Karena semua bermula dari satu hal, dan akan kembali menjadi satu.

.

.

Ia melangkahkan kaki, cepat tapi terarah, seperti berlari dari sesuatu walau nyatanya hanya ada dirinyaa di jalan itu. Langit gelap, dengan penerangan minim berupa lampu-lampu jalan yang bersinar redup. Awan mendung menutupi benda-benda langit—mungkin akan terjadi badai atau mungkin hanya hujan biasa. Angin dingin berhembus—kencang dan telak mengenai dirinya, membuat jubah hitam yang dikenakannya tertiup berkali-kali. Ia berkali-kali memegangi tudungnya, berusaha agar wajahnya tak terlihat sedikit pun.

Trek.

Ia berhenti, lalu berbalik. Deru nafasnya terdengar jelas, dan jantungnya terus berdegup kencang. Ia menelan salivanya. Harusnya tidak ada yang tahu ia ada di sini. Tidak seorang pun.

Langkah kakinya kini mundur—pelan tapi pasti. Suara itu seperti ranting atau kerikil yang terinjak, sepelan apapun seseorang melangkah bunyi kedua benda yang terinjak itu tidak bisa dibilang pelan sama sekali.

Ada seseorang di dekatnya.

Ia yakin akan hal itu, tapi tidak bisa menebak siapa kira-kira yang berada di sini.

Ini adalah pemukiman penduduk, siapapun bisa berada di sini—sengaja ataupun tidak.

Trek.

Suara itu lagi.

Ia menajamkan penglihatannya. Tidak ada pergerakan mencurigakan di sekitarnya. Mungkin tidak ada, atau mungkin tidak terjangkau oleh retinanya. Atau mungkin hanya perasaannya saja.

Semuanya memang mungkin. Karena di tengah kegelapan dan sepi ini, apapun bisa terjadi atau malah tidak terjadi apapun sama sekali.

Ia membalikkan badannya. Kembali menggerakkan kedua kakinya untuk pergi sejauh mungkin—

—mengabaikan sesosok bermata gelap yang mengawasinya dari jauh.

.

.

.

"Nghh…"

Namja beriris coklat tua itu membuka kedua matanya perlahan. Bias matahari yang menyusup masuk melalui jendela yang tirainya terbuka lebar itu sontak langsung menerpa kedua matanya. Refleks ia kembali menutup matanya.

"Ah, hyung… kau sudah bangun?"

"Jiho…?" Namja yang baru saja terbangun itu menatap sosok lain di kamarnya yang berdiri dekat jendela. Sebelah tangannya meraba meja di sebelah tempat tidur, berusaha mencari keberadaan kacamata yang biasa dipakainya. Penglihatannya sebenarnya normal, hanya saja kalau tidak memakai benda itu rasanya ada yang kurang.

"Hojoon-hyung, kau baik-baik saja? Wajahmu agak pucat, lagipula tumben sekali hyung bangun di saat matahari sudah agak tinggi."

"Hah?"

Ia—Hojoon—sedikit mengerjap. Sesiang itukah? Memang tumben sekali dirinya bangun di saat ia biasanya bahkan selalu terbangun ketika penghuni tempat ini masih bergelung di balik selimut mereka.

"Yang lain bahkan sudah lebih dulu sarapan—gara-gara Changmin-hyung tumben-tumbennya bangun lebih pagi dari biasanya dan mereka khawatir jatah makan mereka berkurang drastis karena dia."

Hojoon masih diam. Lebih tepatnya ia memikirkan apa yang dimimpikannya. Itu bukan mimpi biasa, dan sejak ia kecil ia sudah belajar—jangan pernah mengabaikan mimpi apapun yang menjadi bunga tidurnya kalau tidak mau sesuatu yang buruk terjadi.

Masalahnya, adalah itu apa?

Seseorang berlari di tengah malam di sebuah pemukiman—dengan seseorang yang lain yang mengawasinya? Siapa mereka? Itu masa lalu, masa depan, atau malah terjadi tepat ketika ia bermimpi hal itu?

"Hyung?"

Hojoon mendongakkan kepalanya. Jiho menatapnya dengan khawatir. "Ne?"

"Apa kau mendapat penglihatan yang aneh lagi?"

Hojoon diam, dan Jiho bisa menyimpulkan kalau apa yang diucapkannya memang benar.

.

.

Bangunan itu berdiri di tepi tebing, di tengah belantara hutan dengan pegunungan yang menjulang di belakangnya. Luas dan kokoh, bercat coklat muda kusam dan beberapa sulur tanaman rambat yang menghiasi pagarnya yang tinggi. Bangunan bernuansa gothic, yang bahkan lebih terlihat seperti istana hantu daripada tempat tinggal—padahal faktanya ada puluhan orang yang tinggal di sini.

Keributan di pagi hari adalah satu dari sekian banyaknya hal rutin yang selalu terjadi.

Park Jungsoo memijat pelipisnya pelan. Berusaha mengabaikan apa yang terjadi tepat di depan matanya—malah kalau bisa, buta sementara untuk saat seperti ini juga tidak masalah untuknya. Menjadi yang tertua di mansion ini tidak berarti ia akan didengar—terutama oleh mayoritas penghuninya yang memang masih remaja akhir yang labil. Apalagi dengan fakta bahwa seluruh penghuni di sini bukanlah orang biasa, kadang ego akan diri sendiri seringkali menguasai anak-anak ini.

"Kalau kau pusing dengan kelakuan mereka, kenapa tidak minta bantuan Minseok saja untuk membekukan mereka semua? Setidaknya itu akan menjadikan musim panas yang menyengat ini sedikit lebih sejuk."

Jungsoo memutar bola matanya. Suara itu berasal dari namja di sebelahnya, menikmati sarapan paginya dengan tenang tanpa terganggu keributan kecil di sekitarnya. Sebagian besar mempermasalahkan hal yang sama—perebutan makanan. Karena biasa terjadi, ia sudah cukup terlatih untuk mengabaikannya begitu saja. Kesal sih, tapi sekali lagi, percuma memperingati mereka—bahkan walau statusmu adalah salah satu yang tertua di sini.

Ngomong-ngomong, namanya Kim Jongwoon.

Salah satu dari yang tertua di sini—bukan paling tua, karena urutannya adalah yang keempat. Tapi seringkali dianggap seusia dengan remaja-remaja labil di sekelilingnya, mengingat wajahnya yang memang terlihat lebih muda dari usia aslinya. Terkadang pendiam, tapi kalau sedang niat bisa jadi orang yang sangat menyebalkan.

Jungsoo memilih untuk tidak menanggapinya, toh Jongwoon sendiri juga tak berniat ucapannya akan direspon. Lebih baik segera menyelesaikan sarapannya dan segera pergi dari sini—kalau perlu, menghilang ke kota dekat tempat tinggal mereka juga bisa.

Ia menatap sekelilingnya. Rasanya ada yang kurang—mungkin. Siapanya, ia tidak tahu. Terlalu banyak penghuni, rasanya sulit untuk benar-benar menghitungnya.

"Kalau hyung mau tahu, dua orang lagi belum turun ke sini untuk sarapan."

Bersamaan dengan kalimat itu selesai terucap, namja di sebelahnya itu telah menghilang—hanya menyisakan piring dan gelas kosong di atas meja. Kebiasaan buruk orang itu, menghilang ketika masih terlibat pembicaraan.

Jungsoo menarik nafasnya. "Setidaknya, katakan sesuatu kalau ingin pergi. Hampir saja aku menjawab kalimatnya itu."

Ia tidak mempermasalahkan dengan ketidakhadiran dua orang itu. Toh, kalaupun Changmin benar-benar menghabiskan makanan di atas meja—Ryeowook dan Kyungsoo masih akan dengan senang hati memasakkan sesuatu untuk mereka.

Yang jadi permasalahannya sekarang adalah… kenapa perasaannya mendadak jadi tidak enak seperti ini?

.

.

"Daripada disebut penyihir, lebih tepat disebut orang-orang dengan kemampuan khusus." Itu suara seorang namja, sedang merebahkan diri di atas rerumputan di halaman belakang mansion. Namanya Kim Junmyeon—mengasingkan diri dari kegiatan di ruang makan, segera setelah ia menyambar beberapa potong roti panggang untuk sarapannya. Tubuhnya sedikit lebih pendek dari kebanyakan orang di sana, dan terlibat dalam keributan rutin itu jelas bukan opsi yang baik untuknya.

Laki-laki lain—berambut hitam dengan raut wajah tegas—berada dalam posisi yang sama dengannya, tepat di samping kanan.

"Hm?"

"Penyihir identik dengan wanita kan?"

"Tidak juga."

Singkat, tapi tidak jelas. Irit bicara seperti biasanya dan Junmyeon sudah lebih dari cukup untuk mengenal tabiatnya yang kadang membuatnya sesekali ingin menggeplak kepalanya. Hanya saja perbedaan tinggi badan yang cukup jauh membuatnya harus selalu mengurungkan niat buruknya itu.

Namanya Wu Yifan—ngomong-ngomong, Kabur ke tempat ini dari ruang makan, karena jengah dengan keramaian. Yah, hebat juga sih, masih bertahan tinggal di tempat ini selama dua tahun.

"Daripada diidentikkan dengan wanita, kurasa penyihir lebih tepat untuk diidentikkan dengan sesuatu yang berkonotasi buruk. Pembawa sial atau pengundang bencana misalnya—terlepas dari fakta bahwa daripada disebut orang-orang berkemampuan khusus, kita lebih cocok disebut penyihir, menurutku."

Itu kalimat terpanjang yang pernah didengar Junmyeon dari mulut seorang Wu Yifan. Applause untuknya—maksudnya untuk Junmyeon, bukan Yifan. Karena hanya dirinya yang berhasil membuat laki-laki irit bicara ini mengeluarkan satu kalimat dengan jumlah kata lebih dari sepuluh.

Hampir Junmyeon membuka mulutnya untuk mengucapkan sepatah-dua patah kata, sesuatu telah lebih dulu memotongnya—

Siiinnngg— BRAKK!

—sesuatu jatuh tepat di depan tempat mereka berada.

Refleks keduanya terbangun, saling memandang sebelum kemudian mengalihkan kembali perhatian pada pojok tempat sesuatu itu terjatuh. Gumpalan asap bercampur debu masih menutupi daerah itu, membuat penglihatan mereka terganggu untuk mengetahui, sebenarnya itu apa.

"Ayo."

Yifan menarik tangan Junmyeon, mendekati tempat yang masih tertutupi oleh gumpalan debu. Sekaligus juga mengabaikan tatapan protes Junmyeon yang tidak mau ke sana. Bisa saja kan itu adalah sesuatu yang berbahaya—toh tipe sihirnya bukan tipe untuk menyerang, seoerti milik namja jangkung yang sedang menarik tangannya ini.

Jarak mereka tinggal satu meter, dan seketika alis keduanya berkerut, saling pandang, lalu kembali teralih pada objek di depan mereka.

Seorang namja—bersurai perak. Postur tubuhnya kecil, mungkin hampir seperti sama tinggi dengan Junmyeon. Jubah hitamnya kotor dan compang-camping—dan ia dalam keadaan tidak sadarkan diri.

"Siapa?"

.

.

THE CAPE OF STORMS—

Prologue

.

By: Reisuke Celestine

.

Disclaimer: The Casts is belong to themselves

.

.

a/n: saya datang dengan ff fantasy bercast: EXO, SJ, ToppDogg, DBSK, dan lain-lain, tergantung gimana nanti. ^^

RnR?