Attack on Titan/Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime

A RiRen Fanfiction

Blind By Lea A

Gender bender, crossgender, marriage life, Drama, hurt/comfort, angst.

Warning: Modern!au, Girl!eren, Lime inside. No children under 17, typos detected, bahasa kacau, OOC di luar batas.

Sejatinya, cinta tidak hanya jatuh pada penampilan fisik. Cinta melibatkan hati, bukan hanya mata.

.

.

.

_BLIND_

.

.

Eren POV

Aku baru saja keluar dari gedung supermarket saat ponselku berbunyi, itu dari ibu Rivaille (ibu mertuaku) karena ini adalah tepat setahun sejak aku dan suamiku meninggalkan Prancis untuk tinggal di Berlin dengan alasan khusus. Ah terasa seperti sudah bertahun-tahun sejak terakhir aku mendengar suara orang yang sudah kuanggap sebagai ibu kandungku sendiri itu.

"Ya ibu?"

"Eren sayang? Bagaimana kabarmu? Kenapa jarang sekali menelpon ibu?"

"Maaf Bu, aku dan Rivaille sangat sibuk. Ibu tahu kan, aku cukup sibuk mengurus rumah tangga. Dan Rivaille…" aku menelan ludah sedikit susah payah kemudian berusaha tersenyum walau aku tahu mertuaku itu tidak akan bisa melihatku. "Rivaille sangat sibuk di kantor." Jelas, karena semuanya bohong.

"Ah, ibu mengerti. Tapi kalian baik-baik saja kan?"

"Iya bu… kami sehat. Semuanya sempurna."

"Yah setidaknya mendekati sempurna sayang. Ibu sampai sekarang masih mengharapkan tangisan seorang bayi."

Aku tersenyum miris. Bagaimana mungkin aku bisa memberikan mertuaku seorang cucu kalau membuat program saja dengan Rivaille… kami tidak pernah. Rivaille hanya menyentuhku satu kali. Itupun saat malam pertama kami, di Prancis saat dia sedang mabuk karena frustasi. Setelahnya tidak lagi. "Kami masih berusaha Bu, doakan saja," jawabku jelas bohong. Nyatanya, yang masih berusaha itu Rivaille, bukan aku. Ya… Rivaille pasti sedang berusaha membuat bayi bersama kekasihnya di rumah.

"Tentu saja sayang, akan ibu doakan selalu. Eren, sekarang kau di mana?"

"Di jalan bu, sedang menunggui taxi."

"Taxi? Bukankah ini malam minggu? Rivaille tidak bersamamu?"

Aku menggigit bibir cukup keras, bodoh sekali sampai keceplosan begini. "Ah itu… Rivaille sedang ada dinas ke… ke Sina. Besok baru pulang."

"pantas. Ibu juga menelponnya tapi tidak diangkat-angkat."

Eren kembali tersenyum miris, melirik arlojinya dan menghembuskan nafas panjang. Ini malam minggu, pukul 8 lewat 30 menit, Rivaille pasti sedang sibuk berpelukan dengan kekasihnya di rumah. "Iya Bu, dia pasti sibuk."

"Ya sudah, kalau Rivaille pulang… tolong sampaikan salam ibu padanya."

"Iya, tentu saja bu."

"Baiklah sayang. Hati-hati dalam perjalanan. Jangan lupa kirimkan pesan kalau kau sudah sampai di rumah."

"Iya bu."

"Sampai juga sayang. Ibu mencintaimu."

"Aku juga mencintaimu bu. Sampai jumpa."

Kuhembuskan nafas panjang sambil menatap nanar pada ponselku. Kebohongan lagi, dan itu akan berlangsung terus menerus entah sampai kapan.


"Rivaille… perkenalkan, ini Eren. Anak teman Ayah dan Ibu yang selalu kami ceritakan padamu."

"Oh jadi kau yang namanya Eren, salam kenal. Aku Rivaille."

"H… Hai Rivaille-san. Aku Eren, salam kenal."

"Eum sayang, kuharap kau sedikit memperhatikan Eren. Mulai sekarang dia akan tinggal di rumah kita karena kedua orang tuanya sudah meninggal beberapa bulan yang lalu. Dan perwaliannya diserahkan pada kami karena Eren sudah tidak memiliki keluarga lain."

"Ibu ini bilang apa? Mana mungkin Eren tidak memiliki keluarga? Kita adalah keluarganya. Benar begitu Eren?"

Dan itu adalah pertama kalinya aku jatuh cinta pada sosok Rivaille, di umurku yang ke 15 tahun.

.

.

.

"Aku pulang…" seruku sengaja tidak kukeraskan. Hanya menuruti kebiasaanku saat pulang ke rumah kami. Langkahku kuteruskan melewati kamar utama karena itu bukan tempatku. Itu kamar Rivaille dan kekasihnya, Petra. Pintunya tidak tertutup rapat, aku bisa melihat sekilas Rivaille berada di atas tubuh Petra sedang bergerak teratur. Dan dari suara desahan dan teriakan yang terdengar dari dalam, sudah jelas bahwa mereka sedang melakukan rutinitas malam mereka saat Rivaille sedang tidak ada jadwal ke kantor.

Aku bergegas menuju kamarku dan meletakkan semua barangku di atas meja. Masuk ke kamar mandi, melepas kacamata besarku dan menatap wajahku di cermin. Dan… tidak cukup 2 detik kupertahankan senyumku, karena di detik ketiga… pertahananku jebol.

Air mata yang membanjiri wajahku membuatku merasa semakin kacau. Salah satu alasan kenapa Rivaille sedikitpun tidak ingin melihat wajahku yang bila dibandingkan dengan kecantikan Petra, aku sama sekali bukan apa-apa. Mataku yang kecil dan jelek tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mata Petra yang bulat dan indah. Bibirku yang kecil sama sekali tidak bisa menandngi bibir Petra yang tebal dan menggoda, pipiku yang tirus jika disandingkan dengan pipi Petra yang chubby dan menggemaskan, semakin menampakkan bahwa aku adalah wanita yang sangat tidak pantas untuk memiliki Rivaille yang tampan.

Ya, bukan sepenuhnya salah Rivaille jika ia tidak mencintaiku yang tidak ada apa-apanya ini. bukan salahnya jika ia selalu menatap risih padaku, bukan salahnya jika ia lebih memilih Petra, kekasihnya yang memang sudah bersamanya jauh sebelum aku dijodohkan dengan Rivaille. Ya… semuanya salahku. Aku sudah tahu konsekuensinya, tapi aku masih bersikeras menanggungnya.

Kepindahan kami ke Berlin juga adalah karena usulku agar Rivaille dan Petra bisa bertemu sepuasnya tanpa harus khawatir jika saja orang tua Rivaille mengetahui hubungan terlarang mereka.

Aku bodoh?

Benar. Selain jelek, aku juga sangat bodoh. Tapi ini adalah hal terbaik yang bisa kulakukan untuk mempertahankan kebahagiaan Rivaille. Setidaknya dengan begini, aku masih bisa setiap hari melihatnya. Dengan membawa Petra tinggal bersama kami, aku tidak perlu khawatir kemana Rivaille setelah pulang kerja, karena sudah ada Petra di sini bersamanya.

Dan siapapun pasti akan bertanya, sekuat apa sosok Eren Jaeger sebenarnya selama setahun penuh melihat perselingkuhan suaminya di depan mata kepala sendri.

Jawabannya adalah… Eren Jaeger tidak sekuat itu. Benar… aku juga wanita biasa, yang akan merasakan sakit dan kecewa melihat hal memuakkan itu terjadi setiap detik di depan mataku. Tapi aku harus berbuat apa aku tidak punya cara apapun untuk bisa terus bersama Rivaille selain membawa kebahagiaan ke dalam kehidupan kami. Yah… kebahagiaan Rivaille sekaligus malapetaka bagiku. Petra Ral.

Dan satu-satunya hal menyenangkan yang bisa mengalihkanku dari semua rasa sakit itu adalah… melihat darah segar bercucuran dari lenganku.

Seperti yang kulakukan sekarang. Bibirku mengukir senyum sementara air mataku mengalir sederas darah segar yang menetes dari luka yang kuciptakan sendiri dengan bantuan pisau cutter. Yah… pisau cutter yang menjadi temanku selama ini. hal yang baru kutemukan beberapa bulan yang lalu. Saat di mana Rivaille dan Petra sedang bermesraan di ruang tengah sementara aku memasak makan malam untuk mereka. Dan saat jariku teriris tanpa sengaja, aku menemukan sesuatu… sesuatu yang merupakan jalan keluar dari rasa sakit di hatiku yang menumpuk. Memang bukan obat yang tepat, tapi aku seolah bisa membagi rasa sakit di hatiku dengan melihat darah segarku mengalir. Dan seperti ketagihan… aku melakukannya sudah… entahlah… aku sudah tidak mampu menghitung berapa kali aku melakukannya. Tapi melihat bekas luka gores di lenganku, kurasa sudah puluhan bahkan ratusan kali.

Aku menangis seorang diri di kamarku. Di kamar mandiku. Meratapi betapa buruknya rupaku hingga Rivaille tidak juga berpaling padaku. Aku menangis, sementara Rivaille sedang mendesah penuh kenikmatan di ruangan yang hanya dibatasi tembok untuk memisahkan kamar kami.

Aku menangis… di atas kebahagiaan Rivaille.

.

.

.

"A… Apa? Menikah? Dengan Eren? Semendadak ini? Apa kalian gila? Aku sudah menganggap Eren seperti saudara kandung sendiri, bagaimana mungkin kalian dengan mudahnya menjodohkanku dengannya?"

"Dengar Rivaille, ini bukan mendadak karena memang kalian sudah dijodohkan sejak kalian bayi. Ah… bagaimana menjelaskan ini, salahku juga kenapa aku harus menyekolahkanmu di luar negeri sampai kau harus bertemu Eren cukup terlambat."

"Ayah… itu bukan perkara kapan aku dijodohkan dengannya. Aku… aku… aku juga sudah punya kekasih, dan aku sudah berencana melamarnya tahun depan."

"Kalau begitu, batalkan rencana itu karena kau dan Eren akan menikah tahun ini. perusahaan keluarga Eren akan sepenuhnya menjadi milikmu karena Eren adalah satu-satunya penerus keluarga Jaeger, dan sebagai suaminya… kau yang akan bertanggung jawab atas segala aset perusahaan keluarga Jaeger."

"Kau gila ayah… apa ini hanya karena perusahaan?"

"Bukan. Tapi kami ingin Eren menjadi keluarga kami."

"Dia sudah menjadi keluarga … dia sudah menjadi saudaraku."

"Dan akan lebih bahagia lagi jika kau memberiku keturunan dari Eren."

"Kalian gila… gilaaaa…"

Dan itu adalah hari pertama di mana Rivaille merubah pandangannya padaku. Pandangan yang penuh kasih sayang, berubah menjadi pandangan benci.


.

.

.

Minggu pagi adalah hari yang paling membahagiakan karena Rivaille akan berada di rumah seharian. Namun minggu juga adalah hari yang paling menyakitkan karena seharian penuh akan melihat suamiku dan kekasihnya bermesraan di rumah. Sekarang sudah pukul 9 pagi dan pintu kamar mereka belum juga terbuka, mungkin mereka lelah. Mereka selalu begitu saat mereka usai bercumbu. Rivaille yang lelah karena pekerjaannya yang menumpuk di perusahaan akan menjadikan Petra sebagai tempatnya melepas lelah dan pada Petra lah ia selalu mendapatkan bahagianya.

"Hei… masak apa?"

Aku menoleh karena mendengar suara itu. Suara wanita yang telah memiliki suamiku seutuhnya, baik jiwa maupun raganya.

"Oh Petra? Baru bangun?"

Wanita itu memutar bola matanya kemudan mendengus kesal. "Apa kau buta? Jelas saja aku sudah bangun karena sekarang aku sudah di sini, bodoh."

Aku hanya mengulas senyum tipis dan menghembuskan nafasku. "Rivaille sudah bangun?"

"Belum," jawabnya selalu seperti itu. Ketus. "Mana sarapanku?"

"Tidak menunggu Rivaille?"

Petra kini menoleh padaku dan menatapku dengan alis terangkat. "Astaga Eren. Apa kau pernah sadar bahwa kau sangat menyebalkan? Apa kau pernah sedikit saja introspeksi diri kenapa Rivaille melihatmu seperti sampah? Itu karena kau sungguh menyebalkan. Kau… ugh… aku seperti ingin muntah saja."

"Maaf."

"Sekarang mana sarapanku?"

"Masih kuhangatkan karena sudah dingin. Aku memasaknya beberapa jam yang lalu."

"Jadi kau protes karena aku bangun terlambat? Kau tahu, suamimu menguras habis tenagaku untuk melayaninya semalaman penuh. Suamimu itu betul-betul ugh… susah kujelaskan. Kau tidak akan mengerti karena kau belum pernah disetubuhi olehnya. Yang jelas…" Petra menyunggingkan senyum liciknya, "itu membuatku ketagihan, dan menunggu sampai satu minggu agar kami bisa melakukannya lagi itu benar-benar menyiksa."

Aku tidak membalas dengan kata-kata. Seperti biasa, hanya tersenyum. Dan sepertinya akan ada luka baru lagi di lenganku yang sudah penuh goresan.

.

.

.

"Selamat pagi sayang…" tegur seseorang yang sudah kuhafal betul, itu adalah suara Rivaille. Suamiku.

"Pagi sayang…" sambut Petra yang tanpa menolehpun aku sudah tahu mereka sedang berciuman panas sekarang karena bunyi decakannya terdengar jelas.

"Kenapa cemberut begitu?"

Petra mendengus kesal, dan aku bisa menebak, laporan salah apalagi yang akan ia utarakan di depan Rivaille. "Istrimu menyebalkan."

Rivaille justru tertawa, dan itu sudah jelas tawa yang meledek. "Seolah kau baru tahu saja."

"Dia mengataiku, Rivaille."

Tawa Rivaille berhenti, dan aku sedikit khawatir kali ini Petra akan berlebihan lagi. "Dia mengataimu apa?"

Aku menoleh karena aku juga penasaran apa yang akan dikatakan Petra lagi untuk memfitnahku.

"Dia mengataiku… pelacur."

Dan itu sontak membuat tutup panci di tanganku terjatuh begitu saja. Aku menatapnya tak percaya.

"APA?"

Terlebih Rivaille langsung menoleh padaku dan menatapku berang. Aku langsung menggeleng cepat karena aku tidak pernah bahkan seumur hidupku selama 24 tahun ini tidak pernah mengucapkan kata kotor itu. Kalaupun aku bisa mengucapkannya, sudah kukatakan padanya sejak pertama kali aku melihatnya.

"BErani-beraninya kau mengatai Petra seperti itu!" bentak Rivaille saat ia sudah berdiri dari duduknya dan menghampiriku.

"Ti… Tidak Rivaille. Aku tidak mengatakan hal buruk apapun padanya. Apalagi mengatainya seperti itu," belaku sesekali menggeser tubuhku menjauh dari peralatan tajam jika saja Rivaille kumat dan melukaiku dengan itu.

"Oh, dan kau semakin lihai dalam berbohong."

Plak…

Itu adalah hukuman yang kuterima atas hal yang sama sekali tidak kulakukan. Kupegang pipi kiriku yang terasa seperti terbakar bekas tamparan keras Rivaille. "Kau mengatainya pelacur? Kau mengatai wanita yang kucintai sebagai pelacur?" Rivaille terdiam sejenak hanya untuk menjambak rambutku di bagian belakang. "Dengar… yang pelacur itu adalah kau… kau yang merusak hubungan kami. Karena kaulah kami jadi harus seperti ini. menyembunyikan hubungan kami dan tidak bisa sebebas orang lain untuk mendeklarasikan hubungan kami. Yang pelacur itu kau Eren Jaeger… kau!" makinya setelah berhasil mendorongku hingga punggungku membentur pintu kulkas.

Aku menangis dan meringkuk di sana, tidak berani mengangkat wajahku karena khawatir jika Rivaille melihat wajahku yang buruk ini, ia akan semakin jijik dan berakhir dengan menghajarku.

"Sayang, ayo kita makan di luar. Selera makanku hilang karenanya," ucap Rivaille sesekali mendesis acuh ke arahku.

"Okay sayang. Hari ini aku ingin makan mie."

Dan aku sudah tidak mendengar obrolan mereka karena aku langsung berlari menuju kamarku. Menuju kamar mandi tempat di mana obatku berada. Kugulung lengan bajuku hingga sebatas siku, melepas kasar perban yang melilit di lenganku dan meraih pisau cutter yang kuletakkan di dekat washtafel. Goresan yang baru kubuat semalam masih terlihat segar, tapi aku butuh goresan baru lagi. Aku butuh rasa sakit yang bisa mengalihkan sakit di hatiku aku butuh…

"Akkhhh…" desahku tertahan saat akhirnya kubuat gorean memanjang dari siku hingga punggung tanganku. Tidak begitu dalam, tapi sakitnya membuatku tenang. Terlebih melihat darah yang mengucur deras, berikut air mataku yang tidak henti-hentinya mengalir.

Eren Jaeger… kau pantas menerima ini semua. Kau pantas.

.

.

.

"Dengan ini kunyatakan kalian sebagai suami istri. Rivaille Ackerman, kau boleh mencium istrimu."

Aku membelalak dan sangat gugup saat Rivaille berhadapan denganku dan membuka kain penutup wajahku. Dan berciuman? Astaga… apa benar kami akan melakukannya?

"Jangan berharap lebih. Kau pikir aku akan membuatmu bahagia setelah ini? kau tahu Eren Jaeger, kesalahan terbesarmu sepanjang kau hidup adalah, bukan saat orang tuamu meninggalkanmu. Tapi… saat kau memutuskan untuk menyetujui pernikahan ini."

"Ri… Rivaille…"

"Akan kubuat kau menyesali semua ini."

Itu kalimat terakhirnya saat ia mendekatkan wajahnya dan menyerongkannya sedikit agar kami terlihat seperti berciuman padahal sedikitpun tidak.

Oh Tuhan… aku sadar apa yang kulakukan. Tapi... aku mencintai Rivaille… meskipun ia tidak akan sedikitpun membalasnya.

.

.

.

Hari kamis. Hari di mana aku harus berbelanja untuk melengkapi persediaan bahan makanan di rumah. Ah, dan Petra menitip beberapa benda seperti sabun kewanitaan dan alat tes kehamilan. Aku sudah membelikannya berkali-kali setiap bulan dan dia selalu membentakku karena dia pikir aku membeli alat murahan. Dan setelahnya kubelikan semua alat alat tes kehamilan berbagai merek, tetap saja hasilnya negative.

Yah… Petra berharap dia bisa hamil. Seperti harapan Rivaille yang ingin sekali menimang seorang bayi. Kupikir mungkin mereka harus berkonsultasi pada ahli kandungan untuk memastikan mereka sehat. Oh,… aku sama sekali tidak mencurigai salah satu dari mereka mandul, hanya saja akan lebih baik jika mereka berkonsultasi pada pakarnya agar mendepatakan informasi lebih jelas. Ada yang salah dengan cara mereka berhubungan intim mungkin, atau apa sajalah yang setidaknya bisa menjelaskan kenapa Petra belum juga hamil bahkan setelah setahun lebih sejak aku dan Rivaille menikah.

Aneh bukan? Aku dan Rivaille yang menikah, kenapa Petra yang harus hamil?

Oh jelas, karena yang berperan sebagai istri dalam kamar Rivaille adalah Petra. Aku hanya istri di dapur rumah Rivaille.

"Aduh…" keluhku saat ada yang menabrakku dari samping, padahal posisiku sudah cukup di tepi saat memilih beberapa jenis bumbu di salah satu rak besar.

"Ah maaf, aku tidak melihatmu. Kau baik-baik saja?" ucap seorang yang menabrakku tadi.

Aku menoleh dan harus mengangkat wajah agar bisa menatapnya. "Tidak apa-apa tuan, aku hanya kaget."

"Syukurlah. Kupikir kau terluka."

Aku hanya tersenyum kemudian kembali memilih beberapa jenis bumbu dan kumasukkan ke dalam troli.

"Sendiri saja?"

"Eh?" aku menoleh kaget karena kupikir bukan aku yang diajaknya bicara.

Anehnya, dia justru tertawa. "Kau lucu sekali nona. Apa suaraku membuatmu kaget?"

"Ah tidak… aku hanya mengira kau berbicara dengan orang lain."

Pria itu menoleh ke sekeliling dan memang hanya ada kami berdua di lorong itu. "Tidak ada siapa-siapa yang bisa kuajak bicara di sini selain kau. Apa kau keberatan."

"Tidak… hanya saja, aku tidak terbiasa berbicara dengan orang asing."

Ia kembali tertawa kemudian mengulurkan tangannya. "Jean Kirschtein, baru beberapa bulan kembali dari London. Panggil saja sesukamu."

Aku mengerutkan kening sambil menatap bingung tangan pria yang terulur di depanku. Oh… ia ingin berkenalan. "Aku Eren Jaeger, setahun lebih pindah dari Prancis. Salam kenal…" balasku sedikit ragu menjabat tangannya.

Ia membelalak, dan kupikir kenapa ia terkejut. "Kau orang Prancis?"

"Bisa dibilang begitu."

"Ya Tuhan, pantas saja bahasa Jermanmu tidak begitu fasih."

Sebenarnya aku bisa saja tersinggung dengan ucapannya, karena aku berdarah Jerman. Lahir di Jerman dan besar di Jerman. Hanya saja cukup lama di Prancis. "Aku sudah lama tidak kembali ke Jerman."

"Benarkah? Tapi sebenarnya kau sudah cukup lancar. Kau hanya perlu perbaikan di beberapa kalimat saja."

Dan entah kenapa obrolan ini semakin lancar saja. Aku tidak mengiginkannya karena orang pasti akan salah paham. Tapi… sudah cukup lama aku tidak mengobrol dengan orang lain selancar ini. "Terima kasih."

"Oh ya, kau tinggal di mana?"

Aku kembali menoleh dan menatapnya curiga.

"Ah… tidak bermaksud apa-apa. Hanya saja, kupikir jika kau butuh tumpangan_"

"Aku harus ke apotik setelah ini."

"Benarkah? Bagaimana kalau bersamaku saja. Aku juga ingin membeli beberapa vitamin. Aku sedikit kurang sehat belakangan ini," tuturnya sembari terbatuk.

"Baiklah…"

"Oh ya, kau sendiri ingin beli apa di apotik?"

Aku tersenyum, masih menatapnya. "Alat tes kehamilan."

Dan selanjutnya senyum di wajah pria itu lenyap, digantikan dengan ekspresi kikuk. "O… Oh, kau sudah menikah?"

"Iya, eum.. satu setengah tahun yang lalu."

Aku tahu dia menyimpulkan itu dengan membuat relasi antara alat tes kehamilan dengan pernikahan. Padahal sebenarnya dalam kasusku tidak ada hubungannya karena bukan aku yang akan hamil.

"Oh begitu…"

"Oh ya, Tuan Kirschtein … Mungkin akan sedikit janggal jika seorang wanita yang sudah menikah berjalan bersama pria lajang. Jadi terima kasih atas tawaranmu, aku bisa pergi sendiri," ucapku karena aku bisa membaca raut tidak enak darinya.

"Ah bukan begitu nona… ah maksudku Nyonya… eum Nyonya…"

"Ackerman. Suamiku bernama Ackerman."

"Ah, nyonya Ackerman. Anggap saja kebetulan karena aku juga ingin ke apotik."

Aku tersenyum karena sebenarnya pria ini sangat lucu. "Baiklah Tuan Kirschtein, aku ke kasir dulu membayar semua ini."

"Y… Ya, kutunggu di depan."

.

.

.

"Rivaille dari mana saja kau?"

"Bukan urusanmu…"

"K… Kau mabuk?"

Rivaille menatapku tajam, kemudian menjambak rambutku di bagian belakang. "Kenapa kau semenyebalkan ini ha? Kau tahu… Petra meminta putus dariku, kau pikir ini semua ulah siapa ha?"

"Aku… Aku tidak tahu kalau… kau punya kekasih…"

"Bohong! Kau sengaja ingin mnghancurkan kehidupanku kan?"

"Demi Tuhan, Rivaille. Aku baru tahu jika kau punya kekasih saat kau menolak pernikahan ini."

"Dan apa itu mempengaruhimu? Tidak Eren Jaeger, kau tetap menerima pernikahan brengsek ini, dan lihat apa yang telah kau lakukan pada kehidupanku? Aku akan selamanya terjebak dalam kehidupanmu yang payah ini, aku telah berpisah dari Petra dan… apalagi yang kau inginkan?"

"Rivaille… lepas…"

Rivaille justru tertawa dan melemparku hingga terhempas ke tempat tidur. Belum sempat kubetulkan posisiku karena gaun malamku tersibak, menampkkan pahaku yang_

"Rivaille…"

"Kenapa ha? Bukankah ini malam pertama kita? Kau tahu apa yang harus kau lakukan saat ini kan?"

"Ta… tapi kau sedang mabuk? Aku khawatir kau akan…"

"Akan apa ha? Menyakitimu? Memang itu tujuanku. Sekarang lepas pakaianmu."

"Jangan Rivaille… kita tidak boleh melakukan ini."

"Kenapa tidak boleh? Bukankah ini yang kau inginkan?" ucapnya tegas sembari merobek gaunku. Entah aku harus berteriak atau bagaimana saat tubuhku sudah terekspos di hadapannya.

"Rivaille kumohon…"

Dan dia hanya tersenyum licik sebelum melakukan semua hal menyakitkan padaku termasuk merobek keperawananku malam itu juga. aku tahu itu wajar karena Rivaille adalah suamiku, tapi siapa yang tidak menangis saat Rivaille justru mendesahkan nama Petra berkali-kali sementara yang ia setubuhi adalah aku.

TBC

Maybe some review?