All characters here belong to JK. Rowling
Finally, I'm able to write a long... fanfiction with several chapters.
I warn you this is a SLASH a.k.a YAOI fanfiction. If you don't like it, mind to out?

Happy reading guys

Chapter 1

-Don't Leave Me-

-Hogwarts, July 1998-

Perang sudah berakhir dan apa yang selama ini masyarakat dunia sihir inginkan terwujud juga – perasaan damai dan juga perasaan aman. The Chosen One, atau yang sekarang mendapat julukan baru The Boy Who Live Twice berhasil membunuh The Lord Voldemort seperti yang telah diramalkan sebelumnya.

Sisa-sisa perang masih ada berserakan mulai dari puing-puing gedung sampai bercak darah yang mempel di dinding dan lantai. Namun, hal itu tidak menjadi gangguan bagi masyarakat untuk memulai aktivitas meraka kembali – begitu juga para penghuni Hogwarts.

Para guru, murid serta hantu saling membantu untuk membereskan Hogwarts dari sisa-sisa perang walau mereka masih direndung kesedihan karena banyak dari sahabat mereka meninggal – bahkan Harry Potter pun merasakan kesedihan itu; lebih merasakan tepatnya.

Sang Potter muda itu menyaksikan langsung kematian sahabat yang sekaligus ia anggap sebagai keluarganya. Rasa sedih itu bahkan menyebabkan air matanya terasa mengering. Ia terus mencoba untuk bangkit kembali walau itu terasa sulit. Ia merasa ingin sekali meninggalkan dunia sihir karena terlalu banyak kenangan buruk walau ia pun tahu dunia Muggle tak seindah dunia sihir. Namun di sisi lain, ia tak sanggup untuk meninggalkan sahabat-sahabatnya dan semua orang yang ada di dunia sihir – semua.

Ia terlalu sedih dan juga bimbang. Oleh karena itu sejak perang usai, ia selalu mendamaikan dirinya di tempat-tempat yang sepi, yang tidak diganggu oleh para wartawan tentunya. Ia selalu pergi saat jam dimana seharusnya seluruh siswa Hogwarts sudah tertidur.

Malam ini, malam kedua terakhir ia menjadi seorang siswa di Hogwarts, Harry kembali mencoba menenangkan dirinya kembali di hutan terlarang. Dengan pencahayaan dari tongkat sihirnya dan juga perlindungan dari jubah ajaibnya, ia menelusuri jalanan hutan tersebut hingga akhirnya ia sampai di depan sebuah danau. Danau itu, menurutnya, cukup membuatnya kembali dari rasa sedih yang dilandanya.

"Nox"

Harry mematikan mantra Lumosnya, membuka jubahnya dan mulai mendudukan tubuhnya di samping danau. Ia bisa mendengar suara gemerecak air yang dibuat oleh para penghuni di bawahnya. Suara gemerecak air itu sangat lembut dan membuat hatinya terasa damai. Karena suara itu, tak terasa ia pun mulai tertidur. Ia tak takut akan makhluk yang menghuni hutan dan juga danau itu karena ia yakin mereka mengetahui jika ia hanya menginginkan kedamaian – bukan untuk melukai mereka. Harry tertidur dengan lelap hingga ia tak menyadari bahwa seseorang telah berada di sampingnya.

Pria itu, seseorang yang berada di samping Harry, mencoba untuk meraih kepala si mata empat itu. Ia langsung meletakkan kepala itu di atas pahanya agar sang pemilik kepala merasa nyaman – ia hanya mengikuti perasaannya. Draco Malfoy, si pria itu, menatap wajah damai Harry dan mulai mengusap lembut rambut hitam berantakan milik Harry – mencoba untuk memberi kenyamanan lebih padanya. Ia tak sadar sudah bersikap manis seperti sekarang. Sebelumnya, ia tak pernah berlaku manis seperti ini bahkan kepada sang ibu yang sangat mencintainya.

Dalam diam, Draco tersenyum saat ia melihat wajah Harry juga tersenyum dalam tidur lelapnya. Wajah Harry yang damai membuatnya merasakan kedamaian juga – serta membuat jantungnya sedikit (tapi banyak) merasakan getaran yang sedikit aneh menurutnya; bukan wajah yang selalu menampakan kegundahan yang selalu tersembunyi di balik wajah ceria Harry.

Sebenarnya semenjak perang usai, Draco merasakan keanehan pada diri Harry. Wajah Harry terlihat lebih muram dari sebelumnya walau wajah itu tak tampak di hadapan seluruh masyarakat dunia sihir, bahkan untuk Rita Skeeter pun ia bisa mempertontonkan wajah senang palsunya. Dia bisa merasakan bagaimana kegundahan Harry walau sang pewaris tunggal Potter itu tak pernah menceritakan apapun pada Draco. Ia pun bisa merasakan betapa Harry sangat lah sedih bahkan saat upacara pemakaman untuk para pejuang perang beberapa bulan yang lalu selesai.

Draco merasakannya – sangat merasakan. Selain itu, ia pun merasakan jika Harry seakan ingin pergi entah kemana. Entah dari mana perasaan itu muncul, tetapi yang jelas ia tak ingin itu terjadi. Ia tak ingin sang Potter muda itu pergi dari dunia sihir – pergi dari hadapannya dan juga hidupnya. Oleh karena itu, ia selalu membuntuti kemana pun Harry pergi secara sembunyi-sembunyi – seperti saat ini.

Jika saja Draco bukan pewaris Malfoy, ia pasti akan langsung menyeret Harry ke ruang kebutuhan dan memohon kepada Harry sambil berlutut agar ia tidak pergi dari dunia sihir. Namun itu tidak lah mungkin. Ia seorang penerus tunggal Malfoy yang harus mementingkan martabatnya dari pada hatinya. Lagi pula, apa alasannya ia memohon kepada Harry? Ia hanya merasakan sesuatu yang tidak pasti. Ia hanya merasa takut dan takut merupakan perasaan yang sangat lah bukan untuk seorang Malfoy. Jadi, Draco tidak ingin harga dirinya hancur hanya karena merengek di hadapan Harry walau ia ingin sekali melakukannya.

Saat dirasa Harry sudah merasa nyaman, Draco berhenti mengelus kepala Harry dan menatap danau hitam yang tampak indah malam ini. Permukaan danau menampakan cerminan bintang-bintang yang begitu cantik – seperti Harry. Ia sempat berpikir jika para makhluk air mencoba membuatkan suasana seromantis ini hanya untuk dirinya dan Harry. Namun, pemikiran itu langsung ia buang jauh.

"Mana mungkin makhluk-makkhluk bodoh itu melakukannya" ucapnya pelan sambil menggelengkan kepalanya.

Akibat gerakan kecil dari Draco yang tiba-tiba, Harry sedikit terusik dan sedikit menggerakan kepalanya. Wajahnya terlihat tidak nyaman. Draco yang menyadari bahwa ia telah mengganggu tidur lelap sang Potter muda kembali mengelus kepala Harry dan wajah pria bermata empat itu kembali damai.

Draco terus menatapnya dan ia kembali tersenyum.

"Kau tahu, Potter? Kau tampak lebih manis jika sedang diam." Ucapnya sambil terus mengelus kepala Harry.

"Kalau saja kau selalu bersikap manis seperti ini, pasti aku sudah menjadikanmu kekasihku –oh! Aku sakit!" Draco yang menyadari jika ia melanturkan hal yang menurutnya bodoh sedikit mengerang. Mana mungkin Harry menerimanya sebagai seorang kekasih? Lagi pula, mana mungkin dua orang yang terkenal sebagai rival abadi menjadi sepasang kekasih? Jika semua di dunia ini adalah kebodohan, mungkin menjadikan dua musuh bebuyutan itu sepasang kekasih adalah kebodohan yang tidak bisa ditoleransi kebodohannya.

Tak bisa dipungkiri memang jika seorang Draco Malfoy, pria aristrokrat berambut platina, mencintai seorang Harry Potter , pria bermata empat yang menurut Draco sangat bodoh karena tidak mau menerima jabatan tangannya saat tahun pertama. Namun, ia tak mau mengakuinya walau para sahabatnya mengetahui jika Draco mencintai Harry. Bahkan Pansy sendiri mengatakan ia ingin sekali mendorong Draco ke dalam kamar mandi Moaning Myrtle, menyuruh hantu gila itu menelanjangi Draco sampai Malfoy muda itu mengaku jika ia cinta Harry. Ide itu hampir berhasil kalau saja Draco tidak sadar saat ia tengah digotong oleh Blaise – dengan Theo dan Pansy di belakangnya – ke arah kamar mandi itu.

Draco memang mencintainya, tetapi ia tak mengetahui sebesar apa cinta yang ia punya. Ia tak ingin menyakiti hati Harry jika ternyata dirinya sendiri hanya ingin mempermainkannya. Dan juga, ia adalah mantan seorang pelahap maut. Tidak ada untungnya bagi Harry jika ia memiliki hubungan dengannya walau hubungan antara keluarga Malfoy dan juga Harry Potter sudah membaik. Oleh karena itu, ia tidak mau mengakui bahwa ia mencintai Harry. Namun sungguh, walaupun seperti itu adanya, ia tak ingin kehilangan Harry.

Malam pun semakin larut dan udara semakin dingin. Dengan hati-hati, ia mulai menurunkan kepala Harry dari atas pahanya. Draco langsung merapalkan mantra non-verbal penghangat untuk sekedar menghilangkan rasa dingin yang ada di sekitar tubuh Harry.

Ia pun berdiri berniat untuk meninggalkan Harry sendirian disana. Baru tiga langkah yang ia ambil, Draco kembali lagi ke arah Harry. Ia berjongkok mendekati tubuh Harry lalu berbisik,

"Don't leave me, Harry." Ujar Draco sambil mencium kening Harry.

Draco pun segera kembali meninggalkan Harry yang masih terlelap. Saat ia mulai menjauh dari danau, seketika itu sebuah ide muncul dipikirannya.

"Aku akan tinggal dengannya. –hm, bukan ide yang buruk." Ucapnya dengan seringai kebanggaannya.

Saat Draco telah menjauh dari danau, Harry tersenyum dalam mimpinya. Masih dengan keadaan di dalam mimpi tanpa sadar Harry berbisik,

"I don't want to leave you... Draco."

-To Be Continue-

I'm sorry if there are some mistakes in this fanfiction; but, would you mind to review? ^_^