masalah artblock atau apa, tapi ini soal passion, semangat dalam shojo manganya!" Momoi tetap tidak ingin kalah. "Shojo manga—apalagi bertemakan romansa 'kan, harusnya mengandung semangat masa muda, aura keremajaan, masalah-masalah gadis yang dalam masa puber!"

"…Iya, iya… Aku juga tahu itu… Habisnya sih…"

Aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaan gadis-gadis di shojo manga buatanku sendiri.

"Emm… Kurasa yang kurang dari manga buatan Sakurai-kun adalah… Kurangnya rasa simpati terhadap heroinenya! Ayolah, biasanya kalau adegan sedih kita akan ikut menangis, kalau adegan menyatakan perasaan, kita akan ikut terbawa debarannya, 'kan! Dan aku kurang merasa begitu. Itu yang salah." jelas Momoi, sang editor—yang malah membuat sang mangaka semakin merengut.

"Habisnya sih… Aku 'kan bukan heroinenya, mana bisa aku merasakan, 'kan…"

Momoi beranjak dari sofa, berkacak pinggang. Iris merah mudanya berkilat-kilat, memandang Sakurai lekat—yang dipandangi sedikit merinding sekarang.

"Sakurai-kun. Merasa simpati pada heroine bukan hanya dengan menjadi heroinenya, kalau sudah pernah merasakan perasaan suka, atau perasaan berdebar-debar, bukannya otomatis kita akan menuangkan perasaan kita dalam cerita? Ya nggak?"

"Ukh—"

Ya. Inilah yang ia takutkan.

Ia takut fakta ini ketahuan—bahwa ia, sebagai shojo manga, belum dan TIDAK pernah jatuh cinta pada seseorang. Memang, rasanya aneh, 'kan?

.

Sakurai Ryou. Umur: 22 tahun. Profesi saat ini: mangaka shojo manga—penname: Sakurako Riou. Seorang hikkikomori—mengerjakan manga di kamar, apapun di kamar, hanya keluar pada saat-saat penting. Rekor menjomblo—err, single: 22 tahun.

Bukannya ia masalah dengan 'kesendirian'nya itu, sungguh. Selama ini itu tidak pernah menganggunya karena ia senantiasa dilindungi benteng komik, anime, figur-figur waifu dan yang lainnya—sehingga ia tidak ambil pusing.

Tapi, ya… Lama-lama 'kesendirian'nya ini jadi masalah juga. Oh ayolah, ia adalah mangaka, mangaka shojo manga pula—tidak memiliki pengalaman romansa adalah hal fatal dalam kelangsungan kariernya.

Oke, mungkin tidak masalah jika tidak punya hubungan romansa, asal mengerti apa saja yang terdapat di dalamnya, apa saja yang dibutuhkan untuk membuat shojo manga—tapi Sakurai lain. Ayolah, ia bahkan tidak mencoba untuk mengerti perasaan heroinenya sendiri! Untuk sekedar merasa suka saja ia tidak niat. Walhasil shojo manga buatannya selalu datar, mainstream dan kawan-kawan.

Kesal, deh… Mengapa shojo manga itu harus identik dengan persoalan romansa? Tapi aku juga hanya bisa membuat shojo manga, jadi harus bagaimana…

"Dengarkan aku, Sakurai-kun." Momoi, gadis berusia sebayanya itu menempelkan telunjuknya di dahi Sakurai, menyentilnya pelan. "Aku ini berusaha untuk membuatmu jadi mangaka sukses, kau tahu. Memperbanyak penjualan mangamu. Itulah tugas seorang editor."

"Aku tahu, maaf…" Pemuda brunet itu mengalihkan pandangan. "Ha-habisnya aku sendiri tidak begitu mengerti soal romansa…"

Terakhir ia merasakannya adalah zaman SMP, dan ia tidak ingin mengingat-ingatnya lagi.

"Sakurai-kun benar-benar, ya…" Sang gadis bersurai merah muda menggeleng-gelengkan kepalanya yang pusing. Haah. Mengurus satu mangaka saja begini susahnya. Ia tahu, Sakurai tidak pernah kehabisan ide dan tema, tapi alurnya…

"Mungkin ini salahmu yang terlalu banyak mengurung diri di kamar dan menjadi hikkikomori, Sakurai-kun. Sekali-sekali kau harus melihat kelap-kelip dunia, ya! Bukannya aku memaksamu untuk tiba-tiba punya kekasih atau bagaimana, tapi memperhatikan pasangan yang tengah kencan di kota juga termasuk dalam referensi, lho! Masa' aku harus terus membawakan foto-foto referensi untukmu yang malas-malasan di kamar? Masa kau harus setiap saat bertanya ke internet? Ayo, ah!" ajaknya, namun tetap saja sang mangaka—Sakurai, ogah-ogahan. Yang benar saja, hikkikomori seperti dia harus keluar rumah? Biasanya saja ia hanya membeli stok manga tools untuk setahun tiap tahunnya, agar dia tidak perlu keluar-keluar terus. Belanja cukup via online. Tidak ada masalah sejauh ini.

"Anu… Momoi-san, ma—"

"Tidak ada maaf-maafan, ah! Deal, ya? Hari Sabtu besok aku akan menemanimu untuk jalan-jalan di kota, sekalian refreshing! Jangan lupa bawa kamera, ya. Sakurai-kun juga butuh referensi tempat-tempat seperti toko, taman atau gedung-gedung, 'kan? Sebagai gantinya, akan kutraktir makan siang!"

Sial, ia mulai berkeringat dingin mendengarnya. "Momoi-san, tolong dengar du—"

"Tidak ada kata tunggu. Fix, ya! Jam 9 pagi aku akan menjemputmu di rumah, jangan lelet-lelet atau kulaporkan ke chief editor nanti!"

BLAM. Pintu ditutup dengan keras, meninggalkan Sakurai yang masih duduk manis dengan tampang kebingungan di dalam kotatsu. Sial, sial, sial… Ia harusnya ingat kalau Momoi—editornya yang kejam dan semaunya itu—tidak bisa dibantah perkataannya. Ia harusnya selalu ingat itu.

Habislah… Bagaimana nasibnya Sabtu nanti?


.

.

.

Lama rasanya sejak terakhir keluar area rumah. Dengan malas-malasan Sakurai meraih pintu lemarinya dan menarik kemeja—yang menurutnya bagus padahal ya biasa saja—celana panjang, dan t-shirt untuk bagian dalam. Kemeja itu masih tergantung tanpa sedikitpun lipatan, karena memang masih baru. Warnanya juga masih cerah… Maklum, kemeja itu belum dipakai, biasanya ia bepergian dengan baju biasa dibalut jaket.

Ia sudah mandi dan merapikan diri—begini-begini ia tidak ingin mengecewakan Momoi yang berusaha membantunya. Surai brunettenya juga sudah ia sisir sedemikian rapih, pokoknya hari ini penampilannya agak lebih berbeda dari biasanya.

Ia akan keluar rumah, itu sebabnya.

Kalau tidak terpaksa ia tidak ingin berdandan rapih-rapih begini. Tapi ucapan Momoi begitu memaksa, ya… Mau tidak mau ia harus melakukannya. Lagipula—ayolah, pasti tidak akan lama kok, mencari referensi saja pasti tidak akan lama—begitulah, ia mencoba menghibur diri sendiri.

...

"Sakurai-kun! Nah, begitu dong, yang rapih sedikit! Kalau begini kan attractiveness up, ya nggak!" Seorang gadis bersurai pink memekik senang melihat penampilan pemuda brunette yang berdiri di hadapannya. Sakurai hanya berdiri canggung plus tersenyum malu. Tapi sungguh, kemeja berwarna paduan hijau dan coklat yang terlihat 'biasa' itu benar-benar cocok terpasang di tubuhnya.

"Ma-maaf… Aku tidak tahu… Err… fashion sense-ku…" Refleks kedua telunjuknya beradu. Momoi menebar senyum kemudian menarik pergelangan tangan sang brunette, mengajaknya ikut melangkah riang.

"Itu bukan masalah! Ayo, kita pergi memburu referensi! Yaaay!"

.

.

Seperti yang diharapkan dari hari libur. Taman, café-café, tempat rekreasi, bahkan jalan raya sekalipun dipenuhi oleh para pasangan yang tengah berkencan. Wajar, memang. Tapi ya… Walaupun ia sudah terbiasa menggambar adegan-adegan di shojo manga, tetap saja ia agak risih melihat pasangan yang bermesraan di tengah jalan.

Contohnya itu! Pemuda berperawakan tinggi besar dengan surai brunette, beralis tebal dan senantiasa memasang senyum (yang entah mengapa kelihatan bodoh) tengah merangkul mesra, sesekali cipika cipiki seseorang (yang Sakurai tebak, kekasihnya—walau tsundere) tanpa peduli orang-orang memelototinya. Entah dipelototi karena kelakuan mereka berdua manis atau bagaimana.

Afeksi di tengah publik—alias PDA. Hal biasa di shojo manga, tapi kalau melihat langsung begini rasanya beda...

Melangkah lagi, kali ini ia mendapati pasangan yang bermesraan di café. Suap-suapan—yah, biasanya memang suap-suapan kue, waffle, fruit parfait atau apa, tapi sop tahu? Kapan lagi. Tambahan: Berkencan dengan limousine? Kapan lagi?

Melihat-lihat lagi… Ajaib! Ini ada lagi pasangan yang malah gontok-gontokan dan tending-tendangan sepanjang jalan. Yang satu blonde—terlihat dari balik topi hitamnya. Tidak cuma topi hitam… Tapi juga kacamata hitam? Sementara pemuda yang lebih pendek darinya—bahasanya, uke—masih sibuk misuh-misuh sendiri, kakinya menolak berhenti menendang sang kekasih yang malang. Sakurai sweatdrop sendiri melihatnya.

Tidak berhenti di situ, ini ada lagi yang naik gerobak yang ditarik sepeda—kurang modal beli mobil atau ingin tampil ekstrim melawan mainstream? Masih sebuah misteri. Selama berbahagia sih tidak apa-apa, menurutnya pribadi.

Dan yang paling parah, ada pasangan yang sudah bergandengan tangan, berjalan (kelihatannya) mesra, tapi sang seme yang lebih tinggi dan berkepala klimis malah sibuk memberi gombalan pada cewek-cewek lain. Ah tunggu, pemuda bersurai brunette yang tadi pertama Sakurai lihat datang sambil marah-marah dan menggetok playboy klimis itu tanpa ampun. Memangnya dia siapa? Bapaknya? Kok di situ kadang Sakurai merasa sedih ya.

.

"Bagaimana, Sakurai-kun?" saat ia masih sibuk melihat-lihat sekitar, sang editor melirik kemudian tersenyum manis padanya. "Bagus 'kan, untuk refreshing. Melihat-lihat para couple di luar… Bisa untuk referensi mangamu."

"Iya…" Sementara sang brunette masih terpana—menjawab tanpa menoleh sederajatpun. "Ternyata banyak macam-macamnya ya… couple-couple itu…"

"Ehehe, memang. Karena itu aku menyarankanmu untuk mencari referensi di luar. Kurasa bagus untuk masa depan mangamu, pasti akan lebih baik lagi. Lagipula, Sakurai-kun… Tidak baik mengurung diri di rumah terus. Paru-parumu butuh udara segar."

"…Iya…"

Tapi rasanya, masih kurang. Ada sesuatu yang kurang.

Walau aku sudah melihat bermacam-macam pasangan di luar rumah, rasanya aku masih belum bisa merasakan perasaan heroine suatu manga. Mengapa?

Apa karena… Aku tidak pernah merasakan sesuatu yang disebut 'romansa' ini setelah sekian lama? Apa itu sebabnya?

Jangankan pengalaman romansa, debaran kencang saja sudah lama sekali tidak kurasakan… Jadi tetap saja, aku tidak mengerti. Aku butuh hal itu untuk memperdalam kesan dalam manga-ku. Ya, aku butuh itu…

...

...

Entah apakah ini keusilan takdir belaka atau apa, yang jelas aku tidak tahu—dengan bodohnya aku tersandung pinggiran conblock yang tidak rata , dan saat kusadari aku sudah terjatuh ke dada seseorang. Aaah! Aku benar-benar ceroboh!

"Ups…"

Dengan tangan tan-nya yang kekar, ia menahan tubuhku agar tidak oleng. Begitu aku mencoba mendongakkan wajahku untuk memandang wajahnya… Diriku terkesima.

"Kau tidak apa-apa?" Suara bariton itu terasa menggema, mengetuk pendengarannya. Rasanya mati rasa, indranya tak merasakan apa-apa lagi. Sampai kembali, suara itu menariknya dari dunia kecilnya yang sunyi.

"Bisa bangun, 'kan? Kurasa kau tidak terluka. Makanya hati-hati."

"I... Iya... Maafkan aku..."

Aku hanya bisa mengangguk, menjawab sekedarnya. Sekedar yang pita suara ini dapat keluarkan.

"Bagus kalau begitu." Pemuda berkulit tan dan berseragam polisi itu tersenyum. "Duh, kalau jalan hati-hati, ya. Di sekitar sini conblocknya memang belum diratakan sejak gempa waktu itu, jadi sering menyandung seseorang. Hampir saja—bisa-bisa kau jatuh ke jalan raya, bahaya."

Senyuman yang hangat, mirip dengan bunga matahari—segera menyelimutiku pada detik ini juga.

Saat itu baru pertengahan bulan Maret, namun kelopak-kelopak bunga Sakura mulai bermekaran lebih cepat dari biasanya. Angin musim semi yang hangat berhembus, mengelus lembut helai brunettenya, membiarkan daun-daun menari di udara.

Musim semi… Sudah tiba.

Bersamaan dengan deru angin yang menghempaskan kelopak Sakura menuju langit kebiruan, debaran asing mulai muncul menyerang jantungnya. Dunia yang monokrom mulai terisi warna, cahaya matahari terasa lebih berkilau dari biasanya, entah mengapa rasanya sesak sekali untuk bernafas.

Rasanya seperti… Tertarik masuk dalam dunia shojo manga.

.

.

.


A/N

Konnichiwa, kiyoha de~su~ *kaburdarireaders* yaaah, akhirnya bukannya ngelanjutin yang lain malah bikin ini, hahaha. Soalnya ada janji, sih ^^; Tadinya juga mau dibikin oneshot tapi nggak seru ah kalo oneshot~ ya kan? ya kan? ya.../digebuk

Happy AoSaku Day, everyone! Walau fic ini dipublish telat sehari sih hehehe. Tapi entah dibelahan dunia mana kayaknya masih tanggal 9 deh. Ya kan? ya kan? ya.../digebuklagi/ kali ini pakai tema AU deh, bosen kalau canon mulu www tapi AUnya pun Police!Mine sama Mangaka!Ryou jadi masih berhubungan sama kurobasunya, ya :3 Btw, ada yang bisa tebak pair-pair apa aja yang nongol bentar di atas? xD

Oke tidak perlu lama-lama a/n nya, maukah meninggalkan jejak? :3

kiyoha


.

.

.

"Dai-chan!"

Sakurai menoleh ke belakang, begitu juga dengan pemuda tinggi di sebelahnya. Momoi Satsuki, memanggil seseorang dengan panggilan 'Dai-chan'. Siapa? Apakah jangan-jangan...

"Ck. Satsuki. Ternyata kau, toh." Benar saja, pemuda berseragam polisi itu berdiri dan menghampiri Momoi yang sekarang menggembungkan pipinya. "Hei Satsuki, kalau kau bawa teman dijaga, dong. Hampir saja ia jatuh, kan. Untung aku ada di dekat sini."

"Mou~ Iya, iya."

Sakurai masih saja bengong melihat kedua orang di hadapannya. Eh? Eh? Jangan bilang... Mereka itu kenalan? Teman? Tapi memanggil dengan nama kecil... Jadi sahabat? Otaknya serasa berputar-putar hanya dengan menganalisis hubungan kedua insan di hadapannya. Menyadari itu, Momoi beralih padanya dan mengenalkan sang polisi,

"Sakurai-kun, ini teman masa kecilku Dai-chan. Err... Namanya Aomine Daiki. Pekerjaannya polisi baru. Ya 'kan, Dai-chan~?"

Aomine mencubit pelan pipi Momoi, membuat gadis manis itu mengerang pelan. "Jangan bilang aku 'polisi baru', Satsuki! Bagus 'kan aku bisa meraih tujuanku. Dasar."

"Ung~ Jangan mencubitku, Dai-chan! Nah, sekarang aku akan mengenalkan dia."

Tiba-tiba Momoi-san menunjukku. Yah, memang kalau berkenalan harus dua sisi, 'kan? Aku menunduk sopan kepada Aomine-san.

"Namanya Sakurai. Sakurai Ryou. Dia mangaka yang kutangani, lho! Dai-chan, waktu itu kau tidak percaya aku menangani dia, 'kan? Begini-begini aku 'kan seorang editor!" Momoi berseru manga. Aomine melongo.

"Ja-jangan bilang... Dia ini Sakurako Riou?" tanyanya, seakan tidak percaya. Sakurai mengangguk pelan. Aomine kontan berteriak tak percaya. Sakurai kebingungan.

"Ehehehe, begini nih ya, Sakurai-kun." Mendadak Momoi memotong teriakan Aomine dan tersenyum manis dengan satu telunjuk di pipinya. "Dai-chan ini, sebenarnya penyuka shojo manga juga lho, dari kita masih kecil, ia selalu membacanya bersamaku~ Oh iya, ditambah lagi, Dai-chan menyukai manga-manga buatan Sakurako Riou, lho~" jelasnya ceria. Aomine menggaruk pipinya yang tidak gatal. Giliran Sakurai yang melongo.

Eh?

Dia menyukai manga buatan Sakurako Riou... Berarti manga buatanku?

Eh?

EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEHHHHHHH?!

.

Terkadang, takdir bisa keterlaluan usilnya. Siapa yang bisa tebak... Kalau hari ini dia akan bertemu dengan seseorang yang spesial?

.

.

.

TBC?


A/N

ikuti terus, ya! :3/