CHAPTER 6

.

Di rumah keluarga Potter, Scorpius dan Hugo kelaparan, dan wangi hot-eee-doggie Harry yang tercium sampai ke lantai atas membuat mereka meneteskan air liur. Hugo yakin kalau dia nggak segera makan sesuatu, dia akan mati kelaparan dan bunyi perutnya yang keroncongan, membuat Scorpius yakin hal itu akan terjadi.

"Oke," kata Scorpius pada Hugo saat dia menuruni tangga darurat di luar kamar Albus. "Aku akan mengalihkan perhatian Uncle Harry. Kamu ambil makanannya."

"Oke," kata Hugo.

"Oh," kata Scorpius, tiba-tiba berhenti, "aku cuma mau mustard di atas eee-doggieku. Yang warna kuning, bukan yang putih."

"Oke," kata Hugo.

"Tapi, jangan terlalu banyak," bisiknya. "Aku nggak mau rasa sosisnya tertutupi." Scorpius berpikir sejenak, berusaha mengingat apa lagi yang dia mau. "Kecuali kalau ada acar. Itu mengubah segalanya."

"Cepat pergi!" kata Hugo sambil melempar sebuah bantal ke jendela, berusaha membuat Scorpius cepat pergi.

"Iya, iya. Aku pergi!"

Begitu Scorpius sampai di bawah, Hugo menaikkan tangga itu lagi. Lalu, dia berdiri di anak tangga paling atas, menunggu gilirannya beraksi.

Scorpius membunyikan bel pintu depan. Begitu Harry meninggalkan dapur untuk membuka pintu, Hugo bergegas turun.

"Hai, Scorp," kata Harry begitu membuka pintu. "Ini kejutan. Kamu tahu, kan, James dan Albus sedang dihukum."

"Oh, iya, aku tahu, kok," kata Scorpius sambil tersenyum lebar. "Aku ke sini untuk bertemu dengan Uncle."

"Benarkah?"

Di belakang Harry, Scorpius bisa melihat Hugo bergerak pelan-pelan memasuki dapur. "Oh, iya, ternyata salah satu guruku adalah seorang penggemar berat Harry Potter dan aku jadi penasaran apa aku boleh meminta tanda tanganmu untuknya," kata Scorpius.

"Tentu saja," Harry nyengir. "Ayo masuk. Biar aku ambil pulpen dulu dan—"

Harry mulai berbalik, tapi Scorpius cepat-cepat menahannya.

"Whoa, pelan-pelan Pak," kata Scorpius. "Aku sudah menyiapkan semuanya." Dia mengeluarkan buku catatan kecil dan pulpen dari kantong belakang celananya dan menyerahkan semuanya kepada Harry.

"Aku bawa buku khusus untuk tanda tangan punya Pak Guru," Scorpius menjelaskan.

Harry mengambil buku itu dan membolak-balik halamannya dengan penasaran. "Kok, masih kosong," katanya.

"Itu karena paman adalah orang pertama. Istimewa, banget kan?" kata Scorpius riang. Dia berusaha mengintip dari balik pundak Harry dan melihat Hugo sedang memasukan hot-eee-doggie ke dalam gulungan roti.

"Nah, ayo masuk dulu, sementara aku menandatanganinya," kata Harry pada Scorpius.

Tapi, Scorpius mengehentikannya lagi. "Tapi, malam ini langit begitu indah," katanya sambil mundur beberapa langkah dari pintu. "Cuaca yang sangat sempurna untuk memberikan tanda tangan. Jangan disia-siakan."

Harry mengangkat bahu. "Baiklah," katanya. "Jadi sebaiknya aku menulis untuk 'Pak Guru'?"

"Sebenarnya, Pak guru..." jawab Scorpius, menyadari kalau 'Pak guru' tidak akan memberikan waktu untuk Hugo untuk menyelesaikan membuat roti isi mereka dan kembali ke atas. Dia harus mengulur waktu.

"Will...helm...kieran...Garden...State," Scorpius tergagap.

Scorpius melirik Hugo sedang menyemprot mustard di roti isinya.

"Jangan banyak-banyak!" teriak Scorpius. Dia mengejap dan tersenyum pada Harry yang sedang menatapnya curiga. "Menekan pulpennya," Scorpius menyelesaikan kalimatnya dengan bingung. " Jangan sampai buku spesial Pak Guru Willhelm Kieran Garden State bolong."

"Ini, Scorpius," akhirnya Harry berkata. Dia menyerahkan buku itu pada Scorpius. "Kenapa kamu nggak baca dulu dan pastikan aku menulisnya dengan benar?"

Scorpius mengambil buku itu dan membacanya: "'Dear Scorpius dan Hugo'—" Mulut Scorpius tenganga karena menyadari Harry menangkap basah mereka. "Oh, man." Scorpius mendesah.

"Terusakan, lanjutannya lebih bagus," kata Harry.

"'Kalian kira aku segitu bodohnya? Salam sayang, Harry Potter.'" Scorpius tersenyum manis dan mengejap-ngejapkan bulu matanya. "Aku suka banget bagian 'salam sayang'-nya."

Sementara itu, di belakang mereka, Hugo mulai berjinjit kembali menuju pintu belakang. Dia sedang menggigit roti isi di mulutnya dan memegang roti isi lain di tangan.

"Hei, Hugo," panggil Harry sambil membalikkan badannya.

Hugo membeku. "Ummph-ummph."

"Kenapa, nak? Lidahmu kegigit eee-doggie?"

Kembali ke truk Sean, James berhasil keluar dari bagian belakang truk dan melompat keluar. "Aku keluar! Aku bebas!" teriaknya lega.

"James..." geram Albus yang masih terjepit di jendela. Apa? Apa James akan meninggalkannya di sini?

"Bertahanlah." James mendesah. Dia memanjat kembali ke belakang truk dan mulai menarik tangan Albus. Albus tak bergerak sedikit pun. Lalu, seekor burung besar mendarat di belakang Albus di atas kap. James melihatnya dan membeku.

"Ada apa?" tanya Albus.

"Nggak, nggak apa-apa, itu cuma burung," kata James meyakinkan Albus. Burung itu maih bertengger di atas kap truk, tapi truknya belum oleng.

"Burung itu nggak akan membuat truk ini terbalik kok. Semuanya baik-baik saja."

Kemudian, tiba-tiba segerombol burung-burung lain mulai turun dan mendarat di tempat yang sama dengan burung pertama dan kali ini, mobilnya mulai bergoyang.

"Oke, ini nggak akan baik-baik aja," James menelan ludah. Lalu, dia menyambar tangan Albus lagi dan menariknya sekuat tenaga.

"James, ini nggak bakal berhasil!" teriak Albus.

Albus sadar, James harus meninggalkannya untuk menyelamatkan diri. "Melompatlah sekarang!" kata Albus padanya.

"Nggak mau! Aku nggak akan meninggalkanmu!" kata James.

"Jangan bodoh!" bentak Albus.

"Jangan mendebatku! Kita akan selamat. Kita hanya harus bekerja sama." James menatap ketakutan saat lebih banyak burung mendarat dan truk itu lebih miring ke depan "Dan saat ini juga!" James menyelesaikan ucapannya.

"Oke, aku dorong, kamu tarik!" kata Albus. Dia mengalungkan tangannya di leher James..

"Satu, dua, tiga, tarik!"

Albus mengecilkan perutnya dan James menarik sejuat tenaganya sampai akhirnya, Albus berhasil keluar dari jendela dan mendarat di bagian belakang truk.

Dengan bunyi berkeriut keras, perlahan-lahan, truk itu berhenti bergoyang.

"Kita berhasil!" Albus bersorak.

"Sekarang, ayo kita pergi dari sini!" kata James.

Mereka melompat dari belakang truk dan berbalik untuk melihat truk itu bergoyang ke depan dan jatuh berguling-guling di jurang.

Mereka berdiri dan saling berpelukan, menyadari betapa dekatnya mereka tadi dengan kematian. Lalu Albus menyadari hal lain.

"Aku nggak dengar bunyi tabrakan," kata Albus.

"Mungkin tersangkut sesuatu," kata James.

Mereka maju beberapa langkah ke depan dan mengintip di tepi jurang tempat mereka baru saja terayun-ayun. Bagian belakang truk Sean hanya berjarak beberapa inci.

"Yeah, seperti pekarangan," kata Albus. Dia menyeringai dan menggelengkan kepalanya pelan-pelan.

"Jurang yang indah," kata James. "Berapa dalam itu? Dua kaki?"

"Hei, dua kaki atau dua ratus kaki," kata Albus, "Kita tetap bersaudara."

Albus mengulurkan tangannya dan memberi kakaknya salam khas mereka yang sudah lama tidak dilakukannya dan James membalasnya—selama beberapa detik.

"Yeah, aku tahu. Tadi aku mikir apa, sih?" kata James bercanda.

"Oh, diamlah," kata Albus, tapi nada suaranya hangat, tidak marah.

Ketika berhadapan dengan situasi tadi, James rela mengorbankan nyawanya untuk adiknya. Itu sangat spesial—meskipun James menghabiskan semua persediaan air panas.

"Nah, kurasa lebih baik kita pergi cari bantuan," kata James.

"Yeah, ayo," Albus menyetujui. "Jalanannya ke arah sini." Albus menunjuk ke salah satu sisi.

"Bukan, Al, sebelah sini," kata James, menunjuk arah yang berlawanan.

"Bukan," kata Albus,"Sebelah sini."

James mengerutkan keningnya, kemudian dia teringat kehangatan kasih sayang yang baru mereka temukan kembali. "Kamu tahu?" James mundur dan mengangguk."Terserah kamu ajalah."

Albus pun teringat hal yang sama. "Nggak, terserah kamu aja," kata Albus manis.

"Kurasa, ini nggak akan semudah yang kita pikirkan," kata James.

Lagipula, kebiasaaan lama susah untuk dihilangkan.

"Nggak kok," kata Albus pada kakaknya.

"Pasti susah," kata James.

.

.

.

Keesokan harinya, sedang duduk di sofa sambil membaca koran. "Terlepas dari semuanya, kemarin malam berjalan dengan cukup baik, ya," katanya. "Semua orang selamat dan kupikir akhirnya kalian belajar tentang keuntungan bekerja sama."

Albus, James, Scorpius, dan Hugo semua berada di dapur sedang menyikat bagian-bagian berbeda entah di kompor atau di meja dapur.

"Yeah."

"Benar."

"Uh-huh."

"Pastinya, Dad. Kami udah dapat pelajarannya," gerutu Albus.

Tapi, menyikat ternyata hanyalah sebagian dari hukuman mereka hari itu. Tak lama setelahnya, Harry memberikan hukuman berikutnya...

"Camptown ladies sing this song," Harry bernyanyi.

Para empat remaja itu memutar bola mata mereka dan menyanyikan refrein lagu itu,"Doo-dah, doo-dah."

"Camptown racetrack five miles long..." lanjut Harry.

"Oh, the doo-dah day."

Mereka sebal karena harus menyanyikan lagu itu, tapi sepertinya Harry sedang luar biasa bergembira. "Aku memang suka banget jadi ayah doo-dah!" serunya.

FIN.