Kris Wu masih berdiri di tempat yang sama.

"Dia tidak menoleh padaku."

Oh Sehun sibuk mengaduk kopi beraroma wangi. Hati-hati menakar gula karena ia tahu kakak lelakinya tidak suka kopi yang terlalu manis. Katanya, rasa manis bisa membuat lidahnya mati rasa.

Sehun tersenyum, masih mengabaikan Kris yang berdiri di bingkai pintu dapur rumah mereka. Berpikir bahwa kakak lelakinya yang dingin namun ceroboh yang sedikit hiperbolis dan sensitif terhadap rasa manis itu sesekali harus dijahili.

"—sayangnya tidak sempat."

Sehun bergumam lirih.

Kopi sudah jadi. Sehun melangkah ke meja ruang nonton dan meletakkan cangkir kopi untuk kakak lelakinya disana.

"Kopimu ku letakkan disini. Aku mau berangkat ke tempat kerjaku. Jongin akan memarahiku lagi kalau aku telat menggantikan shift-nya."

Kris mengangguk di depan Sehun. Mata adik angkat-nya itu terlihat kosong, tapi, ia tetap melengkungkan senyum.

—senyum terpaksa.

"Nanti kalau ingat aku akan membelikanmu milleufeuille."

Sehun bergegas memakai coat yang digantung di belakang pintu bagian depan rumah lalu keluar rumah tanpa berpamitan seperti biasanya. Kris ingat, Sehun biasanya tersenyum ceria sambil mengucap 'Aku berangkat!' dengan suara keras.

Seoul di bulan November cukup dingin. Biasanya Sehun juga akan banyak mengeluh padanya setiap musim dingin—pemuda itu tidak suka cuaca dingin.

Tapi, ini sudah satu bulan. Sehun bahkan tidak pernah benar-benar menatap matanya lagi sekarang.

Mata Kris bergerak kearah foto berukuran besar yang dibingkai pigura kayu berpelitur. Dibelakang tempat Kris berdiri, terdapat fotonya bersama Sehun ketika Sehun lulus sekolah dua bulan lalu. Sehun menggandeng lengannya dengan senyum yang sangat lebar.

Pemuda yang sudah dianggapnya seperti adik kandungnya sendiri itu juga mengatakan padanya di hari kelulusan bahwa ia tidak akan meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi. Kris memprotes, tapi Sehun bersikeras ingin bekerja saja.

"Aku ingin membantumu! Setidaknya hargai keputusanku!" pemuda itu berteriak kesal, "Aku melakukan ini… untukmu."

Sehun menangis ketika mereka sampai di rumah.

Mereka bertengkar. Dan Kris tidak menyangka pertengkaran mereka akan berlanjut hingga hari ini.

Apa benar mereka tidak bisa bersama dan saling dekat seperti dulu?

Kopi di meja sama sekali tidak tersentuh. Kris duduk di sofa dan mengingat-ingat pertemuan pertamanya dengan Sehun.

Sehun adalah anak yang tidak terlalu periang di masa kecilnya. Saat mereka bertemu, usia Kris sepuluh tahun sedangkan Sehun baru enam tahun. Sehun kecil tidak memiliki kerabat yang mau mengurusnya karena banyak yang mengatainya aneh. Kris pun juga mendapati hal yang sama. Ia sering memergoki Sehun tengah bicara sendirian atau terkejut sendirian.

Desas-desus dari para kerabat mengatakan bahwa Sehun punya kemampuan spiritual. Tapi, setelah diperiksakan lagi, pemuda itu ternyata memang memiliki gejala schizophrenia dan potensi bipolar. Ayah dan Ibu Kris pun berusaha memaklumi, mereka tidak sekejam itu berniat melempar Sehun pada kerabat yang lain.

Sehun akhirnya bisa tersenyum lebih sering setelah lambat-laun bergaul dengan para anak tetangga. Kris selalu ada kemanapun Sehun pergi. Karena itulah, jika Sehun mulai berlaku aneh, Kris akan menutupinya.

Kris berbaring di sofa panjang rumahnya. Melirik jam dinding. Ia bahkan tidak sadar melamunkan hal-hal masa lalu cukup lama.

"Aku pulang."

Sehun memasuki rumah dan menyalakan saklar lampu. Ia bergegas menghampiri Kris yang sedang berbaring di sofa.

"Aku beli milleufeuille untukmu." Sehun tersenyum lebih ceria dibandingkan tadi pagi. Kris menggeser posisinya dan beranjak duduk. Sehun membuka kotak kue, Kris yakin baunya harum, sayangnya ia tidak bisa menciumnya lagi.

Sehun menyuapkan potongan milleufeuille itu kepada Kris yang sudah membuka mulutnya. Namun, ketika kue itu disuapkan, rupanya Kris tidak bisa memakannya. Kue itu masih menempel di sendok Sehun.

Kris menatap sedih kepada Sehun, "Sehun, kau tahu apa yang selama sebulan ini kau lakukan?"

"Iya, aku tahu persis. Memangnya kenapa?"

Kris semakin merasa sakit. "Kau tahu kejadian apa yang terjadi padaku sebulan lalu bukan?"

Sehun sedikit terkejut. Ia menarik kembali tangannya lalu melirik kopi yang sejak tadi pagi sama sekali tidak berkurang isinya.

"Iya." Sahutnya pelan, "Saat kau berlibur bersama orangtuamu ke Jeju, kapal yang dipakai oleh rombonganmu tenggelam."

Kris tersenyum tipis atas respon Sehun, "Kau tahu bukan kalau aku sudah mati?"

Garpu kue digenggam semakin erat tanpa sadar. Sehun menggigit bibirnya erat-erat.

"Ya." Sahutnya seperti berbisik. "Tapi, mayatmu tidak pernah ditemukan dan kau sekarang berada disini. Apa bahkan bagimu sekalipun aku adalah orang gila karena menganggapmu masih hidup sampai sekarang?"

"Seharusnya dengan melihat kepada foto kita, kau tahu yang mana yang paling benar sekarang, adikku."

Malam itu hanya dihabiskan Sehun dengan menangis di ruang tamu, dengan sekotak kue dan secangkir kopi yang mendingin.

Ia sendirian. Tapi, masih memanggil nama seseorang seolah-olah orang itu ada di depannya.

"Kris…"

"Kris…"

Panggilannya hanya dibalas hembusan pelan angin dingin yang membuat bulu roma berdiri.

.

.

-fin

.

.

;; ini juga dipublish di salah satu halaman facebook, dengan pairing berbeda. ;;

Tamban, 22 Agustus 2015

darkestlake