Sebelum membaca part ini. Saya sarankan untuk menyiapakan hati. Bagi anda yang tidak terbiasa dengan bahasa kasar dan vulgar, sebelum terkena iritasi mata maka lebih baik menekan tombol back.

Dan bagi pembaca dibawah 17 tahun dilarang keras untuk membacanya. Saya sudah memperingatkan di awal ya, jadi jangan salahkan saya atas kewajiban moral yang kadang ditodongkan pada author.

Sebab yang bisa membentengi diri hanyalah diri orang itu sendiri. Okey?

Baiklah~

Segala apresiasi baik itu komplain, koncrit, atau uneg-uneg anda saya tampung pada kolom review. Hehehe.. terimakasih atas perhatian dan juga kerjasamanya.

Mohon maaf jika tidak sesuai ekspektasi. Saya bukan bermaksud PHP.

Jadi saya tak menjanjikan sequel.

Salam kecup-bung.

Muwwwaaaaah~

Poochan.

...

..

.

Gaara melihat gadis itu yang berjalan dengan pikiran kosong. Siapapun yang membuat gadis manis seperti dirinya begitu tenggelam dalam tekanan ia merasa marah.

Kemarahan yang aneh. Dia merasa emosi hanya karena gusar siapa yang bisa membuat Hyuuga jelita itu begitu stress. Tangan Gaara mengepal karena melihat gadis itu berhenti dengan ragu-ragu menatap kedai sake.

Apakah Hinata akan masuk ke kedai itu dan meneguk satu atau dua cawan?

Ah.. rupanya, Hinata masih tak setega itu. Gadis itu justru berlalu. Masih Hinata Hyuuga yang memilih untuk bertahan dengan tekanan tanpa sekalipun menyalurkan kemarahannya.

Kalau Gaara yang berada di posisinya. Ia akan marah pada Sakura dan Naruto karena dengan teganya masih mengirimkan undangan meski tahu bagaimana perasaan gadis itu.

Ia akan marah pada klan yang memaksanya untuk menikah dan pergi dari desa.

Tapi Gaara masihlah Gaara. Dan ia bersyukur karena ia terlahir seperti itu. Hinata tentu memiliki banyak cinta karena terlahir dengan tekanan dari banyak pihak. Dan menurut laporan dari mata-mata yang dikirimkan padanya, gadis itu punya pengendalian emosi yang begitu sempurna. Manner dan atitude-nya benar-benar nyaris tak bercela. Dengan kata lain yang mudah dimengerti sebagai, pribadi yang gampang tersentuh dan memaafkan. Berita bagus sebagai pasangan Kazekage.

Jadi Gaara menuju kedai sake dengan perasaan riang lalu membawa tiga botol sake dengan dibungkus tas karton berwarna coklat karamel seperti pasir yang disukainya.

Gaara akan berpura-pura untuk bertemu di jalan. Lalu menghadiahkan benda itu sebagai sogokan. Rencana sempurna.

Kadang maksud baik tidak harus dikatakan kan. Jika Hinata tidak berani membeli sake, maka sebagai calon tunangan berkompeten ia akan menghadiahkan benda itu. Gaara diam-diam memuji betapa ia bisa memahami perasaan Hinata.

.

.


The Missing Nights

(Malam yang Hilang)

.

(twooshot)

.

Original story by Poochan

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: Typos, gaje, abal. MAINDSTREAM

SasuHinaGaa

Romance/Drama

Semi canon(?)/ Alternative Universe

Rate M

.

.

DLDR.

-Second fragment -

(*The Missing Nights)

*Malam yang hilang

.

.

*Be nice. I'm just newbie..

If you statisfied just push the review..

Or you feel unstatisfied just tell me the review coloum too.. :)

I'll learning..

.

.


Enjoy minna~

...

..

.

"Ada saatnya manusia melepas topengnya. Bersikap egoislah Hinata. Maka kau akan bahagia."

Hinata mendongak demi melihat seseorang yang duduk diatas batang pohon yang tampak gelap kala senja itu.

Pria itu meloncat turun. Jatuh dengan gerakan anggun yang lincah dan juga mengesankan. Tambang ungu dan rambutnya yang mencuat berdesir ketika angin sepoi menerpanya. Hinata tahu seseorang inilah yang membuat arah hati Sakura berubah menuju Naruto.

Tanpa sadar Hinata mundur ke belakang dengan tangan terkepal di samping tubuhnya. Dan cengkraman erat tali tas hadiah dari Gaara tadi sore.

"Kau takut?"

Hinata ragu-ragu menggeleng.

"Tak kusangka kau perempuan semacam itu." Tuduh Sasuke.

"A-apa maksudmu, U-Uchiha-san?" Hinata begitu emosi sekaligus bingung.

Sasuke menyeringai jahat, seolah menuduh hinata dengan dengusannya. "Menggoda Kazekage."

Wajah Hinata merah padam. Bukan karena malu tapi lebih karena begitu marah akan tuduhan tak berdasar dari seorang mantan missing nin.

"Kenapa? tebakanku benar?"

Hinata menarik napas. Lalu memberikan senyuman, "T-tidak ba-baik berprasangka bu-buruk seperti i-itu Uchiha-san.."

"Sake yang diberikan Gaara tentu adalah sebuah kode."

Hinata nyaris tertawa terhadap keingintahuan Sasuke Uchiha ini. Tapi itu sama sekali bukan tindakan yang sopan. "Sama se-sekali bukan begitu. I-ini hanya u-capan terimakasih ka-karena sa-saya tidak membocorkan rahasianya." Hinata mencoba menjelaskan.

"Dan kau percaya begitu saja?" ada nada menghina di nada suara Sasuke.

Hinata mengernyit bingung,

"Dungu."

"Eh?!" Hinata tak menyangka jika Sasuke akan menghinanya terang-terangan.

"Kau akan selalu terperosok pada lubang yang sama."

Hinata mengerjapkan matanya. Ia nyaris memekik saat Uchiha Sasuke mendekat dengan kecepatan yang tak mampu dilihat matanya.

"Menjadi Fans-nya juunchiriki."

"Itu tidak benar!" Sangkal Hinata.

Sasuke terkekeh, menertawai takdir Hinata, "Ya.. ya.. bermimpilah. Atau habiskan saja sakenya agar kau bisa melihat dunia yang sesungguhnya. Buka matamu lebar-lebar supaya kau sadar. Nasibmu tidak jauh lebih baik dariku, Hyuuga.."

"Mabuk bukan tindakan yang rasional." Hinata menggeleng.

"In vino caritas. Dalam anggur ada kebenaran."

"K-kau terlalu banyak membaca Uchiha-san."

"Ckck.. Jika kau mampu mendebatku seharusnya kau gunakan tenagamu untuk mendebat Ayahmu."

Hinata merengut. Uchiha Sasuke memang berengsek. Tapi mendengarnya berbicara selama setengah jam adalah rekor baru untuknya. Sialnya lelaki itu tampan.

Tampan yang berengsek.

Kombinasi sempurna.

Entah untuk menyelamatkan egonya atau memang ingin meminumnya, Hinata lalu duduk di atas rumput, terlindung dalam bayangan pohon dan sasuke. Kemudian ia mengeluarkan tiga botol sake pemberian Gaara dan menatap ketiga botol itu ragu-ragu.

"H-hei.."

Sasuke menoleh dalam gerakan slow motion yang hanya menampakkan satu sisi wajahnya yang memang rupawan.

"Ma-mau?" Hinata menunjuk tiga botol dengan dagunya.

Sasuke menyeringai angkuh, dan mendengus geli di waktu yang sama. "Kurasa aku juga butuh meminumnya."

***i'm newbie***

..

.

*Sasuke pov.

Dan segalanya meluncur dengan cepat, terkendali, penuh euforia. Meminum sake persis seperti main perosotan. Kita tidak tahu kapan kita akan berhenti pada titik yang disebut sebagai bosan dan berhenti. Karena ketika cawan pertama diteguk maka tanpa sadar otak akan mengirimkan sinyal berupa kata 'coba lagi'.

Kau tahu apa yang paling menyenangkan dari pancinganku kali ini?

Hinata.

Seorang Hyuuga terlemah yang terlalu baik hati. Aku lebih suka memanggilnya sebagai si kecil. Paling kecil di angkatan kami, dan paling kecil nyalinya.

Dia kelihatan lucu. Wajahnya yang tembem memerah. Anehnya aku justru melihat kesempatan datang terbuka lebar.

Kau perlu tahu rahasia kecil yang kusembunyikan dengan rapi di balik wajah stoikku.

Sebetulnya Hinata adalah tipe terbaik saat kau memimpikan sesuatu yang panas, dan basah. Dia terlihat begitu lembut, hangat dan menyenangkan. Pertimbangkan juga lekuk tubuhnya.

Hei..

Biar bagaimanapun aku normal. Dan bukan rahasia jika hinata punya body aduhai, dan oppai yang besar.

Jangan berlagak sok suci dengan mengatai aku mesum. Kita bicara fakta oke.

Kau kira bagaimana seorang Hyuuga bisa menarik perhatianku ha?

Kalau cantik sebutlah Ino. Kalau mau pintar sebutlah Sakura. Yang lincah? Teman Rock Lee si Tenten bisa dipertimbangkan. Tapi yang bisa memuaskan jika dipandang tentu Hinata yang menjadi kandidat utama.

Selain lebih mudah mengurus gadis yang penurut aku yakin jika Hinata sama sekali belum buka segel. Masih original, bahkan beserta kartu garansi.

Hyuuga itu kolot. Dan aku bersyukur mereka justru menurunkan yang terbaik dengan kelemahan yang menyertainya.

Hahahaa..

Katakanlah aku bajingan.

Jika Hinata setara dengan Neji, bisa dipastikan baik Naruto ataupun aku akan terdepak dalam persaingan. Bagaimana orang jenius akan memilih Naruto? Atau bagaimana orang yang teguh berpendirian seperti Neji mau saja kubodohi dengan sebuah jargon dari negeri asing?

Memiliki Hinata dengan segala aset keindahan serta bonus bahwa ia mudah untuk dikendalikan adalah setiap impian lelaki.

Aku yakin Hinata bisa memuaskan.

Jika ingin meraih simpati, sedikit pancingan akan membuahkan hasil. Bahkan informasi begitu lancar dikemukakan oleh Hinata tanpa sadar.

"Berarti kau akan menikahi Kazekage?" aku memulai percakapan, dongkol sendiri karena otak jeniusku merangkai semua cerita yang dibeberkan oleh mulut manisnya yang ingin segera kuhabisi.

"Hmm.." Hinata bergumam, "Tidak akan sulit beradaptasi dengan pria yang kesepian." ujarnya bangga.

"Tch!" Aku berdecih. Dia dan kepercayaan diri yang sebetulnya hanya semu. Aku tahu betapa kecil nyali si Hyuuga ini. Sedikit gertakan dan ia akan mencicit seperti tikus yang akan dimangsa harimau.

Sial.

Kazekage punya mata yang jeli melihat permata dari Konoha.

"Kau juga kesepian, ingat itu." Aku menyeringai mencemooh pemilihan kata arogannya itu.

Hinata itu adalah kelinci buruan, dan aku pastikan lelaki manapun bisa menyantapnya setelah aku.

Tapi aku mendadak menjadi cemburu buta dengan pilihan kata 'lelaki manapun setelah aku'.

Ya, barang yang bagus memang tidak untuk dibagi-bagikan. Akan lebih masuk akal jika aku memilikinya sendiri.

Ah..

Lihatlah matanya yang memohon untuk dijamah itu?

Dia kesepian kan?

Aku pasti bisa memuaskannya. Aku jamin itu. Sebagai pria sejati aku tahu di mana cara memanjakan perempuan.

Ayolah..

Hanya ninja bodoh yang marah-marah saja tanpa mendapat penyaluran. Aku lelaki sejati dengan kebutuhan biologis tinggi.

"Oh!" Hinata pura-pura terkesiap. Matanya seolah merayuku untuk menerkam dia di sini, bahkan di tempat terbuka dengan matahari yang masih mengintip saja aku bisa merasakan hawa panas tubuhnya. "Orang di Konoha sudah tahu siapa orang yang paling kesepian di desa ini." Hinata mengibaskan tangan, matanya melirikku.

Dia minta dihajar?

Atau minta tanganku memuaskannya ha?

Berani benar menggoda begitu!

Seringaiku terbit tanpa bisa ku kendalikan. Aku mendengus geli membayangkan ia terlentang di bawah kungkunganku, dengan helaian rambut yang telah bersatu dengan futon dan ia yang memohon padaku untuk dipuaskan ,

Sial!

Bangsat kau Hinata.

Membayangkanmu telanjang sudah mendidihkan gairahku.

Bahkan kau tidak tahu bahwa junior di bawah sana sudah meronta-ronta untuk tidak dikekang.

"Kau benar-benar menyebalkan kalau banyak bicara," Tanganku membelai rambutnya yang ternyata begitu lembut ditanganku.

Dan baunya-

Sial.

Wangi yang membuatmu merasa dia lezat untuk digigit.

Wangi buah strawberry menguar dari helaian rambutnya.

Dia bahkan tidak sadar ketika aku terbuai dan mengambil sejumput rambutnya yang terurai lalu mengendusnya.

Hinata mengangguk-anggukan kepalanya. Ia bereaksi lambat atas pernyataanku soal dia yang menyebalkan jika banyak bicara. Bagaimanapun orang mabuk itu kecerdasannya lebih rendah dari orang yang waras.

"Juga lebih cute kan?" ujarnya sambil menusuk pinggangku dengan jermarinya yang mungil.

Oh..

Dia suka cara keras rupanya. Aku menangkup tangannya. Mencekalnya untuk mencegah dia berbuat seenaknya.

Di manapun kekuatannya tidak akan pernah setara dariku.

Tapi rupanya dia memberiku kejutan dengan menendang selangkanganku. Untung saja di saat terakhir aku mampu membaca dengan baik dan menggantikan diriku sendiri dengan bunshin.

Sial.

Aku baru tahu dia liar dan menggemaskan disaat yang sama.

"Yang benar saja, ckck.." Aku berdecak jengah. Merasa tertantang dengan perbuatannya.

Brengsek Hyuuga ini.

Hinata Hyuuga tertawa, tawa yang sanggup memberikan virus menular padaku. Membuat pria stoic aku diliputi kebahagiaan yang absurd lalu ikut tersenyum kecil.

Aku sendiri merasa aneh dengan skinship yang terasa nyaman?

Ada yang berdetak lebih cepat di dalam rongga dadaku. Aku memegangi dada dan merasakannya. Anehnya itu tidak sakit sama sekali, justru membuat adrenalinku naik. Ada secuil rasa bahagia dan juga malu. Sesuatu yang sangat bukan Uchiha.

Ini aneh.

Tapi nyaman.

Kupikir bersenang-senang dengan dia tidak akan membuat bosan. Bahkan jika itu berarti seumur hidup.

Lucunya aku merasa Hinata memang potongan puzzle yang disembunyikan dariku hingga saat-saat terakhir. Melengkapiku dengan cara tak terduga dan tak pernah kusangka. Aku hanya lelaki berengsek yang merasa bersyukur dipertemukan dengan Hinata yang mabuk lalu mencoba bersikap egois dengan menjadikannya milikku.

"Kita terlihat cocok. Mungkin akan menyenangkan jika kita bersama." Aku dan bualanku. Tentu saja ini gombalan, teman..

Bukankah wanita suka di-gombali?

Keparat.

Apa yang baru saja kukatakan, ha?

Kata itu terdengar seperti perhalusan dari kalimat, 'menikahlah denganku,'

"Ugh." Hinata berakting seolah sakit hati dengan berpose memegang dadanya. "Apakah itu sebuah lamaran Sasuke?" Hinata memiringkan kepalanya dan memandangku aneh. Matanya yang besar berkedip-kedip.

Sialan si Hyuuga itu.

Aku hanya menahan dongkol yang tiba-tiba katena dia begitu berani-beraninya merusak momen romantis. Aku mengepalkan tangan. Berusaha sebisa mungkin tidak menarik kusanagi dari dalam pelindungnya. Hahaha.. Mungkin sesuatu yang di dalam sana yang butuh pelindung.

Sial si Hyuuga! Bagaimana mungkin aku, Uchiha Sasuke-akan mengakui hal yang memalukan semacam itu. Pikir saja dengan otak.

"Bagaimana dengan cincin?" Aku tiba-tiba mengingat sesuatu yang mungkin penting bagi wanita. Sejujurnya ini adalah penawaran paling murah hati yang berasal langsung dati mulutku sebelum si kecil ini bertingkah menyebalkan dengan merengek minta simbol.

Hinata merona, mengerling dengan manja "Kau melamarku, Sasuke-kun?" nada bicaranya merajuk. Ada kesan menggoda yang membuatku serta merta terkekeh.

Demi Kamisama!

Enyahkan cengiran tolol itu dari kepala kalian.

Aku berdehem, sekedar melonggarkan tenggorokan dan menyembunyikan rona merah yang kututupi dengan tangan yang mengepal di depan mulut. "Anggap saja begitu."

Sejujurnya untuk apa pula aku harus menutupinya. Toh tak ada seorang pun diantara kami sekarang. Lagipula apa yang bisa dia ingat setelah semua ini terjadi?

Hinata menggeleng. Gadis itu cemberut, lalu menelengkan kepalanya ke samping sambil menggoyangkan jemari telunjuknya di depan wajahnya sendiri, "Tidak-tidak. Aku tidak mau lamaran yang seperti itu, Sasuke-kun. Bukan begitu cara melamar perempuan."

Aku menahan geramanku. Menarik tubuhnya hingga badan kami berhimpitan. Yang sialanya menjadi senjata makan tuan untukku. Dia lebih dasyat jika dilihat lebih dekat. Dengan bibir merona yang menghipnotisku untuk mencium. Tapi tidak! Aku tidak akan membuatnya mudah. Selalu ada yang menarik dalam permainan kucing-kucingan, kan.

Tanpa sadar hidung kami bersentuhan. Ada banyak udara yang kami bagi bersama, "Lalu bagaimana cara yang benar, ha?"

Dengan jarak yang tak ada seujung kuku aku membiasakan diri untuk larut dalam pesonanya, namun berusaha untuk tidak jatuh dan menerjangnya ke tanah.

Bangsat! Ini bahkan masih di pinggiran hutan. Apa yang bisa kupikir lebih nyaman daripada berbaring di rerumputan jika ada banyak kamar yang menanti untuk kami singgahi.

Entah mengapa Hinata yang berbeda menularkan aura yang berbeda juga. Seolah ia bebas memiliki takdirnya sendiri, yang bukan dari seorang mangaka hebat seperti Kishimoto. Hinata terkikik, ia berjalan beberapa langkah dengan sempoyongan. Dam tanganku dengan sigap menopangnya. Dia dalam dekapanku.

"Harusnya kau menyiapkan sebuah cincin cantik, lalu berlutut dan memohon kepadaku untuk bersedia kau nikahi."

Wah.. wah. Benar-benar si Hyuuga ini. Sangat luar biasa berbeda dari biasanya. Apakah ini berarti semua perkiraanku bisa bergeser? Bisa juga ia ternyata suka pelepasan yang menantang. Seperti dengan cambuk misalnya.

Jujur saja, membayangkan saja membuat milikku berdenyut-denyut nyeri.

Lihat betapa hebatnya tiga botol sake dan satu kalimat kunci yang menjungkir balikkan semuanya.

Siapa sangka, jika kata in vino caritas bisa memancing sisi yang sangat bertolak belakang dari Hinata Hyuuga yang biasanya kalem, care, dan juga lovable menjadi agresif, arogan dan hate-able dengan rencananya membalas undangan Sakura. Bukankah seharusnya agresif, arogan dan hate-able itu hanya bisa menjadi bagian dariku? Aku bertanya-tanya dalam hati.

Tapi Sasuke justru mengangkat Hinata dalam gendongannya dan secepat yang mampu diingat Hinata. Mata mereka bertatapan. Ada kehangatan yang mengaliri hati keduanya.

Dengan tergesa aku membawa tubuh gadis itu berlompatan di udara. Membuat wewangian Hinata menguar sempurna. Membuat jantungku berdegup liar. Dan pipinya yang panas bersentuhan dengan dada telanjangku.

Apakah ia mendengarnya?

Semua eforia yang berdenyut dalam setiap hentakan jantungku.

Kami tiba di kediaman utama Uchiha. Aku menendang pintu hingga terbuka dan meletakkan Hinata di lantai kayu.

Hinata cemberut, matanya menyipit.

"Tidak ada cincin tidak ada pernikahan!" Ancamnya.

Tch!

Hanya cincin kan? Itu hal yang kecil bagiku. "Akan kuberikan!" Aku mendengis kesal.

Dia tersenyum manis hingga aku merasa geli sendiri, sepertinya itu bukan tanda yang bagus. "Kau harus membuatku jadi pengantin yang cantik. Bajuku jelek."

Kuso! Belum apa-apa dia sudah mengajukan syarat. Baiklah aku tahu apa yang ada di kepala mungilnya. Ia ingin kimono pernikahan.

Yang benar saja! Dia pikir aku mau masuk ke toko pakaian perempuan?!

Ckckck..

Tunggu!

Kelihatannya akan menarik jika ia memiliki satu setel dalaman yang menggoda untuk malam pernikahan kami.

Dan itu harus dicatat secara resmi.

Itu hal kecil. Aku bisa membagi tubuhku untuk banyak tugas.

Boft-boft-boft.

Apa aku terlihat seperti Si Baka Dobe, uh?!

Persetan!

Ada kebutuhan yang mendesak yang lebih penting daripada menelaah caraku mengatasinya.

Biarkan kalian melihat apa yang terjadi kemudian.

***i'm newbie***

...

..

.

Jika kebohongan ini bisa mengikatmu selamanya, maka aku akan mengenyahkan semua kenyataan yang ada.

"Ini indah." Hinata tampak memukau dengan kimono hitam sutra dengan sulaman perak. Ia tampak berputar, seolah belum percaya bahwa aku ternyata bisa mengabulkan permintaannya.

Hah, bukankah itu hal sepele bagi ninja sekelas aku, ha?

Dia memelukku lalu mencium pipiku sekilas, kemudian ia melihat ke arah jari manisnya dan tersenyum bahagia. "Terimakasih." Bisiknya dengan intonasi seduktif yang sudah membuatku makin panas-dingin.

Aku terkekeh, agak aneh diperlakukan seperti seorang kekasih.

Kekasih eh-?

Lihat siapa yang benar-benar mabuk sekarang.

Hinata menjilat pipiku. Sialan. Dia sudah berani nakal ternyata-

Hinata nakal?

Benar-benar suatu anomali.

Segala hal menjadi tidak masuk diakal. Apa yang nyata dan ilusi bercampur baur jadi satu.

Tapi ada satu hal yang kami percayai, bahwa ini adalah keputusan terbaik yang kami miliki. Hal yang lain, hambatan yang kelak akan terjadi akan dipikirkan nanti setelah ini.

Membayangkan betapa keributan yang akan terjadi setelah ini justru membuat seringaiku terbit. Aku justru bahagia melihat kekacauan yang kutimbulkan.

Tentu saja aku telah mendengar bahwa Kazekage telah melakukan lamaran resmi beberapa waktu yang lalu.

Kabar ini kudengar ketika membayar kimono Hinata dan juga cincin berlian yang kini ada di jari manisnya.

Mengukuhkan keberadaanku. Bahwa aku adalah pejantannya. Lelakinya.

Bagiku simbol adalah suatu bukti otentik. Meski aku tetap saja tak bisa menjadi romantis dengan berlutut dihadapannya dan memberikan cincin sebagai persembahan. Setidaknya aku telah mencatatkan diri sebagai suami untuknya.

Tentu saja dengan beberapa ilusi agar semua cepat selesai.

Sedikit banyak sudut hatiku gusar dengan kebahagiaan yang terasa sudah menapak dengan satu kaki, tapi satu kaki lain terbelenggu oleh realita.

Hinata sedang tidak sadar sekarang. Dan dia tunangan Kazekage. Berita bagus dan sekaligus buruknya dalam satu paket.

Hinata bergelung di dada Sasuke dengan memakai sebuah kimono sutra hitam dengan ornamen lily perak.

"Aku bahagia." Hinata berbisik, tangannya membuat pola-pola lingkaran di dada telanjangku yang tidak tertutup kimono putihku dengan sempurna. Tanganku lebih cepat bereaksi dengan mengelus rambut lembut surai Hinata mengirimkan sejuta getaran asing yang anehnya terasa nyaman.

Dia dalam dekapanku, di atas futon kamarku yang biasanya sepi dan juga dingin telah mengubahnya menjadi bergairah dan juga panas.

Bahkan disaat kami masih berpakaian pun ada suatu perasaan primitif yang begitu mendesak. Menari-nari dalam benak kami sebagai sejoli yang dimabuk asmara. Hinata dengan segala euforia singkatnya, dan aku bersama angan semu yang tiba-tiba menjelma menjadi yang nyata.

Sang iblis tersenyum angkuh ketika kami tak dapat membendung luapan hasrat. Semua batasan yang dulu bahkan tak pernah singgah dalam kepalaku tiba-tiba saja tersingkap. Aku menginginkan dia sekarang!

Bukan jarak yang mampu dikukur logika, ketika bibirku menyambar bibir sewarna delima milik Hinata.

Decak, cecap, lumat.

Tak pernah ada frasa dan kata yang tepat mewakili keintiman kami. Segala hal lembut yang berada di atas kulit Hinata bahkan menjadi bagian yang telah kujamah dan kutelisik.

Hanya ketelanjangan. Membran bertemu membran sebelum suara ketukan memporak-porandakan segala mood baik yang sudah kupupuk dengan baik dan membuat Hinata dimabuk asmara itu.

'Dok. Dok. Dok.'

Sialan!

Keparat!

Siapapun orangnya, enyah saja ke neraka!

Aku mengumpat dalam hati disela ciumanku kala menikmati pundak telanjang istriku.

Dok. Dok. Dok.

Aku menggeram jengkel. Bersiaplah menerima amukanku. Dengan tubuh setengah terpaksa aku menyeret kakiku membuka pintu shoji. Membiarkan Hinata yang nyaris telanjang berada di atas futon. Pakaiannya berantakan. Beberapa tempat tersingkap secara dramatis. Dia luar biasa sexy.

Damn!

Binal. Menggairahkan dan aku tak tega meninggalkan hidangan seperti Hinata terbengkalai.

Tapi chakra Naruto mendekat. Dan aku suka memberinya kejutan.

Sraaakkkk-

"Tem-" kata-katanya terhenti saat matanya menangkap sesosok manusia lain dalam kamarku.

Seseorang dengan rambut Indigo yang tengah meraih selimut untuk menutupi badannya.

"Enyahlah kau Naruto. Ck! Kau mengganggu!"

Manusia bodoh itu terhuyung ke belakang. Aku sadar telah memberinya shock terapi. Dan sudah saatnya aku membuktikan klaimku kepada Hinata.

Jadi tanpa menutup pintu aku berjalan lagi ke futon. Meraih kepala Hinata dan menenggelamkannya dalam ciuman panas.

Haha..

Lihatlah, muka terkejut Naruto saat ia dengan terburu-buru menutup pintu. Dan lari tunggang langgang keluar dari kediamanku.

Saat ciuman itu berhenti, aku merasa kehilangan. Begitu juga dengan dia. Karena tangannya yang terulur meremas dadaku. Gerakkannya membuatku tersengat. Hampir saja aku kehilangan kendali dengan menerjangnya. Tapi kenyataan bahwa ini akan menjadi pertama untuknya membuatku lebih berhati-hati.

Aku menarik benang yang tersisa. Mencampakkannya ke sudut ruangan. Membiarkan diriku sendiri dalam keterpukauan indahnya tubuh telanjang istriku. Begitu mulus, sempurna. Dia bernapas dengan gerakan menggoda. Dadanya naik turun dengan teratur. Ada ritme yang membuat suasana menjadi intim.

Tanganku bergerak. Dari ujung jemari kaki, merangkak naik ke atas. Aku mengalirinya dengan aliran listrik kecil membuat dia bergetar di bawah telapak tanganku.

"Enggghh~"

Damn! Erangannya membuat bulu romaku berdiri. Dan juga junior yang sudah terkungkung bahkan sejak Hinata menenggak sakenya.

Sialan memang.

Kini datang lagi satu pengganggu. Rupanya Naruto begitu ember hingga membeberkan temuannya jika aku sedang bersama Hinata. Dan Sakura seperti piranha lapar yang memakan semua omongan Naruto mentah-mentah. Aku tahu Sakura mengintip.

Aku mendekatkan bibirku ke telinga Hinata lalu meniupnya ringan Hingga Hinata terkikik geli.

Dan tawa bahagia yang seperti gema lonceng itu membuatku bangga. Bangga akan kenyataan bahwa aku pria yang sanggup menghadiahkan apapun pada kekasihnya.

Kebahagiaan adalah hal pertama yang kuberi sebagai jaminan sebagai istriku.

"Kau cantik." Aku mengecup pelipisnya. Tak jauh dari telinga.

Dia tertawa bahagia.

"Sakura mengintip." Aku membisikinya.

Justru tawa Hinata berderai. Mengisi kekosongan ruangan ini dengan kebahagiaan.

Lalu ia mengacungkan jari tengah ke arah pintu. Tentu saja dengan tanpa sadar. Hinata yang waras akan sangat malu jika orang tahu ia memperlihatkan punggung telanjangnya yang indah.

Dan aku mendengar suara langkah kaki yang menjauh dari pintu.

Setidaknya ada dua orang yang akan mendapatkan pencerahan. Naruto dan Sakura. Pasangan sempurna. Hahaha..

Jadi aku melanjutkan apa yang tertunda. Menatap mata istriku dengan tatapan memuja.

Ia begitu cantik. Dan kecantikan itu milikku. Milikku seorang yang bahkan Tuhanpun akan menyerahkannya padaku.

Bibirku mendekat. Menyambut bibirnya yang membuatku gila. Melumatnya dalam gairah yang sama besar dengan keinginanku untuk memilikinya.

Dia bernapas tersengal di bawahku. Memandangku dengan tatapan berkabut yang penuh akan gairah.

Dan aku bukan lelaki bodoh yang akan membiarkan ia tersiksa lebih lama.

Aku dengan sigap melepas semua yang melekat di tubuhku. Bahkan jika itu status lajang yang telah berganti berjam-jam lalu akibat pengaruh genjutsuku pada petugas catatan sipil Konoha hingga membuat pria itu menuliskan namaku dan nama Hinata dalam akta pernikahan.

Aku memberinya stimulus saat mulutku menemukan mainan. Puncak payudaranya begitu menggoda untuk dikulum. Dan jemariku yang menyingkap celana dalam berenda dan merobeknya dalam sekali sentakan.

Dia memekik. Tapi pekikan kaget itu tergantikan dengan matanya yang terpejam saat telunjukku menemukan titik paling sensitif miliknya.

"Sasukeehhh~" dia mengerang.

Dan aku tak suka membuat di menunggu. Telunjukku masuk dalam liangnya hang sempit. Sementara ibu jariku memanjakan titik sensitif lain di mana klitorisnya berada.

Dia tersengal-sengal. Meraup udara dengan tersiksa saat kurasakan telunjukku tersedot ke dalam. Ada yang memijat jariku itu dengan buas. Dan gelombang panas yang kurasakan. Dia sudah dekat. Untuk mencapai orgasme pertamanya.

Dan dia menyebut namaku.

Itu adalah bagian paling hebat dalam sejarah hidupku.

...

Kau tahu bagian paling menakjubkan dalam hubungan suami istri ini?

Hinata masih perawan ketika aku memasukinya. Dia menitikan air mata dengan aku yang mengusapnya. Aku merasa begitu hebat dengan menjadi suaminya. Menjadi pertama sekaligus akhir. Dan menjadi bilangan-bilangan setelahnya.

Persetan dengan kenyataan apakah ia akan mengingatnya besok!

Aku ingin menjamahnya sekarang.

Dengan segala keliaran.

Segala hasrat menggebu-menggelora dan siap membakar Konoha dengan segala kenyataan bahwa kini,

Ada Uchiha baru dalam kehidupanku.

Uchiha Hinata.

...

I love you without knowing how, or when, or from where. I love you simply, without problem or pride: I love you in this way because I do not know any other way of loving but this, in which there is no I or you, so intimate that your hand upon my chest is my hand, so intimate that when I fall asleep your eyes close.'

*Pablo Neruda. 100 Love Sonets.*

****END****

.

.

A/n:

Uwapah ini?

Plisss jangan tampol saya.

Yang pasti saya tahu ini anti klimaks. Ya mo gimana lagi. Ini udah empat kali revisi trus mentok.

Ya daripada saya hutang gitu. Ngeganjel lok ditagihin terus.

Jadi penulis yang lagi kena wb itu nggak enak. Apalagi tipe penulis malas kaya saya #janganDisumpahin.

Ide mampet trus dikejar utang. Ulala deh pokoknya.

Yaudah deh.

Happy day aja.

Salam hangat dari poochan yang lagi frustasi.

Boleh minta coretannya ya (review)

Kikikikik..

Bye :)