Disclaimer: Kuroko no Basuke was created by Tadatoshi Fujimaki

Warning: AU, OOC, Typo, tak sesuai EYD, Violence, Blood dsb

Summary: Kuroko dan 'Kiseki no Godai' dikejutkan dengan suara teriakan istri pemilik losmen, Riko. Kemungkinan Riko diserang secara tiba-tiba oleh Assassin. Maka mereka segera pergi menyelamatkan wanita itu. Ternyata para Assassin berhasil mengepung losmen itu dan menyandera Riko hingga menimbulkan kepanikan di sana. Bagaimana ceritanya? Baca saja. Semoga suka... :)

Bab 9

*Jebakan*

"KYAAA!"

Terdengar teriakan keras menggema di seluruh ruangan losmen. Membuat semua penghuni losmen kaget dan terbangun dari alam mimpi mereka karena teriakan itu.

Kuroko, Akashi dan Kise juga terkejut mendengar suara teriakan itu. Mereka lalu terbangun dari tidurnya.

"Suara keras apa itu barusan-ssu?" gumam Kise bingung sambil celingukan.

"Aku juga mendengarnya, Kise-kun. Tapi, suara apa itu?"

Tiba-tiba Akashi merasakan suatu firasat buruk begitu mengetahui siapa pemilik suara itu.

"Akashicchi, kamu tahu suara apa itu?" tanya Kise pada Akashi.

"Kelihatannya ini suara..."

Sementara itu, di kamar 212...

Midorima, Aomine dan Murasakibara terbangun begitu mendengar teriakan keras itu.

"Suara berisik apa itu? Mengganggu tidurku saja..." keluh Murasakibara dengan tatapan setengah mengantuk akibat terbangun secara tiba-tiba.

"Siapa yang berteriak-teriak di tengah malam begini? Bikin orang kaget saja," gerutu Aomine sambil mengelus dada. Sumpah, suara itu membuat jantungnya berdetak keras.

Tiba-tiba kedua mata Midorima terbelalak. Sepertinya dia mengetahui suara itu. "Jangan-jangan..."

"Ini suara istrinya pemilik losmen itu!" seru Akashi dan Midorima bersamaan, meskipun mereka berada di ruangan yang berbeda. Memang benar, suara teriakan itu kedengarannya suara seorang wanita. Sebab hanya Riko, istrinya Junpei satu-satunya seorang wanita penghuni losmen itu.

"Apa?!" Tentu saja mereka kaget. Ini berarti Riko dalam bahaya!


Kuroko dan 'Kiseki no Godai' berkumpul di depan pintu kamar mereka. Mereka memutuskan untuk mencari Riko dan menyelamatkannya.

"Ayo, semuanya. Kita harus pergi ke bawah untuk menyelamatkannya. Karena kupikir suara itu berasal dari lantai satu," perintah Akashi sambil mengeluarkan pedangnya.

"Ya, aku juga berpikir seperti itu nanodayo. Kita harus ke lantai satu secepatnya," ujar Midorima.

"Tapi, teriakan itu... Apa itu pertanda..." Kuroko diam sebentar. Yang lain menoleh ke arahnya. "Istri pemilik losmen akan dibunuh oleh Assassin?" sambungnya dengan suara yang agak bergetar.

"Ah, ya. Sepertinya para Assassin sudah mengepung losmen ini, nanodayo. Mau tak mau kita harus melawannya," jawab Midorima. Tangannya sudah bersiap untuk memegang pedang di pinggangnya untuk berjaga-jaga kalau Assassin datang.

"Sepertinya kamu benar, Shintaro..." Tiba-tiba Akashi mengambil sikap waspada. Mata heterokrom-nya yang berkilat tajam mengawasi keadaan di sekitarnya. "Para Assassin sudah datang. Ayo!" ajaknya sambil melangkahkan kakinya melalui koridor losmen, diikuti oleh yang lain.

"Tolong!" Terdengar suara orang yang meminta pertolongan. Suara itu asalnya dari salah satu kamar losmen. Mendengar suara itu, Akashi memberi isyarat pada rekan-rekannya untuk berhenti.

"Ada suara minta tolong. Kelihatannya orang itu akan diserang Assassin-ssu!" seru Kise.

Memang benar seperti perkiraan Kise, suara minta tolong itu seakan-akan dia diserang oleh seseorang. Mungkin seorang Assassin. Maka Akashi memutuskan untuk segera menyelamatkan orang di kamar itu. Dia memegang gagang pintu dan membukanya, namun pintu itu tak bisa dibuka.

"Sepertinya pintu kamar ini terkunci dari dalam," kata Akashi. "Atsushi, dorong pintu ini. Kalau masih nggak bisa dibuka, dobrak saja," perintahnya pada Murasakibara.

"Baik, Aka-chin..." Murasakibara menurut. Lalu dia mendorong pintu itu dengan sekuat tenaga. Tapi tetap saja tak mau terbuka.

"Ugh! Tidak bisa..." keluhnya.

"Aku kan sudah bilang kalau pintunya tak bisa dibuka, dobrak saja sampai pintunya rusak." Akashi mengulang kembali perintahnya. "Ini perintah, Atsushi. Cepat lakukan!"

"Ayo, Murasakibara! Rusakin saja pintunya," timpal Aomine. "Apa kamu mau membuat orang itu mati dibunuh?!"

"Baiklah... Aku tak mau orang itu mati dibunuh oleh Assassin jahat... Aku tak boleh menyerah kali ini!" Murasakibara mulai bersemangat. Dia lalu mengambil ancang-ancang dan berlari untuk mendobrak pintu di hadapannya dengan bahunya yang besar.

Brak!

Akhirnya Murasakibara berhasil mendobraknya hingga pintunya terbuka lebar. Namun, dia kemudian terkejut menyaksikan apa yang di depan matanya.

"Tidak..." gumamnya dengan suara yang bergetar. Kuroko, Akashi dan yang lain juga ikut melihat isi kamar itu. Begitu melihatnya, reaksi mereka juga sama seperti Murasakibara. Di mata mereka, ada seorang pria separuh baya jatuh terduduk dengan wajah ketakutan dan seorang Assassin di depannya sedang menyiapkan pisaunya yang tajam.

"Tidak ada yang akan menolongmu. Sekarang nyawamu akan menjadi milikku! Hahahaha! Selamat tinggal!" tawa Assassin tanpa rasa belas kasihan pada orang itu di depannya. Kemudian dia mulai menghunjamkan dada orang itu dengan pisaunya.

"TIDAK! Seseorang tolong aku!" teriak pria malang itu. Dia menutup mata dengan kedua tangannya karena takut menghadapi Assassin yang akan membunuhnya. Bahkan menyerang balik saja tak mampu.

Jleb!

Terdengar suara senjata menancap di tubuh, namun bukan berasal dari pisau milik Assassin. Melainkan...

"Ukh!" Assassin itu ambruk terkena panah yang menancap dada kirinya. Tepat di jantungnya. Dalam beberapa detik saja, Assassin itu mati. Tentu saja pria itu kaget bukan main, lalu dia menoleh.

Rupanya itu Akashi yang membidikkan anak panahnya ke arah Assassin untuk menolongnya. Buktinya, ada busurnya yang sedang dipegangnya.

"Hufft... Hampir saja," ucapnya seraya menghela napas lega.

"Syukurlah. Akashi-kun, kamu berhasil..." ucap Kuroko, tersenyum kecil.

"Bagus, Akashicchi! Orang itu selamat-ssu!" puji Kise.

Akashi hanya tersenyum. Lebih tepatnya menyeringai.

Kemudian Kuroko dan teman-temannya berlari kecil menghampiri pria itu. "Kamu tak apa-apa, kan?" tanyanya.

"Apa kamu terluka, Tuan?" sahut Akashi.

Orang itu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kedua matanya berkaca-kaca karena terharu, bersyukur nyawanya diselamatkan. "Aku tak apa-apa. Arigato gozaimasu, anak muda... Kalian telah menyelamatkanku." Dia mengucapkan terima kasih.

"Doitashimashite, Tuan. Lebih baik kamu tunggu saja di sini. Kalau bisa, sembunyi di tempat yang aman. Jangan kemana-mana," perintah Akashi absolut, tapi sopan. Orang itu mengangguk, mau menuruti permintaan Akashi.

Setelah menyelamatkan pria itu, Kuroko dan 'Kiseki no Godai' kembali ke koridor losmen. Namun terdengar lagi suara teriakan minta tolong. Suara itu terdengar dimana-mana. Tak hanya satu, melainkan banyak.

"TIDAAAK! Tolong aku!"

"Siapapun, tolong kami!"

"Tolong! Aku diserang oleh seseorang! Kumohon, tolong aku..."

Mereka berenam mendengar semua teriakan tersebut. "Cih, ini gawat! Bagaimana ini? Mereka sepertinya membutuhkan kita!" kata Aomine.

"Kita harus menyelamatkan mereka-ssu. Kalau tidak, mereka akan mati dibunuh oleh Assassin!" Kise menimpali.

"Yah, tidak bisa kalau berenam sekaligus, nanodayo," ujar Midorima. "Mau tak mau kita harus berpencar."

"Apa tidak apa-apa, Midorima-kun?" tanya Kuroko. "Bagaimana dengan istri pemilik losmen itu? Dia juga membutuhkan kita..."

"Begini saja." Tiba-tiba Akashi angkat bicara. Membuat yang lain menoleh ke arahnya. "Kita akan berpencar menjadi dua tim. Masing-masing dibagi tiga orang. Satu tim yang akan menyelamatkan seluruh penghuni losmen ini, dan yang satu akan turun ke bawah untuk menyelamatkan istri pemilik losmen. Nah, sekarang siapa yang bersedia berada di sini untuk menyelamatkan penghuni losmen?" tanyanya. Yang lain hanya bisa terdiam sembari saling pandang. Sampai...

"Aku saja, Akashi," ucap Aomine akhirnya. "Akulah yang akan berada di sini. Aku bertekad untuk menyelamatkan seluruh penghuni losmen ini. Percayalah padaku, yang bisa menyelamatkan mereka semua hanyalah aku!" sambungnya tekad bulat.

"Kalau begitu, aku akan ikut denganmu, Aominecchi," tukas Kise. "Aku juga berniat untuk menyelamatkan mereka-ssu. Biarkan aku juga ikut membantu!"

"Aku juga..." kata Murasakibara. "Aku ingin menghancurkan mereka karena telah berani membunuh semua orang di losmen ini..."

"Bagus sekali, Pria Besar!" puji Aomine sambil menyikut dada Murasakibara. "Kamu akhirnya bersedia menolong kami."

Murasakibara tersenyum kecil. "Asal kamu tak lupa memberikanku hadiah Maiubo, Mine-chin..." tandasnya. Kontan saja lelaki berkulit tan itu sweatdrop mendengarnya.

"Tenang saja, Murasakibaracchi," ucap Kise seraya menepuk pundak Murasakibara. "Kalau kita berhasil, nanti Aominecchi akan membelikanmu 50 Maiubo. Hehe..." sambungnya geli.

"Hoi, Kise! Kamu jangan ikut-ikutan!" teriak Aomine kesal.

"Sudah cukup main-mainnya nodayo. Itu akan membuang waktu," sela Midorima, menghentikan kegilaan ketiga orang itu. Lalu dia berpaling ke arah Akashi. "Akashi, apa kita sudah siap? Kita tidak punya banyak waktu, nanodayo."

"Yah, kurasa..." Akashi terdiam sebentar. "Sudah saatnya kita, 'Kiseki no Godai', beraksi! Kalian bertiga, Daiki, Ryouta, dan... Atsushi." Dia menunjuk ketiga rekannya satu per satu dengan pandangan penuh keabsolutan. "Kalian serang para Assassin di sini untuk menyelamatkan penghuni losmen ini. Ingat, lakukan saja apa yang kuperintahkan. Misi yang kuberikan pada kalian ini mutlak buat kalian..."

"Siap, Akashi/Akashicchi/Aka-chin!" seru mereka serempak sambil menyiapkan senjata mereka.

"Ayo, semuanya... Mulai dari sekarang. Kita berpencar!" titah Akashi.

Mendengar perintah Akashi, ketiga orang itu (Aomine, Kise dan Murasakibara) bergegas pergi untuk menyelamatkan dan melindungi penghuni losmen dari serangan Assassin. Sedangkan Akashi, Midorima dan Kuroko melesat turun ke lantai bawah.

"Semoga istri pemilik losmen itu baik-baik saja," kata Kuroko.

Midorima menghela napas. "Hufft, aku bukannya mengkhawatirkan wanita itu nanodayo. Tapi aku tak mau kalau Assassin berbuat seenaknya padanya. Lebih parah lagi kalau dia sampai terbunuh oleh mereka."

"Itu yang kukhawatirkan, Midorima-kun..."

"Kurasa kita punya pikiran yang sama," ujar Akashi. "Walaupun begitu, aku takkan membiarkan itu terjadi. Dan ini mutlak!"

Entah kenapa Midorima dan Kuroko tersenyum kecil mendengarnya.

"Nigou, kamu masih kuat, kan? Ayo, kita bantu Akashi-kun dan Midorima-kun," kata Kuroko pada serigalanya yang sedari tadi sudah setia berada di sampingnya. Nigou menggonggong. Tanda dia menyanggupi permintaan dari pemiliknya itu.


Sementara itu di lantai satu, para Assassin sudah berkumpul di ruang makan. Ternyata mereka berhasil mengepung losmen itu dan menyandera penghuni losmen termasuk pemiliknya. Hanya yang satu sedang memegang seorang wanita yang meronta-ronta minta dilepaskan sembari mendekatkan pedangnya ke leher wanita malang itu. Wanita itu adalah Riko Hyuuga. Jadi memang suara teriakan itu berasal darinya.

"Lepaskan! Lepaskan aku! Atau akan kubunuh kalian semua!" jerit Riko, berusaha melepaskan diri. Kedua mata coklatnya menatap tajam ke arah Assassin itu. Namun Assassin itu malah mengancamnya dengan pedangnya di dekat leher wanita itu.

"Oh, kau ternyata galak juga, ya..." gumam Assassin itu, seakan-akan menggoda Riko. "Kau takkan bisa membunuh kami. Karena kau sudah terlanjur mati dengan pedang yang berada di lehermu ini. Kau tahu? Hidupmu itu sekarang bagaikan telur di ujung tanduk. Fufufu..."

"Ukh! Sebenarnya apa yang kamu inginkan dariku?!" tanya Riko sarkastik.

"Sudah pasti... Aku dan rekan-rekanku mengincar lima ksatria legendaris, 'Kiseki no Godai'. Kupikir mereka ada di sini. Karena itulah, aku mengepung losmen kalian. Khu khu khu..." tawa Assassin sinis. "Sebenarnya, aku bisa langsung membunuhmu, termasuk suami dan anak-anakmu. Tapi kali ini, aku membiarkan kalian hidup sampai 'Kiseki no Godai' datang untuk menyelamatkan kalian. Sebagai sandera, aku bisa memancing mereka kemari."

"Apa katamu?! Kau pikir mereka ada di dalam losmenku ini, Daho?!" Kali ini Junpei Hyuuga, pemilik losmen itu yang berbicara. "Kau pikir aku tahu mereka di dalam sini? Meskipun lima ksatria legendaris itu ada di sini, aku takkan menyerahkan mereka pada kalian!"

"Diam!" seru Assassin itu pada Junpei. "Kau diam saja, Mata Empat! Kalau tidak, istrimu ini akan kutebas! Tepat di depan matamu..."

"Grrr..." Gigi Junpei bergemeletuk, menahan marah. "Kalau kau berani berbuat macam-macam dengan Riko, apalagi sampai membunuhnya... Aku takkan segan-segan melawan kalian!"

"Beraninya kau..." Assassin itu terbawa emosi. Pedang yang di tangannya semakin mendekati leher Riko. Wanita berambut coklat pendek itu sontak kaget melihatnya. Merasakan nyawanya kian terancam.

"Junpei!" Riko meneriakkan nama suaminya itu. "Kamu jangan biarkan aku mati di depanmu. Kumohon, turuti saja mereka. Demi aku..." pintanya dengan mata berkaca-kaca. Air matanya keluar dari sudut matanya.

Junpei yang melihat nyawa Riko dalam bahaya, hatinya berubah jadi luluh. Ditambah dengan anak-anaknya di sisinya yang sudah ketakutan melihat ibu mereka disandera Assassin, sang pembunuh berdarah dingin yang akan membunuh siapa saja yang menantangnya. Dia tak ingin istri tercintanya itu mati di tangan Assassin. Maka, dia memutuskan untuk menuruti permintaan Riko.

"Iya, aku akan diam. Tapi, tolong... Jangan sampai kau menyakiti Riko. Kumohon, jangan bunuh dia," kata Junpei merendah pada Assassin.

"Hmm... Tenang saja, Mata Empat," balas si Assassin sambil menyeringai. "Kau nggak mau, kan wajah manis istrimu ini terluka? Karena kau sudah menuruti apa yang kusuruh, akan kubiarkan dia hidup. Itu pun cuma sementara. Hehe..."

"Hmph." Junpei berusaha mengontrol emosinya. Kalau dia tak melakukannya, bisa-bisa keadaannya jadi lebih gawat. Istrinya akan dibunuh. Oleh karena itulah, demi keselamatan nyawa Riko, dia memilih untuk diam dan tak melawan.

"Hiks... Ayah... Ibu akan dibunuh... Hiks..." isak anak perempuan Junpei.

"Aku tak mau Ibu dibunuh, Ayah... Aku takut..." timpal anak laki-lakinya.

Junpei merasa sedih melihat kedua anaknya di sisinya. Dengan sikap penuh kasih sayang, dia memeluk kedua anaknya itu erat sembari menghibur mereka agar mereka bisa tenang. "Maafkan Ayah... Ayah tak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan nyawa Ibu. Kalau Ayah melawan, mereka akan membunuhnya. Jadi, kalian tenang saja. Semoga ada pahlawan datang untuk menyelamatkan Ibu dan kita semua..." tuturnya dengan senyum yang dipaksakan.

Kedua anaknya itu mengangguk mengerti. Mereka membalas pelukan Junpei sambil menangis. Sungguh mengharukan melihat ayah dan anak berpelukan seperti itu. Membuat siapa saja yang melihatnya jadi terenyuh.

Namun suasana mengharukan itu tidak mempan bagi Assassin. "Sial. Mengharukan sekali. Cih! Aku benci itu," katanya geram. "Lebih baik aku menunggu mereka datang ke sini. Biar anak buahku yang membereskan mereka. Bagaimanapun caranya..."

"Kau menunggu kami? Kami sudah berada tepat di hadapanmu..." Tiba-tiba terdengar sahutan yang mengagetkan seisi ruang makan itu. Suara itu kedengarannya sangat familier. Mereka menoleh ke arah suara itu.

"Kau..." Mata Assassin itu terbelalak begitu mengetahui siapa pemilik suara itu. Ternyata pemilik suara itu adalah Akashi. Dia datang bersama dengan Kuroko dan Midorima di sisinya.

"Ya, ini aku. Fufufu..." tawa Akashi sinis. "Kau tahu aku ini siapa, kan? Orang yang kamu tunggu bersama dengan kelima rekanku. Seharusnya kami datang berenam, tapi setengahnya sedang menghabisi anak buahmu di atas sana. Dan kini aku datang bersama kedua rekanku untuk menghadapimu..."

"Kedua rekanmu?! Memang kemana rekanmu yang satu lagi? Kalian datang hanya berdua!"

"Aku di sini, Assassin..." sahut Kuroko, menampakkan wujudnya di samping Akashi.

"A, apa?!" Assassin itu kaget bukan kepalang begitu melihat Kuroko. "Se, sejak kapan kau di situ?" tanyanya gelagapan.

"Aku sudah di sini dari tadi bersama dengan Akashi-kun dan Midorima-kun," jawab Kuroko tenang. "Sama seperti mereka, aku di sini untuk menghadapimu..."

"Fuh... Hahahaha!" Assassin itu tertawa dengan suara lantang. "Sudah kuduga, kalian bertiga datang cepat sekali. Kalian datang ke sini untuk menghadapiku? Hahahaha!"

"Kau boleh menertawakan kami, nanodayo," tandas Midorima sambil membenarkan kacamatanya. "Tapi jangan harap kalau kau bisa menantang kami. Atau kami akan memisahkan nyawamu dari ragamu nodayo."

"Oh ya?"

"Sebelum itu..." Akashi menunjuk Riko yang masih disergap Assassin. "Lepaskan wanita yang kamu sandera itu."

"Hah?" Junpei terkejut mendengar perintah Akashi yang tak diduganya. "Eh, tunggu! Ka, kalian juga salah satu pelanggan losmenku, kan? Jangan-jangan kalian..."

"Jangan khawatir," sela Kuroko pada Junpei. "Kami bertiga akan membebaskan istrimu dan juga menyelamatkanmu dan seluruh orang yang ada di sini."

Assassin itu menyeringai. "Hoo... Jadi kalian ingin wanita ini bebas dariku? Hmph. Jangan harap aku akan melakukannya untuk kalian. Fufufu..."

"Ini perintah," tukas Akashi dengan tatapan mata yang mengerikan. "Kau mulai berani melawanku, Iblis?"

"Kau pikir aku takut padamu, Ksatria Merah?" balas Assassin tak mau kalah. Dia menatap Akashi tanpa rasa gentar. "Meskipun kau menganggap dirimu absolut, jangan anggap perintahmu yang tak dapat dibantahkan itu akan mempan padaku!"

"Hmph, kau memang berani sekali. Sampai..." Akashi tak dapat lagi mengontrol emosinya. Dia merasa ini pertama kalinya berhadapan dengan lawan yang berani menantangnya. Bahkan melawan perintahnya. Maka, dia mengambil busur yang disampirkan di bahunya. Lalu menodongkannya bersama dengan panah di tangan kanannya.

"Aku ingin membawamu ke neraka dengan panahku ini," sambungnya.

"Coba saja kalau kau bisa," tantang Assassin itu. "Kalau kau ingin membunuhku dengan panahmu itu, leher wanita ini langsung kugorok. Aku yakin kau tak dapat melakukannya. Hahahaha!"

"Ugh!" Riko merasakan dinginnya pedang di lehernya yang diacungkan Assassin. Keringat sebesar biji jagung mulai menuruni pelipisnya. Jantungnya berdetak kencang dan tubuhnya gemetaran. Wajahnya memucat. Dia mulai merasa ketakutan akan ancaman Assassin itu.

"Cih, sial!" Junpei yang melihat kondisi istrinya itu mendecih kesal. Dia lalu berpaling ke arah Akashi yang masih menodongkan panahnya. "Hoi! Jangan lakukan itu! Aku tahu niatmu kalau kamu mau menyelamatkan Riko. Tapi melawan Assassin itu tak ada gunanya! Riko akan terbunuh!" serunya histeris.

"Akashi-kun..." Kali ini Kuroko yang berbicara. "Rasanya percuma saja kamu melawannya. Itu akan memperkeruh suasana. Nyawanya malah semakin terancam."

Akashi menahan bidikan panahnya. Kemudian, dia menatap Kuroko di sampingnya. "Tetsuya... Kamu..."

"Hmph, aku tidak mau mengakui ini, tapi Kuroko memang benar nodayo," timpal Midorima. "Jangan bertindak gegabah seperti ini sampai istri pemilik losmen itu mati dibunuh, Akashi."

Mendengar itu, akhirnya Akashi memilih untuk menurut meskipun terpaksa. Dia memang suka memerintah, namun bukan berarti dia mau diperintah. Demi keselamatan nyawa Riko yang jadi sandera Assassin, dia tidak menodongkan busur dan panahnya lagi.

"Baiklah, aku takkan menyerangmu," katanya melunak. "Sekarang, apa yang harus kami lakukan supaya kau mau melepaskan wanita itu?"

"Fufufu..." Assassin itu tertawa sinis. Kelihatannya dia bangga karena telah berhasil menaklukkan pemuda bersurai merah itu tanpa melawan. "Kau harus menurunkan senjatamu."

"Hm?" Akashi terkejut, namun hanya berlangsung sebentar. Dia kembali tenang seraya menjawab, "Baiklah. Akan kuturunkan senjataku..."

Maka dia melemparkan busur beserta tempat penyimpanan panahnya ke lantai. Tak lupa dia juga melemparkan pedangnya. "Sudah kuturunkan. Sekarang, apa lagi?" tanyanya kemudian.

Hehe... Ini yang kutunggu-tunggu. Pemimpin 'Kiseki no Godai' yang terkenal absolut akan mematuhi perintahku, batin Assassin itu. "Sekarang, angkat tanganmu ke atas..." perintahnya.

Akashi segera mengangkat kedua tangannya. Apa aku harus begini terus? Lama-lama harga diriku sebagai pemimpin bisa jatuh. Tapi apa boleh buat. Kalau aku melawan, dia bisa dibunuh, pikirnya.

"Hei! Kalian juga! Lakukan seperti yang dilakukan si Ksatria Merah itu. Cepat!" seru Assassin itu pada Kuroko dan Midorima yang dari tadi diam saja.

"Sumimasen, aku tidak membawa senjata," jawab Kuroko polos.

"Angkat tanganmu saja, Bodoh!" teriak Assassin itu emosi.

"Kamu tidak perlu menjawabnya, Kuroko. Cepat lakukan saja," kata Midorima sambil melemparkan pedang katana-nya ke lantai. Kemudian dia mengangkat kedua tangannya. "Aku sebenarnya tidak mau melakukan ini... Tapi ini kulakukan karena dipaksa, nanodayo."

Kuroko juga segera mengangkat kedua tangannya. "Apakah dia berniat main-main dengan kita atau bagaimana? Kenapa dia menyuruh kita melakukan ini?" bisiknya pelan.

Midorima menggeleng. "Entahlah. Tapi aku punya firasat buruk, nanodayo."

Tak lama kemudian, muncullah Aomine, Kise dan Murasakibara turun dari lantai atas. Mereka bertiga berlari menuruni tangga.

"Yuhuu! Akashicchi! Kami datang!" teriak Kise riang.

"Kami bertiga sudah menghancurkan Assassin jahat dan menyelamatkan penghuni losmen di sana, Aka-chin," lapor Murasakibara.

"Sekarang, mereka baik-baik saja. Ayo, Akashi, kami akan membantu... Eh?" Perkataan Aomine terhenti ketika melihat Akashi, Midorima dan Kuroko yang sedang mengangkat tangan dan tak melawan salah satu Assassin sedikitpun. Begitu juga dengan Kise dan Murasakibara. Mereka bertiga terkejut bukan kepalang melihat rekan-rekan mereka kewalahan menghadapi para Assassin. Yang lebih mengejutkan lagi, senjata mereka berada di lantai.

Mereka bertiga segera menghampiri ketiga teman mereka. "Hoi, Akashi! Apa-apaan ini?" tanya Aomine.

"Kenapa kalian tidak menyerang mereka sedikitpun?" Murasakibara menimpali.

Kise yang melihat Riko disandera oleh salah satu Assassin, dia berseru, "Oh! Dia dalam bahaya-ssu! Ayo, kita harus selamatkan dia sebelum dia terbunuh!"

"Fufufu..." Assassin itu tertawa sinis begitu melihat ketiga orang itu. Sontak mereka menoleh ke arahnya. "Akhirnya, kalian datang. Tak kusangka kalau kalian terkejut melihat teman kalian itu. Mereka sudah kami taklukkan bahkan tak bisa melawan kami. Hehe..."

"Apa yang kalian lakukan pada teman-teman kami-ssu?!" tanya Kise histeris. "Kenapa... Kenapa kalian..."

"Kau tahu, Ksatria Kuning?" potong Assassin itu. Dia tetap mengacungkan pedangnya di leher Riko. "Mereka bertiga itu jadi patuh dengan apa yang kuperintahkan. Mereka mencoba melawanku, tapi aku mengancam mereka dengan cara menebas kepala wanita manis ini. Begitulah mereka bersikap seperti itu terus tanpa sedikitpun melawanku. Fufufu..."

"Kau... Bajingan..." Aomine mengepalkan tangannya kuat-kuat, mulai merasakan emosinya mau meledak. Giginya gemeletuk, menahan marah.

Murasakibara juga merasa tak tahan dengan ketiga temannya itu. Aura gelap menguar dari tubuhnya. Tatapan death glare tertuju pada Assassin itu. "Rasanya aku ingin menghancurkanmu sekarang juga..." katanya geram sambil mempererat kapaknya.

Kise juga merasa geram dengan Assassin itu. Dia lalu menyiapkan pedang kembarnya. "Takkan kubiarkan kalian memperlakukan seperti ini pada teman-temanku-ssu. Akan kubalas kalian!"

"Akan kubunuh kalian semua dengan trisulaku ini!" timpal Aomine sambil memutar-mutar trisulanya, bersiap untuk menyerang.

"Hah?!" Kuroko dan yang lain kaget melihat ketiga teman mereka bersiap untuk melawan. Mereka heran kenapa ketiga orang itu berbuat senekat ini. Padahal mereka tahu kalau melawan Assassin itu, maka...

"Kyaaa!"

"Riko!" teriak Junpei.

Benar saja. Begitu ketiga orang itu mengambil ancang-ancang untuk menyerang, Assassin itu mendekatkan pedangnya ke leher Riko yang memekik histeris. "Kalau kalian menyerangku sedikit saja, wanita ini akan kutebas..." ancamnya. Kontan saja mereka segera menghentikan aksi mereka.

"Ukh, sial! Dia malah pakai mengancam segala," umpat Aomine.

"Hu-uh... Aku benci ini," keluh Murasakibara.

"Apa kalian ini bodoh, hah?! Kalau kalian menyerangnya, dia akan membunuh istriku!" seru Junpei emosi.

"Aduh, gimana ini-ssu? Kita nggak bisa melawannya. Wanita itu bisa dibunuh..." tutur Kise.

Assassin itu menyeringai. "Mundurlah kalian kalau kalian tidak mau wanita ini mati di tanganku..."

"Kau ini..." Aomine berkilah.

"Jangan banyak bicara! Kalian mundur saja!" seru Assassin itu keras.

Suasana di losmen itu semakin tegang. Aomine, Kise dan Murasakibara jadi tidak bisa berbuat apa-apa selain mematung di tempat. Senjata yang mereka pegang terlihat bergetar. Mereka ingin melawan, tetapi mereka takut sebab wanita malang itu akan ditebas kepalanya. Mau tak mau mereka mundur selangkah. Tepat di depan Akashi dan yang lain, masih mengangkat tangan mereka.

"La, lakukan sesuatu-ssu... Aku tak tahu bagaimana caranya bisa menghadapi situasi seperti ini." Kise kelihatannya sudah kehabisan akal.

"Akashi, apa tidak ada cara lain untuk menghadapi Assassin ini? Sikapnya kurang ajar begini..." bisik Aomine pada Akashi.

Akashi hanya menatap Aomine sebentar, lalu dia menjawab, "Aku tahu, Daiki. Dia kelihatannya sedang mencoba untuk mempermainkan kita. Kalau kita melawan, wanita itu yang akan jadi korban. Mau tak mau, kita harus menuruti apa yang dia inginkan supaya dia mau melepaskan wanita itu."

"Tapi..."

"Lakukan saja, Aomine-kun." Kali ini Kuroko yang bicara. "Ingat, ini demi keselamatan istri pemilik losmen itu..."

"Dia benar." Junpei menimpali. "Lakukanlah demi nyawa Riko. Turuti saja apa yang diminta Assassin itu."

Awalnya Aomine terlihat ragu. Dia bingung apakah dia harus melakukan itu. Tak lama dia berpikir, dia akhirnya mengangguk setuju. "Ba, baiklah, Tetsu... Akan kulakukan."

Pemuda bersurai navy blue itu lalu menoleh ke arah Assassin itu. "Sekarang, aku tak akan melawanmu. Apa yang kamu inginkan akan kulakukan," katanya.

"Heh, kamu serius, Ksatria Biru? Kamu mau melakukan apa yang kuinginkan?"

"Aku serius..."

"Eh?" Kise dan Murasakibara terperangah. Mereka tak menyangka Aomine bertekad seperti itu. Bahkan dari sorot wajahnya saja, dia memang serius.

"Aominecchi! Kamu yakin kamu mau melakukannya?"

"Mine-chin... Kamu..."

"Ini lebih baik daripada melawan," potong Aomine. "Apa kalian mau menyeret wanita itu ke ambang kematian?"

"Te, tentu saja tidak-ssu," jawab Kise.

"Kelihatannya Mine-chin serius..." komentar Murasakibara.

"Nah, sekarang kamu-"

Baru Assassin itu mulai melontarkan perintahnya, Aomine sudah melemparkan trisulanya ke lantai dan mengangkat kedua tangannya.

"Lho?" Dahi Assassin itu mengernyit, heran melihat sikap Aomine tadi.

"Belum kau perintah pun, aku tahu apa yang kau inginkan. Kau mau aku melakukan ini persis seperti yang lain, kan?" ujar Aomine tenang. Manik sapphire miliknya menatap Assassin itu tajam, namun tidak terkesan sedang mengancam.

"Hoo, kamu pintar juga," sindir Assassin itu. Kemudian dia menatap Kise dan Murasakibara. "Sekarang, kalian berdua! Lakukan seperti dia tadi!" perintahnya.

"Hiii... Ba, baik-ssu..." ucap Kise gelagapan. Dia ini lebih mengerikan daripada Akashicchi, pikirnya.

"Iya... Akan kulakukan..." jawab Murasakibara pendek dengan nada malas.

Mereka berdua segera melemparkan senjata mereka dan mengangkat kedua tangan mereka. Akhirnya, Kuroko dan 'Kiseki no Godai' hanya bisa berdiri sambil mengangkat tangan mereka. Tak ada niat menyerang apalagi melawan. Bagaimana mereka mau melawan kalau Riko masih disandera dan senjata mereka tersungkur di lantai.

"Kieeek!" Pisuke, si burung Phoenix yang masih setia bertengger di bahu Akashi, mengeluarkan suaranya. Sepertinya dia ingin berbicara sesuatu pada pemiliknya itu.

"Kamu mengkhawatirkanku, Pisuke?" bisik Akashi. "Hm, aku tahu. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Karena itulah, aku harus menuruti perintah Assassin itu..."

"Grrrr..." Nigou menggeram-geram. Telinganya tertarik ke belakang. Giginya menyeringai. Kuroko yang melihat tingkah serigalanya itu mengetahui kalau dia ingin melawan Assassin itu. Maka dia mencoba untuk menenangkan serigala itu.

"Maaf, Nigou. Tidak sekarang," katanya. "Ini bukan saatnya kita harus melawannya. Nyawa wanita itu dalam bahaya. Kita hanya bisa berharap untuk mengeluarkan kita dari situasi ini..."

Nigou menguik. Raut wajahnya berubah sedih. Namun dia tetap menuruti pemiliknya itu.

Sedangkan Assassin itu? Bibirnya menyeringai penuh kemenangan. Dia merasa dirinya berhasil membuat keenam orang itu patuh padanya. Begitu juga dengan Assassin lain. Mereka tertawa sinis melihat musuh mereka tak berdaya untuk melawan pemimpin mereka.

"Fufufu... Kalian masih merasa menganggap diri kalian pahlawan, hm?" kata salah satu dari mereka.

"Kalian hanyalah orang-orang bodoh yang mau menuruti pemimpin kami..." timpal yang lain.

"Ah, tak kusangka ternyata kalian berhasil masuk ke perangkap kami. Fufufu..."

Kuroko dan 'Kiseki no Godai' terkejut. Mata mereka terbelalak mendengar itu. Perangkap? Apa maksudnya?

"Kalian! Ambil senjata itu!" perintah Assassin itu pada anak buahnya. Salah satu dari mereka langsung menyambar senjata milik Akashi dan rekan-rekannya. Lalu menyerahkannya pada yang lain untuk berjaga-jaga.

"Gawat! Mereka mengambil senjata kita-ssu!" seru Kise panik.

"Cih, Assassin sialan! Kalian telah memperdayakan kami!" gerutu Aomine. Tapi sayangnya, dia tidak bisa melawan karena trisulanya sudah diambil.

Dengan kasar, Assassin itu segera melepaskan Riko dari genggamannya. Membuat Riko jatuh terduduk di lantai.

"Riko!" Junpei segera berlari menghampiri istrinya itu, diikuti anak-anaknya. "Kamu nggak apa-apa? Apa ada yang terluka?"

"Ju, Junpei..." Riko menggenggam tangan Junpei. Mata coklatnya berkaca-kaca. Dia menatap pria berkacamata itu penuh haru. "A, aku baik-baik saja..." ucapnya pelan.

"Ibuuuu!" Kedua anak Junpei langsung memeluk Riko seraya menangis tersedu-sedu. Riko membalas pelukan mereka dengan naluri keibuannya. Tanpa disadari, air matanya berlinang.

"Syukurlah, kalian berdua nggak apa-apa..." katanya lembut pada kedua anaknya itu. Junpei yang melihat keluarganya berpelukan seperti itu, perasaannya jadi campur aduk. Senang sekaligus terharu karena keluarganya baik-baik saja dan tak sedikitpun diserang oleh Assassin. Dia lalu memeluk mereka erat dengan penuh kebahagiaan dan rasa syukur.

Tetapi, sementara itu Kuroko dan 'Kiseki no Godai' justru yang terancam bahaya. Sebab mereka dikepung para Assassin dan senjata mereka berhasil dirampas. Sekarang, mereka berenam hanya bisa bergerak mundur begitu para Assassin bersiap untuk menyerang mereka. Para Assassin itu juga sudah melepaskan sandera mereka, yaitu penghuni losmen itu.

"Sudah kuduga. Ini jebakan nanodayo," sergah Midorima ketika dia dan teman-temannya sudah berkumpul. Sedangkan para Assassin sudah mengelilingi mereka. "Ternyata mereka sengaja menyandera wanita itu dan juga semuanya di sini untuk menjebak kita!"

"Aduh, kenapa kamu baru menyadarinya, Midorimacchi? Kupikir kamu akan memberitahu kami lewat ramalanmu-ssu!" keluh Kise.

"Aku juga nggak menyangka kenapa ini bisa terjadi, Kise! Mana mungkin aku akan memberitahumu kalau ramalannya tidak kuprediksi nodayo!" bantah Midorima sewot.

"Fufufu... Kalian tak bisa kabur dari kami, kan?" tanya Assassin itu menyeringai. "Sekarang kalian sudah menyadari kalau kalian sudah dijebak. Sesuai rencanaku. Hehe..."

"Tanpa senjata andalan kalian itu, kalian tak ada bandingannya dengan kami. Hahaha!" kata yang lain sambil tertawa terbahak-bahak.

"Cih..." Aomine mendecih kesal sambil memperhatikan sekelilingnya. Para Assassin itu semakin mendekati mereka.

"Bagaimana ini?" Midorima menatap para Assassin itu sambil mengambil sikap waspada. "Mereka banyak sekali, nanodayo. Kita tidak bisa menyerang mereka dengan tangan kosong seperti ini. Mereka punya senjata dan milik kita sudah dirampas..."

"Aku tahu itu-ssu..." jawab Kise. Nada bicaranya terlihat tegang.

"Sekarang, apa yang harus kita lakukan? Apa kita hanya diam dan membiarkan mereka menyerang kita?" tanya Kuroko mulai khawatir. Dia lalu menatap Akashi yang masih memperhatikan sekitar. "Akashi-kun, kamu punya rencana?"

Akashi melirik Kuroko lewat sudut matanya, lalu dia kembali menatap Assassin yang sudah bersiap menyerangnya dan teman-temannya. Mereka menyeringai jahat sambil mempersiapkan pedang dan pisau mereka di tangan.

"Aku sudah tak sabar untuk membalas bocah-bocah pelangi ini. Mereka sudah membunuh rekan-rekan kita. Sekarang, kita yang akan membalaskan dendam rekan-rekan kita dengan membunuh mereka tanpa ampun!" seru salah satu dari mereka.

"Hoho... Lihat. Mereka sepertinya sudah tak berdaya menghadapi kita. Bagus. Ini bagus sekali. Rasanya aku ingin menyiksa mereka..." ujar yang lain.

Salah seorang Assassin menatap Kise sembari mendekatinya dan mengacungkan pisaunya. "Ksatria Kuning... Aku ingin merusak wajah tampanmu dengan pisauku ini. Hehe..." tawanya sadis.

Kise langsung bergidik ngeri sambil menutup mukanya. "Hiii... Hidoi-ssu! Jangan lakukan itu pada wajahku!"

"Aku sudah tak sabar untuk bisa menaklukkan Ksatria Ungu ini. Raksasa itu akan menjadi milikku!" papar seorang Assassin yang sedang berjalan menghampiri Murasakibara. Murasakibara sendiri malah membalas tatapan Assassin itu tajam.

"Kau takkan bisa menaklukkanku... Aku ingin meremukkan badanmu sekarang juga, tapi... Kau punya senjata dan aku tidak punya. Tidak adil..." katanya.

"Oh, Ksatria Biru..." Assassin itu memanggil Aomine, hingga dia terperangah. "Kau bilang kalau yang mengalahkanmu hanyalah kau. Tapi, karena ucapanmu itu, kau benar-benar sudah mengalahkan dirimu sendiri. Hmph. Kau kalah karena kau terjebak..."

"Tarik kembali ucapanmu itu, Penjahat! Tarik kembali atau kubunuh kau!" balas Aomine geram. Sepertinya dia tersinggung karena Assassin itu seolah-olah sedang mengejek kata-kata penyemangatnya itu.

"Biar aku yang membereskan Rumput Bermata Empat ini. Ksatria Hijau ini sulit dikalahkan. Tapi sekarang, aku bisa mengalahkannya dengan mudah. Fufufu..." Assassin itu tertawa sinis sambil bersiap untuk menghunjamkan pedangnya ke arah Midorima.

"Hmph, jangan harap kau bisa mengalahkanku, nanodayo. Satu hal lagi... Jangan memanggilku Rumput Bermata Empat nodayo!" teriak Midorima.

Hmm... Tak kusangka kalau mereka berhasil menjebakku dan budak-budakku. Sekarang, kami semua mengalami kesulitan untuk melawan mereka. Senjata kami diambil dan kami dikepung oleh mereka, pikir Akashi. Apakah aku harus merencanakan untuk melawan mereka dengan tangan kosong? Atau dengan 'Rainbow Armor Stone'?

"Akashi-kun?" Begitu Kuroko menyebut namanya, Akashi terperangah. Lamunannya mendadak hilang entah kemana. Dia lalu menatap Kuroko di sampingnya.

"Maaf, Tetsuya..." Akashi menggelengkan kepalanya menyesal. "Sepertinya aku terpaksa untuk bisa menghadapi mereka dengan tangan kosong. Kalau seandainya aku dalam keadaan darurat, terpaksa harus menggunakan 'Rainbow Armor Stone'."

"Benarkah? Tapi, apa kita-"

"Hanya itu satu-satunya jalan, Tetsuya... Dan keputusanku ini adalah mutlak," potong Akashi penuh keabsolutan.

Midorima yang mendengar keputusan Akashi, langsung menyahut, "Kamu yakin, Akashi? Apa kita bisa melawan mereka? Dengan tangan kosong?"

Akashi mengangguk. Raut wajahnya terlihat bersungguh-sungguh. Tidak ada sedikitpun keraguan dalam dirinya.

Sedangkan Junpei yang masih memeluk keluarganya, melihat Kuroko dan 'Kiseki no Godai' dalam masalah besar. Riko dan kedua anaknya juga melihat keadaan losmennya yang semakin menegangkan. Namun, keluarga itu tak dapat berbuat apa-apa, apalagi menolong mereka. Jadi, mereka hanya bisa menonton.

"Junpei, bukankah mereka salah satu pelanggan kita, kan?" tanya Riko setengah berbisik pada suaminya.

Junpei mengangguk. "Ya, mereka sedang dalam masalah. Tapi..." Dia terdiam sejenak. "Apa benar mereka adalah 5 pahlawan legendaris yang bernama 'Kiseki no Godai'? Para Assassin itu mengincar mereka... Makanya, mereka datang kemari untuk menyanderamu, Riko. Agar mereka bisa memancing kelima orang itu bersama dengan teman mereka yang satu lagi..."

"Seandainya saja... Kita punya kekuatan untuk bisa menyelamatkan mereka," tutur Riko dengan wajah sedih. "Tapi... Aku sadar kalau kita bukanlah petarung..."

"Aku juga berpikir begitu," balas Junpei. "Sekarang kita hanya bisa berharap ada seseorang yang mau menyelamatkan mereka. Kita berdoa saja semoga itu terjadi..."

Riko mengangguk. Mereka lalu menempelkan dahi mereka dan menunduk bersamaan. Tangan mereka mempererat pelukan putra-putri mereka.

Suasana di losmen "Sunny Inn" semakin menegangkan. Para Assassin mengepung Kuroko dan teman-temannya dan bersiap untuk menyerang mereka. Penghuni losmen dan pemiliknya beserta keluarganya hanya bisa diam. Tak dapat menolong mereka karena takut dibunuh Assassin. Para Assassin mulai menghunus senjata mereka ke arah Kuroko dan 'Kiseki no Godai' yang bersiap untuk menghadapi serangan mereka. Walaupun terpaksa menggunakan tangan kosong.

"Ada apa ini? Kenapa terlihat ramai sekali di sini?"

Tiba-tiba terdengar sahutan yang menginterupsi seluruh orang di dalam losmen itu. Membuat para Assassin mendadak berhenti menyerang dan menoleh ke arah suara itu. Begitu juga dengan Kuroko, 'Kiseki no Godai' dan penghuni losmen lainnya serentak menoleh. Mereka sontak terkejut bukan main. Ternyata ada seorang pemuda berambut putih agak keabu-abuan dengan sorot mata yang datar. Wajahnya terlihat nyaris tanpa ekspresi. Meskipun ekspresinya datar, matanya menatap tajam ke sekeliling losmen itu. Dia mengenakan jubah abu-abu disampirkan di bahu sebelah kiri dengan kaus buntung berwarna putih. Tangannya terbungkus pelindung tangan hitam sepanjang siku. Terdapat sabuk hitam dengan sebuah pedang di pinggangnya. Kedua kakinya terbalut celana panjang abu-abu tua dan sepatu boots hitam.

Melihat orang itu, Kuroko, Akashi dan yang lain jadi bingung. Mereka sama sekali tidak kenal dengan pemuda itu. Terlihat asing di mata mereka karena pemuda itu baru saja menampakkan sosoknya. Hanya ada tiga kata yang terlintas di kepala mereka...

"Siapa orang itu?"

To be continued

Hai, semuanya! Wahai para Reader-ku tercinta. Hehe... \ :v / *dibuang*

Masih ingat sama FF ini? Gomen ne, udah membuat kalian menunggu update-nya terlalu lama. Begini deh, jadinya. Ceritanya berantakan dan chara-chara-nya OOC berat. Habis, karena ide mentok sih... T_T *pundung*

Oh ya, ngomong-ngomong, kalian pasti bisa tebak siapa orang itu dan kenapa dia muncul di losmennya keluarga Hyuuga pas Kuroko dan Kiseki no Godai dalam bahaya. Kira-kira dia mau ngapain di sana, ya? Jawabannya, kalian hanya tinggal menunggu lanjutannya saja. Hehe~ (Reader: Yah, padahal udah nunggu lama... *nangis buaya*)

OK, kurasa itu saja yang kusampaikan. Kalau kalian mau beri komentar, lewat Review saja. Dengan senang hati kuterima, tapi Flame... No!

Eits, ini belum berakhir. Sebab, ada Omake yang mungkin akan menghibur kalian. Semoga gak garing...

It's time to go now. See you next story! ^^)/


Omake

Ng-shuu Take 5

"Sepertinya pintu kamar ini terkunci dari dalam," kata Akashi. "Atsushi, dorong pintu ini. Kalau masih nggak bisa dibuka, dobrak saja," perintahnya pada Murasakibara.

"Baik, Aka-chin..." Murasakibara menurut. Lalu dia mendorong pintu itu dengan sekuat tenaga. Tapi tetap saja tak mau terbuka.

"Ugh! Tidak bisa..." keluhnya.

"Aku kan sudah bilang kalau pintunya tak bisa dibuka, dobrak saja sampai pintunya rusak." Akashi mengulang kembali perintahnya. "Ini perintah, Atsushi. Cepat lakukan!"

"Ayo, Murasakibara! Rusakin saja pintunya," timpal Aomine. "Apa kamu mau membuat orang itu mati dibunuh?!"

"Baiklah... Aku tak mau orang itu mati dibunuh oleh Assassin jahat... Aku tak boleh menyerah kali ini!" Murasakibara mulai bersemangat. Dia lalu mengambil ancang-ancang dan berlari untuk mendobrak pintu di hadapannya dengan bahunya yang besar.

Brak!

"AAAAARGH!" Pemuda bongsor itu menjerit kesakitan. Dia memegang bahu kanannya yang sakit akibat tubrukannya sendiri. Sedangkan pintu kamar itu masih tertutup. Murasakibara perlahan jatuh merosot di pintu.

"Aduh, sakit..." rintihnya sambil menyandarkan bahunya di pintu. Sedangkan Kuroko, Akashi dan tiga orang lainnya hanya menatap Murasakibara heran dengan sweatdrop muncul di kepala.

"Kamu gagal, Atsushi. Pintunya tak terbuka sama sekali..." papar Akashi datar.

"Maaf, Aka-chin... Tadi aku terlalu bersemangat... Akan kucoba lagi, ya..."

Ng-shuu Take 6

"Hiks... Ayah... Ibu akan dibunuh... Hiks..." isak anak perempuan Junpei.

"Aku tak mau Ibu dibunuh, Ayah... Aku takut..." timpal anak laki-lakinya.

Junpei merasa sedih melihat kedua anaknya di sisinya. Dengan sikap penuh kasih sayang, dia memeluk kedua anaknya itu erat sembari menghibur mereka agar mereka bisa tenang. "Maafkan Ayah... Ayah tak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan nyawa Ibu. Kalau Ayah melawan, mereka akan membunuhnya. Jadi, kalian tenang saja. Semoga ada pahlawan datang untuk menyelamatkan Ibu dan kita semua..." tuturnya dengan senyum yang dipaksakan.

Kedua anaknya itu mengangguk mengerti. Mereka membalas pelukan Junpei sambil menangis. Sungguh mengharukan melihat ayah dan anak berpelukan seperti itu. Membuat siapa saja yang melihatnya jadi terenyuh.

"Huaaaah! Huhuhu..." Tiba-tiba terdengar suara tangisan memekakkan telinga. Junpei dan anak-anaknya menoleh ke arah suara itu. Ternyata seorang Assassin yang masih menyandera Riko menangis keras sambil mengusap air matanya.

"Hei! Kenapa kau malah menangis?!" tanya Junpei dengan nada tinggi. Kedua anaknya yang masih di pangkuannya sweatdrop seketika.

"Huhuhu... Sungguh ini scene yang mengharukan sekali. Kasih sayang antar ayah dan anak benar-benar terasa. Itulah sebabnya kenapa aku menangis... Hiks..." isak Assassin itu. "Aku mengerti perasaan itu. Kamu benar-benar ayah yang baik..."

"Kau tak usah memujiku, Daho! Aku tak perlu itu!" sangkal Junpei dengan muka memerah. Sebenarnya dalam hati, dia tersanjung akan pujian itu. Hanya saja dia malu menunjukkannya.

Sedangkan Riko sendiri? Dia malah menunduk malu.