Halo semuanya ^^

Jujur, awalnya aku nggak yakin mau buat sekuel dari Siblings Chaos. Karena, meskipun hanya dipikirkan dalam waktu beberapa hari, plot Siblings Chaos benar-benar matang. Nggak mudah untuk bikin fanfic dengan level yang sama. Dan ada yang bilang, sekuel itu cenderung lebih jelek, bener kan? Hahaha...

Beberapa side story atau spin off udah kubuat, contohnya Deep Breaths dan Platonic Relationship.

Akhirnya aku nemu tema untuk sekuelnya. Nggak bakal sebagus yang pertama, tapi bagus lah kalau masih bisa dinikmati ^^

Oh ya, anggap aja Platonic Relationship itu cerita terpisah. Kalian bisa menikmati fanfic ini secara netral, meskipun ada hints pairing tapi pasti sangat-sangat samar. Bagi yang suka shonen-ai, silahkan aja, meski akan sangat kuharapkan nggak fangirlingan di review, hahaha...

Selamat membaca ^^

Warning: AU, No Super Power, No Pairing, Elemental Siblings, Brotherly Love (but not in romantical way), miss typo, nama karakter suka ketuker

Disclaimer: Monsta? Animonsta? Studionya punya Animonsta kan? Udahlah lupakan aja, yang penting Boboiboy bukan punyaku


Siblings Fight

Chapter 1: World War Third

Manusia diciptakan di dunia dengan beragam perbedaan. Mulai dari ras, bangsa, agama hingga kesukaan ataupun sifat. Di antara perbedaan itu sangat mudah terciptanya pertentangan. Karena setiap manusia memiliki cara berpikir sendiri yang tidak akan bisa dimengerti seluruhnya oleh orang lain.

Namun, agar bisa hidup bersama, karena bagaimana pun manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, maka manusia juga belajar untuk mengerti perbedaan tersebut. Agar bisa muncul perdamaian dan kesejahteraan.

Tapi, memang yang namanya pertentangan, perseteruan, pertengkaran atau hal-hal semacam itu bukanlah hal yang sepenuhnya buruk. Karena memang bagi anak kembar identik yang memiliki DNA sama persis, tapi secara individual mereka tetap orang yang berbeda. Wajar bila terjadi ketidaksepahaman.

Di dunia ini, pertengkaran saudara adalah hal yang wajar, sewajar matahari terbit dari timur.

Hanya saja...

IoI

Di sebuah rumah di Pulau Rintis, terdapat sebuah rumah yang terkenal dengan keributannya oleh tetangga sekitar. Karena sudah terbiasa, semua tetangga terlatih untuk menyumpal telinga mereka dengan kapas ataupun earphone.

Begitu pula penghuni rumah itu sendiri.

Saudara kembar paling muda yang menghuni rumah itu tidak menampakkan reaksi ketika mendengar keributan yang pastinya berasal dari kedua kakaknya.

"Bruk! Brak!"

Namanya Gempa Boboiboy, biasa dipanggil Gempa. Merupakan murid SMP Pulau Rintis kelas dua. Menjabat sebagai Ketua OSIS dan ikut klub tinju.

"Dak! Gedubrak!"

Gempa menaruh buku yang sedang ia baca. Wajahnya mengernyit bingung. Tidak biasanya, ia mendengar suara yang jatuh berulang kali seperti ini.

Pemuda itu sebenarnya juga mendengar suara-suara teriakan, namun tidak jelas karena terhalang dinding dan pintu.

"Brak! Prang!"

Merasa ada yang tidak beres, sang adik kembar paling muda segera melesat keluar kamar. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah ada pencuri masuk ke rumahnya dan ia baru sadar sekarang.

Namun, yang ia lihat membuat matanya membelalak dan mulutnya menganga.

"KAK HALI BRENGSEK!"

"Buk!"

"APA!? KAMU DULUAN YANG MULAI!"

"Duak!"

"IYA, TAPI KAN NGGAK GITU JUGA!"

"Brak!"

Gempa merasakan otaknya berhenti bekerja beberapa saat. Ia melihat kedua saudara kembarnya, Taufan dan Halilintar, sedang berkelahi di ruang tengah. Sebuah vas yang pecah tidak mereka hiraukan. Wajah mereka babak belur dan penuh peluh, tapi juga amarah.

Taufan dan Halilintar berseteru itu biasa. Bagiakan minyak yang tidak bisa bersatu dengan air, sifat mereka memang sering bertabrakan, hanya saja...

Bagaimana Halilintar memukul Taufan di hidungnya dengan sekuat tenaga sampai membuatnya terhempas.

Bagaimana Taufan menendang Halilintar hingga sang kembaran terpental.

Biasanya, reflek paling umum dari manusia ketika melihat pertengkaran adalah lari, melerai atau menonton. Tapi, Gempa yang memang lemah menghadapi hal-hal tidak terduga, butuh waktu lama untuk bereaksi.

"Hentikan! HENTIKAN!"

Ia segera melompat ke antara kedua saudaranya. Tapi, bagaikan Gempa seperti makhluk tembus pandang, Taufan tetap menerjang. Memaksa Gempa untuk menahan saudara kembarnya itu.

"MINGGIR!"

Jarang sekali Taufan menaikkan suaranya, bahkan saat berteriak senang pun tidak sekencang ini. Baru kali ini Gempa menerima gertakkan keras dari Taufan, namun sang adik sudah menguatkan hati untuk tetap berada di tempat.

"Nggak! Kalian harus berhenti! Ini ada apa sebenarnya?" Gempa mendorong Taufan menjauh, Halilintar yang baru saja bangkit meludahkan sebagian darah yang ada di mulutnya ke lantai. Sang adik paling mudah bahkan tidak mempedulikan hal sepele macam itu sekarang.

"Dia duluan yang mulai," kata Halilintar.

"Apa!? Kak Hali duluan yang ngebanting aku ke lantai!" seru Taufan.

Gempa memandang ke duanya. Ia bisa membayangkan adegan bagaimana Taufan mengerjai Halilintar seperti biasa, kemudian kakak tertua itu akan memberikan hukuman pada kakak kedua. Itu sudah biasa, tapi kenapa mereka bertengkar hebat sekarang?

"Terus, masalahnya?" tanya Gempa, berusaha mencari titik terang. Taufan mengernyit padanya, jelas marah karena Gempa tidak paham.

"Aku tuh capek! Capek! Kak Hali ringan tangan banget sih! Nggak bisa diajak bercanda!" omel Taufan, menunjuk kakaknya itu.

"Oh ya? Kamu sendiri, nggak mau berhenti ngerjain aku setiap hari! Emangnya aku nggak capek!" balas Halilintar.

Gempa mengerjap beberapa kali dan akhirnya, mulai paham dimana masalahnya.

"Udah, pokoknya berhenti. Di sini nggak ada yang salah atau bener, sekarang kalian berdua harus minta maaf terus baikan," tegur Gempa.

Kedua kakaknya itu saling pandang, kali ini dengan penuh amarah. Tidak ada wajah jahil atau sekedar kesal. Keduanya benar-benar marah dengan satu sama lain.

"Dia duluan yang mulai, ngapain aku harus minta maaf!?" tolak Halilintar.

"Kak Hali duluan yang ngebanting aku! Aku juga nggak mau minta maaf!" seru Taufan.

Gempa memandang keduanya dengan khawatir. Sepanjang mereka hidup bersama selama 14 tahun, baru kali ini keduanya bertengkar sehebat ini. Sparring tidak dihitung, karena itu berdasarkan kesepakatan bersama tanpa ada rasa dendam dan kesal.

Tapi baru kali ini, kedua kembaran Boboiboy itu berkelahi serius seperti ini.

Sebelum Gempa bisa menawarkan solusi yang lain. Halilintar sudah membuang muka dan segera beralih menuju pintu depan.

"Kak Halilintar mau kemana?" Gempa jengah melihat kakaknya itu hendak pergi meski masalah belum selesai.

"Lari."

Dan Halilintar pun menghilang di balik pintu.

"Huh! Dasar resek!" oceh Taufan, membuang muka dan segera berlalu ke lantai dua.

Tinggalah Gempa sendiri di ruang tengah. Tidak tahu harus berbuat apa.

IoI

Manusia biasanya hidup di dalam rutinitas. Tidur, bangun, makan, sekolah, bermain. Semuanya memiliki rutinitas masing-masing, dan kadang rutinitas itulah yang bisa disebut sebagai 'damai'. Ketika rutinitas itu terganggu, maka akan muncul 'kekacauan'.

Tapi, manusia juga mudah jenuh dengan rutinitas. Dimana, kadang damai bukanlah sesuatu yang disyukuri tapi malah dihancurkan.

Setidaknya Taufan merasa ia memiliki alasan yang bagus untuk marah pada Halilintar.

Rasanya tidak ada sesuatu yang salah pada hari ini. Hari Minggu dimana waktunya semua orang bersantai, ia mengerjai Halilintar seperti biasa. Hanya memberikan garam ke dalam jus Halilintar. Jus buah tersebut buatan Gempa yang biasa dibuat dalam jumlah banyak dan disimpan di lemari es.

Garam tidak beracun dan bisa dicerna manusia. Ia bukan adik kejam yang akan meracuni saudaranya dengan air sabun atau hal-hal semacam itu. Karena itu, ketika ia tertawa melihat Halilintar yang kalang kabut dan memuntahkan jusnya, ia sangat terkejut saat tiba-tiba ia dibanting ke lantai.

Rasanya sangat sakit. Ia kemudian bingung kenapa kakaknya itu sangat ringan tangan padanya, sebenarnya kepada semua orang kecuali wanita dan anak kecil, tapi hanya Taufan yang menerima kekerasan secara rutin.

Karena itu ia tidak terima. Dan menendang Halilintar.

Lalu untuk pertama kalinya, mereka bertengkar hebat. Atau lebih tepatnya, berkelahi hebat.

Taufan meringis saat ia mencuci wajahnya. Ia cemberut menatap wajahnya di pantulan cermin wastafel. Wajahnya yang tampan babak belur sekarang. Sebelah matanya lebam, hidungnya memar dan berdarah dan sebelah pipinya bengkak.

Saat ia menarik ke atas kaus yang ia kenakan, ia meraba banyak memar hadiah dari Halilintar.

"Duh... besok pasti bakal ditanyain nih...," Taufan mengeluh.

IoI

Setiap orang punya pola pikir berbeda dan setiap manusia mempunyai hak asasi. Tapi, ada aturan yang membatasi sejauh apa hak yang didapatkan setiap orang.

Halilintar tidak tahu apakah namanya 'candaan' Taufan itu masuk dalam aturan undang-undang. Tapi, baginya, ia sudah tidak tahan dengan semua 'candaan' adiknya yang tidak lucu itu.

Setiap hari ia harus menerima semua itu, berulang kali ia menghukum adiknya agar ia jera, tapi sepertinya Taufan tidak mengenal kata jera.

Jujur Halilintar mulai kehabisan ide untuk menghajar Taufan tanpa meninggalkan luka permanen. Segala macam kuncian tubuh sudah ia praktikan. Tapi tidak ada yang bisa membuat kembarannya itu jera.

Baru saja ia selesai memukul samsak sampai berkeringat, saat selesai mandi dan hendak meminum jus miliknya yang sudah jadi asin, tentu ia merasa marah.

Karena itu, hari ini ia membanting Taufan ke lantai. Ia tidak memikirkan itu adalah sesuatu yang salah. Taufan sudah sangat sering jatuh, efek samping dari hobinya bermain skateboard dan trik-trik berbahaya.

Lagipula, ia tidak membantingnya terlalu keras, setidaknya tidak dihempaskan sampai dinding.

Makanya, Halilintar sangat kaget saat Taufan menendangnya. Ia terbiasa menerima teriakan minta ampun dari Taufan, ataupun tangisan air mata buaya sambil berseru kalau dirinya jahat. Tapi, baru kali ini Taufan benar-benar melawan.

Dan tanpa pikir panjang, Halilintar melawan balik.

Itu insting bertahan hidup.

Sang kembaran tertua berhenti berlari dan melap peluhnya. Ia tidak peduli pandangan heran orang-orang padanya. Wajahnya yang penuh luka lebam pasti sangat menyolok di siang bolong seperti ini. Tapi, ia tidak peduli. Ia merasa sangat marah dan harus menyalurkan seluruh adrenalin yang tersisa agar bisa tenang untuk melewati hari ini tanpa meledak lagi.

IoI

"Kak Halilintar, makan..."

Gempa memandang pintu kamar yang tertutup di depan wajahnya sambil menanti jawaban atau kemunculan kakak kembarnya.

"Nanti aja."

Itulah balasannya. Gempa mendesah dan akhirnya berbalik dengan lemas menuju dapur. Ia melihat Taufan sedang mengambil lauk pauk. Wajahnya yang babak belur sudah diobati sendiri dan untuk kali ini, di wajah kakak keduanya itu tidak ada senyuman.

"Ah Gempa, aku makan di kamar ya," katanya, ketika bertemu wajah dengan Gempa.

Sang adik tidak bisa protes, jadi ia hanya mengangguk. Taufan pun segera berlalu.

Dengan rasa risau, akhirnya Gempa mengambil sendiri porsi makanan untuknya kemudian duduk di meja makan seorang diri.

Sejak tadi ia terus memikirkan cara agar kedua saudaranya berbaikan. Tapi, ia sadar kalau yang bisa ia lakukan sangat terbatas. Mereka harus menyelesaikan masalah ini sendiri, kecuali mereka meminta bantuannya.

Sang adik menyuapkan nasi ke dalam mulutnya sambil memandang kursi kosong di sekitarnya.

Sejak dulu, orang tua mereka mendidik mereka untuk mengusahakan makan bersama. Sesibuk apapun, setidak nafsu apapun, makan bersama adalah waktu yang baik untuk melewati waktu bersama. Meski dalam keadaan terpecah dan jauh antara satu sama lain, mereka masih berusaha menyempatkan makan bersama.

Gempa mengaduk-aduk makanan di piringnya. Kali ini, ia tidak merasa nafsu untuk makan dan mengunyah rasanya menjadi pekerjaan yang sangat melelahkan.

Sang adik termuda berharap semua ini akan cepat selesai.

IoI

"Wajahmu kenapa?"

Taufan menatap Ying. Ia sudah lelah menerima pertanyaan itu sejak pagi. Ia tahu, wajahnya babak belur bukan pemandangan umum. Muncul dengan satu atau dua perban di tubuh atau wajahnya bukan hal aneh, tapi wajahnya babak belur seperti habis tawuran memang tidak biasa.

"Berantem sama Kak Hali," jawab Taufan singkat.

"Tumben sampe parah gitu," komentar Ying.

Taufan duduk dengan raut wajah kusut. "Bukan urusanmu."

Ying mengerjap terkejut dan Taufan tidak mau peduli. Hari ini ia sedang tidak ingin tersenyum ataupun memaksakan diri untuk tersenyum, wajar rasanya sikapnya jadi sedikit ketus. Lagipula, tersenyum terasa sakit karena pipinya memar.

Sebenarnya, ia tidak tega melihat wajah kebingungan Gempa yang terjebak di antara dirinya dan Halilintar. Tapi, ia ingin menunjukkan kalau dirinya juga bisa marah. Biasanya selama ini, Taufan yang selalu mengalah bila bertengkar dengan Halilintar.

Untuk kali ini ia tidak mau kalah dan minta maaf duluan.

Untuk kali ini, ia ingin Halilintar duluan yang meminta maaf.

IoI

"Kamu habis ngapain lagi?"

Halilintar berpura-pura tidak mendengar pertanyaan itu, lebih memilih untuk menaruh tas di mejanya dan duduk di kursinya.

"Berantem sama kakak kelas?"

Halilintar membuka tasnya dan mencari dimana handphonenya berada beserta earphone kesayangannya. Dua benda yang bisa memberikan ilusi kalau ia sedang sendiri dan membantunya untuk tidak mendengarkan suara di sekitarnya.

Ia mendengar Yaya mendengus dan akhirnya menyerah.

Dengan gerak reflek, Halilintar membuka aplikasi musik kemudian memilih lagu kesukaannya. Ia tidak percaya telinganya agak sakit saat dipasangi earphone. Pasti karena Taufan menendang sisi kepalanya kemarin. Untung tidak sampai berdenging ataupun berdarah.

Halilintar menyandarkan tubuhnya ke kursi, sambil mengalun musik ia memandang pemandangan di luar jendela.

Ia tidak tahu bagaimana dengan Taufan, yang jelas ia tidak mau minta maaf.

IoI

"Halilintar sama Taufan kenapa?"

Gempa menoleh pada Yaya, melihat gadis berkerudung pink itu tampak khawatir. Sang Ketua OSIS hanya mendesah panjang.

Banyak orang yang heran dengan pemandangan dua kembaran Boboiboy babak belur. Tapi, keduanya terkenal sebagai biang onar sehingga tidak begitu banyak yang peduli. Memang keduanya luka atau babak belur itu bukan berita baru. Hanya orang-orang yang dekat dengan mereka yang menyadari keduanya babak belur di saat yang sama lah yang ganjil.

"Berantem," jawabnya singkat.

"Sampai babak belur gitu?" tanya Yaya lagi. Kali ini Gempa hanya mengangguk lemas.

"Kok bisa?" tanya gadis itu lagi. Gempa mengernyit, mulai merasa kalau gadis di sampingnya ini terlalu ingin tahu dan ikut campur. Moodnya jelek sejak pagi, pasti terpengaruh mood kedua kakaknya yang juga sama jeleknya.

Yaya pasti menyadari perubahan ekspresi Gempa, jadi ia buru-buru menambahkan. "Maaf ya, aku cuma khawatir sama kalian bertiga. Nggak biasanya, Halilintar sama Taufan berantem separah itu. Kamu juga, tumben bikin catatannya berantakan kemana-mana."

Gempa tersentak, baru sadar kalau laporan yang sedang ia tulis dengan tangan tak bisa dibaca. Bahkan banyak kalimat yang justru tertulis di meja karena ia terus melamun.

"Yah habisnya...," Gempa tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Tapi, ia tak suka dengan pertengkaran kedua saudaranya. Apalagi, ia yang terjebak di tengah-tengah.

"Tenang aja, aku percaya, mereka pasti cepet baikan," hibur Yaya.

Ironis rasanya mendengar hiburan macam itu dari orang yang tidak sedekat itu dengan kedua kakaknya dibandingkan Gempa. Sang Ketua OSIS menggeleng, entah kenapa sejak tadi ia terus berburuk sangka dan berpikiran sarkartis.

"Iya, makasih."

Senyum yang ia sugingkan tidak tulus, tapi Yaya tidak mengatakan apapun tentang hal itu.

IoI

Bertengkar adalah sesuatu yang wajar. Bisa dikatakan, dalam sudut pandang berbeda, pertengkaran sebenarnya bisa dikatakan sebagai fase yang melambangkan kedekatan sebuah hubungan. Karena, orang yang baru saja mengenal, tidak akan bertengkar begitu saja. Kecuali kalau tindakan kriminal, itu lain ceritanya.

Gempa pun paham akan hal tersebut. Ia juga bukan tipe orang yang akan marah pada orang pada ia kenal. Saat merasa kesal, ia lebih memilih diam. Tapi, ia akan lebih leluasa marah pada orang-orang yang dekat dengannya.

Ia juga tahu, Taufan jarang sekali marah. Bukannya jarang sih, lebih tepatnya kakak keduanya itu jarang marah sampai separah ini.

Halilintar juga, ia mudah membenci atau tidak suka dengan orang. Tapi, baru kali ini Gempa melihat kakaknya marah selama ini. Kakaknya yang biasanya lebih mirip petasan itu, sekali meledak, selesai, kali ini tampaknya tidak selesai begitu saja.

Baru kali ini Gempa merasa sedih dengan keheningan yang menghantui rumahnya. Membuatnya merindukan kebisingan dan keributan dari kedua kakaknya yang selama ini selalu tak pernah ia syukuri.

"Kak Taufan."

Gempa bersyukur kakaknya itu mau mempause game yang sedang ia mainkan dan akhirnya menoleh padanya.

"Mau marah sampai kapan?" tanya Gempa, pertanyaan tersebut ditanyakan dengan nada lembut agar kakaknya tidak merasa tersinggung.

Wajah Taufan menjadi kecut dan kembali menoleh pada layar televisi.

"Sampai Kak Hali minta maaf."

Gempa duduk di sofa di sebelah kakaknya, menatap saudaranya itu sudah kembali memainkan gamenya.

"Kak Taufan kan tahu, Kak Halilintar nggak bakal semudah itu minta maaf," kata Gempa. Biasanya di antara mereka berdua, justru Taufan yang lebih mengerti sifat Halilintar. Tapi tampaknya untuk kali ini, hal itu tidak berlaku.

"Aku nggak mau ngalah terus," balas Taufan, matanya masih terpaku pada game yang ia mainkan.

Gempa mendengus. Pengertian tidak akan didapat bila kedua belah pihak keras kepala.

Taufan kembali mempause gamenya kemudian tersenyum tipis pada adiknya. "Tapi maaf ya, kamu jadi keseret juga, duh kasian deh...," katanya, tampaknya mulai kembali jadi Taufan yang biasa. Mungkin, ia tidak semarah kemarin. Gempa hanya bisa menyugingkan senyum mendengar perkataan kakaknya.

"Makanya cepet baikan," saran Gempa, dengan nada bercanda tapi niatnya serius. Taufan memutar matanya.

"Tergantung Kak Hali deh."

Gempa mendesah panjang. Ini tidak akan mudah.

IoI

"Kak Halilintar..."

Halilintar melirik pada adik termudanya. Ia menghentikan mengerjakan pekerjaan rumahnya namun tidak melepas earphone yang terpasang di telinganya.

Gempa mendesah panjang. "Mau marah sama Kak Taufan sampai kapan?" tanyanya.

Mata Halilintar menajam, namun Gempa tidak bergeming. Sudah terlatih untuk menerima tatapan macam itu dari kakaknya.

"Aku nggak mau minta maaf sama dia."

Seperti biasa, Halilintar memang to the point.

"Terus?" tanya Gempa. Haliintar memalingkan wajah dan menatap pekerjaan rumahnya.

Gempa menantikan jawaban namun tak kunjung datang. Sang adik tahu, biasanya kemarahan kakaknya akan meredam sendiri. Tapi, Taufan tidak akan mau minta maaf duluan dan Halilintar bahkan tidak mau minta maaf.

Jika ada persamaan di antara ketiga kembar Boboiboy, mereka bertiga sama-sama keras kepala. Hanya Gempa yang tahu dimana saatnya ia harus keras kepala dan saat dimana ia harus mengalah.

"Aku kan sedih sendirian terus."

Bicara dengan Halilintar memang lebih baik secara jujur, tepat dan lugas, meskipun terasa memalukan.

Halilintar menoleh pada Gempa, ekspresi wajahnya tampak melunak.

"Ya udah kalau gitu, sini bantuin aku kerjain PR bahasa inggris," kata Halilintar, menggeser bukunya.

Andai ini kartun, Gempa pasti sudah jatuh ke lantai. Kan bukan itu yang dia maksud...

Namun, sang adik hanya tersenyum tipis dan mengangguk.

"Ya udah sini kubantuin."

IoI

Ketika manusia jenuh, ada kalanya keluar dari rutinitas. Tapi cepat atau lambat, manusia harus kembali kepada rutinitas semula atau membentu rutinitas baru untuk mendapatkan 'damai' dalam hidup.

Halilintar tahu, ia sendiri mulai merasakan kesedihan karena hidupnya terlalu sepi beberapa hari ini. Tidak ada candaan Taufan, karena adiknya itu masih marah dengannya. Kalau diumpamakan sebagai perang, mungkin seperti Perang Dunia ke 3.

Meski sekarang sedang dalam gencatan senjata dan sedang bersitegang meski tanpa baku tembak.

"Masih belum baikan juga?"

"Bawel!"

Yaya memutar matanya dan Halilintar berharap gadis menyebalkan akan meninggalkannya sendiri.

"Aku nggak pernah berantem kayak gitu sama adikku sih, jadi nggak tahu gimana rasanya...," komentar teman sekelasnya itu.

"Siapa yang nanya?" balas Halilintar sarkartis.

Tapi seakan tidak mendengar Halilintar, atau mungkin memang karena sudah sangat terbiasa, Yaya tetap berbicara. "Ah tapi... ibuku pernah cerita. Ibu kan punya kakak laki-laki. Katanya jahil juga. Pernah nakut-nakutin ibuku pakai mukena warna putih malam-malam, pura-pura jadi hantu terus ibuku nangis jerit-jerit. Hihihi..."

Halilintar sedang tidak mood mendengarkan kisah orang lain. Tapi, karena baterai handphonenya sudah habis, ia tidak bisa menyumpal telinganya dengan earphone dan mau tak mau mendengarkan cerita Yaya.

"Kata ibu, itu caranya paman nunjukin rasa sayang. Katanya, karena paman gemas sama ibu, makanya senang menjahilinya, gitu," tandas Yaya.

Halilintar hanya diam. Dalam hati, bukannya ia tidak mengerti. Ia tahu, Taufan memang jahil. Tapi ia tahu, adiknya itu tidak sebodoh kelihatannya. Karena, sejahil apapun, ia tidak pernah melakukan hal-hal berbahaya yang bisa mencelakai orang.

Jika dibandingkan dengan apa yang ia lihat di film jaman dulu, bagaimana nakalnya seorang bocah laki-laki, memompa air sabun ke mulut kakaknya yang pura-pura tidur, Taufan bukan adik yang seperti itu.

Ia tahu kapan harus berhenti, apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang aman untuk dilakukan.

Dan lagi, semua itu caranya menunjukkan rasa sayang. Terdengar twisted dan sampai sekarang pun, Halilintar masih belum bisa mengerti.

Tapi... mungkin gencatan senjata ini harus segera dihentikan...

IoI

Taufan berhenti meluncur di atas papan skateboardnya, ia menatap klub karate yang sedang latihan di lapangan. Dan tentu saja, kakak kembarnya ada di sana.

Halilintar yang sabuk hitam, sedang berlatih seorang diri. Jurus-jurus yang ia praktekan, tanpa lawan tanding, justru seperti sebuah koreografi tarian. Hanya saja sangat mematikan, Taufan tahu betul soal itu.

Sementara anggota lain sedang sparring satu sama lain.

"Kakakmu kayaknya kalau latihan sendiri terus."

Taufan terkejut melihat Ying yang mendadak muncul di sebelahnya, memakai baju olahraga, mungkin baru selesai klub.

"Iya, dia kalau sparring nggak bisa nahan diri sih," komentar Taufan mendengus. Yang sabuk hitam di klub karate hanya Halilintar dan ketua klub karate. Tapi, ketua klubnya sekalipun masih punya akal untuk tidak bertarung dengan Halilintar.

"Terus, kalau mau tanding kompetisi gimana?" tanya Ying merasa heran.

"Ya... dia sih udah punya bakat bela diri gitu, jadi nggak masalah," jawab Taufan.

Kalau dipikir-pikir, cuma dia yang jadi teman sparring Halilintar. Meski tentu saja, ia melakukannya dengan sangat terpaksa dan penuh dengan peringatan pada kakaknya apa yang tidak boleh dilakukan.

Hanya beberapa kali saja, terutama sebelum kompetisi tingkat final.

"Hm... kalau dilihat kasian deh," komentar Ying.

"Kalau mau, sana jadi lawan sparringnya," canda Taufan. Teman sekelasnya itu segera memukul pundaknya.

"Enak aja, ntar aku jadi dendeng dong."

"Kak Hali nggak kasar sama cewek kok," kata Taufan kemudian tertawa.

Dalam hati, ia tahu, meski ringan tangan, kakaknya itu tidak pernah meninggalkan luka permanen. Ia bahkan tak pernah memelilintir lengan kanan Taufan, yang dulu sendinya pernah bergeser karena jatuh jadi ligamennya sudah lepas dan sangat mudah untuk bergeser kembali.

Saat bertengkar hebat kemarin pun, lengan kanan Taufan tidak luka sedikit pun.

Sang kembaran kedua meraba bahu kanannya, merasakan dimana sendi di antara dua tulang dapat digeser dengan mudah.

Kadang, Taufan juga memikirkan, kalau sebenarnya hukuman yang Halilintar berikan padanya mungkin semacam latihan bela diri. Karena, kakaknya itu tidak punya teman sparring dan tentu saja, tidak bisa main menghajar orang seenaknya.

Mungkin... sebaiknya pertengkaran ini dihentikan...

IoI

"Kak Hali?"

Halilintar menoleh, melihat Taufan turun dari papan skateboardnya. Setelah beberapa hari, akhirnya Taufan memanggilnya juga.

"Baru pulang?" tanya Taufan. Halilintar mengangguk.

Untuk kali ini ada atmosfer canggung di antara mereka berdua. Mereka berdua berjalan beriringan menyusuri jalan menuju rumah. Entah kapan terakhir kali mereka bisa diam seperti ini tanpa ada perkelahian verbal, kecuali saat sedang makan, menonton tv atau tidur.

"Maaf."

Keduanya terkejut saat menyadari kalau mereka mengatakan itu berbarengan.

Taufan mendengus menahan tawa. "Kak Hali dulu, silahkan."

Halilintar menatap tajam padanya namun kemudian melunak. "Aku udah keterlaluan ngebanting kamu waktu itu."

Taufan bisa melihat sedikit rasa bersalah dari mata kakaknya yang tanpa ekpresi itu.

Sang adik mengangguk. Ia setuju soal yang satu itu. "Aku juga, sebenarnya sih udah biasa ngerjain Kak Hali kayak gitu, cuma Kak Hali waktu itu lagi capek ya? Maaf ya."

Halilintar mendengus. Untuk kali ini, bisa melihat kalau Taufan merasa bersalah, bukan permintaan maaf main-main yang sering ia lakukan. Kali ini, lebih tulus meski nadanya agak bercanda.

"Makanya jangan ngerjain orang mulu."

Taufan tersenyum jahil. "Kak Hali bukannya merasa kehilangan kalau nggak aku kerjain?" candanya.

Kembaran tertua Boboiboy tersentak dan Taufan tertawa karena merasa tebakannya benar.

"Apa maksudmu!?" seru Halilintar, lebih untuk menutupi rasa malunya.

"Haha... Kak Hali jujur aja deh...," goda Taufan menjadi-jadi, rindu dengan saat seperti ini. Akhir-akhir ini, hidupnya terlalu datar. Ternyata memang, ia butuh ketegangan seperti ini. Kayak iklan televisi itu. Life is never flat!

"Apa!?"

Dan Taufan pun berlari dikejar Halilintar. Dan ketika bertemu dengan Gempa yang baru saja hendak mau masuk rumah, Taufan menarik adiknya itu untuk menghalanginya dari amukan sang kakak.

"Eh, kenapa lagi ini?" Gempa kebingungan

"Hehe, coba tangkep aku kalau bisa!" goda Taufan.

"Ke sini kamu! Dasar pengecut!"

Gempa bingung, ditarik dan diputar oleh Taufan dan harus berhadapan dengan Halilintar yang marah dan sedang berusaha menarik Taufan yang ada di belakang punggung Gempa.

Lama kelamaan, sang adik hanya ikut tersenyum, sadar kalau kedua kakaknya sudah kembali normal. Meski sekarang ia ikut terseret dalam kekonyolan kedua kakaknya.

"Jangan bawa-bawa aku dong," keluh Gempa, berusaha melarikan diri namun Taufan mengejarnya dan kembali bersembunyi di balik punggungnya.

"Kan kamu kasian dari kemaren ditinggal sendiri terus," kata Taufan, menolak pergi dari punggung Gempa.

"Taufan! Lepasin Gempa!" seru Halilintar, berusaha menarik Taufan namun terus terhalang Gempa.

"Nggak gini juga kan maksudnya," keluh Gempa, namun akhirnya tak bisa menahan tawa.

Akhirnya Halilintar berhasil menarik hoodie jaket Taufan dan memaksanya melepaskan Gempa. "Kena kamu sekarang...," Halilintar merasa puas. Taufan tersenyum nervous dan Gempa hanya geleng-geleng kepala.

"ADUH! AMPUN KAK HALI!"

Akhirnya, ketiganya kembali ke rutinitas semula.

Pertengkaran di antara saudara memang sangat wajar. Namun, ada baiknya melihat dari sisi lain selain terus memendam amarah dan kemudian memberikan pengertian. Karena, setelah bertengkar, harus berbaikan.

End of Chapter 1


Nah begini aku baru seneng. Akhirnya, bisa menulis fanfic yang punya makna lagi ^^

Adegan minta maafnya cuma bentar, terus langsung berantem lagi ya, kurang ngena, hahahaha...

Ini terinspirasi dari pengalamanku sendiri. Kakakku jahil kayak Taufan, suatu hari aku nggak tahan lagi dan nampar dia, terus dia balik marah. Hahaha, kacau banget

Sedangkan, cerita soal ibu Yaya yang dikerjai kakaknya, itu dari temenku. Waktu itu aku narik kesimpulan, namanya kakak laki-laki kebanyakan cenderung jahil sama adiknya ya. Ada yang bilang juga, main gulat di antara saudara laki-laki itu udah biasa...

Yah dulu juga aku main perang bantal sama kakakku sih, sampai kepalaku pusing

Sedangkan adegan Gempa diputer dan ikut keseret antara Halilintar dan Taufan, terinspirasi dari drama Kill Me, Heal Me episode 1.

Pada awalnya jujur, aku ragu banget mau bikin ini sekuel. Secara, yang bikin Elemental sibilngs kan banyak sekarang, malah banyak yang bikin 5. Hebat banget kan? Aku masih belum tahu sifat Air sih. Terus, 5 anak kembar kayak heboh banget... mikirnya jadi pusing sendiri

Tapi, akhirnya aku putuskan buat nulis juga. Karena... hahaha... aku baru tahu kalau ada yang ngerepost Siblings Chaos di facebook. Uhm... ok lah, itu bukan hal baru, jadi nggak begitu kaget. Cuma jadi geli sendiri pas nemu fanart dari Siblings Chaos. Andai mau bilang ke aku, kasih tahu gitu, aku nggak bakal marah, malah seneng kok...

Jujur, aku nggak tahu sebelumnya... apa fanficku yang lain juga ada ya? Aku pernahnya bikin fanart dari fanfic orang, bukan sebaliknya.

Jadi, karena seneng sendiri, ternyata fanficku Siblings Chaos cukup happening ya di fandom ini *baru sadar sekarang?

Sekuel ini seperti ucapan terima kasih, buat orang-orang itu (siapa?)

Kalau banyak yang suka, bakal kulanjutin. Kan, baru Halilintar vs Taufan, masih ada yang lain kan ^^

Paling kira-kira 3 chapteran... tanpa bonus chapter. Memang masih butuh bonus chapter? Nggak kan ya? Elemental siblings fluff udah banyak banget...

Makanya aku butuh pendapat, please review!