hehehe... ff yg laen aja belom dilanjut tapi udah ngepost judul baru lagi

tapi ga pa pa ya, moga yg ini bisa menghibur

en moga suka


.

Hard to be Loved

.

Oleh : Ve Amilla

Judul : Hard to be Loved

Main Cast : Zhang Yixing, Kim Minseok

Genre : Romance/Drama

Chapter : 1

.

.

Mereka bilang senyumku menawan. Dan aku mengakuinya. Lesung pipiku yang selalu terihat ketika aku tersenyum, membuatku tidak hanya terlihat tampan tapi juga manis. Lihat, aku tidak hanya dipuji karena tampan. Sisi manis ku bahkan lebih menyita perhatian. Senyum yang disertai lesung pipi, yang tidak semua orang bisa memilikinya, terbukti lebih disukai. Banyak orang yang menyukainya, karena itu hal yang istimewa. Dan aku salah satu orang yang istimewa.

Tubuhku? Bahkan si munafik pun tak sanggup menyangkal bahwa aku pantas dipuja. Aku tak butuh menjadi yang paling tinggi di sekolah. Tapi ku yakinkan kau, saat kau mengangkat kepalamu, di saat itulah kau baru bisa menatap mataku. Otot ku terpahat sempurna, walaupun tidak sebesar binaragawan. Aku memang terlihat kurus, tapi semua tahu aku tak bisa diremehkan, karena aku kuat. Aku dipuja bukan tanpa sebab. Setiap aku melangkah, perhatian tertuju padaku. Pangeran tampan dengan tubuh proporsional yang selalu membuat siapapun yang melihatnya akan memberikan tatapan mendamba.

Aku bahkan sulit ditolak. Siapa yang sanggup menolakku memangnya? Kepribadian ku yang ramah dan sopan kepada semua orang. Aku yang tak segan menolong siapapun. Kemudian aku akan tersenyum lembut hingga menampilkan lesung pipi ku, seolah mengatakan kalimat yang akan menguatkan mereka dan meyakinkan mereka bahwa semuanya akan baik-baik saja. Hingga mereka menyebutku 'Malaikat Kebaikan'. Pujian sebagai pemuda yang lembut dan baik hati tak pernah lenyap dariku. Aku menjadi salah satu pemuda yang paling diinginkan, karena aku pria yang berhati hangat.

Begitu banyak kelebihanku. Bahkan masih banyak yang lain yang belum kusebutkan. Yang ku sebutkan tadi itu hanyalah beberapa kelebihanku yang sering dibicarakan orang-orang. Membanggakan bukan? Tapi sayangnya aku tak bisa menyebutkan kelebihanku itu dengan penuh kebanggaan.

Ini menyedihkan. Aku tersenyum miris. Aku ingin menertawakan diriku sendiri. Aku seperti gelandangan kotor yang sedang mengemis memohon. Tapi gelandangan kotor ini memohon bukan dengan tampang memelas penuh derita. Melainkan dengan sikap congkak yang penuh kesombongan. Iya, bagaimana bisa aku menginginkan dia atas nama cinta? Sedangkan alasan yang bisa kuberikan padanya untuk menerimaku adalah kelebihanku.

Kenapa aku melakukan ini?

Kenapa aku melakukan ini?

Kenapa aku melakukan ini?

Ini semua karena aku putus asa. Telah kutunjukkan padanya bahwa aku peduli dia. Aku selalu ada untuk dia. Tangan ini selalu siap memeluknya erat, saat dia butuh perlindungan dan rasa aman. Bahu ini selalu siap sebagai tempatnya bersandar, saat dia lelah dan bingung. Telinga ini selalu siap mendengarnya bercerita. Nama ku akan selalu ada untuk dia sebut, dan dalam waktu singkat aku akan tiba di sampingnya. Mata ini selalu memandang penuh perasaan untuk dia. Otak ini tak pernah bisa berhenti untuk terus memikirkan dia. Jantung ini selalu berdetak secara bergejolak untuk dia. Hati ini selalu merasa rindu untuk dia. Dia. Dia. Dan dia.

Kenapa begitu sulit untuk ku? Kenapa perasaan ini, yang begitu tulus untuk dia harus tak terbalas? Kenapa? Haruskah aku merendah dan memohon? Sesak. Sesak sekali rasanya. Sakit.

Ternyata cinta itu begitu sulit. Hanya karena bisa mencintai, bukan berarti aku bisa dicintai oleh dia. Mencintai dia, seperti aku menghirup udara. Terjadi begitu saja, tak pernah ku rencanakan. Aku merasa hidup karena dia. Aku membutuhkan dia untuk hidup.

Namun, saat tahu aku tak dicintai oleh dia, udara seperti lenyap. Aku tak bisa menghirup udara. Sesak, aku tak bisa bernafas. Aku seperti tercekik, sakit. Hingga aku tak menyadari air mata ini telah mengalir dan menetes. Kenapa begitu sulit dicintai? Kenapa aku begitu sulit dicintai oleh mu, Minseok? Karena aku, Zhang Yixing, sangat mencintaimu, Kim Minseok.

.

.

Kim Minseok, pemuda asli Korea Selatan yang satu angkatan dengan ku. Saat ini aku berada di kelas dua SMA. Tapi dia lebih tua setahun dari ku. Saat masih kelas satu, aku tak pernah tahu tentang keberadaannya. Walaupun aku kenal banyak teman di sekolah, tapi tak sekalipun aku benar-benar melihat sosoknya.

Hingga terjadi rotasi kelas saat aku naik kelas dua. Wajah-wajah baru mengisi kelas ku. Tapi tidak benar-benar baru, karena aku sering melihat wajah mereka berkeliaran di sekolah. Tetangga kelas ku pun berubah. Wajah-wajah baru yang tak asing juga berkeliaran di sekitar kelasku. Salah satu wajah yang ku kenal baik, ternyata menjadi penghuni kelas sebelah. Luhan, teman yang ku kenal baik karena kami sesama keturunan China, adalah salah satu penghuni kelas sebelah. Dan karena Luhan lah, aku memiliki kesempatan untuk melihat Minseok.

Minseok adalah seorang yang pendiam. Dia bersahabat dengan Luhan. Tidak mengherankan, Luhan memang sangat mudah berteman dengan siapapun. Seperti seorang pendiam pada umumnya, Minseok tidak banyak bicara pada orang asing atau orang yang baru dikenalnya. Tapi dia menjadi pribadi yang ceria dan banyak bicara jika bersama teman dekatnya, yaitu Luhan.

Saat itu dia bercanda dan tertawa dengan begitu lepas bersama Luhan. Saat itu aku belum mengenal Minseok, dan itu adalah pertama kalinya aku melihat dia. Ku pikir dia adalah siswa baru karena aku belum pernah melihatnya. Ingin mengenalnya, adalah yang terlintas di otak ku saat itu. Lalu ku dekati mereka.

"Luhan!", sapa ku sambil mendekat ke arah mereka.

"Oi Yixing! Kita tetangga kelas sekarang", kata Luhan dengan gembira. Tapi yang ada di samping Luhan tiba-tiba diam dan canggung.

"Dia anak baru?", tanya ku pada Luhan sambil menunjuk orang yang ada di sampingnya. Ku arahkan pandangan ku pada dia. Aku tersenyum ramah dan menyapanya, "Hai, aku Yixing."

Luhan terlihat bingung. Dan melihat ku seolah aku adalah alien tersesat yang sedang bicara dengan bahasa aneh yang sama sekali tidak dia pahami. "Dia yang kau maksud anak baru?", tanya Luhan bingung sambil menunjuk orang yang ada di sampingnya. Aku mengangguk, siapa lagi memangnya?

Luhan tiba-tiba tertawa, "Ya Tuhan, Yixing…", lalu dia berhenti, karena sepertinya dia teringat sesuatu. "Eh, tapi tidak aneh juga sih jika kau tidak tahu. Dia memang hobi bersembunyi", kata Luhan sambil mengejek. Dia, yang ditunjuk Luhan, terlihat tidak terima dengan apa yang dikatakan Luhan. Atau lebih tepatnya, melarang Luhan bicara seperti itu di depan orang asing seperti ku.

"Dia Minseok, bukan anak baru. Dia sudah satu kelas dengan ku sejak kelas satu", kata Luhan.

"Oh maaf, itu karena aku tidak pernah melihatmu sebelumnya", kata ku sedikit malu karena sembarangan bicara. Dia tak bicara, hanya tersenyum canggung padaku. Lalu Luhan mengeluarkan ponselnya untuk membaca pesan yang masuk.

"Aaahh… basket lagi, padahal ini baru masuk sekolah", keluh Luhan setelah membaca pesan di ponselnya. Aku hanya tersenyum menanggapi. Yah, itulah takdir untuknya yang terpilih sebagai anggota tim inti. Latihan, latihan, dan latihan. Terlebih, Luhan memang selalu bermain dengan baik hingga tim basket sekolah selalu menang di setiap pertandingan. Itu menjadikan Luhan sangat diandalkan, walaupun dia bukan kapten tim.

"Yixing, aku pergi dulu. Basket mencariku", kata Luhan dengan ekspresi kecewa. Kecewa yang palsu, karena aku tahu pasti kalau Luhan itu sangat menyukai basket. Aku tersenyum menanggapi kalimat Luhan. Dasar pembohong yang buruk.

Tinggal kami berdua. Minseok yang masih duduk di bangku taman depan kelas, dan aku yang masih berdiri seperti tadi. Setelah Luhan pergi, Minseok hanya diam, seperti bingung akan melakukan apa. Atau mungkin canggung? Karena memang ini adalah pertemuan pertama kami. "Minseok, kau ingin pergi ke suatu tempat? Aku bisa menemanimu. Sedikit membosankan di dalam kelas pada jam kosong seperti ini", kata ku. Menambah teman, aku suka berteman dengan banyak orang. Memiliki teman yang banyak itu sangat menyenangkan. Dan dia adalah teman baru, aku ingin lebih akrab dengannya.

"Aku tidak ingin ke mana-mana. Lebih baik aku kembali ke kelas saja, Yixing", kata Minseok pelan, sedikit ragu dan disertai senyum canggung. Aku mengangguk dan tersenyum manis padanya. Minseok memang seorang yang pendiam, dan pemalu sepertinya. Dia pasti merasa tidak nyaman denganku, yang baru dikenalnya. Tapi aku yakin, lama kelamaan dia pun akan bicara banyak padaku, seperti saat dia dengan Luhan.

.

.

Aku selalu menyapa Minseok setiap aku berpapasan dengannya. Awalnya, dia seperti kebingungan saat pertama kali aku memanggil namanya di hari berikutnya. Setelah memasuki gerbang sekolah, Minseok berjalan dengan tenang menuju kelasnya. Aku yang saat itu sedang berbicara dengan Chanyeol tentang jadwal latihan band kami di halaman depan sekolah. Mataku melihat sosoknya berjalan mendekat. Aku langsung menyapanya, "Pagi Minseok, baru datang?", tidak lupa ku tunjukkan senyum bersahabat ku padanya. Chanyeol juga ikut tersenyum untuk menyapanya. Chanyeol adalah anak yang ramah dan periang, tapi cenderung berisik menurutku.

Minseok memperlambat langkahnya. Menolehkan kepalanya perlahan mencari sumber suara yang menyebut namanya. Wajahnya tampak tidak yakin kalau ada yang memanggil namanya. Ku lambaikan tanganku supaya dia tahu kalau aku yang menyapanya. Kemudian Minseok melihatku setelah sadar bahwa akulah yang memanggilnya tadi. Dia memandangku dengan ekspresi bingung dan tidak yakin. Lalu dia menganggukkan kepalanya pelan dan tersenyum kaku ke arah ku. Setelah itu dia kembali melanjutkan perjalanannya menuju kelas dengan kepala sedikit menunduk. Sepertinya dia belum terbiasa dengan ku, jadi dia terlihat sedikit salah tingkah dan canggung. Dia terlihat lucu.

Biasanya, orang yang ku sapa akan membalas sapaan ku dengan semangat dan gembira. Sedangkan dia, Minseok, malah bingung dan tidak yakin. Memangnya seaneh itu disapa oleh ku? Yah, tapi mau bagaimana lagi, memang seperti itulah karakter orang yang pendiam dan pemalu. Apalagi aku yang baru dikenalnya kemarin. Tapi sungguh, wajah bingungnya itu sangat lucu. Membuat otak ku memunculkan ide jahil untuk rajin menyapanya supaya bisa sering melihat wajah bingungnya yang lucu.

Aku benar-benar melakukannya. Setiap kulihat sosoknya aku selalu menyapanya, di manapun dan apapun itu. Minseok mulai terbiasa menanggapi sapaanku. Setelah ku sapa, dia akan tersenyum dan sedikit mengangguk kepadaku. Aku suka mendapat tanggapan seperti itu darinya. Itu artinya, aku tidak lagi manusia asing bagi seorang Minseok. Melegakan rasanya.

Namun suatu ketika, aku melihat sosok seorang yang kukenal berjalan di depan sana. Lalu aku menyadari kalau itu Minseok, segera aku akan menyapanya. Namun belum sampai aku menyapanya, dia berbalik dan menghilang. Apa Minseok menghindariku? Awalnya aku memaklumi. Mungkin saat itu Minseok sedang ada sesuatu. Tapi kelamaan aku merasa Minseok memang benar-benar mencoba menghindariku. Ada apa lagi dengannya? Kupikir aku sudah bisa berteman baik dengannya.

.

.

"Yixing!", Luhan berteriak memanggilku. Dia duduk di bawah pohon rindang di taman sekolah. Lalu aku berjalan mendekatinya. Dia sendirian di sana.

"Sedang apa kau sendirian di sini?", tanyaku heran.

"Aku sedang menunggu, sebentar lagi dia datang", jawab Luhan. Lalu dia melambaikan tangannya. Memintaku untuk duduk. Setelah aku duduk, Luhan langsung bertanya.

"Kelasmu kemarin ulangan fisika kan?", oh… sekarang aku tahu tujuannya yang sebenarnya.

"Jadi kau mau minta bocoran?", tanyaku. Memang akan lebih mudah, daripada harus belajar seluruh materi. Sungguh merepotkan. Lagsung pada intinya itu lebih baik. Aku juga sering seperti itu. Bertanya pada teman kelas lain tentang soal ujiannya, lalu mempelajarinya. Itu lebih efisien.

"Hehehe… Ayolaaaaahhh", Luhan merayu. Aku sok jual mahal. Padahal aku juga sering seperti ini, meminta bocoran pada kelas lain.

"Iya iya…", jawabku malas. Padahal aku hanya ingin jahil saja padanya.

"Soalnya apa saja?", tanya Luhan antusias. Sepertinya dia tidak tertipu oleh ku.

"Soalnya itu…", saat aku akan menjelaskan, tiba-tiba Luhan memotong. "Tunggu sebentar, aku ambil bukunya saja sekalian, itu akan lebih mudah", Luhan heboh sekali, lalu beranjak berdiri.

"Lu…", Minseok baru saja datang.

"Minseok, tunggu di sini sebentar. Aku akan mengambil buku", kata Luhan terburu-buru, lalu segera pergi dan menghilang.

Di sana Minseok berdiri dan memerhatikan Luhan yang menjauh dengan wajahnya yang masih bingung. Lalu pandangan kami bertemu. Minseok tersenyum menyapaku, dan setelah itu dia diam dalam canggung. Minseok memilih duduk agak jauh dariku. Dan aku masih terus memerhatikan dia. Merasakan ada yang terus memandangnya, Minseok semakin tidak nyaman dalam duduknya. Lalu aku memilih mengalihkan pandanganku ke depan. Kasihan juga dia, jika aku terus memerhatikan dia.

Tidak lama setelah aku mengalihkan pandanganku, tiba-tiba Minseok berdiri. "Kau menghindariku?", tanyaku, yang lebih mirip seperti pernyataan.

Minseok menghentikan langkahnya, lalu menoleh kepada ku dengan wajah kagetnya. "Kau menghindariku kan?", tanyaku lagi.

Minseok menahan nafasnya. Sepertinya dia benar-benar tidak menyangka aku akan mengatakan ini. Aku juga entah mengapa begitu ingin mengatakannya. Mungkin aku jengkel saja, kenapa dia masih tetap berusaha membuat jarak denganku. Aku sedikit kecewa. Ternyata aku belum benar-benar diterima sebagai teman olehnya.

"Ti-tidak. Kenapa aku harus menghindar darimu?", jawab Minseok, yang terlihat gugup.

"Hanya saja… aku merasa kau sedang menghindariku", kataku. Aku masih tidak puas dengan jawaban Minseok. Aku tersenyum, "Kalau begitu, jangan merasa tidak nyaman dengan ku. Kita teman kan?"

Minseok mengangguk kaku, "Iya…", lalu tersenyum canggung. Setelahnya, dia semakin terlihat bingung karena salah tingkah. Dan seharusnya aku berhenti memandangnya, karena itu akan semakin membuatnya merasa tidak nyaman. Tapi mau bagaimana lagi, aku tertarik untuk ingin lebih mengenalnya. Aku masih tidak terima dengan dia yang sepertinya sulit menerimaku sebagai teman. Teman yang tak perlu membuatnya merasa tidak nyaman jika berada dekat dengannya.

Luhan datang, dia berjalan sambil bersiul dengan tangan kirinya yang mengayun memegang buku tebal fisika. Minseok juga menyadari kedatangan Luhan. Wajahnya terlihat lebih tenang. Oh… jadi sang penolong telah datang? Apa aku benar-benar begitu menganggu untukmu? Tapi baiklah, aku akan memberimu waktu. Untuk benar-benar bisa menerima kehadiranku dalam hidupmu.

.

.

Wah… ternyata sudah sangat sepi. Padahal aku hanya sebentar di toilet tadi. Mau bagaimana lagi? Tadi di menit terakhir menjelang bel pulang sekolah aku benar-benar sudah tidak tahan. Jadi setelah bel berbunyi dengan nyaringnya, aku langsung saja lari ke toilet. Tak disangka, mereka begitu cepat sekali kabur dari sekolah ini.

.

Hanya tinggal Minseok sendirian di dalam kelasnya. Dia baru saja selesai melakukan tugas piket kelas. Dan temannya yang lain sudah pulang, tinggal dia sendirian. Tidak heran, memang Minseok lebih suka sendirian. Sehingga, tadi saat ada temannya yang menawarkan menemani, dia menolaknya dengan halus dan menyuruhnya untuk segera pulang.

Saat baru saja dia keluar dari kelasnya, di depan sana, Minseok melihat Yixing sedang berjalan dengan santai sambil melihat sekitar, sedang menuju ke arahnya. Yang lebih tepatnya ke kelasnya Yixing sendiri, yang merupakan tetangga kelas Minseok, yang terletak tepat di samping kelas Minseok. Minseok berniat untuk berbalik, supaya tidak perlu berpapasan dengan Yixing. Tapi saat kakinya baru saja akan melangkah, tiba-tiba Minseok teringat kejadian tadi saat istirahat.

"Kau menghindariku kan?", kata Yixing dengan sorot matanya yang terlihat tidak suka.

Minseok menutup matanya untuk menguatkan hatinya. Dia menghadap ke depan lagi dan memutuskan untuk menyapa Yixing. "Hai Yixing", sapa Minseok dengan senyum manisnya.

.

Dia, Minseok, menyapaku lebih dulu. "Oh Minseok, kau juga belum pulang?", tidak biasanya Minseok menyapaku lebih dulu. Ini perkembangan yang baik, aku tersenyum.

"Iya. Tadi aku menyelesaikan tugas piket kelas, jadi pulang terakhir", jawab Minseok kalem.

"Ooohh…", kataku sambil mengangguk-anggukkan kepala. Jadi dia di kelas tinggal sendiriran. Lalu Minseok melangkahkan kembali kakinya untuk meneruskan perjalanannya. Sedangkan aku memasuki kelasku. Tapi kemudian terlintas sebuah ide di otakku.

"Minseok, tunggu!", lalu aku segera lari ke dalam kelas dan mengambil tasku. Aku berjalan ke luar dan mendekat ke arahnya. "Ayo pulang bersama", kataku dengan senyum gembira.

Tubuhnya menegang dan matanya membola. Sepertinya Minseok tidak pernah menyangka aku akan merusak rencana 'Pulang Sendirian' miliknya. Aku tersenyum bahagia. "Jangan terlalu sering pulang sendirian. Pulang bersama teman itu akan lebih menyenangkan", nasehatku untuknya yang hanya aku ucapkan dalam hati.

Seperti dugaanku, Minseok akan diam saja. "Kamu itu orangnya pendiam ya", aku memulai pembicaraan. Minseok menoleh kepadaku, lebih tepatnya mendongak kepadaku. Karena aku memang lebih tinggi darinya. Dia tak mengatakan apapun, seolah tak mengerti. Lalu dia kembali menghadap ke depan.

"Kalau aku selalu di kelilingi oleh orang-orang yang berisik. Hahaha… mereka memang ramai sekali. Aaaaada saja yang mereka bicarakan. Terutama teman satu band ku yang namanya Chanyeol."

"Kau punya band?", tanya Minseok heran sambil menatap ke arahku dengan tidak percaya.

"Iya. Kau tidak tahu?", Minseok menggeleng pelan. Kupikir aku sudah cukup terkenal di sekolah ini. "Oh iya… aku baru ingat! Gitarku masih di ruang musik", aku benar-benar lupa. Untung saja tadi menyinggung soal band. Kalau tidak, nanti malam aku bisa galau tanpa gitarku. "Minseok, ayo ikut aku untuk mengambilnya", kataku, dan Minseok mengangguk walau terlihat sedikit terpaksa.

Setelah mengambil gitarku, kami kembali berjalan menuju gerbang sekolah. Saat kami sudah tiba di halaman depan sekolah yang sudah sangat sepi, "Eh Yixing, sepertinya ada bukuku yang tertinggal di kelas…", kata Minseok. Pantas saja tadi dia seperti berusaha mengingat sesuatu.

"Aku ambil dulu ya sebentar", lalu dia langsung berbalik dan berjalan tergesa menuju kelasnya. Minseok tak menunggu respon dari ku dulu. "Aku tunggu di sini!", kataku sambil berteriak, karena dia semakin menjauh.

.

.

Minseok telah mengambil bukunya, yang ternyata memang tertinggal di atas mejanya. Saat berjalan keluar, dia sedikit berharap Yixing tidak menunggunya. Minseok berharap, semoga terjadi suatu hal yang akhirnya membuat Yixing tidak punya pilihan lain selain langsung pulang tanpa menunggu Minseok.

Minseok sudah hampir sampai di halaman depan sekolah. Dia berharap Yixing benar-benar tidak menunggunya. Minseok menarik nafas dalam sambil menutup matanya. Lalu menghembuskannya perlahan. Dia memandang ke depan mencari sosok Yixing. Ajaib, Minseok tidak menemukan Yixing di sana.

Lega yang dirasakan Minseok. Tapi juga ada sedikit kecewa. Ternyata tak ada yang menunggu untuknya. Sendiri, memang menjadi takdirnya. Sendiri adalah harta berharga yang dihadiahkan Tuhan untuknya. Walaupun kesepian, tapi inilah yang membuatnya bahagia. Sendiri membuatnya merasa nyaman, seolah kebebasan adalah miliknya.

Minseok melangkahkan kakinya lagi untuk menuju gerbang sekolah dengan tenang. Tapi di sana, di bawah pohon. Minseok melihat Yixing duduk di pembatas taman sambil mengoatak-atik gitarnya. Dugaan Minseok salah, ternyata Yixing masih tetap menunggunya. Tak punya pilihan lain, Minseok akhirnya berjalan mendekati Yixing.

.

.

"Oh, kau sudah datang rupanya. Bukumu sudah kau ambil?", Minseok mengangguk. Dia berdiri dihadapanku. Dengan wajah yang terlihat sedikit tidak bersemangat. Aku tersenyum melihat dia. Minseok benar-benar terlihat lebih muda dari umurnya. Aku tahu dari Luhan kalau mereka seumuran, satu tahun lebih tua dari ku.

"Kau bisa bermain gitar?", tanyanya polos. Minseok tampak penasaran melihatku memainkan gitarku. Serius? Apa dia benar-benar tidak pernah melihatku tampil bersama band ku? Jangan-jangan yang dikatakan Luhan itu benar, kalau dia itu memang hobi bersembunyi.

"Tentu saja", jawabku. "Apa kau tidak pernah melihat penampilan band ku di setiap acara sekolah?", tanyaku. Minseok hanya tersenyum canggung sambil menggaruk belakang kepalanya. Haaaaah… sepertinya dia memang tidak pernah melihat penampilanku bersama gitarku.

Aku menepuk tempat di sampingku, "Duduklah di sini." Minseok menurut, walau sedikit ragu. Apa boleh buat, akan ku tunjukkan padanya penampilanku bersama gitarku. Ini ku lakukan untuk menebus ketinggalan Minseok yang selama ini tidak pernah memiliki kesempatan melihat pertunjukan kami, aku dan gitarku.

"Kau mau minta lagu apa?", tanyaku.

"Hah! Aku?", tanya Minseok kaget saat aku menawarinya. Aku mengangguk. Lalu, "Emmm…", dia berpikir. Aku memerhatikan wajah berpikirnya, lucu. Terlihat sepertinya Minseok terpaksa memikirkan sebuah lagu untuk ku mainkan karena tak enak hati menolak tawaranku. Tentu saja, ini tawaran istimewa dari Zhang Yixing, biasanya orang-oranglah yang meminta ku memainkan lagu untuk mereka dengan penuh harapan.

Lama aku menunggu Minseok berpikir. Sepertinya dia tak akan menyebutkan sebuah judul lagu karena sekarang dia pasti sangat bingung. Ya sudahlah… ah! Aku mainkan lagu itu saja untuknya, lagunya INFINITE – Can You Smile.

Aju orae jeon neoreul boatdeon

Geu neukkimeul gieokhe nan

Neoreul alatdeon nareul alatdeon

Geu shijeoli saenggakna

Neoreul dalmgo shipdeon eouligo shipdeon

Ganjeolhaesdeon shiganeul

Nan dashi saenggakhae

Da jinagan hannat chueok bboningeol

Terdengar alunan lagu dari gitar Yixing. Lalu menyusul suara Yixing yang menyanyikan lirik lagu. Minseok yang tadinya masih terdiam berpikir, perlahan menoleh menghadap Yixing. Memerhatikannya dalam diam.

And, Can you smile?

Niga weonhajana

Niga barajanha

Nae mam maneuroneun

Neol jabeul suga obtneungabwa

And, Can you smile?

Nega galajanha

Nan gwenchanhdajeonha

Majimak neoege

Nan igeot bakken mot junabwa

Yixing mengakhiri pertunjukan singkatnya dengan alunan suara gitar penutup lagu tersebut. Minseok mendengarkan sampai akhir. "Ternyata Yixing sangat hebat. Dia memainkan gitarnya dengan sangat keren. Dan dia menyanyi dengan sangat bagus", kata Minseok dalam hati. Tanpa Minseok sadari, pipinya merona karena melihat pertunjukan Yixing dengan gitarnya.

.

Aku menoleh pada Minseok. Aku ingin tahu apa reaksinya. "Bagaimana? Aku keren kan?", tanyaku dengan senyum bangga. Sedikit candaan dari ku, supaya tidak terlalu kaku. Karena bagaimanapun ini adalah pertama kalinya Minseok melihat ku memainkan gitarku.

Minseok tidak mengatakan apapun. Dia semakin menunduk. Dan seolah mengalihkan pandangannya ke arah lain. Apa dia malu? Hahaha… benarkah?

"Kau suka permainan gitarku?", tanyaku lagi. Aku masih setia menunggu respon darinya.

Akhirnya dia menoleh padaku. Minseok mengangguk, "Iya, kau memainkannya dengan sangat bagus", kata Minseok dengan senyum malu. Wow, wajahnya memerah. "Terima kasih. Aku senang jika kau menyukainya", kataku tulus.

"Kau sangat pintar memainkan gitar. Apa itu tidak sulit?", tanya Minseok.

"Tidak, ini sangat menyenangkan", memainkan gitar itu memang sangat menyenangkan. "Kau mau coba?", tawarku.

"Aku tidak bisa memainkan gitar", kata Minseok sambil menggeleng pelan.

"Aku bisa mengajarimu jika kau mau", kataku.

Minseok diam, mengedipkan matanya, sepertinya dia tampak berpikir. Lalu dia tersenyum, "Mu-mungkin… lain kali saja", Minseok tersenyum lagi.

Oooh… jadi mungkin tadi dia sedang berpikir untuk mencari kata yang tepat untuk menolakku dengan halus. Tapi tak apalah, setidaknya ini perkembangan yang bagus. Ku harap setelah Minseok melihat permainan gitarku, dia tak ragu lagi untuk berteman dekat dengan ku.

.

.

Bersambung…

.

.