A/N: Yes I know this's like forever, two months? Yeah blame me for my hectic life. But please enjoy the finale. Trust me, I would never abandon my story because I love you so much my lovely loyal and rock n roll readers:)

Everything belong to JK Rowling, if you still asking it.

The Finale.

Suara hujan serta harum tanah yang tersiram oleh guyuran air dari angkasalah yang menjadi teman dari pria yang menatap kosong pekarangan belakang rumahnya. Ia duduk dengan menyilangkan kaki serta tangan yang yang bersedekap. Ia berusaha untuk mengosongkan pikirannya, namun hal itu mustahil adanya. Sesekali ia melirik puterinya yang masih terlalu fokus dengan pekerjaan rumahnya. Ia menghela napas sejenak dan kembali memerhatikan guyuran hujan yang seperti menjadi pertunjukan pribadi untuknya. Sudah hampir satu minggu ini New York terus menerus dilingkupi hawa temaram dari sang hujan. Keadaan ini seperti sedang berkonspirasi dengan perasaan yang tengah ia rasakan sekarang.

Mungkin sudah ratusan kali ia memeriksa layar dari smartphone-nya dalam satu bulan belakangan ini. Namun hasilnya adalah nihil. Wanita yang sangat ia tunggu kabarnya tak kunjung menunjukan keberadaannya. Sudah satu bulan sejak peristiwa pengeboman di Kandahar yang memutuskan komunikasi antara dirinya dan Hermione. Ia ingat kejadian yang berlangsung cepat saat itu. Seperti biasanya mereka berkomunikasi dengan facetime di akhir pekan. Elle baru saja mengembalikan smartphone-nya untuk memberikan wantu berdua bagi Dad dan Mum-nya. Perbedaan waktu hampir 9 jam antara New York dan Kandahar tak pernah mempersulit komunikasi di antara mereka. Saat itu Draco dan Elle baru saja sarapan dan Hermione baru saja kembali ke homestay yang ia tempati bersama Dani dan beberapa kru lainnya selepas liputan. Baru saja ia melihat wajah lelah namun tetap terlihat sangat cantik wanita yang ia cintainya itu, suara bom menggelegar seketika. Sontak para kru di homestay itu berhamburan antara berusaha menyelamatkan diri dan haus akan berita tentang apa sebenarnya yang terjadi. Herrmione berusaha menenangkan Draco dengan mengatakan bahwa tak ada yang perlu ia khawatirkan, namun semuanya menjadi percuma saat suara bom lainnya kembali menggelegar dan sambungan komunikasi mereka terputus. Komunikasi di akhir pekan itu adalah komunikasi terakhir mereka dalam kurun waktu satu bulan ke belakang ini. Seharusnya Hermione kembali ke New York minggu lalu. Seharusnya mereka kini sudah berkumpul bersama, namun tidak pada keadaannya.

Keesokan hari setelah Draco menyaksikan secara langsung bom di kota itu, ia mendatangi kantor berita tempat Hermione bekerja. Bukan kabar baik yang ia temui, melainkan pihak kantor berita juga kehilangan kontak dengan para awak medianya. Draco meledak saat itu juga. Bagaimana mungkin kantor berita itu bertingkah sangat santai dengan keadaan awak medianya yang tak jelas kabarnya? Bagaimana mungkin mereka bisa menempatkan krunya di sarang pencabut nyawa tanpa satupun tindakan khusus penyelamatan bila hal-hal seperti ini terjadi? Tetapi, ia sadar bahwa semeledak apapun dirinya terhadap kantor berita itu tak akan merubah apapun.

Sekarang Draco mencoba pasrah. Dalam kurun waktu sebulan ini, ia sudah mencoba berbagai macam cara. Menghubungi kantor berita itu, melayangkan surat terhadap pemerintah, sampai memakai koneksi dari Harry di pemerintahan untuk melacak keberadaan wanita itu. Namun sampai sekarang tak ada satupun berita yang hinggap di telinga. Sampai saat ini ia tak dapat hidup dengan tenang karena berada di ketidakpastian dan ketidaktahuan seperti ini. Ia perlu tahu apa yang terjadi sebenarnya terhadap Hermione. Ia perlu tahu apakah ia masih bernyawa atau sudah pergi meninggalkannya selamanya.

"Dad," suara Elle yang akhirnya menarik Draco ke alam nyata yang jauh dari awang-awang pikirannya.

Ia melihat putrinya lalu tersenyum. "Kau sudah selesai mengerjakan semua tugas rumahmu?" tanya Draco yang mencoba untuk terlihat senormal mungkin.

Elle mengangguk. "Kau mau kita makan malam apa hari ini?"

"Chicken and waffle," jawab Elle yang langsung mendapat persetujuan dari ayahnya.

"Dad," ujar Elle kembali.

Draco kembali menatap anak semata wayangnya itu. "Kau pasti tengah memikirkan Mum."

Draco hanya tersenyum dengan tingkat kemampuan observasi dari puterinya. "Sangat terlihat?" tanya Draco.

"Sangat terlihat," balas Elle

Mereka mengangguk lalu tersenyum dan kemudian terdiam. Elle menghampiri ayahnya semakin dekat lalu memeluknya. Ia mengalungkan lengan mungilnya ke leher ayahnya dan menenggelamkan wajahnya disana. "Aku sangat merindukannya," ujar Elle.

"Aku tahu. Aku juga merindukannya," balas Draco.

"Kau sudah dapat kabar tentang keberadaannya?"

Draco menggeleng. "Mum pasti kembali," ucap Elle.

Draco hanya menghela napas berusaha meyakini apa yang diyakini oleh puterinya. "Benar. Mum pasti kembali."

000

Sejak menghilangnya Hermione, Draco seperti berubah menjadi sosok yang berbeda. Pendiam dan lebih tempramental dari biasanya. Seperti kali ini ia tengah duduk di hadapan perapian rumahnya yang tak menyala dengan segelas scotch di tangannya. Ia hanya terdiam sambil sesekali menyesap minuman berumur puluhan tahun yang diberikan Harry padanya satu tahun lalu. Elle sudah terlelap di ranjangnya saat ini, karena waktu sudah menunjukan lewat dari tengah malam. Walaupun waktu sudah menunjukan lewat dari tengah malam dan tubuh Draco sudah berteriak minta diistirahatkan, tapi pria satu anak ini tak kunjung beranjak ke kamarnya. Ia masih terus bertahan di sofa itu dengan pikirannya yang entah kemana. Ia hanya takut bila ia tertidur bayangan Hermione dan pengeboman itu datang menghampirinya. Seluruh bayangan dan mimpi buruk itu selalu berkelebat di pikirannya saat ini. Rasa bersalah dan entah apa namanya kini membayanginya. Seharusnya ia melarang wanita itu untuk mengambil pekerjaan gila ini. Seharusnya ia bertengkar mati-matian menentang apa yang diinginkan Hermione. Mungkin Hermione akan mengamuk membabi buta kepadanya. Mungkin juga ia tak akan rujuk dengan ibu dari anaknya itu, tapi setidaknya mungkin Hermione tengah berada di samping Elle sekarang. Terlelap karena mengantar tidur putrinya bukannya menghilang tak berkabar di antah berantah. Bila ia tak memiliki Elle, mungkin kini ia tengah berada di negara itu untuk menemukan cinta dalam hidupnya.

Draco kembali menyesap minumannya secara perlahan. Membiarkan setiap tetes dari alkohol itu membakar tenggorokannya. Hal yang sebenarnya diharapkan oleh Draco dengan meminum scotch seperti ini adalah ia dapat tertidur tanpa harus bermimpi lagi. Senyum getir terpulas di wajahnya saat memikirkan hal itu. Ia saja tak sanggup menghadapi mimpi tentang pengeboman itu, bagaimana Hermione dapat sanggup menghadapi hal itu secara langsung?

Akhirnya setelah berjam-jam berada di ruangan itu, ia bangkit dan membereskan meja itu. Ia tak mau keesokan harinya Elle menemukan sisa-sisa minuman ayahnya di meja. Mungkin Elle adalah anak yang pintar secara intelektual, tapi ia emosionalnya pasti belum siap dengan semua hal ini. Draco tak ingin Elle berpikir bahwa ayahnya tak dapat menghadapi masalah ini. Dia ingin Elle dapat bersandar padanya. Dia ingin bahwa Elle tahu ia memiliki ayah yang sama kuatnya dengan dirinya. Setelah membereskan segalanya, Draco berjalan ke kamar puterinya dan menemukan Elle tengah terlelap di ranjangya. Ia duduk di tepi ranjag itu sambil membelai lembut wajah malaikat kecilnya. Napasnya begitu teratur. Sosok di hadapannya inilah yang selalu membuat ia tegar untuk menghadapi segala kenyataan. Termasuk keadaan terpahit sekalipun. Ia merunduk dan mengecup puncak kepala Eloise lalu pergi ke kamarnya.

000

"Kau sudah mendengar beritanya?" tanya suara di seberang sana.

Draco tak menjawab suara itu. Ia hanya tertegun menatap layar televisi di hadapannya. "Draco," panggil Harry sekali lagi dan untuk sekali lagi tak mendapat jawaban darinya.

Ia meletakan ponselnya perlahan tanpa perlu permisi pada si penelepon. Matanya tak lepas dari berita yang disiarkan di televisi pagi ini. Baru saja ia akan pergi ke kantor setelah mengantar Elle ke bus sekolahnya tadi, namun berita pagi ini begitu mengguncang jiwanya. Kabar terpahit yang selalu ia doakan agar tak pernah berubah menjadi realita seperti tengah terpampang nyata di hadapannya. Pembawa berita pria di layar datar itu tengah menyiarkan bahwa telah ditemukan dua tubuh wanita di Kandahar yang belum teridentifikasi identitasnya, namun dapat dipastikan bahwa mereka berkewarganegaraan USA dan berprofesi sebagai jurnalis yang tengah bertugas disana. Mayat itu tak dapat teridentifikasi langsung karena hampir tujuh puluh persen tubuhnya tertutup luka bakar.

Hermione.

Hanya sosok itu yang ada di pikirannya. Ia memang menunggu kabar darinya selama ini, tapi bukan hal ini yang ia harapkan. Draco memang sudah mencoba untuk mempersiapkan dirinya untuk segala kemungkinan terburuk, namun ia tak tahu bahwa akan seberat ini. Wanita tercantik yang pernah ia kenal kini telah menjadi sosok tubuh yang tak dikenali karena hampir seluruh tubuhnya tertutup luka bakar.

Tanpa memedulikan kopi yang masih mengepul di hadapannya itu lagi, ia mengambil jas dan langsung memacu sedannya ke kantor berita dimana Hermione bernaung. Beberapa pasang mata mengikuti arah pergerakan Draco saat ia sampai di lantai kantor itu. Sebagian dari mereka sudah tahu siapa Draco Malfoy karena insiden meledaknya ia saat pertama kali kabar hilangnya kontak antara Hermione dengan kantornya. Sebagian dari mereka sudah bersiap bila Draco akan mengulang hal yang sama lagi, tapi tidak pada nyatanya. Ia berjalan tenang menuju ke ruangan pemimpin redaksi kantor berita itu dan langsung masuk tanpa memedulikan tatapan setiap orang di sekitarnya.

"Tuan Malfoy," ucap pria paruh baya di hadapannya saat mengetahui sosok siapa yang tengah berdiri di hadapannya.

Tanpa harus repot duduk dan membuka jasnya, Draco langsung pada alasan mengapa ia sudah berada disini saat ini. "Apakah itu Hermione?" tanyanya.

"Kami belum dapat memastikannya. Mereka masih mengidentifikasi tubuh tersebut."

"Berapa besar kemungkinannya bahwa itu Hermione?"

"Sangat besar. Karena tempat penemuan mayat itu tak jauh daru homestay mereka."

Draco menghela napasnya. "Tapi kami masih menunggu hasil identifikasi terlebih dahulu."

"Berapa lama?"

David, pria paruh baya itu hanya sedikit menggeleng. "Kami belum tahu. Tak ada tanda pengenal yang ditemukan dan tubuhnya sudah hampir seluruhnya terbakar bagaimana mungkin.."

"Kau tak perlu memperjelas bagaimana kondisi dari tubuh istriku," tandas Draco dingin.

David terdiam. Keheningan menyelimuti ruangan itu. Sejujurnya adalah Draco tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia merasa meluapkan kemarahan bukan menjadi pilihan yang tepat saat ini. "Aku tahu hal ini berat bagimu, aku bisa merasakannya," David membuka suaranya.

Draco hanya tertawa sinis saat mendengar komentar darinya. "Kau tak pernah tahu, David. Karena bukan istrimu yang diberitakan mati mengenaskan seperti ini."

Satu kalimat dari Draco benar-benar berhasil membungkam pria itu seketika. Dan untuk kesekian kalinya tanpa berpamitan atau ucapan perpisahan lainnya Draco pergi dari ruangan itu.

000

Sudah satu minggu sejak pemberitaan tersebut namun kabar resmi dari pemerintah yang menyatakan bahwa warga negaranya tewas belum juga dilansir karena kesulitan dalam mengidentifikasi tubuh tersebut. Draco perlahan memberitahukan hal ini pada Elle dan reaksi puterinya hanyalah diam dan tak berbicara sedikitpun. Ia hanya berjalan ke kamar dan membaca bukunya. Berkali-kali Draco mengajaknya berbicara namun tak berhasil. Kehidupan Elle berjalan seperti biasanya, ia hanya tahu bahwa kini ia tak dapat berharap lagi suatu saat nanti ibunya akan datang mengetuk pintu rumah mereka dan kembali mengantarnya tidur dan membuatkannya pancake di pagi hari.

Harry dan Ron yang adalah dua sosok yang paling terpukul selain Draco akan berita ini. Bahkan Harry menggunakan segala kekuatannya di parlemen untuk menyelesaikan hal ini sejak awal. Ia meminta untuk diturunkan pasukan khusus guna mencari mereka dan hingga sekarang Harry belum menyerah akan keberadaan Hermione. Ia masih belum dapat percaya bahwa Hermione Granger telah tewas saat bertugas.

Terlepas dari reaksi puteri dan seluruh sahabatnya, Dracolah yang sekarang paling berusaha untuk menerima semua kenyataan itu. Bila Harry dan Ron masih belum percaya dan masih sepenuh hati berusaha mencari cara menemukan Hermione, Draco lebih memilih tenang dan fokus pada psikis dari Elle. Bila benar mayat itu adalah Hermione, ia hanya ingin tubuh itu segera dapat diterbangkan ke Amerika. Draco hanya ingin memberikan pemakaman yang layak bagi Hermione Granger. Itu saja.

Walau ia berusaha tegar, namun bila malam menjelang semua hal itu kembali menghantuinya. Ia kembali duduk di depan perapian dengan gelas scotch di tangannya. Saat Hermione pergi, ia pindah dari apartemennya ke rumah Hermione karena Elle. Setiap jengkal dari rumah itu mengingatkannya pada wanita yang satu-satunya ia cintai di muka bumi ini. Ia selalu berpikir bahwa kelak mereka akan duduk di sofa ini tepat di depan perapian untuk membicarakan hari yang telah mereka lalui. Hermione akan tidur di pangkuannya sementara Draco akan membaca bukunya dan Elle tengah terlelap di kamarnya setelah Hermione mengantarnya tidur. Tetapi, hal itu akan sangat mustahil dilakukan melihat apa yang terjadi saat ini.

Fakta yang terjadi adalah Draco tengah duduk sendiri di sofa ini di pukul tiga dini hari karena ini tak dapat memejamkan mata sedikitpun. Esok adalah akhir pekan dan ia seharusnya bangun dengan segar untuk menemani puterinya, tapi hal yang terjadi adalah ia masih setia duduk di sofa ini dengan gelas yang entah keberapa dari scotch-nya.

Tok..tok..

Draco seperti mendengar ketukan dari pintu rumah ini, namun ia hanya kembali menyesap minumannya. Terkadang efek dari terlalu letih dan alkohol adalah halusinasi.

Tok..tok..

Ketukan itu kembali terdengar. Ia sedikit melihat ke arah tangga rumah ini mencari sosok Elle yang mungkin terbangun dan mencarinya, namun tak ada Elle di tangga itu.

Tok..tok..

Draco bangkit dan berusaha memfokuskan pendengarannya pada suara itu. Ia tak berhalusinasi. Suara itu nyata dari pintunya. Ia masih yakin bahwa sekarang adalah pukul 3 pagi dan hanya orang sinting yang bertamu ke rumahnya. Tidak mungkin Blaise dan Harry,mereka sudah berkeluarga. Tak mungkin juga Ron karena ia berada bersama timnya. Hanya Theo satu-satunya yang mungkin datang menghampirinya selarut ini. Kebiasaan gilanya mabuk dan datang ke rumah Draco sudah ada sejak mereka remaja dulu.

Tertegun. Itu adalah ekspresi dari Draco saat mendapati sosok siapa yang ternyata mengetuk pintunya selarut ini. Bukan Theo. Wanita itu tersenyum dengan mantel tebal dan kulit pucatnya. Rambutnya dibiarkan tergerai begitu panjang. "Hai."

Wanita itu menyapanya dan Draco masih belum menunjukan satupun reaksi. "Aku menelepon ponselmu namun tak kau angkat, jadi aku melakukan cara konvensional dengan mengetuk pintu seperti ini."

Wanita itu berbicara panjang lebar, namun Draco masih terdiam. Ia masih tak mampu bereaksi. Dia membatu sepeti melihat hantu. "Draco," ucap wanita itu lagi.

Akhirnya Draco menjulurkan tangannya dan menyentuh wajah wanita di hadapannya ini. "Hermione," ucapnya bergetar.

"Aku merindukanmu, sayang," ucap Hermione dengan air mata yang mengalir dari pelupuk matanya.

Draco langsung maju dan memeluknya. "Kau hidup," ucap Draco yang masih memeluknya erat.

"Aku hidup," balas Hermione sesenggukan.

"Aku tak berhalusinasi?"

"Kau tak berhalusinasi."

Dengan cepat Draco membawa Hermione masuk beserta dengan kopernya. Seperti dalam gerakan autopilot, Draco berjalan ke dapur menyiapkan teh kesukaan wanitanya dan kembali dalam secepat kilat ke ruang tengah rumah ini. Sesekali ia memastikan bahwa Hermione benar-benar tengah duduk di depan perapian rumah ini. Wanita itu telah melepas mantelnya dan langsung naik ke kamar puterinya. Tak lama kemudian ia turun dan kembali menyandarkan dirinya di sofa. Rambutnya tumbuh sangat panjang dari yang terakhir kali dilihat Draco. Dan lebih gelap. Ia tersenyum kembali saat Draco sudah duduk di sampingnya dengan teh di tangannya. "Terima kasih," ucapnya.

"Kau ada dimana selama ini?"

"Menyelamatkan diri," balas Hermione setelah selesai menyesap tehnya.

Draco menatapnya tak percaya. "Kau menghilang setelah pengeboman itu. Kau hilang seperti ditelan bumi, Hermione."

"Aku berada di sebuah desa terpecil yang jauh dari segala akses."

"Kau tak menghubungiku demi Tuhan, Hermione," ujar Draco putus asa.

Hermione menghela napas dan memajukan tubuhnya. "Aku hampir mati karena bom itu. Para pemberontak tak menyukai warga asing di daerah itu. Mereka menembaki kami dan akhirnya kami diselamatkan oleh sekelompok warga lokal dan dibawa pergi jauh dari Kandahar. Sejak saat itu semua komunikasi kami terputus."

Rehat sejenak, Hermione melanjutkannya kembali. "Tak ada akses komunikasi satupun disana. Ponselku hilang di hari terakhir kita berkomunikasi begitupula dengan Dany."

"Lalu mengapa kau tak langsung pergi darisana?"

Hermione menggeleng. "Kami jadi buronan para pemberontak itu, kami tak dapat meninggalkan desa itu begitu saja. Mungkin bila aku langsung pergi saat itu, kau tak akan menemukanku di depan pintu larut malam seperti ini," Hermione berusaha bergurau namun jelas gagal di mata Draco.

"Sampai akhirnya dua hari yang lalu sebuah tim penyelamat berhasil membawa kami keluar dari sana dan aku berada di hadapanmu sekarang."

"Pemerintah tak mengabariku," balas Draco.

"Oleh karena itu disebut rahasia."

Draco hanya memandang wajah di hadapannya. Rasa tak percaya serta bersyukur yang tengah melingkupinya saat ini. "Kau dikabarkan mati, kau tahu itu?"

Hermione mengangguk. "Aku hampir gila," tambah Draco lagi.

Kembali Hermione menganguk dan air matanya menetes. Draco langsung menariknya untuk membenamkan diri di wanitanya. "Ouch," Hermione meringis.

Kontan Draco melepaskannya. Matanya tampak awas saat melihat ekspresi dari Hermione. "Jangan histeris, okay?" ujar Hermione saat akan menjelaskan apa yang terjadi padanya.

Perlahan ia menarik kemejanya dan luka perban di perut kirinya terpampang di hadapan Draco. "Aku tertembak saat menyelamatkan diri," ujar Hermione cepat dan langsung menurunkan kemejanya.

"Astaga, Hermione."

"Peralatan medis yang kurang membuat luka ini baru dapat pertolongan yang layak beberapa hari yang lalu," jelasnya kembali.

Draco yang semula ingin memeluk erat wanita ini mengurungkan niatnya karena takut melukai Hermione. Wanita dengan rambut cokelat terurai di hadapannya ini tersenyum dan membuka tangannya. "Kemari dan peluk aku, Draco. Kau tak akan pernah menyakitiku."

Perlahan Draco maju dan memeluknya perlahan. Hermione membenamkan wajahnya di dada Draco sementara Draco tampak tegang saking takut melukai wanitanya. "Maafkan aku karena membuatmu cemas," ucap Hermione.

Draco masih membelai lembut rambut wanitanya sambil menepuk-nepuk lembut punggungnya. "Maafkan aku karena tak ada disaat terberatmu."

"Aku akan mengikuti semua keinginanmu mulai sekarang, Draco. Apa yang kau suka sampai apa yang kau tidak suka. Aku akan mengikutinya. Bahkan aku akan melepaskan karirku bila kau menginginkan aku melakukannya saat ini."

"Shh Hermione. Aku tak akan pernah merubahmu lagi. Tak akan pernah."

Mereka terdiam dengan Hermione yang masih terbenam di dada bidang pria yang dicintainya. "Aku tak akan memintamu untuk menjadi apa yang kumau. Tetapi, kejadian ini kuharap membuatmu berpikir kembali dalam mengambil segala keputusan. Kau tak lagi sendiri, sayang. Kau memiliki aku dan yang terpenting kita memiliki Elle," ujar Draco.

"Aku pernah kehilanganmu satu kali dan hampir menjadi dua beberapa jam yang lalu. Aku tak sanggup untuk kehilangmu untuk ketiga kalinya," tambah Draco lagi.

Hermione menggeleng. "Kau tak akan pernah kehilanganku untuk ketiga kalinya, honey."

000

"I sleep better when I'm with you," ujar Draco sambil mengecup cuping hidung Hermione saat ia terbangun.

Hermione masih terpejam namun langsung tersenyum saat mendengar ucapan dari Draco. Ia masih bergelung di dada pria itu dengan posisi yang dibuat senyaman mungkin agar lukanya tidak tersentuh.

"Good morning," balas Hermione yang langsung menarik kepala Draco dan mengecupnya lembut.

Draco tersenyum mendengarnya. "Pukul berapa sekarang?"

"Delapan pagi."

"Elle?"

"Bersama Selma di dapur," jawab Draco santai.

Hermione tersenyum lalu mengusap lembut dagu Draco. "Kau sudah beremu dengannya pagi ini? Dia sudah tahu bahwa aku sudah pulang?" tanya Hermione yang dijawab Draco dengan gelengan.

"Kau yang akan memberikannya kejutan."

"Kalau begitu ayo kita beri dia kejutan sekarang."

Wanita itu dibantu Draco bangkit untuk membersihkan diri serta mengenakan jubah satinnya untuk menemui puteri mereka yang tengah sarapan dengan pengasuhnya. Hermione turun dengan sangat bersemangat untuk bertemu dengan Elle karena tadi malam ia hanya sanggup memandang anaknya itu tanpa berani mengganggu tidurnya. Air matanya mulai menetes saat melihat Elle tengah menyuapkan roti panggangnya ke mulut. Hermione menatapnya dari ambang pintu dapur. Selmalah yang pertama kali menyadari keberadaanya. "¡Dios mÍo!" ujar wanita itu saat melihat Hermione.

Elle yang tahu bahwa pengasuhnya itu tengah terkejut mengikuti pandangannya dan terdiam saat melihat siapa yang tengah ditatapnya. "Mum," ujarnya.

"Elle," Hermione langsung memeluknya.

Elle hanya diam tak mengeluarkan reaksi apapun. Hermione melepaskannya. "Mum sangat merindukanmu," ucap Hermione yang tak henti-hentinya menciumi puteri kecilnya.

Sementara Elle hanya melihat ibunya tanpa mengeluarkan sepatah katapun. "Kau tak mati?" tanyanya polos.

Ibunya langsung menggeleng. "Aku tak mati. Aku sudah pulang," balasnya.

Elle hanya mengangguk-angguk lalu turun dari kursinya dengan sedikit meloncat. "Aku mau mandi Selma," ujarnya lalu pergi meninggalkan ibunya.

Hermione terpaku mendapati puterinya sama sekali tak tertarik dengan kepulangannya. Ia berharap bahwa Elle akan menempel terus padanya karena takut kehilangannya lagi, tapi ia malah lebih meninggalkan ibunya untuk mandi. "Dimana Elle?" tanya Draco yang baru saja bergabung dengannya di dapur.

"Dia mandi."

"Lalu?"

"Dia tampak sangat biasa saat bertemu denganku, Draco. Apakah ia sama sekali tak merindukanku? Apa ia selama ini tak pernah menanyakan kabarku? Ia menatapku dingin dan hanya menanyakan apakah aku tidak mati lalu pergi begitu saja."

Draco memeluk Hermione dan mencium kepalanya. "Dia sangat merindukamu, Hermione. Hampir setiap hari sejak kau pergi dia selalu menanyakan kabarmu, namun sejak berita tentang kematianmu dia berhenti menanyakan segala hal tentang dirimu."

"Lantas aku benar-benar mati di kehidupannya sekarang?" tanya Hermione frustrasi.

"Dia terguncang. Dia baru enam tahun dan kau harus mengerti itu."

Draco lalu pergi ke kamar puterinya yang kini tengah duduk di dekat jendelanya sambil memegang sebuah buku namun tak terlihat sedang membacanya. "Apakah aku boleh masuk?" tanya Draco sesaat setelah mengetuk pintunya yang dijawab dengan anggukan dari Elle.

"Apa yang kau baca?" tanya Draco.

"Hanya sebuah buku cerita yang kubeli beberapa hari yang lalu bersama Selma," Elle bersila saat Draco menghampirinya dengan cangkir gelas cokelat panas dengan marsmellow di atasnya.

Ayanhnya menyodorkan cangkir itu. "Cokelat?" cangkir itu langsung diterima dengan sumeringah oleh Elle dan secara perlahan diseruputnya.

"Kau sudah bertemu Mum?"

Elle mengangguk mendegar pertanyaan ayahnya. "Kau tak merindukannya?" tanya Draco lagi.

"Dia tidak jadi mati?" tanya Elle dengan sangat polos.

Kali ini Draco yang menggeleng. "Kenapa?"

"Karena bukan tubuh Mum yang ditemukan disana. Itu tubuh orang lain," Draco berusaha menjelaskan kepadanya.

Elle diam. Ia masih berusaha mencerna apa yang terjadi dan apa yang ayahnya berusaha untuk sampaikan. "Tapi kata semua orang ia mati. Temanku, guruku, dan kau. Kau mengatakan bahwa aku tak akan dapat bertemu dengannya lagi karena kini ia telah di surga."

"Mum tak jadi pergi ke surga. Tuhan tak jadi menjemputnya. Ia ada disini sekarang. Kembali bersama kita lagi," jelas Draco semudah mungkin agar Elle dapat mencernanya dengan baik.

Kembali Elle terdiam. Ia memainkan cangkirnyanya. Jari-jari mungilnya tampak menepuk-nepuk tubuh cangkir itu. "Jadi maksudmu, wanita itu benar-benar Mum? Mum telah kembali. Dia tak jadi pergi ke surga?"

Draco mengangguk. "Dia tak akan meninggalkan kita lagi?"

Lagi-lagi Draco mengangguk. "Kau mau bertemu dengannya sekarang?" tanya Draco.

Hermione sudah menyesap separuh tehnya dengan beberapa cookies yang disediakan Selma tadi. Ia masih menunggu Draco yang tengah berbicara dengan Elle tentang apa yang sebenarnya terjadi padanya. Ia mulai frustrasi karena hampir setengah jam lamanya ayah dan anak itu tak kunjung menghampirinya. "Kau mau tambah tehmu lagi, Nyonya?" tanya Selma.

Wanita itu menggeleng. "Kau tampak sangat kurus."

Hermione hanya tersenyum menanggapi komentar dari pengasuh puterinya itu. Suara derap kaki yang terdengar memasuki dapur itu mengalihkan perhatian Hermione. Ia menatap Elle yang perlahan berjalan ke arahnya. "Mum," ucapnya.

Ibunya langsung berlutut dan membuka lebar tangannya. "Kemari, sweetheart.

Elle langsung memeluk ibunya. Tak ada ungkapan bahwa ia merindukan ibunya. Dia hanya memeluk erat Hermione, sementara Draco hanya tersenyum memperhatikan keduanya. "Aku ingin sekali menggendongmu, tapi aku tak bisa."

"Kau sakit?" tanya Elle.

Hermione menjentikan jarinya sambil tersenyum. "Sedikit."

Elle ikut tersenyum tanpa bertanya lagi lalu memeluk ibunya. Hermione menatap Draco. "Terima kasih," Hermione memberi isyarat pada pria itu.

Draco hanya tersenyum.

000

Seluruh sahabat mereka berkumpul untuk bertemu langsung serta merayakan kepulangan Hermione. Mereka mendengar dengan saksama seluruh cerita dari Hermione. Harry dan Ginny tak henti-hentinya mengucap syukur atas keselamatan sahabatnya ini. Sementara Blaise dan Theo tetap mengeluarkan cerita-cerita konyol tentang betapa merananya Draco sementara Ron hanya dapat berkomunikasi via ponsel karena jadwal liganya yang tak dapat diganggu gugat.

Akhirnya kehidupan mereka kembali normal seperti semula. Tak ada lagi yang mengusik pikiran Draco selama di persidangan dan selama ia menangani seluruh kasus kliennya. Hermione sudah kembali ke kantornya begitupula dengan Dani yang kini telah resmi menjadi kekasih dari Theodore Nott.

Sekitar pukul 8 malam, Hermione sudah berdiri menunggu Draco di loby kantornya. Sekembalinya dari bertugas ia tak lagi memegang acara prime time seperti di kantor berita sebelumnya. Ia hanya memproduseri acara berita di sore hari sehingga ia dapat berkumpul dengan Elle dan Draco lebih cepat. Musim panas yang sudah mulai menyapa New York membuat matahari enggan kembali ke peraduannya meski waktu tak lagi siang. Langit masih terlihat cerah dengan semburat merah bak senja walaupun waktu sudah menunjukan sekitar pukul 8 malam. Akhirnya sebuah SUV yang ditunggu Hermione tiba di hadapannya. "Hey," sapa Draco yang langsung mengecup wanitanya itu.

"Kau sudah makan malam?" tanya Hermione.

Draco menggeleng. "Kita mau mampir makan terlebih dahulu atau langsung pulang?" Hermione kembali bertanya.

"Langsung pulang saja," jawab Draco

Draco melihat spionnya terlebih dahulu sebelum membanting kemudinya dan melaju di jalanan Manhattan. "Kita panggil pesan antar saja, aku ingin makanan China," tambahnya lagi sementara Hermione hanya mengangguk.

Sudah hampir satu jam mereka berada di dalam mobil dan tak bergerak sama sekali. Kemacetan kota ini kembali menyapa. Hermione mengeluarkan botol minuman dari tasnya dan meneguknya sesaat. "Minumlah, kau tampak berkeringat," ucap Hermione sambil mengusap kening Draco yang sedikit basah.

"Apakah pendingin ini kurang berfungsi? Kenapa kau begitu bekeringat."

"Pendingin mobil ini kurang berfungsi sepertinya," jawab Draco.

Hermione hanya mengerutkan dahinya. "Kau sebaiknya tinggal di Alaska, honey."

Draco langsung menyeka keningnya dan menghela napas. Dibukanya seatbealt yang sedari tadi digunakannya dan mengambil sebuah kotak dari dashboard mobilnya. Ia langsung memberikannya pada Hermione. "Bukalah," ujarnya sangat biasa pada Hermione lalu menenggak air mineral yang tadi disodorkan oleh wanita itu.

"Ulang tahunku masih lama," ujarnya.

"Buka saja," tandas Draco.

Hermione baru saja membuka kotak itu dan tak ada teriakan histeris atau semacamnya. Keningnya justru mengerut lalu menatap Draco. "Menikahlah lagi denganku."

"Seriously, Draco?"

"Hargai sedikit usahaku," balas Draco.

Hermione tak tahan untuk tak tertawa melihat ekspresi dari pria di sampingnya ini. "Kau tidak menyukainya?" tanya Draco yang mulai fokus pada jalanan karena kemacetan perlahan mulai menunjukkan titik cerahnya.

"Bukannya aku tidak suka, tapi apa kau benar-benar melamarku di mobil kala terjebak macet seperti ini?" tanya Hermione tak percaya.

Draco masih memperhatikan spionnya untuk mencoba menyalip mobil di depannya. "Draco!"

"Aku sebenarnya ingin memberikan itu di rumah, tapi aku tak suka menunggu. Menunggu membuatku kesal. Dan aku tak suka hal itu."

Kali ini Hermione memberengut. "Kau sama sekali tak memiliki urat romantis yaa?"

Draco mengedik. "Kau mengenalku lebih baik dari semua orang, tentu kau tahu jawabannya."

"Jadi kau mau kembali menjadi istriku atau tidak?"

Hermione hanya menatap pria ini tak percaya. "Kau juga mengenalku lebih baik dari siapapun, tentu kau tahu jawabanku."

Draco melirik ke wanitanya. "Kau bersedia?"

Hermione langsung melepas seatbealt-nya dan mencium prianya. "Tahan, Hermione. Aku akan lepas kendali bila kau menggodaku," kekeh Draco.

"Aku memang sedang mencoba membuatmu lepas kendali," balas Hermione.

"Tunggu sampai rumah dan akan aku pastikan kau tak dapat berjalan ke kantor esok hari."

Hermione tertawa lepas. "Dosa apa aku di masa lalu sehingga aku begitu mencintaimu," ucap Hermione.

"Seharusnya aku yang yang mengatakan hal itu, dosa apa aku di masa lalu sehingga aku akan terjebak denganmu selamanya."

Kali ini wanita itu benar-benar melepas seatbealt-nya dan bergelayut manja di lengan Draco. Pria itu masih fokus mengemudi dengan sesekali mencium puncak kepala ibu dari anaknya serta calon istrinya lagi itu. "Aku mencintaimu," ujar Hermione.

"Aku juga mencintaimu. Dan cepat pakai seatbealt-mu."

Hermione mendengus dan tertawa di saat yang bersamaan.

000

Tak ada pesta di sebuah hotel dan pemberkatan di kathedral serta semacamnya, Draco dan Hermione akhirnya memutuskan untuk menikah di city hall dan memboyong seluruh sahabatnya ke Bali dan mengucap janji di hadapan mereka. Dengan berlatarkan pantai dan kanopi bunga yang disiapkan Dian begitu mendengar bahwa mereka akan kembali bersama dan mengikat janji di Bali, mereka memperbaharui dan mengucap kembali janji pernikahan. Draco hanya mengenakan kemeja putih dengan celana hitam serta dasi kupu-kupu tanpa tuxedo atau jas lainnya dan sudah berdiri di hadapan Hermione yang juga hanya mengenakan gaun putih selutut perpaduan satin dan lace dengan rambut yang dibiarkan tergerai. Pria itu sudah menggenggam tangan istrinya dengan senyuman di wajahnya.

"When I met you for the first time, when you were just freaking out because the blackout, I had no idea how much my life was about to be changed but then how could I have known? And then we accidentally bumped in the bar when I saw you babbling about your thesis under the alcohol. Your expresion was priceless. When finally you become the part of my life, I realized that what I had always thought was happiness couldn't compare to the joy loving you brought me. You brought the most beautiful joy to the world called Eloise, our daughter. I know, that I slowly changed to become a jerk and end up in misery. But I know that anything can't separate us. You're a part of my everything I think and do and feel. And with you by my side I believe everything is possible. And now you're my wife again. Thank you for the miracle of you. You are and and always be the love of my life. I will love you, cherish you and hold you in the highest regard. I will support you and comfort you, in the joyous and sorrows, in healths and in sickness. I will stand by your side untill the sun not shining again. Because you're my forever ending. I love you, Hermione."

Air mata Hermione sudah meleleh tak menentu mendengar janji dari suaminya ini. "Sejak kapan kau berubah menjadi romantis, huh?"

Draco menyeka air matanya. "Ucapkan janjimu sekarang," kekehnya.

"I love you, Draco Malfoy. I love you enough to figth for you, compromise for you and sacrifice for you if I need be. Enough to miss you incredibly when we're apart no matter what lenghts of time it's for and regardless of the distance. Enough to believe in our relationship to stand by it through the worse of times, to have faith in our strenght as a couple and to never give up on us. Enough to make me run in the super heavy rain to just say I don't wanna lose you anymore. Enough to be your wife again. Enough to spend the rest of my life with you, be there for you when you need or want me, and never, ever want to leave you or live without you. Because like you said that you're my forever ending."

Draco langsung mencium Hermione saat ia telah selesai mengucapkan janjinya. Seluruh sahabatnya bertepuk tangan dan bersorak melihat keduanya.

000

"Apakah ada pertanyaan tentang kuliah kita hari ini?"

Seorang mahasiswa pasca sarjana mengacungkan tangannya. "Apakah kau benar-benar pernah menjadi produser lapangan di Kandahar lalu dinyatakan hilang dan meninggal?"

Hermione hanya sedikit tersenyum. "Jawabannya adalah benar, tapi biasakan jangan merubah topik pembahasan kita saat ini, Tuan Lively."

Si empunya hanya mengedik. "Baik, Profesor."

"Kelas bubar," ujar Hermione.

Setelah pualng dari Kandahar, Hermione memutuskan untuk melanjutkan pendidikan doktoralnya dan menjadi dosen untuk program pasca sarjana di bidang jurnalistik. Kariernya masih cemerlang dengan jabatan pemimpin redaksi dan dosen di almamater kampusnya dulu, namun dengan waktu luang yang lebih banyak.

Hermione sedang membereskan mejanya saat Thomas Lively mahasiswa pasca sarjana itu datang mendekatinya. "Profesor."

"Ada yang bisa kubantu?"

"Aku akan bertanya tapi ini benar-benar di luar topik kuliahmu tadi."

Hermione hanya mengangguk. "Bagaimana caranya kau bisa memilik karir secemerlang itu dan menjadi profesor di usiamu yang aku yakin belum mencapai kepala empat."

"Niat," jawab Hermione dengan entengnya.

Thomas Lively tertawa. "Apakah kau semisterius ini dengan semua mahasiswamu?"

Hermione menggeleng. "Tak ada satupun yang mengatakan bahwa aku misterius."

Thomas tertawa melihat reaksi dari profesornya itu. "Kau mau makan siang bersamaku?" tanya Thomas lagi.

Hermione kali ini benar-benar tertawa. "Tuan Thomas, apa kau sedang merayuku?"

"Apakah sangat terbaca?"

"Pertama aku bukan tipe pengajar yang akan dengan mudahnya makan siang bersama dengan mahasiswanya untuk banyak alasan. Dan kedua, kau tak melihat bahwa aku sudah menikah dan hamil tua?"

Thomas Lively hanya tertawa. "Selalu ada kesempatan, Profesor Malfoy."

"Kerjakan thesismu dengan baik dan sampai jumpa di seminarku setelah aku melahirkan."

Hermione langsung berjalan keluar dari kelas itu dan melihat suaminya yang sudah menunggu di ujung lorong gedung ini. "Hey, honey," sapa Hermione dengan Draco yang langsung mengecup pipinya.

"Apa kabar jagoan kecilku hari ini?" tanya Draco.

"Sangat bersemangat hingga pinggangku terasa akan patah."

"Kau mau makan siang sekarang?"

Istrinya langsung mengangguk. "Ayo kita makan siang, sebelum mahasiswaku yang mengajakku makan siang."

Draco langsung melotot mendengarnya. "Apa maksudmu?" Hermione hanya tertawa dan masuk ke mobil hitam di hadapannya.

000

Hermione Malfoy baru saja masuk ke dalam kantornya untuk saat mendapati sosok yang sudah lama sekali tak dijumpainya berdiri tepat di hadapannya. Pria itu sama sekali tak berubah. Tetap sama dengan sosok yang dahulu pertama kali ia kenal. "Hermione," sapanya dengan senyuman khasnya.

Lesung pipinya seakan tertarik masuk saat ia melakukan hal itu. "Sangat baik. Apa kabarmu, Chris?"

"Baik sepertimu. Jadi, seperti ini dirimu bila tengah mengandung?"

Hermione hanya tertawa. "Kau tetap cantik seperti biasanya, Hermione."

"Kau mau duduk untuk minum kopi bersama? Masih ada beberapa menit sebelum aku harus ke studio dan aku ingin tahu apa kabar NYNC sekarang."

Chris tertawa mendengarnya. "NYNC masih berjalan meski executive producer-nya tak sehandal dirimu," kekeh Chris.

"Aku ingin sekali, tapi aku harus kembali ke kantor."

Hermione mengangguk. "Sampai bertemu lagi, Hermione."

"Sampai bertemu lagi, Chris."

000

Hermione tengah duduk di ruang tengahnya dengan kaki yang lumayan membengkak yang kini tengah ia pijat perlahan dengan baby oil agar melemaskannya. Kegiatannya hari ini membuatnya sangat kelelahan apalagi dengan usia kandungannya yang sekarang. Bila Draco tahu hal ini maka ia akan menceramahinya panjang lebar lagi.

"Kakimu bengkak lagi?" tanya Draco yang tetiba muncul dari belakang sofa.

Hermione mengedik. "Hal ini sudah biasa terjadi pada wanita hamil," jawab Hermione santai.

"Kau sudah melihat Elle? Dia masih belajar?" tanya Hermione yang dijawab dengan anggukan oleh Draco dan langsung duduk di sampingnya lalu mengangkat kaki istrinya dan meletakkannya di pangkuannya.

Setelah memasuki usia kandungan minggu ke-30 , Hermione sudah jarang melihat kegiatan Elle dilantai atas sampai sekarang. Letak kamar puterinya yang di lantai dua itu membuatnya susah dijangkau serta Draco juga melarang ia naik bila tak ada yang sangat penting untuk dilakukan. Lagipula Elle merasa dirinya sudah terlalu besar untuk diantar tidur oleh ibunya. Draco masih memijat lembut kaki istrinya sementara Hermione hanya memerhartikan dengan seksama. "Rumah ini akan menjadi sepi saat Elle pergi ke Inggris nanti," ujar Draco.

"Mungkin kita akan sering berkahir pekan di Hampton bersama si kecil bila Elle sudah pindah kesana," tambah Draco kembali dengan sangat melankolis.

Istrinya menghela napas. Sudah menjadi keinginan dari Elle untuk melanjutkan sekolahnya di Inggris saat sekolah menengah atas nanti. Ia ingin menjadi bagian dari Hogwarts seperti ayah, ibu, serta aunty dan paman-pamannya. "Masih ada beberapa tahun lagi. Elle masih 12 tahun," balas Hermione.

"Tetapi, waktu bergerak begitu cepat," balas Draco.

Hermione tak dapat mengelakan hal itu. Waktu benar-benar berjalan begitu cepat. Rasanya baru saja ia kembali bersama dengan Draco, rasanya baru saja ia merampungkan program doktoralnya, rasanya juga ia baru saja melahirkan Elle tapi sekarang ia sudah berusia 12 tahun dan kini Hermione tengah menantikan kelahiran anak kedua mereka. Pikiran Hermione langsung dibuyarkan dengan kontraksi hebat dari perutnya. Dia langsung memegang perutnya dan menghela napas panjang. "Kau kontraksi lagi?" tanya Draco.

Hermione hanya mengangguk. "Bukankah due date-nya masih minggu depan?"

Kembali Hermione mengangguk. "Hal ini sangat biasa. Tenang saja."

"Kau mau teh?"

"Tentu," ujar Hermione menerima tawaran dari suaminya.

Draco langusng pergi ke dapur dan sibuk membuatkan teh untuk istrinya. Hermione tak pernah berpikir hari ini akan datang. Hari dimana ia akan duduk bersantai setelah makan malam dengan Draco sementara Elle berada di kamarnya dengan seluruh kegiatannya. Atau hari dimana Draco akan memijat lembut kakinya yang tengah membengkak karena kandungannya yang juga semakin membesar. Setelah perceraiannya, Hermione tak pernah berani berpikir akan masa depannya apalagi dengan insiden di Kandahar beberapa tahun lalu. Ia hanya fokus bagaimana cara membahagiakan puteri semata wayangya. Tetapi, kehendak Tuhan berkata lain. Kini ia tengah berada di ruang tengah rumahnya dengan Draco – pria yang sangat mencintainya – yang tengah membuatkan teh untuk dirinya. Segala aspek kehidupannya kini telah berubah. Karena akan ada masa dimana wanita akan perlahan berubah dan ia tak merasa hal itu buruk untuk orang yang dicintainya. Seperti Hermione yang kini tengah menunggu kelahiran anak keduanya, walaupun ia tak pernah memikirkan hal itu sebelumnya, atau kini ia menjadi pemimpin redaksi yang tak secara langsung terjun di sebuah acara karena ada keluarga yang menunggunya di rumah. Dan ia sangat bersyukur dengan hal itu.

"Ini tehmu," ucap Draco sambil menyodorkan cangkir putih kepadanya.

Senyuman terpulas di wajahnya. "Terima kasih."

Baru saja ia hendak menyesap teh itu, sebuah kontraksi yang lebih hebat melandanya. "Wow, honey. Kau baik-baik saja?"

Sementara Hermione hanya diam menahan sakitnya. "Draco."

Draco lagsung memandang istrinya dengan tatapan horor. "Jangan menakutiku, Hermione."

Hermione mencoba tersenyum di tengah kontraksinya. "Tersenyumlah, Draco. Aku akan segera melahirkan."

000

the end

Hey, how's the finale? Hope you like it. I'm sorry for the mixing language, it just didn't feel right if I wrote it in Indonesian. So please, don't complaint me hehe. Thank you for every single review, alert, favorites. That's make me love you more and more. And for my reader, you know that I couldn't be more grateful to have you in my life hehe. Thanks to my favorites musicians who always inspire me and accompany me to wrote this fict. Thank you John Meyer for Edge of Desire and Slowly Dancing in a Burning Room. Thank you Radiohead for High and Dray. Thank you Ed Sheeran for Tenerife Sea and Sara Barailles for I choose you.

Hope I can write another story. Thank you and I love you:)

Eve