halo teman teman sebangsa dan setanah air yang aku cintai dan kasihi.

aku bawa fanfic baru nih. sekaligus memperingati hari kartini dan hari bumi, meskipun gak ada hubungannya.

pengen banget baca komik yang romannya kayak gini :') tapi kayaknya gak ada.

yaudah temen temen sebangsa dan setanah air. sebelum baca mari kita nyanyikan indonesia raya untuk meningkatkan nasionalisme.

.

.

UNLOVABLE

Sakura Haruno

Kakashi Hatake

Romance

All characters are Masashi's. Story is Naomi's.

.

.

"Yang benar saja."

Kalimat itu terluncur begitu saja dari bibir Sakura Haruno ketika gadis itu membuka lokernya. Kaus olah raga yang seharusnya ia pakai pada jam pelajaran pertama ini sudah tidak berbentuk lagi sekarang. Salah satu lengannya hilang, dan bagian tengahnya berlubang sangat besar.

"Aku tidak bisa memakainya di musim dingin seperti ini." Keluhnya kesal, menarik kaus itu keluar dan membantingnya ke lantai. "Bahkan di musim panas sekalipun. Aku bisa menjadi bahan ejekan satu sekolah."

Sakura menghela nafasnya dengan kesal. Awal tahun ternyata tidak membuat kumpulan seniornya berhenti untuk mencari gara-gara. Terkadang ia bingung, apa yang sudah dilakukannya di masa lalu sampai-sampai orang-orang itu senang sekali mempermalukannya seperti ini.

Akaji adalah sekumpulan gadis yang terdiri dari lima orang gadis berambut non-hitam. Mereka berpikir kalau Sakura berusaha untuk 'menyaingi' mereka dengan mewarnai rambutnya menjadi merah jambu.

Dan Sakura menyesal telah mendaftar di sekolah ini karena ia tidak tahu kalau Akaji juga berada disini.

Sakura menatap sweater musim dingin yang ia kenakan, lalu tangannya meraih celana panjang yang terlipat rapi di dalam loker. Setelah mengunci lokernya, gadis itu segera berjalan menuju ruang ganti.

"ARGH!"

Sakura menjerit kesal ketika menyadari kalau celananya juga dirusak oleh senior-seniornya itu. Bagian kanannya digunting dari lutut kebawah dan sekarang ia tidak tahu harus memakai apa untuk olah raga pertamanya tahun ini. Benar-benar awal tahu yang tidak diharapkannya sama sekali.

Gadis itu tetap memakai celananya dan menggulungnya sampai selutut. Dengan begitu, tidak akan ada yang menyadari kalau celananya sudah digunting dengan memalukan. Semoga saja dengan celana cacat dan sweater seragamnya ini ia tidak dikenai detensi oleh guru olah raganya hari ini.

Kakinya melangkah keluar dari ruang ganti dan masuk ke dalam gedung olah raga. Sudah ada banyak orang disana dan beberapa orang memperhatikannya dengan tatapan aneh. Sakura menundukkan kepalanya, berharap agar helaian merah mudanya mampu menutupi wajahnya yang sekarang kian merona karena malu.

"Sakura!"

Sakura menolehkan kepalanya dan tersenyum kecil ke arah temannya. Ino Yamanaka berjalan ke tempatnya dengan alis berkerut sembari memperhatikan pakaian temannya yang aneh. Dengan cepat, tangannya terulur untuk menarik-narik sweater yang sedang Sakura kenakan.

"Hei, jangan ditarik-tarik!"

"Pakaianmu aneh, bodoh. Cepat ganti!" perintah Ino dengan kesal. "Dan apa-apaan dengan celanamu? Kenapa kau menggulungnya? Kau ingin memamerkan betis di awal tahun, hah?"

Sakura berdecak kecil, menundukkan kepalanya dengan malu. "Ini ulah mereka––"

"Akaji sialan. Tidak ada habisnya!"

Sakura terdiam mendengar celotehan Ino tentang senior-senior mereka itu. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Berani melawan sedikit saja, ia bisa didepak keluar dari sekolah ini dan menjadi gelandangan. Tinggal sebatang kara di kota besar memang menyiksanya, namun sudah tidak ada lagi hal yang bisa ia lakukan.

"Kau mau aku mengeluarkan mereka dari sekolah?" tanya Ino bersungguh-sungguh, iba melihat kondisi temannya itu.

Sakura menggeleng cepat. "Kalau kau melakukannya, mereka akan mengincarku di luar sekolah. Itu akan lebih buruk."

Ino membenarkan perkataan Sakura. Mereka memang tidak bisa apa-apa sekarang.

Suara ricuh yang tiba-tiba meredup menyadarkan Sakura dan Ino. Segera saja kedua gadis itu mengalihkan perhatian mereka dan berlari menuju ke tengah lapangan. Teman-teman mereka sudah berbaris dengan rapi, dan terlihat seorang pria jangkung di depan mereka sedang memegang sebuah papan.

"Berbaris membentuk lingkaran." Perintahnya pendek.

Sakura mendesis kesal. Kenapa harus membentuk lingkaran? Semua anak akan terlihat, dan itu akhirnya dia dengan pakaiannya yang aneh ini akan terlihat jelas oleh guru olah raga yang sepertinya menyeramkan itu. Dengan langkah berat, Sakura memindahkan tubuhnya untuk berbaris sejajar dan ikut membentuk lingkaran.

Guru itu memandangi murid-muridnya dengan tatapan menilai. Ia berjalan memutar dan sudah bisa ditebak, pandangannya berhenti kepada Sakura yang sedang berdiri dengan canggung. Ketika tatapan mereka bertemu, Sakura sontak saja menundukkan kepalanya, menghindari tatapan guru itu yang serasa menusuknya sampai belakang.

Sang guru mengalihkan tatapannya dan kembali berdiri di tengah-tengah lingkaran itu.

"Selamat pagi." Ujarnya dingin dan... malas. "Aku guru olah raga di sekolah ini. Aku mempunyai peraturan sendiri kalau kalian mengikuti kelasku."

Sakura memundurkan langkahnya dengan takut.

"Pertama," ia mengangkat kepalanya, memantulkan bola basket yang sedang ia pegang sesekali. "Gunakan seragam olah raga yang diperuntukkan sesuai dengan musim."

Sial, desis Sakura dalam hati.

"Kedua, untuk para siswi, aku tidak mau melihat rambut yang beterbangan dimana-mana saat kalian sedang mengikuti kelasku." Ujarnya, menujukan tatapannya satu persatu ke arah para siswi dengan rambut terurai bebas. "Dan yang terakhir, tidak ada penolakan terhadap peraturan yang sudah kubuat."

Sakura mencari-cari pita rambut yang tadi ia selipkan di celana olah raga.

Nihil.

Sang guru mengabsen muridnya satu persatu dan ia sempat menaikkan alisnya sedikit ketika Sakura mengangkat tangannya. Setelah mengabsen mereka sampai akhir, pria itu berjalan beberapa langkah hingga ia berhenti di depan Sakura.

"Kau," ujarnya, menatap Sakura tepat di manik mata. "Ikut aku."

Ino yang berada di depannya menatap Sakura dengan tatapan iba. Menurut kakak sepupunya yang pernah bersekolah disini, kau harus berhati-hati pada guru matematika kelas sebelas dan guru olah raga. Mereka bisa saja membuatmu mati berdiri karena tatapan dan perkataan mereka yang menusuk hati.

Sakura mengangguk pelan dan berjalan mengikuti guru itu. Bukan keinginannya untuk menjadi murid yang namanya dihapalkan oleh guru-guru karena ia bermasalah. Sekali lagi, dia tidak dapat berbuat apa-apa.

Guru tersebut membuka pintu ruang olah raga dan berhenti di depan ruang ganti.

"Kenapa kau tidak memakai baju olah raga?" tanyanya dingin.

Sakura menggigit bibirnya bingung. "Aku..." ujarnya, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Aku... meninggalkannya di atas tempat tidur.. Jadi aku––"

"Lain kali jangan mengulanginya. Kumaafkan karena ini hari pertamamu." Ujar guru itu, melipat kedua tangannya di depan dada. "Kenapa kau menggulung celanamu?"

"Anjingku menggigitnya.. sehingga celanaku robek." Jawab Sakura, lagi-lagi berbohong.

Guru itu mengerutkan keningnya. "Kau sedang berbohong."

"Tidak, sensei.."

Sakura tercekat pelan ketika gurunya tiba-tiba menarik gulungan celananya hingga terlepas ke bawah. Ia mundur beberapa langkah, menatap mata gurunya yang mengamati celananya yang digunting paksa itu.

"Polanya tidak terlihat seperti gigitan anjing." Ujarnya menyimpulkan, melipat kedua tangannya di depan dada. "Sudah mempunyai musuh di hari pertama, hah? Anak yang harus diawasi."

Sakura menundukkan kepalanya, tidak yakin harus menjawab apa.

"Tunggu disini."

Guru itu masuk ke dalam ruang ganti khusus guru dan keluar beberapa menit kemudian dengan sebuah seragam di tangannya. Ia membentangkan kaus dan celana panjang yang dibawanya dan mengamat-amati Sakura sebentar.

"Mungkin terlalu besar untukmu, tapi lebih baik dibandingkan seragammu itu." Ujarnya, memberikannya pada Sakura dan berbalik. "Waktumu lima menit untuk berganti pakaian."

"Sensei!" panggil Sakura pelan, menahan tangan gurunya.

Pria itu berbalik dan menatap Sakura dengan bingung. Matanya beralih dari wajah muridnya itu ke pergelangan tangannya yang sedang di tahan Sakura. Dengan canggung, Sakura melepaskan pegangan tangannya.

"Terimakasih." Ujarnya pelan.

.

.

Bel berdering dan suasana di dalam kelas sontak saja ricuh. Sakura mengemasi buku-bukunya, menarik keluar beberapa lembar kertas yang ia simpan di dalam loker dan ikut memasukkannya ke dalam tas. Disampingnya, Ino tampak sibuk dengan ponsel terbarunya yang baru ia beli minggu lalu.

"Kau akan pulang sekarang?"

Sakura menoleh, lalu mengangkat bahunya. "Sepertinya aku akan makan siang di kantin dulu." Ujarnya, merapikan tas dan bangkit berdiri. "Aku belum sempat membeli bahan-bahan makanan. Sudah seminggu ini aku makan mie instan."

"Kau bisa makan di rumahku, kau tahu itu."

Sakura tersenyum kecil. "Merepotkanmu."

"Tidak," bantah Ino, ikut berdiri setelah merapikan barang-barangnya secara asal. "Kalau begitu, aku akan menemanimu makan siang hari ini. Aku takut gadis-gadis menyebalkan itu akan menganggumu pada hari pertama kita ini."

Sakura tidka dapat menolak ketika Ino menarik tangannya dan bersama-sama mereka keluar dari dalam kelas yang masih terisi sebagian siswa di dalamnya. Karena sekolah mereka yang cukup luas, untuk mencapai kantin sekolah dibutuhkan waktu sekitar tujuh sampai delapan menit karena mereka harus memutari koridor kelas terlebih dahulu.

Desain bangunan yang rumit memang diperuntukkan agar para siswa tidak bisa membolos.

Sakura melambatkan kakinya ketika mereka melewati ruang guru. Matanya tanpa sengaja bertapapan dengan guru olah raga mereka yang sedang kebetulan berjalan keluar dari ruang guru. Guru olah raga itu hanya menatapnya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya seolah-olah Sakura hanya debu yang menempel pada dinding putih di depannya.

"Ayo!" ujar Ino tidak sabaran ketika temannya hanya terdiam mematung di depan ruang guru. Seolah tersadar, Sakura mengangguk cepat dan segera berlalu bersama Ino dari depan ruang guru.

Mereka sampai di kantin dan Sakura segera saja berjalan untuk mengambil jatah makan siang yang belum digunakannya saat istirahat tadi. Ia mengucapkan terimakasih kepada petugas yang berdiri di balik etalase di depannya dan segera berlalu dari hadapannya untuk mencari dimana Ino duduk sekarang.

Sakura berjalan ke arah sebuah meja dan duduk disana. Di depannya, Ino sedang sibuk mengutak-atik ponselnya. Sepertinya gadis itu belum bosan bermain dengan benda itu meskipun hampir di setiap jam kosong ia memainkannya.

"Pacar baru?" tebak Sakura, menyesap sup misonya.

"Teman kecil," koreksi Ino, meraih ocha dingin milik Sakura dan meneguknya perlahan. "Dia di universitas Tokyo sekarang. Tingkat akhir."

Sakura mengerutkan keningnya, meraih sepotong daging dan mulai menggigitnya. "Kau berteman dengan orang yang sudah setua itu?"

"Tidak, ia sebaya dengan kita. Namun ia mengikuti akselerasi sejak kelas lima di sekolah dasar." Jelas Ino, mengembalikan ocha tadi dan menatap Sakura untuk beberapa saat. "Ia mengaku padaku kalau ia sangat pintar."

"Kalau benar begitu, mungkin ia memang pintar."

Sakura menyelesaikan makannya dalam diam dan segera meneguk ochanya sampai habis. Ia menatap Ino yang sekarang sedang memandanginya dengan mata setengah terpejam, sepertinya bosan menunggunya selesai makan karena ia memang makan dalam waktu yang lama.

"Sudah selesai?" tanya Ino, mengusap matanya dengan malas.

Sakura mengangguk, bangkit berdiri dan menatap Ino yang sedang berusaha untuk menyeimbangkan tubuhnya. "Kau mau kuantar pulang atau ada yang menjemputmu?"

.

.

Sakura memarkirkan motor tuanya dan membuka pintu rumah. Tangannya segera bergerak untuk menyalakan lampu dan ia mengerjap-ngerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan dirinya dengan ruangan rumahnya yang tiba-tiba menjadi terang.

Gadis itu meletakkan tasnya dan merebahkan dirinya di atas sofa. Hari pertama ini memang benar-benar menguras tenaganya. Satu jam lagi ia akan pergi kerja sambilan dan ia harus memanfaatkan waktu kosongnya ini untuk beristirahat.

Sakura membuka matanya yang tadi tertutup dan memandang televisi. Ia butuh hiburan namun sama sekali tidak tertarik untuk menonton televisi. Tangannya bergerak untuk meraih ponsel dan ia juga tidak menemukan sesuatu yang menarik didalam sana. Putus asa akan keadaannya, Sakura berjalan menuju dapur kecilnya dan tangannya terulur untuk membuka pintu kulkas.

"Aku harus berbelanja." Gumamnya pada diri sendiri, melirik jam.

Ia bisa berbelanja sebentar dan langsung pergi menuju tempat kerja. Sakura mengangguk memikirkan idenya. Ia lalu berjalan ke kamarnya––satu-satunya kamar yang ada di rumah tersebut––dan mengganti pakaiannya. Tidak lupa ia asukkan seragam kerjanya ke dalam tas, dan menghitung uang di dalam dompetnya.

Sakura keluar dari rumah yang baru ia masuki itu dan kembali menaiki motornya menuju pusat perbelanjaan yang dapat ditempuhnya dalam waktu sepuluh menit. Setelah memarkirkan motornya dan melepas helm, Sakura segera berjalan menuju pintu masuk dan berjalan menuju salah satu toko yang menjual bahan-bahan makanan.

Tangannya meraih satu kantung beras kecil dan sekotak telur. Ia sempat menimbang harus membeli apa lagi––karena keningnya sudah berkerut dari awal saat melihat label harga yang tertera––sampai kemudian ia melihat sebuah papan besar yang berisi promo harga di depan sebuah lemari pendingin berisikan sosis.

"Wah," ujarnya kagum. Bibirnya membentuk senyuman dan tangannya dengan cepat meraih dua kemasan sosis besar dari dalam lemari pendingin tersebut. Setelah merasa cukup––setidaknya hari ini ia tidak akan makan ramen––Sakura segera berjalan menuju kasir dan meletakkan barang-barang belanjaannya.

"Ada kartu member?"

Sakura menggelengkan kepalanya dan menyerahkan uang kepada wanita yang sedang membungkus belanjaannya dengan cekatan. Setelah menerima kembalian beberapa lembar uang, Sakura berjalan keluar dari toko tersebut dan kembali ke motor.

Ia juga bekerja di salah satu toko di pusat perbelanjaan ini. Pukul empat sampai sembilan malam, ia akan bekerja di salah satu toko bahan-bahan rajutan di lantai tiga. Selain mengatur barang-barang tersebut agar tetap rapi, memberikan masukan, dan mengajari cara merajut untuk tahap dasar, Sakura juga menyelesaikan pesanan yang terkadang diterima oleh pemilik toko tersebut.

Langkahnya terhenti ketika dirasanya ia melihat sosok guru olah raganya di parkiran mobil. Pria itu baru saja turun, belum berganti baju dari pakaian yang dipakainya sejak disekolah tadi, dan berjalan begitu saja. Mungkin ia tidak melihat Sakura, namun Sakura melihatnya dengan jelas. Melihat rambutnya yang aneh itu berkibar-kibar terterpa angin yang sedang kencang.

"Aku belum tahu namanya." Gumam Sakura, pikirannya tertuju pada baju gurunya itu yang sampai sekarang masih berada dalam tasnya––yang tadi ia tinggalkan begitu saja di rumah.

Sakura mengenyahkan pikirannya tentang guru itu dari otaknya, lalu memasukkan bahan-bahan itu ke dalam bagasi motor. Kalau ia menunda membeli bahan-bahan makanan itu, bisa saja ia lupa atau malas untuk pergi ke toko tersebut lagi. Semoga saja tidak ada yang jahil memukul-mukul jok motornya. Kalau itu terjadi, telurnya bisa pecah semua.

Sakura berjalan pelan, masuk kembali ke dalam pusat perbelanjaan dan menaiki eskalator menuju lantai tiga. Setelah berjalan kurang lebih dua menit, ia membuka pintu kaca dan memasuki sebuah toko bahan-bahan rajut dengan papan bertuliskan Keito's Nets besar-besar di atasnya.

"Sore, Saku!" sapa seorang gadis, ia meletakkan benang yang sedang dirajutnya perlahan-lahan dan memutar duduknya agar bisa memandang Sakura lebih jelas. "Bagaimana dengan hari pertamamu di sekolah hebat itu?"

Sakura tersenyum kecil. "Hebat."

Tentu saja ia berbohong. Kalau saja Temari––nama gadis yang lebih tua darinya itu––tahu apa yang dihadapinya hari ini, tentu saja ia akan langsung mengerutkan kening saat kata hebat dipilih Sakura untuk menggambarkannya.

"Ah, aku sudah menebaknya." Ujar Temari, memutar tubuhnya kembali dan melanjutkan rajutannya. "Cepat ganti pakaianmu. Tolong ajari aku cara membuat sweater––aku sudah membuatnya sedari tadi tetapi tetap saja tidak pas. Ada yang salah dengan simpul yang kubuat tadi."

"Aku mengerti." Ujar Sakura cepat, meletakkan tasnya di loker dan berganti pakaian di toilet toko yang kecil. Setelah mengatur rambut kapasnya agar tidak berantakan, ia kembali ke hadapan Temari dan mulai memperhatikan sweater buatan senpai-nya itu perlahan-lahan.

Sakura tersenyum, menunjuk sebuah simpul di pangkal. "Kau salah membuatnya. Yang bagian ini tidak usah disambung."

"Apa aku salah melihat?" ujar Temari bingung, meraih buku yang tadi digunakannya sebagai panduan lalu tertawa. "Ah, kau benar. Aku salah lihat."

Sakura ikut tertawa dan meraih segulungan benang berwarna abu-abu pucat yang berada di ujung meja. Segera saja matanya kosong dan menerawang. Pikirannya langsung tertuju kepada sosok guru olah raga yang tadi memberikannya pinjaman baju olah raga, dan yang tadi ditemuinya di parkiran.

Ya. Gurunya mempunyai rambut yang aneh.

Aneh.

Aneh.

"Rambutku juga aneh," gumam Sakura kesal, menyadari kalau ia memiliki rambut berwarna merah muda.

"Hei, rambutmu hebat, Sakura." Hibur Temari, menatap Sakura lewat ekor matanya. "Rambut pirang dan cokelat sudah biasa. Namun merah muda? Warna yang sangat jarang didapat saat kau lahir."

Sakura tidak banyak berkomentar. Ia memandang gulungan benang tadi dan menimbang-nimbang, butuh berapa gulungan untuk membuat sweater seukuran gurunya itu. Hitung-hitung ucapan terimakasih karena sudah meminjamkan baju olah raga dan tidak menghukumnya.

"Senpai," panggil Sakura, membuat Temari mengangkat kepalanya dan menghentikan rajutan yang sedang dikerjakannya. "Kira-kira, berapa gulung benang yang kita butuhkan untuk membuat sebuah sweater?"

Temari mengangkat salah satu alisnya. "Sweater? Untuk siapa?"

"Ah, sudah jawab saja!" ujar Sakura kesal, merasakan wajahnya sedikit merona.

"Kau ingin membuatnya untukmu sendiri?" tanya Temari, memandang Sakura dan benang yang sedang dipegang gadis itu bergantian. "Bukan? Lalu untuk siapa? Pertama-tama, kau harus tahu ukuran tubuhnya. Baru kau bisa menentukan berapa benang yang kau butuhkan. Memangnya orang yang ingin kau beri sweater itu seperti apa tubuhnya?"

Sakura mengingat-ngingat. "Dia..." ujarnya terputus, berusaha menggambarkannya pada Temari. "Dia seperti––"

Ting Tong

.

.

akan dilanjutkan. asap.