Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto

Warning: crack pair, age gap marriage, reversed harem, AU, OOC. Don't like? Don't read.

A/N: Saya hanya ingin meminta maaf atas lambatnya update kali ini. File berisi konsep fic ini entah mengapatidak bisa dibuka dan saya kembali disibukkan dengan dunia nyata. Mungkin kalian pun malas membaca alasan saya. Jadi, silakan langsung baca saja ya. Happy reading. :)

.

Forbidden Lover

Pagi itu, sang raja terbangun tanpa mengetahui apa yang baru saja terjadi antara selirnya dengan putra bungsunya. Mata pria itu membuka perlahan saat ia merasakan kehadiran seseorang di sampingnya. Dari harumnya, Fugaku tahu jelas siapa orang tersebut.

"Hinata?"

Suara parau Fugaku memanggil nama gadis itu dengan pelan.

"Selamat pagi, Yang Mulia."

Suara lembut dan senyuman Hinata menjadi pembuka hari Fugaku saat itu. Gadis itu tengah duduk di ranjangnya, dengan dua kakinya hampir menyentuh lantai. Gaun malamnya masih memeluk tubuh gadis itu dengan sempurna.

Perlahan, Fugaku turut mendudukkan dirinya.

"Apa yang terjadi semalam?" tanyanya sembari memijat kepalanya yang terasa sedikit pening.

"Yang Mulia tertidur saat meminum sake. Saya rasa Yang Mulia kelelahan. Anda tak apa-apa?" Jemari Hinata terulur untuk mengusap pelipis Fugaku. Sentuhan itu dengan cepat menarik perhatian Fugaku. Ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan ketika merasakan perhatian dari selirnya itu—tanpa tahu bahwa Hinata membutuhkan segenap pengendalian dirinya untuk tak mengubah sentuhan itu menjadi tamparan.

"Aku baik-baik saja," akhirnya Fugaku berkata. Ia menangkap telapak tangan Hinata dalam genggamannya kemudian mengecupnya. Walau Hinata menegang untuk sepersekian detik, Fugaku tak merasakannya.

"Saya senang mendengarnya. Oh ya, saya sudah menyiapkan sarapan untuk Yang Mulia," melepaskan tangannya dari genggaman tangan Fugaku, Hinata mengambil baki dari atas nakas. Di atas baki itu sudah tersaji mangkuk nasi, sup miso, beserta ikan panggang. Tak lupa segelas teh hijau panas yang masih mengepulkan uap dan menebarkan aroma yang menenangkan.

"Terima kasih, Hinata," Fugaku berkata dengan tulus.

"Ini bukan apa-apa, Yang Mulia. Apakah Anda ingin memakannya di sini?"

"Ya. Letakkan saja bakinya di atas meja itu," ujar Fugaku sembari menunjuk meja tempat ia minum sake tadi malam. Hinata mengangguk kemudian melakukan apa yang diminta Fugaku. Meja itu sudah dibereskan oleh pelayan yang datang sebelumnya, jadi tersisa ruang yang cukup bagi Hinata untuk meletakkan sarapan Fugaku.

Tak butuh waktu lama bagi Fugaku untuk duduk dan menikmati sarapannya. Dalam kesunyian yang menemani mereka, Fugaku memerhatikan raut wajah Hinata. Gadis berambut panjang itu hanya duduk dengan anggun sambil sesekali mengusap bibirnya. Awalnya Fugaku tak begitu ambil pusing, namun lama-lama rasa ingin tahunya muncul juga.

"Ada apa dengan bibirmu? Kau mengusapnya terus dari tadi."

"Eh?" Hinata tampak sedikit terkejut. "Tidak ada apa-apa, Yang Mulia."

Fugaku meletakkan sumpitnya di atas mangkuknya yang sudah kosong.

"Kemarilah. Biar kuperiksa," ujar Fugaku dengan nada tegas—nada yang tak bisa dibantah.

Hinata akhirnya berjalan tepat ke hadapan Fugaku, dan pria itu berdiri kemudian meraih dagu Hinata. Ia memeriksa bibir Hinata dengan mata elangnya—sementara yang bersangkutan tanpa sadar menggigiti bibirnya sendiri.

"Apa kau tak sengaja melukai bibirmu sendiri saat kau sedang tertidur?"

"Tidak, Yang Mulia ..."

"Atau ..." Fugaku menggantung ucapannya untuk beberapa detik. "Apakah aku memberikanmu ciuman panas saat aku sedang mabuk tadi malam? Dan kau tidak bisa melupakannya?"

Gemuruh tawa sinis yang hampir Hinata keluarkan tertutupi dengan sebuah senyuman malu. "Ah, itu ... Meskipun hal itu betul-betul terjadi, bagaimana bisa aku mengakui hal semacam itu di depan Yang Mulia?" tanya Hinata dengan nada yang teramat manis di telinga Fugaku.

"Begitukah?" Fugaku sedikit menyeringai, mengambil kesimpulan sendiri dalam benaknya jika tebakannya benar. "Kalau begitu biar kuberikan kau satu lagi ciuman yang tak akan kau lupakan selama seminggu penuh."

Fugaku menundukkan tubuhnya untuk mengklaim bibir Hinata, namun gerakannya terhenti saat pintu kamar itu tiba-tiba terbuka dengan keras.

Protes yang akan dikeluarkan oleh Fugaku terpotong ketika ia melihat siapa yang lancang membuka kamar selirnya begitu saja.

Sasuke.

"Ayah," Sasuke mengucapkan kata itu dengan hambar. Tak ada rasa hormat yang biasanya masih terdengar, walaupun hanya secuil. "Apa kau lupa, hari ini kau ada pertemuan dengan duta dari Kerajaan Suna? Sebaiknya kau tidak membuat dia menunggu terlalu lama, kalau tidak ingin hubungan diplomasi dengan mereka kembali memburuk."

Fugaku, yang telah menegakkan kembali tubuhnya sejak ia melihat putranya berdiri di ambang pintu, menatap Sasuke tajam.

"Terima kasih sudah mau repot-repot datang ke sini untuk mengingatkanku, Sasuke. Sepertinya kau mulai tertarik dengan urusan politik kerajaan kita setelah sebelumnya berkata sama sekali tak tertarik dengan hal semacam itu."

"Tentu saja. Karena akulah yang akan menggantikanmu nanti saat kau sudah wafat, kan?"

Hinata dapat melihat kilatan imajiner yang tercipta antara kedua orang lelaki yang bertalian darah itu.

"Kata-katamu seakan berharap aku akan segera meninggalkan dunia ini, Sasuke," Fugaku mengambil mantel luar yang tersampir di tempatnya, kemudian mengenakannya sendiri.

Sasuke menggedikan bahunya. "Ibu pasti sudah sangat merindukanmu di alam sana."

Mikoto ...

Fugaku tak membalas lagi ucapan Sasuke. Jelas kalimat Sasuke adalah sebuah sindiran baginya, apalagi kalimat itu diucapkan saat ia tengah berdua bersama selir mudanya. Ia berjalan dengan langkah cepat, melewati Sasuke tanpa meliriknya sama sekali, dan akhirnya menghilang dari pandangan—dengan bayang-bayang wajah mendiang istrinya menggelayuti benaknya.

"Hinata," Sasuke akhirnya membuka suara setelah ayahnya benar-benar pergi. "Kau tidak melupakan apa yang kukatakan, kan?"

"Mengenai aku adalah milikmu?" pancing Hinata.

"Ya." Sasuke berjalan mendekat, meraih pundak Hinata yang hanya ditutupi seutas tali gaun. "Bersabarlah, aku akan segera membuatmu menjadi milikku seutuhnya."

Hinata bungkam. Dan ia masih tetap bungkam saat Sasuke mengecup keningnya. Sebuah gestur yang menurutnya sangat berbeda dengan ciuman panas yang diberikan padanya sebelumnya. Belaian tangan Sasuke di rambutnya pun menjadi bukti perasaannya. Tatapan Sasuke yang biasanya dingin menusuk, kini tergantikan oleh pandangan penuh afeksi.

"Aku akan melindungimu," janjinya.

Sasuke pergi setelah ia selesai dengan urusannya. Baginya, sikap diam Hinata adalah persetujuan tidak langsung bahwa Hinata ingin dilindungi olehnya. Hinata ingin bebas dari ayahnya. Dan Hinata telah memilihnya sebagai pahlawannya, seseorang yang akan melepaskan dia dari kurungan ini. Bukan Naruto, bukan pula Neji.

Hinata tengah menunggu untuk menjadi miliknya.

Sasuke tak bisa menangkis egonya yang melambung saat memikirkan hal itu. Sebuah seringaian tipis tersungging di wajahnya. Langkahnya terasa ringan dan dunia seakan menjadi sedikit lebih cemerlang dari biasanya. Baru kali ini ia merasa begitu bersemangat dalam jangka waktu sekian tahun setelah ibundanya wafat. Cinta. Mungkin itulah tersangka utama yang membuatnya merasa seperti ini. Sasuke tak pernah jatuh cinta sebelumnya, namun ia yakin apa yang ia rasakan untuk Hinata—itulah yang dinamakan cinta. Meski takdir membuatnya jatuh cinta pada orang yang salah, namun bukan Sasuke Uchiha namanya jika ia tidak berusaha menaklukan takdir itu. Kata 'menyerah' tak ada dalam kamusnya. Ia pasti mengambil tindakan untuk memiliki apa yang ia inginkan.

Di balik punggung Sasuke, Hinata menatap sang pangeran dengan tatapan datar.

Aku tidak pernah berkata bahwa aku setuju untuk menjadi milikmu. Kau pikir hanya karena kau memiliki segalanya, aku akan bertekuk lutut di hadapanmu? Semua Uchiha memang sama saja. Mereka pantas untuk dilenyapkan.

.

.

.

Hari demi hari berjalan dengan lambat setelah kejadian itu. Fugaku belum mengunjungi Hinata lagi sejak sindiran tajam Sasuke tempo hari—hal itu membuat Hinata merasa sedikit lega, setidaknya ia tak harus berpura-pura lagi untuk sementara waktu. Ayame memberitahunya bahwa Fugaku tak bisa datang karena ia tengah sangat sibuk dengan urusan kerajaan, dan hal itu mungkin memang benar. Kedatangan duta Kerajaan Suna cukup menimbulkan kehebohan di istana Konoha. Semua orang sibuk menyiapkan makanan, tempat tidur, dan segala keperluan sang duta—Gaara—selama ia berada di istana ini.

Kesibukan semua orang sebenarnya bisa dimaklumi, karena Kerajaan Suna adalah mitra politik yang penting untuk Kerajaan Konoha. Kedua kerajaan itu ketika berdiri sendiri sudah merupakan kerajaan yang kuat, namun ketika mereka bekerja sama ... katakan saja, perkumpulan kerajaan-kerajaan besar lainnya pun akan berpikir seribu kali untuk menyerang mereka. Dan jika hubungan diplomasi keduanya memburuk, itu hanya bermakna satu hal: perang. Perang itu hampir meletus dua tahun yang lalu—ketika terjadi konflik akibat tetua Kerajaan Suna yang menginginkan separuh dari emas di tambang emas terkaya Konoha yang berbatasan dengan Suna. Untungnya perang itu tidak terjadi berkat intervensi dari duta kerajaan Suna sendiri.

Absennya Fugaku memang melegakan bagi Hinata, namun yang ia tak mengerti adalah: Sasuke ikut menghilang. Bahkan batang hidungnya pun tak terlihat.

Hal itu membuat Hinata gelisah. Pikiran bahwa Sasuke mempermainkannya dan ucapan Sasuke hanyalah dusta berkali-kali hinggap di benaknya. Tentu saja hal itu membuatnya gusar, dan ini sama sekali bukan karena ia telah jatuh dalam pesona sang pangeran.

Ia hanya tak mau kehilangan 'pion'nya yang berharga.

Dan pemikiran bahwa Sasuke hanya berniat memberikan harapan palsu baginya membuat darahnya mendidih. Apakah pangeran itu berpikir dia bisa berbuat seenaknya? Apa yang ia sebenarnya ia inginkan?

"Nona Hinata?"

Hinata tersentak dari lamunannya. Ayame yang tengah menyajikan makan siang menatapnya heran. "Ada apa, Nona? Apakah ada yang mengganggu pikiranmu?"

"Tidak. Aku hanya ..." Hinata tak melanjutkan ucapannya. "Sampai kapan Tuan Gaara akan berada di sini?"

"Saya kurang tahu, Nona. Memangnya ada apa?"

"Tidak. Rasanya semua orang mendadak sangat sibuk semenjak ia datang ke sini."

"Ah. Apakah Anda merindukan Yang Mulia?" Ayame tersenyum menggoda. Ia tahu tak seharusnya ia berkata begini, tapi ia tak dapat menahan lidahnya sendiri.

Hinata tersenyum kecut.

"Yang Mulia setiap hari bertemu dengan Tuan Gaara untuk mendiskusikan daerah perbatasan, pembayaran upeti dari para saudagar yang melintasi jalur Konoha-Suna, dan hal-hal semacam itu. Saya rasa banyak hal yang harus didiskusikan, terutama karena akhir-akhir ini kelompok pemberontak kembali terbentuk. Apa nama kelompoknya ya ... Akatsuki?" Ayame menyentuh dagunya dengan ujung telunjuknya. "Saya dengar kelompok misterius itu diketuai oleh seseorang yang sangat kuat. Dan entah bagaimana caranya, mereka bisa menembus salah satu benteng pertahanan terluar Konoha, seolah mereka tahu titik kelemahannya di mana. Akan menakutkan jika para pemberontak itu berhasil masuk sampai ke sini," jelas Ayame.

"Oh, begitu. Apakah ... apakah Pangeran Sasuke juga sedang menyelidiki hal itu?" Hinata bertanya dengan nada sekasual mungkin.

"Saya tidak tahu, Nona. Sudah beberapa hari ia tak kelihatan, dan tak seorang pun tahu ia pergi kemana. Tapi ini bukan pertama kalinya Pangeran Sasuke menghilang. Ia pasti kembali, seperti yang sudah-sudah, jadi Yang Mulia dan para pelayan tidak terlalu memusingkannya. Lagipula Pangeran Sasuke adalah pemuda yang tangguh. Betul kan, Tuan Naruto?"

Untuk pertama kalinya, Naruto ikut diajak ke dalam pembicaraan itu. Pemuda pirang yang tengah berjaga di dekat kedua wanita itu pun angkat suara.

"Yah, aku yakin dia hanya sedang berkontemplasi. Mungkin dia sedang membuang energi negatifnya di suatu tempat," jawab Naruto, mengangkat bahu. "Meski ia memiliki terlalu banyak energi negatif untuk dibuang semuanya begitu saja, hahaha."

Ayame tak bisa menahan dirinya untuk tertawa. "Sulit untuk menyangkal hal itu. Namun untungnya Pangeran Sasuke tak kehilangan ketampanannya walaupun ia selalu diliputi 'energi negatif'. Saya justru akan terheran-heran kalau tiba-tiba Pangeran Sasuke menjadi pangeran yang ceria dan murah senyum. Itu tidak sesuai dengan kepribadiannya."

Hinata memikirkan hal yang diucapkan Naruto. Berkontemplasi? Sasuke? Benarkah ia sedang melakukan hal itu?

Ekspresi Hinata tak luput dari perhatian Naruto. Ia merasa sesuatu telah terjadi di antara gadis itu dengan Sasuke—karena tak biasanya Hinata menanyakan tentang Sasuke. Satu hal yang bisa ia bayangkan adalah, Sasuke pergi meninggalkan istana untuk menuruti sarannya. 'Membuang energi negatif' hanyalah istilahnya untuk menggantikan kalimat 'melupakan perasaan Sasuke untuk Hinata'. Jika yang dibutuhkan oleh Sasuke adalah ketenangan dan jarak dari gadis yang membuatnya tertarik, maka Naruto akan membiarkannya.

Tugasnya hanyalah untuk melindungi Hinata—dan memastikan tak ada skandal apapun yang akan membuat kerajaan ini runtuh hanya karena kehadiran seorang wanita.

.

.

.

Di sebuah tempat yang jauh dari keramaian—tepatnya di sebuah gua rahasia yang terletak jauh di dalam tanah sana, di situlah sebenarnya orang yang menggangu pikiran Hinata berada. Pemuda itu tampak mengetuk-ngetukkan kakinya dengan tidak sabar.

"Sudah berhari-hari kau bekerja. Apa kau sudah menemukan apa yang kuminta?"

"Tunggulah, Sasuke-kun. Kau tahu aku harus berhati-hati dalam melakukan pekerjaanku. Ramuan ini memerlukan perhitungan yang akurat. Salah takaran sedikit saja, ini takkan menjadi 'obat' yang kau inginkan."

Sasuke mendecih. "Bahan apa lagi yang masih kau perlukan?"

"Oh, tidak banyak, Sasuke-kun. Maukah kau berbaik hati dan mencarikannya untukku?"

Lidah panjang lawan bicaranya yang terjulur untuk menjilat jarinya sendiri membuat Sasuke mual. Ia merasa tindakan pria berambut panjang itu mengirimkan sinyal-sinyal tertentu yang membuat bulu kuduknya merinding. Apalagi tatapan dari pria beriris mata bagai ular itu serasa menelanjanginya. Kalau bukan karena ia membutuhkan bantuannya, ia takkan mau terkurung di tempat ini dan menjadi pesuruhnya untuk mengambilkan bahan-bahan di hutan—yang menjadi atap dari gua bawah tanah ini. Apalagi selama berhari-hari.

"Racun ini masih belum cukup kuat, Sasuke-kun," ujarnya setelah ia mencicipi sedikit cairan yang menempel di ujung jarinya. "Racun ini cukup kuat untuk membunuh orang biasa, tetapi untuk seseorang yang sejak kecil telah meminum berbagai jenis racun dalam dosis kecil untuk meningkatkan kekebalan tubuhnya, ini hanya akan membuatnya sedikit demam."

"Sekuat itukah dia?" Sasuke menyilangkan tangannya.

"Bukankah kau yang tinggal dengannya? Kau yang tahu seberapa kuatnya dia."

"... Kau benar-benar akan menutup mulutmu soal hal ini, bukan?"

"Tentu saja, Sasuke-kun. Aku akan selalu mendukungmu, apapun keputusanmu, bahkan jika kau ingin meracuni ayahmu sendiri."

Sasuke terdiam.

"Katakan bahan apa lagi yang harus kuambil."

.

.

.

Hinata tak bisa tidur malam itu. Hawa istana yang sejuk tak lantas membuatnya berhasrat untuk memejamkan mata. Menjauhnya Fugaku dan Sasuke di saat bersamaan membuatnya tak bisa melangkah kemana-mana. Ia seperti tersangkut di sebuah jebakan.

Neji.

Tiba-tiba kakak sepupunya kembali hadir dalam benaknya—setelah beberapa hari ini ia sibuk memikirkan mengenai Sasuke. Hinata seketika dilanda perasaan rindu. Seandainya saja Neji berada di sini, Hinata akan menyandarkan dirinya di pundak pemuda itu, dan ia akan menumpahkan segala keluh kesahnya. Namun Neji berada di tempat yang jauh, yang Hinata sendiri tak tahu di mana.

Gadis cantik itu bangkit dari pembaringannya. Mungkin sudah seharusnya ia bergerak, daripada hanya menunggu datangnya kesempatan.

"Naruto, kau ada di sana, kan?"

Terdengar jawaban singkat dari balik pintu kamarnya. "Ya. Apa ada sesuatu yang salah, Hinata?"

Hinata mengenakan alas kakinya sebelum membuka pintu kamarnya.

"Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Naruto."

Naruto berbalik. Ia melihat gadis berambut panjang itu tengah menatapnya balik dengan tangan yang terkepal di depan dadanya. Cahaya temaram dari beberapa lampu lilin yang terpasang di dinding membuat bias kekuningan dan bayangan gelap menari di wajah Hinata, mempertegas raut gelisah gadis itu.

"Apa itu?" tanya Naruto.

"Kau ... tahu tentang kakak sepupuku yang bernama Neji, kan?"

Naruto mengangguk.

"Bisakah kau mencari informasi keberadaannya? Aku ingin tahu dia berada di mana. Tuan Danzou berkata ia telah melepaskannya, namun ia tidak mau memberitahuku di mana Kak Neji berada sekarang. Aku mengkhawatirkannya. Aku bahkan tidak tahu apakah dia sungguh masih hidup atau tidak. Kau mengerti apa yang kurasakan, kan, Naruto? Dia adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa ..."

Naruto terdiam sesaat sebelum kembali mengangguk.

"Tolong cari dia, Naruto ... Yang Mulia pernah berkata dia akan mengizinkanku bertemu dengan Kak Neji, jadi kurasa dia tak akan keberatan mengenai hal ini. Aku tidak perlu bertemu dengannya sekarang juga, hanya mengetahui di mana dia berada saja sudah cukup bagiku. Kumohon ... Hanya kau yang bisa kumintai bantuan, Naruto ..."

Naruto tidak bisa menolak ketika Hinata memintanya dengan nada seperti itu. Ia pun menyanggupi permintaan Hinata.

"Baiklah. Aku akan mencari informasi tentang Neji Hyuuga. Sipir penjara Konoha adalah temanku, dia pasti punya informasi mengenai Neji. Setidaknya dia pasti pernah dimasukkan ke dalam sel tahanan sebelum dibebaskan."

"Terima kasih, kau memang bisa kuandalkan." Hinata tersenyum tulus. Naruto ikut tersenyum, karena setelah melihat gadis itu terluka berkali-kali, akhirnya ia bisa melihat lagi senyumannya yang tulus.

"Kau lebih cantik ketika tersenyum seperti itu," ujar Naruto tanpa sadar.

"Eh?"

"Ah, maksudku ..." Naruto menggaruk kepalanya, salah tingkah. "Akhir-akhir ini aku memang melihat senyumanmu, tetapi rasanya ada sesuatu yang palsu di sana. Dan kali ini, aku merasa senyumanmu lebih ... 'nyata', kalau kau tahu maksudku."

"Senyumanku ... palsu?" Hinata merasa jantungnya berhenti berdetak sesaat. Apakah Naruto sepeka itu? Ia bisa membedakan mana senyuman pura-puranya, dan mana yang asli?

"Maaf, tolong jangan merasa tersinggung," ujar Naruto cepat-cepat. "Memang tidak mudah untuk tersenyum pada Paman Fugaku, atau pada orang-orang di istana ini. Kau pasti merasakan tekanan untuk tersenyum pada mereka."

"Naruto, aku senang kau mengerti apa yang kurasakan. Namun, kumohon jangan mengatakan bahwa senyumanku 'palsu'. Aku ... aku khawatir Yang Mulia akan merasakan hal itu. Kau tahu bahwa aku sedang berusaha memperbaiki hubunganku dengan Yang Mulia, kan?"

Naruto menggaruk pipinya yang dihiasi tanda lahir berupa tiga garis horizontal. "Maaf ya, Hinata. Aku memang terlalu jujur."

"Jujur itu baik, Naruto. Hanya saja, kadang orang jujur mengalami nasib yang mengenaskan. Kuharap kau tidak akan mengalami nasib seperti itu," ujar Hinata dengan wajah muram.

"Apa kau sedang membicarakan tentang Neji Hyuuga?"

Hinata mengedipkan matanya. "Kenapa kau berpikir seperti itu?"

"Hanya firasatku saja. Lagipula wajahmu selalu menampilkan ekspresi yang sama ketika membicarakan Neji."

"Ah, ekspresiku? Ekspresi seperti apa yang kau maksud?"

Iris biru Naruto menatap iris lavender Hinata.

"Ekspresi muram ... dan rindu."

Mata Hinata melebar. Dan sejurus kemudian dia tertawa kecil.

"Pernahkah kau merindukan keluargamu, Naruto? Ayah dan ibumu, mungkin? Apakah kau memiliki saudara kandung? Aku berani bertaruh kau akan memiliki ekspresi yang sama denganku jika kau sedang memikirkan tentang mereka."

Naruto tersenyum kecil. "Mungkin saja. Aku tidak pernah berkaca saat sedang memikirkan mereka."

"Lain kali akan kusediakan cermin untukmu supaya kau bisa membandingkannya," canda Hinata.

"Haha ... Baiklah." Naruto sekarang tersenyum lega. "Aku hampir berpikir kau 'menyukai' Neji, Hinata. Tapi itu tidak mungkin, kan? Bodoh sekali aku."

Senyum Hinata terkembang—dan Hinata berusaha sebaik mungkin untuk menirukan senyumannya yang tulus. "Hanya Yang Mulia yang ada di pikiranku saat ini ... meski sepertinya dia sedang sibuk dengan urusan kerajaan dan tidak memiliki waktu untukku."

"Haruskah aku melaporkan perkataanmu pada Paman Fugaku? Siapa tahu ia memiliki waktu luang untuk mengunjungimu besok malam," Naruto berkata dengan cengiran lebar.

"Uh ... sebaiknya jangan. Aku tidak mau mengganggunya."

Hinata masih enggan untuk bertemu Fugaku lagi. Ia justru ingin bertemu dengan Sasuke agar ia bisa memastikan apa yang harus ia lakukan dengan Uchiha bungsu itu.

Hinata memutuskan untuk mengakhiri percakapannya dengan Naruto karena malam semakin larut, dan ia tidak ingin mengambil resiko seseorang melihatnya mengobrol akrab dengan bodyguard-nya itu. Ia tidak ingin menghancurkan kepercayaan Fugaku yang sudah ia peroleh sedikit demi sedikit.

"Kalau begitu, selamat malam, Naruto. Selamat berjaga," ujar Hinata.

"Ya, selamat malam, Nona Hinata," Naruto membungkukkan badan dengan lengan tertekuk di depan dada, yang membuat Hinata tersenyum geli dengan tingkah Naruto yang mendadak formal itu.

Tak lama, pintu kamar Hinata kembali tertutup, dan Hinata membaringkan tubuhnya di ranjang dengan berbagai macam pikiran dan kekhawatiran berkemelut di benaknya.

.

.

.

Hinata tidak tahu berapa lama ia tertidur. Mungkin hanya sejenak, jika dilihat dari ruangannya yang masih temaram, dan sinar matahari pagi yang masih belum menembus gorden kamarnya.

Ia tersentak begitu mendapati sesosok pemuda tengah berdiri di samping tempat tidurnya—menatapnya dalam diam.

"Sudah bangun, eh, Putri Tidur?"

Suara yang ia kenali itu bertanya, memecah keheningan. Hinata seketika bangkit dan duduk di tempat tidurnya.

"Bagaimana bisa kau masuk ke sini—dan ... dan ..." Hinata merasakan kegugupannya timbul, yang membuatnya tak bisa berbicara dengan koheren.

"Aku memiliki banyak teknik yang berguna untuk menyusup melalui jendela kamarmu," orang itu menyilangkan tangannya. "Sepertinya Ayah memikirkan ucapanku waktu itu ya. Aku senang melihatmu tidur sendirian seperti ini."

"Pangeran Sasuke ..." Hinata berusaha mengatur irama napasnya yang berpacu cepat karena terkejut. "Bisakah ... kau tidak mengejutkanku seperti ini?"

"Kupikir wanita suka kejutan." Sasuke menjawab acuh-tak-acuh.

"Dan jelas bukan kejutan semacam ini," Hinata menghela napas panjang. "Kau menghilang selama seminggu dan tahu-tahu berdiri di sana tengah malam, menatapku yang sedang tidur sambil diam seperti hantu. Hampir saja aku akan berteriak memanggil Naruto."

"Naruto sedang tidak ada di sini," timpal Sasuke. "Dia pergi ke suatu tempat dan meminta orang lain menjaga kamarmu."

'Mungkin Naruto sedang mencari informasi tentang Kak Neji,' pikir Hinata. Ia pun akhirnya memutuskan untuk mengorek hal yang mengganggu pikirannya selama ini.

"Pangeran Sasuke ..." bisik Hinata. "Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu. Tapi pertama-tama, kemana saja kau selama ini?"

"Jangan panggil aku 'Pangeran Sasuke'." Sasuke menumpukan lututnya di ranjang Hinata, lalu mendekatkan tubuhnya dan memeluk gadis itu. "Kita tidak membutuhkan gelar semacam itu saat kita sedang berdua."

Hinata berpikir apakah dia harus membalas pelukan itu atau tidak, tapi pada akhirnya ia membiarkan tangannya terkulai di sisi tubuhnya.

"Baiklah. Sasuke." Hinata merasakan sensasi aneh saat nama itu meluncur dari lidahnya. "Kemana saja kau selama ini?"

"Apa kau merindukanku?" Sasuke mengecup area di sekitar telinga Hinata, membuat gadis itu menggigit bibirnya karena geli.

"Kenapa kau tidak mau menjawab pertanyaanku?" bisik Hinata lagi.

"Ya atau tidak?" Sasuke tak mengacuhkan pertanyaan Hinata—fokus pada telinga Hinata yang memerah saat ia menggigit pelan cuping telinganya.

Manis sekali.

" ... Ya." Akhirnya Hinata menjawab. Ia harus bertaruh. Kalaupun Sasuke hanya bermain-main dengannya, setidaknya ia bisa membuat Sasuke serius padanya.

Senyum Sasuke tersungging mendengar jawaban Hinata.

"Aku pergi untuk menemui Orochimaru," ujar Sasuke akhirnya.

"Orochimaru?" Kening Hinata berkerut. Baru kali ini ia mendengar nama itu.

"Dia adalah guru Kabuto. Dia jenius, tapi sedikit sinting."

"Untuk apa kau menemuinya?"

"Aku perlu bantuannya. Dia ahli meracik obat."

Keheranan Hinata semakin bertambah. Sasuke pergi menemui ahli obat? Untuk apa?

"Kau tahu kan, obat bisa menjadi penyembuh ... atau justru racun bagi yang meminumnya." Sasuke menyibakkan helaian rambut panjang Hinata yang menutupi sisi wajahnya. "Dan yang menjadi tujuanku adalah obat yang berfungsi ganda. Awalnya benar-benar obat, tapi jika diminum terus-menerus, akan menjadi racun mematikan bagi si peminum."

Hinata meneguk ludah. Jika apa yang dipikirkannya benar, maka ...

"Kau berniat meracuni Yang Mulia?"

"Kau memiliki ide yang lebih baik? Pembunuhan secara langsung hanya akan menyeretku menjadi 'pengkhianat' di mata rakyat Konoha, termasuk Naruto. Aku tidak keberatan melawan seluruh prajurit dan rakyat Konoha, tapi Naruto ... aku tidak ingin bertarung melawannya—yang pasti akan terjadi jika dia tahu aku membunuh Ayah." Sasuke menatap Hinata dalam-dalam. "Aku sudah memikirkannya matang-matang, dan satu-satunya cara agar aku bisa tetap menjadi raja menggantikan Ayah dan membuat Naruto tetap di pihakku adalah dengan membuatnya seolah-olah mati secara alami."

Hinata berusaha keras untuk tidak tersenyum lebar mendengar rencana Sasuke.

Sempurna. 'Pion'ku memikirkan hal yang sama denganku—membuatnya seolah mati secara alami. Dengan begitu, aku bisa bebas bergerak untuk menghancurkan Uchiha dari dalam.

"Sasuke ... apakah kau benar-benar mencintaiku, hingga kau mau melakukan hal semacam ini?" tanya Hinata dengan nada bergetar.

Sekali lagi. Hanya sekali lagi, ia perlu mendapat kepastian bahwa Sasuke adalah pion yang bisa dia mainkan, dan bukan sebaliknya.

"Perlukah aku mengatakannya? Bukti apa lagi yang harus kuberikan padamu, saat aku sudah bertindak sejauh ini untuk memilikimu?" Sasuke menangkup wajah Hinata dengan kedua tangannya. "Bukankah ini yang kau inginkan?"

"Sasuke ..."

Pangeran berkulit pucat itu mengecup bibir Hinata pelan, dan ia tersenyum saat Hinata memejamkan matanya dengan ujung-ujung bulu mata yang gemetar. Ia bisa merasakan bahwa Hinata membiarkan dirinya terbuka kali ini—ciuman kali ini jauh berbeda dengan ciuman paksa Sasuke saat itu. Telapak tangan Sasuke membawa wajah Hinata lebih dekat—dan lidahnya menyusuri permukaan lembut bibir gadis itu, menyusup dengan perlahan dan penuh perasaan. Dan tiba-tiba saja, gadis itu mengalungkan lengannya di leher Sasuke, menariknya lebih dekat lagi.

Sasuke hampir kehilangan pengendalian dirinya saat dada Hinata menekan dadanya.

Rasanya menakjubkan, Sasuke bahkan tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana rasanya saat gumpalan empuk itu bersentuhan dengan dadanya—walaupun terhalang pakaian. Tangannya tergerak untuk memainkan salah satu payudara Hinata, namun belum sempat ia melakukannya, Hinata sudah menjauh darinya.

"Sa-Sasuke ... Penjaga di luar bisa mendengar kita," bisiknya.

"Setelah kau membiarkanku menciummu seperti tadi, sekarang kau memintaku berhenti?" Sasuke menatap Hinata tajam.

"Dari awal, seharusnya kita tidak melakukan ini ..." Hinata menggigit bibirnya. Rona merah dengan jelas mewarnai wajah cantiknya.

"Aku tahu kau berpura-pura. Kau lebih memilihku dibanding Ayah, 'kan?" Sasuke mencondongkan tubuhnya hingga Hinata terjatuh dengan posisi telentang di tempat tidurnya.

Tidak siapapun.

"Aku tidak bisa memilihmu selama Yang Mulia masih bernapas. Dia akan membunuhku ... dan bukan tidak mungkin membunuhmu juga, Sasuke ..."

"Ayah tidak mungkin membunuhku. Hanya aku putranya yang tersisa."

"Tetap saja ..."

Sasuke menghela napas panjang dan kemudian menatap Hinata dari jarak yang teramat dekat.

"Ayo lakukan ini bersama-sama. Kita kirimkan Ayah ke tempat Ibu berada—sudah seharusnya ia berada di sana. Racun itu akan segera selesai. Orochimaru berkata dia hanya butuh satu bahan lagi—dan sayangnya bahan itu terletak di gunung yang jauh dari istana. Aku datang ke sini karena ingin melihat keadaanmu sebelum aku kembali dengan satu bahan penentu itu."

Keheningan menyelimuti kamar itu, sebelum Sasuke menyelesaikan ucapannya dengan satu pertanyaan pamungkas.

"Ketika Ayah sudah tak ada, apakah kau akan memilihku?"

Hinata memejamkan matanya sejenak, sebelum menjawab dengan suara pelan, namun bergaung dengan jelas di telinga Sasuke.

"Ya, Sasuke. Aku akan memilihmu."

.

.

.

Terlarang, namun menggoda.

Cinta terlarang adalah akar dari tragedi yang akan menimpa Kerajaan Konoha.

Dan tak ada yang dapat meramalkan siapakah yang akan tetap berdiri dan tertawa di akhir hari.

... Seandainya salah satu dari mereka dapat bertahan hidup.

.tbc.

A/N: Saya sadar banyak yang akan merasa terganggu dengan tema cerita ini (cinta terlarang, reversed harem, pembunuhan dalam keluarga ...), dan mungkin tidak suka dengan karakterisasi Hinata yang seperti ini. Tapi fanfic ini saya labeli 'M' (mature) bukan tanpa alasan. Konflik yang berat dan adegan 'dewasa' adalah alasan utamanya. Saya percaya pembaca fanfic ini sudah bisa memilih dan memilah hal yang baik dan buruk. Fanfic ini hanya untuk melepaskan imajinasi dan bukan untuk ditiru. : )

Untuk update selanjutnya, mohon untuk tidak meminta update kilat, karena hal itu hanya akan berefek terbalik. Saya tipe author yang semakin dikejar, semakin menjauh. (?) Begitulah. Tapi jangan kapok mereview dan memberikan sumbangan ide/teori ya. Saya suka membaca sumbangan ide-ide dari pembaca. : )

Special thanks to: NR, Guest, Kenzz, Mrs. Sangster, Mishima, durarawr, Fuezza Queen's, Green Oshu, anita . indah . 777, Kaoru-k216, Yuki Ryota, HipHipHuraHura, Kuchihan, hikarishe, hyuga hime chan RJN, ppkarismac, lovely sasuhina, Idea won't load, dwi2, little lily, Hime Chan, Megumi Amethyst, wita . rayeny, hiru nesaan, mikyu, Enjelita923, Re Srsn, pinky lav145, Kana Lamont, Vianna Cho, sentiiraprime, Al, pinky lav145 (lagi), Fitri913, Hana Yuki no Hime, hyuga ashikawa, yassir2374, Ade854, Kyourinka, fye, Haruka Hime-chan, NameMiMeChan SH, SasuhinaL, Guest, Shizuka, goodnight, linda sasuhina, MaoMafu31, sasuhina69, misshyo, Uzumaki NaMa, Guest, ana, ana (lagi), Mhey-chan, aenhy, yu chan, Mibo genie, Kinachi, dan Sivhie675.

Semua review dari kalian adalah penyemangat untuk saya. Terima kasih sudah mau meluangkan waktu untuk membaca dan mereview fanfic ini.

Mohon maaf kalau ada kesalahan penulisan nama atau ada yang terlewat ya. :)

Moon Extract,

out.