Backsong : Skylar Grey - I Know You

~oOOo~

Aku masuk dapur yang masih gelap. Dimana lampunya? Aku menyalakannya, dan menuangkan air ke dalam ketel. Pilku! Aku mencari di tasku yang kutinggalkan di bar sarapan dan dengan cepat menemukannya. Kutelan satu. Pada saat aku selesai menelan pilku, Jongin sudah kembali, duduk di salah satu kursi bar, mengamatiku dengan penuh perhatian.

"Ini dia." Jongin memberikan selembar kertas diketik ke arahku, dan aku melihat bahwa Jongin mencoret beberapa hal.

ATURAN

Yang harus di patuhi:

Submisif akan mematuhi setiap instruksi yang diberikan oleh dominan langsung tanpa ragu atau hambatan dan dengan cara yang cepat.

Submisif akan menyetujui pada semua aktivitas seksual yang dianggap cocok dan menyenangkan dengan dominan kecuali aktivitas yang diuraikan dalam batasan yang keras (Lampiran A).

Dia akan melakukannya dengan penuh semangat dan tanpa ragu.

Tidur:

Submissive akan memastikan dia mendapatkan minimal delapan tujuh jam tidur malam ketika ia tidak dengan Dominan.

Makanan:

Submisif makan secara teratur untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan dari daftar resep makanan (Lampiran 4).

Submisif tidak akan makan camilan di antara waktu makan, kecuali buah.

Pakaian:

Saat bersama dominan, Submisif akan mengenakan pakaian yang hanya disetujui oleh Dominan.

Dominan akan menyediakan anggaran pakaian untuk Submisif, Submisif akan memakainya. Dominan akan menemani Submisif membeli pakaian atas persetujuannya.

Latihan kebugaran:

Dominan harus menyediakan Submisif dengan pelatih pribadi empat tiga kali seminggu setiap sesi selama satu jam pada waktu yang disepakati bersama antara pelatih pribadi dan Submisif. Pelatih pribadi akan melaporkan kepada yang Dominan tentang kemajuan Submisif.

Kebersihan Pribadi / Kecantikan:

Submisif akan menjaga kebersihan diri dan mencukur dan atau wax setiap waktu.

Submisif akan mengunjungi salon kecantikan yang dominan pilih dan waktunya yang akan ditentukan oleh dominan, dan menjalani perawatan apa pun yang anggap cocok oleh dominan.

Keselamatan Pribadi:

Submisif tidak akan minum berlebihan, merokok, menggunakan obat-obatan terlarang atau menempatkan dirinya dalam bahaya.

Kualitas pribadi:

Submisif tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan orang lain selain dengan Dominan.

Submisif harus bersikap sopan dan sederhana setiap saat. Dia harus menyadari bahwa perilakunya adalah refleksi langsung dengan Dominan. Dia harus bertanggung jawab atas semua kejahatan,kesalahan dan perilaku buruk yang dilakukan saat tidak dengan Dominan. Gagal mematuhi seperti yang di atas akan berakibat pada hukuman langsung, sifatnya akan ditentukanoleh Dominan.

"Jadi hal kepatuhan masih berlaku?"

"Oh, ya." Jongin menyeringai.

Aku menggeleng geli, dan sebelum aku menyadarinya, aku memutar mata padanya.

"Apa kau memutar mata padaku, Sehun?" Jongin mengambil nafas.

Oh Sial.

"Mungkin saja, tergantung reaksimu akan seperti apa."

"Sama seperti biasa," kata Jongin sambil menggelengkan kepalanya sedikit, matanya bersinar dengan kegembiraan.

Aku menelan ludah dan getaran kegembiraan mengalir ketubuhku.

"Jadi ... " sialan. Apa yang akan aku lakukan?

"Ya?" Jongin menjilati bibir bawahnya.

"Kau ingin memukul pantatku sekarang."

"Ya. Dan aku akan melakukannya. "

"Oh, begitukah, Mr. Kim?" Aku menantang, menyeringai ke arah Jongin. Dua orang baru bisa melakukan permainan ini.

"Apa kau akan menghentikanku?"

"Kau harus menangkapku dulu."

Matanya melebar sedikit, dan Jongin meringis, perlahan-lahan bangkit berdiri.

"Oh, begitukah Sehun?"

Bar sarapan memisahkan kami. Aku begitu bersyukur atas keberadaannya pada saat ini.

"Dan kau menggigit bibirmu," Jongin bernafas, bergerak perlahan ke kiri saat aku berpindah tempat.

"Kau tidak akan melakukan," godaku. "Karena, kau juga memutar matamu." Aku mencoba memberi alasan padanya. Jongin terus bergerak ke kiri, begitu juga denganku.

"Ya, tapi kau baru saja meningkatkan taruhan yang menyenangkan dalam permainan ini." Matanya menyala dan antisipasi liar terpancar darinya.

"Aku lumayan cepat, tahu." Aku berusaha untuk bersikap tenang.

"Aku juga"

Jongin mengikutiku, di dapurnya sendiri. "Apa kau akan menyerah?" Tanya Jongin.

"Pernahkah aku?"

"Sehun, apa maksudmu?" Jongin menyeringai. "Ini akan lebih buruk bila aku harus datang dan menangkapmu."

"Itu hanya jika kau bisa menangkapku, Jongin. Dan sekarang, aku tidak berniat membiarkan kau menangkapku."

"Sehun, kau bisa jatuh dan melukai dirimu sendiri. Yang akan menempatkanmu bertentangan langsung peraturan nomor tujuh."

"Aku sudah dalam bahaya sejak aku bertemu denganmu, Mr. Kim, dengan atau tanpa aturan."

"Ya kau memang benar." Jongin berhenti sejenak, dan alisnya sedikit berkerut.

Tiba-tiba, ia menekuk lututnya mendekatiku, membuatku menjerit dan berlari ke meja ruang makan. Aku berhasil melarikan diri, menempatkan meja di antara kami. Hatiku berdebar dan adrenalin sudah melonjak keseluruh tubuhku ...oh boy ... ... begitu mendebarkan. Aku merasa jadi anak- anak lagi, meski tidak tepat. Aku mengawasinya dengan hati-hati saat ia sengaja melangkah ke arahku. Aku mundur satu inchi.

"Kau tentu tahu bagaimana mengalihkan perhatian seorang pria,Sehun."

"Kami berusaha untuk menyenangkan, Mr. Kim. Mengalihkan perhatianmu dari apa?"

"Hidup. Alam semesta." Jongin melambaikan satu tangannya samar-samar. "Kau tampak sedang memikirkan sesuatu saat kau bermain tadi." Jongin berhenti dan melipat tangannya, ekspresinya geli.

"Kita bisa melakukan ini sepanjang hari, sayang, tapi aku akan menangkapmu, dan hanya akan lebih buruk untukmu saat aku lakukan itu."

"Tidak, kau tidak akan melakukan." Aku tidak boleh terlalu percaya diri. Aku ulangi ini sebagai mantra. Bawah sadarku telah menemukan sepatu Nikenya, dan dia mulai.

"Siapapun akan berpikir kau tidak ingin aku untuk menangkapmu."

"Aku memang tidak ingin. Itu intinya. Aku merasakan hukuman sama caranya dengan kau merasakan saat aku menyentuhmu."

Tiba-tiba sikapnya berubah dalam sepersekian detik. Hilang sudah Jongin yang menyenangkan, dan ia berdiri menatapku seolah aku sudah menamparnya. Dia pucat.

"Itukah yang kau rasakan?" Bisik Jongin.

Empat kata, dan cara dia mengucapkannya, berbicara banyak. Oh tidak. Memberitahuku lebih banyak tentang Jongin dan bagaimana perasaannya. Menceritakan tentang ketakutan dan kebencian. Aku mengerutkan kening. Tidak, aku tak merasa bahwa itu buruk. Tidak mungkin. Apa yang aku lakukan?

"Tidak, tidak cukup mempengaruhiku sebanyak itu, namun itu bisa memberimu sebuah gambaran," gumamku, menatap cemas ke arahnya.

"Oh," katanya.

Ya ampun. Tampaknya Jongin benar-benar bingung, seperti aku telah menarik karpet dari bawah kakinya. Mengambil napas dalam-dalam, aku bergerak mengelilingi meja sampai aku berdiri didepannya, menatap mata memprihatinkan itu.

"Kau sangat membencinya?" Jongin bernafas, matanya ketakutan.

"Yah ... tidak juga," aku meyakinkan Jongin.

Astaga – itu bagaimana perasaannya ketika orang yang menyentuhnya?

"Tidak aku merasa seperti bermuka dua tentang hal itu. Aku tak menyukainya, tapi aku juga tidak membencinya."

"Tapi tadi malam, di ruang bermain, kau ..." Jongin tidak melanjutkan.

"Aku melakukannya untukmu, Jongin, karena kau membutuhkannya. Tapi aku tidak suka. Kau tidak menyakitiku tadi malam. Itu dalam konteks yang berbeda, dan secara internalku bisa membenarkan, dan aku percaya padamu. Tetapi bila kau ingin menghukumku, aku khawatir bahwa kau akan menyakitiku."

Mata hitamnya berkilau seperti badai bergejolak. Waktu berjalan, dan berkembang dan hilang sebelum Jongin menjawab pelan.

"Aku ingin menyakitimu. Tapi tidak melebihi apa yang tidak bisa kau tahan."

Sialan!

"Kenapa?"

Jongin mengangkat tangannya ke rambutnya, dan ia mengangkat bahu.

"Aku hanya membutuhkannya." Jongin berhenti sejenak, menatapku dengan kesedihan, dan ia menutup matanya dan menggeleng. "Aku tak bisa mengatakannya padamu," bisiknya.

"Tidak bisa atau tidak mau?"

"Tidak mau."

"Jadi kau tahu kenapa."

"Ya."

"Tapi kau tidak akan memberitahuku."

"Jika aku melakukannya, kau akan lari berteriak ketakutan dari ruangan ini, dan kau tak akan pernah ingin kembali." Jongin menatapku hati-hati. "Aku tidak bisa mengambil risiko itu, Sehun."

"Kau ingin aku tinggal."

"Lebih dari yang kau tahu. Aku tidak tahan kehilangan dirimu."

Oh... Jongin menatap ke arahku, dan tiba-tiba,Jongin menarikku ke dalam pelukannya dan dia menciumku, menciumku penuh gairah. Membuatku benar-benar terkejut, dan aku merasakan panik dan sangat membutuhkan ciumannya.

"Jangan tinggalkan aku. Kau bilang kau tidak akan meninggalkanku, dan kau memintaku untuk tidak meninggalkanmu, dalam tidurmu," bisik Jongin dibibirku.

Oh ... pengakuanku saat tidur malam.

"Aku tidak ingin pergi." Dan hatiku mantap, berubah terbalik.

Jongin membutuhkanku. Ketakutannya terlihat jelas, tapi Jongin tersesat ... disuatu tempat dalam kegelapan. Matanya melebar dan suram dan tersiksa. Aku bisa menenangkannya. Bergabung dengannya sebentar di kegelapan dan membawanya ke tempat terang.

"Tunjukkan padaku," bisikku.

"Tunjukkan padamu?"

"Tunjukkan padaku seberapa besar sakitnya."

"Apa?"

"Hukum aku. Aku ingin tahu seberapa buruk yang bisa kutahan." Jongin melangkah mundur dariku, benar-benar bingung.

"Kau akan mencoba?"

"Ya." Tapi aku memiliki motif tersembunyi. Jika aku melakukan ini untuknya, mungkin Jongin akan membiarkanku menyentuhnya.

Jongin berkedip padaku.

"Sehun, kau begitu membingungkan."

"Aku juga bingung. Aku sedang berusaha memecahkannya. Kau dan aku akan tahu, sekali dan untuk selamanya, jika aku bisa melakukan ini. Jika aku bisa menangani hal ini, maka mungkin kau - " kata-kataku gagal, dan mata Jongin melebar lagi.

Jongin tahu aku mengacu untuk bisa menyentuhnya. Untuk

beberapa saat, dia tampak terkoyak, tapi kemudian tekad baja menempel diwajahnya, dan ia menyipitkan matanya, menatapku penuh pertimbangan seolah begitu beratnya untuk memilih ini.

Mendadak, Jongin menggenggam sekaligus mencengkeram tanganku dan berbalik, membawaku keluar dari ruangan besar, menaiki tangga, dan menuju ruang bermain. Kenikmatan dan rasa sakit, hadiah dan hukuman - kata-katanya sudah lama bergema dalam pikiranku.

"Aku akan menunjukkan padamu seberapa buruk bisa terjadi, dan kau bisa membuat pikiranmu jadi terbuka." Jongin berhenti dekat pintu. "Apa kau siap untuk ini?"

Aku mengangguk, pikiranku sudah bulat, dan aku merasa agak pusing, lemah karena semua darah meninggalkan wajahku. Jongin membuka pintu, dan masih memegang tanganku, meraih apa yang tampak seperti sabuk dari rak di samping pintu, lalu membawaku ke bangku kulit merah di pojok ruangan.

"Membungkuklah di atas bangku," bisik Jongin lembut.

Oke. Aku bisa melakukan ini. Aku membungkuk di atas kulit lembut halus. Jongin mengangkat jubah mandiku. Diam-diam dalam pikiranku, aku agak terkejut karena Jongin tidak menyuruhku melepasnya.

Gila, aku tahu ini akan terasa sakit ... Bawah sadarku telah pingsan, dan dewa batinku berusaha untuk terlihatberani.

"Kita di sini karena kau mengatakannya,Sehun. Dan kau berlari dariku. Aku akan memukulmu enam kali, dan kau akan menghitung denganku."

Kenapa sih Jongin tidak langsung menyelesaikannya? Jongin selalu membuat seperti makanan untuk menghukumku. Aku memutar mata, menyadari sepenuhnya ia tak dapat melihatku.

Jongin mengangkat ujung jubah mandiku, dan untuk beberapa alasan, ini terasa lebih intim daripada telanjang. Dengan lembut dia membelai pantatku, tangannya hangat membelai kedua pantatku dan turun ke bagian atas pahaku.

"Aku melakukan ini supaya kau ingat untuk tidak lari dariku, dan meskipun menyenangkan, aku tidak ingin kau lari dariku," bisik Jongin.

Dan ironisnya aku tidak lupa. Aku berlari untuk menghindari ini. Jika Jongin membuka tangannya, aku akan lari ke dia, bukan menjauh darinya.

"Dan kau memutar mata padaku. Kau tahu bagaimana perasaanku tentang itu." Tiba-tiba, hilanglah – ketakutan, gelisah,gugup dalam nada suaranya.

Jongin sudah kembali dari manapun dia berada. Aku mendengar dalam nada suaranya, caranya Jongin menempatkan jemarinya di pantatku, memegangku – dan perubahan suasana di dalam kamar.

Aku memejamkan mata, menguatkan diri menerima pukulan.

Tiba-tiba pukulannya datang sangat keras, bunyi keras melintas pantatku, dan pukulan dengan sabuk ini yang aku takutkan. Aku berteriak tanpa sadar, dan mengambil udara banyak- banyaknya.

"Hitung, Sehun!" Perintah Jongin.

"Satu!" Aku berteriak pada Jongin, dan kedengarannya seperti sebuah sumpah serapah.

Jongin mencambukku lagi, dan denyut rasa sakit dan sangat terasa di sepanjang garis sabuk. Sialan ... itu sangat cerdas

"Dua!" Aku berteriak. Rasanya begitu lega bisa menjerit.

Napasnya tidak teratur dan kasar. Sementara napasku hampir tak terdengar karena aku merasa putus asa,seluruh jiwaku berusaha sekuat tenaga mencari beberapa kekuatan batin. Sabuknya kembali melukai bokongku.

"Tiga!" Air mata yang tak diinginkan jatuh ke luar dari mataku.

Astaga - rasanya lebih sakit daripada yang kupikirkan - jauh lebih sakit dibanding dengan telapak tangan. Jongin tidak menahannya lagi.

"Empat!" Aku berteriak saat sabuk dilecutkan lagi, dan sekarang air mengalir dipipiku.

Sebenarnya aku tidak ingin menangis. Ini membuatku marah bahwa aku menangis. Jongin mencambukku lagi.

"Lima." Suaraku terdengar seperti tersedak, tertahan oleh isakan, dan pada saat ini, aku pikir aku membencinya. Sekali lagi, aku bisa melakukan satu lagi. Pantatku terasa seolah-olah terbakar.

"Enam," aku berbisik karena sengatan seperti melepuh sangat sakit, dan aku mendengar Jongin menjatuhkan sabuk dibelakangku, dan Jongin langsung menarikku ke dalam pelukannya, dengan terengah-engah dan penuh kasih ... dan aku tidak ingin bersama Jongin.

"Lepaskan ... tidak ... "Dan aku menemukan diriku berusaha untuk melepaskan dari pelukannya, mendorong menjauhinya. Melawannya.

"Jangan sentuh aku!" Aku mendesis. Aku berdiri tegak dan menatapnya, dan Jongin menonton seolah-olah aku mau meledak, mata hitamnya melebar, geli.

Dengan marah aku menghapus air mata yang keluar dari mataku dengan punggung tanganku, memelototi Jongin.

"Jadi inikah yang benar-benar kau sukai? Aku, seperti ini?" aku menggunakan lengan jubah mandi untuk membersihkan hidungku.

Jongin menatap ke arahku dengan waspada.

"Yah, kau anak orang brengsek."

"Sehun," Jongin memohon, terkejut.

"Jangan coba-coba menyebut Sehun ku! Kau harus bisa memilah kemarahanmu, Kim Jongin!" Setelah itu, aku berbalik dengan kaku, dan keluar dari ruang bermain, menutup pintu dengan pelan dibelakangku.

Aku memegang hendel pintu di belakangku dan kembali bersandar sebentar dipintu. Pergi kemana? Apa aku akan lari? Apa aku akan tinggal? Aku sangat marah, air mata panas mendidih marah semuanya tumpah dipipiku, dan aku mengusap dengan geram kesamping.

Aku hanya ingin meringkuk. Meringkuk dan memulihkan diri dengan beberapa cara. Menyembuhkan keyakinanku yang sudah hancur berantakan. Bagaimana mungkin aku sebodoh itu?

Tentu saja rasanya akan terasa sakit.

Dengan ragu-ragu, aku menggosok pantatku. Aah! sakit. Ke mana aku akan pergi? Tak mungkin kekamar Jongin. Kamarku, atau ruang yang akan menjadi milikku, tidak, itu adalah milikku ... milikku. Inilah sebabnya mengapa Jongin ingin aku memilikinya.

Jongin tahu aku akan membutuhkan jarak darinya. Aku berjalan kaku sendirian ke kamar, sadar bahwa Jongin dapat mengikutiku. Masih gelap dikamar tidur, fajar menyingsing masih redup dicakrawala.

Aku naik ke tempat tidur dengan canggung, hati-hati untuk tidak duduk karena pantatku terasa sakit dan perih Aku menarik jubah mandi, membungkus tubuhku, dan meringkuk dan benar-benar melepaskan - menangis keras ke bantalku.

Apa yang kupikirkan? Mengapa aku membiarkan Jongin melakukan itu padaku? Aku ingin kegelapan, untuk menjelajahi bagaimana itu bisa menjadi buruk - tapi itu terlalu gelap untukku.

Aku tidak bisa melakukan ini. Namun, ini yang Jongin lakukan, beginilah cara dia menyukainya. Peringatan itu membuatku sadar. Dan menjadi jelas tentang Jongin, dia memperingatkanku dan

memperingatkanku sekali lagi. Jongin tidak normal. Dia memiliki kebutuhan yang tak bisa aku penuhi. Aku menyadari itu sekarang. Aku tidak ingin dia memukulku seperti itu lagi. Aku berpikir dia memukulku sudah dua kali, dan betapa mudahnya Jongin melakukan perbedaan itu padaku. Apa itu cukup baginya? Aku menangis lebih keras ke bantal.

Aku akan kehilangan dia. Jongin tidak akan mau bersamaku jika aku tak bisa memberikan yang ia inginkan.

Mengapa, mengapa, mengapa aku jatuh cinta dengan Fifty Shades? Mengapa? Kenapa aku tidak mencintai Kris, atau Paul Clayton, atau seseorang seperti aku?

Oh, Jongin terlihat bingung saat aku meninggalkannya. Aku begitu kejam, sangat terkejut dengan kekejaman itu ... maukah Jongin memaafkanku ... Maukah aku memaafkannya? Pikiranku jadi kacau semua dan campur aduk, bergema dan memantul dari bagian dalam kepalaku. Bawah sadarku menggeleng sedih, dan dewi batinku sama sekali tak terlihat.

Oh, ini adalah pagi yang gelap bagi jiwaku. Aku sendirian.

Aku menginginkan Ibuku. Aku ingat kata-kata perpisahannya di bandara, Ikuti kata hatimu, sayang, tolong - cobalah untuk tak berpiikir terlalu berlebihan. Relaks dan nikmati dirimu sendiri. Kau masih begitu muda, sayang. Kau punya banyak waktu untuk mencari pengalaman hidup, hanya biarkan itu mengalir saja.

Kau layak mendapatkan yang terbaik dari segalanya.

Aku mengikuti kata hatiku, dan yang aku dapatkan adalah pantat yang sakit dan menderita, jadi patah semangat untuk menunjukkan itu. Aku harus pergi. Itu saja ... Aku harus meninggalkannya. Jongin tidak baik untukku, dan aku tidak baik untuknya.

Bagaimana mungkin kita bisa membuat ini berjalan? Dan membayangkan tidak melihat Jongin lagi praktis membuatku sesak napas ... Fifty Shades-ku.

Aku mendengar suara klik pintu dibuka. Oh tidak – Jongin ke sini. Dia menempatkan sesuatu di atas meja samping tempat tidur, dan tempat tidur terasabergerak saat ia berbaring di belakangku.

"Sst," Jongin mengambil nafas, dan aku ingin menarik diri dari Jongin, pindah ke sisi lain tempat tidur, tapi aku seperti lumpuh. Aku tidak bisa bergerak dan berbaring kaku, tak bisa digerakkan sama sekali.

"Jangan menolakku, Sehun, kumohon," bisiknya. Dengan lembut, Jongin menarikku ke dalam pelukannya, membenamkan hidungnya di rambutku, mencium leherku.

"Jangan membenciku," Jongin bernafas lembut di kulitku, suaranya terdengar sangat sedih. Hatiku membeku dan menangis terisak. Jongin terus menciumku dengan lembut, penuh kasih, tapi aku tetap menjaga jarak dan waspada.

Kami berbaring bersama seperti ini, tidak berkata apa-apa sampai lama. Jongin hanya memelukku, dan perlahan-lahan, aku menjadi tenang dan berhenti menangis. Fajar telah datang, dan cahaya lembut menjadi terang berganti pagi, dan kami masih berbaring dengan tenang.

"Aku membawa beberapa Advil dan beberapa krim arnica," katanya setelah lama dalam diam.

Aku berbalik sangat pelan-pelan dalam pelukan Jongin hingga aku bisa berhadapan dengannya. Kepalaku bertumpu dilengannya. Matanya hitam keras dan hati-hati.

Aku menatap wajah yang tampan. Jongin memberi jarak, tapi matanya terus menatapku, hampir tidak berkedip. Oh, dia terlihat begitu mendebarkan. Dalam waktu singkat,Jongin menjadi begitu, terlihat sangat sayang padaku. Aku mengulurkan tangan, membelai pipinya dan menjalankan ujung jariku ke janggutnya.

Jongin menutup matanya dan sedikit menghembuskan napas.

"Maafkan aku," bisikku.

Jongin membuka matanya dan menatapku bingung.

"Untuk apa?"

"Untuk apa yang sudah aku katakan."

"Kau tidak mengatakan apapun yang tidak aku tahu." Dan mata Jongin melunak lega. "Maaf aku menyakitimu."

Aku mengangkat bahu.

"Aku yang minta." Dan sekarang aku tahu. Aku menelan ludah. Ini Jongin. Aku perlu mengatakan bagianku. "Kupikir aku tidak bisa menjadi segalanya seperti yang kau inginkan," bisikku.

Matanya melebar sedikit, dan Jongin berkedip, ekspresi kembali ketakutan. "Kau adalah segalanya yang aku inginkan."

Apa?

"Aku tidak paham. Aku bukan seorang yang patuh, dan kau pasti sangat yakin bahwa aku tidak akan membiarkanmu melakukan itu lagi padaku. Dan itu sesuatu yang kau butuhkan, kau bilang begitu."

Jongin menutup matanya lagi, dan aku bisa melihat segudang emosi melintasi wajahnya. Saat ia membuka matanya kembali, ekspresinya suram. Oh tidak.

"Kau benar. Aku seharusnya membiarkanmu pergi. Aku tidak baik untukmu."

Kulit kepalaku seperti ditusuk-tusuk karena setiap helai rambut ditubuhku berdiri minta perhatian,dan dunia seperti jatuh menjauhiku, meninggalkan semuanya, menyisakan lubang yang dalam bagiku.

Oh tidak.

"Aku tidak ingin pergi," bisikku. Sialan - ini dia. Bayar atau mainkan. Air mata keluar dimataku sekali lagi.

"Aku juga tidak ingin kau pergi," Jongin berbisik, nada suaranya kasar.

Jongin meraihku dan dengan lembut membelai pipiku dan mengusap air mata dengan ibu jarinya. "Aku menjadi hidup sejak aku bertemu denganmu." Ibu jari menelusuri kontur bibir bawahku.

"Aku juga," bisikku. "Aku jatuh cinta padamu,Jongin."

Mata Jongin melebar lagi, tapi kali ini, terkejut, benar-benar ketakutan.

"Tidak," Jongin bernafas seolah aku memdorong udara keluar darinya.

Oh tidak.

"Kau tidak bisa mencintaiku, Sehun. Tidak ... ini salah." Jongin ketakutan.

"Salah? Kenapa salah?"

"Yah, melihat dirimu. Aku tidak bisa membuatmu bahagia." Suara Jongin terdengar sedih.

"Tapi kau membuatku bahagia." Aku mengernyit.

"Tidak pada saat ini, tidak melakukan apa yang ingin aku lakukan."

Ya ampun. Inilah faktanya. Inilah intinya - ketidakcocokan - dan semua yang ada didalam pikirannya.

"Kita tidak akan bisa melewati itu, ya kan?" Bisikku, kepalaku berdenyut ketakutan.

Jongin menggeleng muram. Aku menutup mataku. Aku tidak sanggup melihatnya.

"Yah ... lebih baik aku pergi," bisikku, mengernyit saat aku duduk.

"Tidak, jangan pergi." Suara Jongin seperti panik.

"Tak ada gunanya aku tinggal." Tiba-tiba, aku merasa lelah, benar-benar kelelahan, dan aku ingin pergi sekarang. Aku turun dari tempat tidur, dan Jongin mengikuti.

"Aku akan berpakaian. Aku ingin sedikit privasi," kataku, suaraku datar dan kosong saat aku meninggalkan Jongin berdiri di kamar tidur.

Menuju lantai bawah, aku melirik ruangan besar, berpikir bagaimana hanya beberapa jam sebelumnya aku menyandarkan kepala di bahunya saat ia memainkan piano. Begitu banyak yang terjadi sejak itu.

Aku membuka mataku dan melihat sekilas sejauh mana kerusakan moralnya, dan sekarang aku tahu Jongin tidak sanggup mencintai seseorang - tak mampu untuk memberi atau menerima cinta. Ketakutan terburukku telah terwujud. Dan anehnya, itu sangat melegakan.

Rasanya sangat menyakitkan hingga aku menolak untuk mengakuinya. Aku merasa mati rasa. Entah bagaimana aku seakan keluar dari tubuhku dan aku sekarang menjadi pengamat biasa untuk mengungkap tragedi. Aku mandi dengan cepat dan sistematis, hanya berpikir setiap detik dihadapanku. Sekarang menekan botol sabun mandi. Mengembalikan botol sabun mandi di rak. Menggosokkan di wajah, di bahu... dan terus, semuanya mudah, tindakan yang mekanis, membutuhkan pengalaman mekanis yang

sederhana.

Aku selesai mandi – dan karena aku tidak mengeramas rambutku, aku dapat mengeringkan diri dengan cepat. Aku berpakaian dikamar mandi, mengambil jeansku dan t-shirt dari koper kecilku.

Jeansku terasa melukai pantatku, tapi terus terang, aku menyambut rasa sakit itu karena mengalihkan pikiranku dari apa yang terjadi pada patah hatiku.

Aku membungkuk untuk menutup koperku, dan bungkusan hadiah untuk Jongin menarik perhatianku, pesawat model kit glider Blahnik L23, dia harus merakit dulu. Air mata mengancam.

Oh tidak ... harusnya lebih bahagia, bila ada harapan untuk lebih.

Aku mengeluarkan persoalan ini, mengetahui bahwa aku perlu memberikan ini padanya. Segera, aku merobek sepotong kertas kecil dari notebookku, buru-buru menulis catatan untuk Jongin, dan biarkan di atas kotak.

Ini mengingatkanku saat-saat bahagia.

Terima kasih.

Sehun

Aku menatap diriku di cermin. Sebuah tatapan seperti hantu yang pucat dan angker ke arahku. Mengabaikan kondisi kelopak mataku yang membengkak karena tangisan. Bawah sadarku mengangguk setuju. Bahkan Jongin tahu untuk tidak menjadi

pemarah saat ini. Aku tak percaya bahwa duniaku telah runtuh di sekitarku menjadi tumpukan abu,semua harapan dan impian secara kejam menghilang. Tidak, tidak tidak jangan berpikir tentang hal itu.

Jangan sekarang, belum. Ambil napas dalam-dalam, aku mengambil koperku, dan setelah menempatkan kit glider dan catatanku di atas bantal, aku menuju ruang besar. Jongin sedang menelpon. Dia memakai jeans hitam dan t-shirt. Kakinya telanjang.

"Dia bilang apa!" Jongin berteriak, membuatku melompat. "Yah, dia bisa memberitahu kita kebenaran itu. Nomornya berapa, aku akan menelponnya... Welch, ini benar-benar kacau." Jongin melirik. Dan tidak mengalihkan matanya yang gelap dan murung dariku.

"Cari dia," bentak Jongin dan menekan tombol off.

Aku berjalan ke sofa dan mengambil ranselku, berusaha sebisa mungkin mengabaikannya. Aku mengambil Mac dari ransel dan berjalan kembali ke dapur, menempatkannya hati-hati di bar sarapan,bersama dengan ponsel dan kunci mobil. Saat aku berbalik menghadapi Jongin, dia menatapku,tertegun dengan ketakutan.

"Aku butuh uang dari Beetle-ku yang dijual Taylor." Suaraku jelas dan tenang, tanpa emosi ... luar biasa.

"Sehun, aku tidak ingin barang-barang ini, semuanya milikmu," kata Jongin seolah tidak percaya dengan apa yang aku katakan barusan. "Tolong, ambil semuanya."

"Tidak Jongin – Aku semata-mata menerima semua itu di bawah kesabaran – dan aku tidak menginginkan ini lagi."

"Sehun, yang rasional dong," Jongin menegurku, bahkan setelah sekarang.

"Aku tidak ingin sesuatu yang akan mengingatkanku padamu. Aku hanya perlu uang dari mobilku yang dijual Taylor." Suaraku cukup monoton.

Jongin terkesiap. "Apa kau benar-benar mencoba melukaiku?"

"Tidak." Aku mengerut menatapnya. Tentu saja tidak ... aku mencintaimu. "Jelas tidak. Aku mencoba untuk menjaga diriku sendiri," bisikku. Karena kau tidak menginginkanku sebesar aku menginginkanmu.

"Tolong, Sehun, ambil barang-barang itu."

"Jongin, aku sedang tidak ingin bertengkar - aku hanya perlu uang."

Jongin menyipitkan matanya, tapi aku tak lagi terintimidasi olehnya. Yah, hanya sedikit. Aku balik memandang tanpa ekspresi, tak berkedip atau mundur.

"Maukah kau menerima cek?" Kata Jongin ketus.

"Ya. Aku pikir tidak apa."

Jongin tidak tersenyum, ia hanya berjalan ke ruang kerjanya. Aku melihat yang masih tersisa lalu melihat-lihat apartemennya - lukisan di dinding - semua abstrak, tenang, sejuk ... bahkan dingin. Pas sekali, aku pikir tanpa sadar. Mataku berkeliaran ke piano. Astaga - jika aku menjaga mulutku, kami akan bercinta di atas piano. Tidak, sialan, kita akan berhubungan intim di atas piano.

Yah, aku lebih suka bercinta. Kebohongan besar dan sedih dalam pikiranku. Jongin tak pernah bercinta denganku, kan? selalu hanya berhubungan intim dengannya. Jongin kembali dan menyerahkan amplop.

"Taylor mendapat harga yang bagus. Itu adalah mobil klasik. Kau bisa bertanya padanya. Dia akan mengantarmu pulang." Jongin mengangguk ke arah belakang bahuku. Aku berbalik, dan Taylor sedang berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan, sempurna

seperti biasa.

"Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri ke rumah, terima kasih."

Aku berbalik untuk menatap Jongin, dan aku melihat kemarahan hampir-terkandung di matanya.

"Apa kau akan menentangku setiap ada kesempatan?"

"Mengapa harus mengubah kebiasaan seumur hidup?"

Aku mengangkat bahu untuk minta maaf. Jongin menutup matanya dengan frustrasi dan berjalan tangannya ke rambutnya.

"Aku mohon, Sehun, biar Taylor mengantarmu pulang."

"Aku akan mengambil mobil, Tuan Oh," kata Taylor berwibawa.

Jongin mengangguk padanya,dan saat aku melihat sekeliling, Taylor telah pergi. Aku berbalik kembali untuk berhadapan dengan Jongin. Kami berjarak empat kaki. Jongin melangkah

ke depan, dan secara naluri aku melangkah mundur. Jongin berhenti, dan penderitaan dalam ekspresinya jelas terlihat, mata hitamnya menyala.

"Aku tidak ingin kau pergi," bisik Jongin, suaranya penuh kerinduan.

"Aku tidak bisa tinggal. Aku tahu apa yang aku inginkan dan kau tak bisa memberikannya padaku, dan aku tidak bisa memberikan apa yang kau butuhkan."

Jongin melangkah maju, dan aku mengangkat tanganku keatas.

"Tolong jangan." Aku mundur dari Jongin. Tidak mungkin aku bisa mentolerir sentuhannya sekarang, itu akan membunuhku.

"Aku tak bisa melakukan ini." Meraih koper dan ranselku, aku menuju serambi. Jongin mengikutiku, menjaga jarak hati-hati. Jongin menekan tombol lift, dan pintu terbuka. Aku masuk.

"Selamat tinggal, Jongin," bisikku.

"Sehun, selamat tinggal," katanya lembut, dan Jongin terlihat benar-benar hancur, seperti orang yang kesakitan, mencerminkan betapa aku bisa merasakan di dalamnya. Aku membuang muka darinya sebelum aku berubah pikiran dan mencoba untuk

menghiburnya.

Pintu lift menutup, dan membawaku turun ke ruang bawah tanah dan ke neraka pribadiku sendiri. Taylor menahan pintu terbuka untukku, dan aku naik ke belakang mobil. Aku menghindari kontak mata.

Jengah dan malu menyapu wajahku. Aku gagal total. Aku berharap bisa menyeret Fifty Shades-ku menuju cahaya, tapi terbukti tugas itu sedikit diluar kemampuanku. Putus asa, aku mencoba untuk menjaga meredam emosiku. Saat kami berjalan keluar menuju 4th Avenue, aku menatap kosong keluar jendela, dan betapa besarnya apa yang telah aku lakukan secara perlahan terlintas dipikiranku.

Sial - Aku telah meninggalkannya. Satu-satunya pria yang pernah aku cintai. Satu-satunya pria yang pernah tidur denganku.

Aku terkesiap, dan tangisku pecah. Air mata tanpa diminta dan tak diinginkan turun di pipiku, dan aku buru-buru menyekanya dengan jemariku, kurogoh tasku mencari kacamataku. Saat kami berhenti ditraffic lights, Taylor mengulurkan saputangan linen untukku. Dia tak mengatakan apa-apa dan tak melihat ke arahku, dan aku merasa bersyukur.

"Terima kasih," gumamku, dan kebaikan kecil ini merupakan tindakan bijaksana yang membuatku hancur. Aku duduk kembali di kursi kulit mewah dan menangis.

Apartemen kosong menyedihkan dan terasa asing. Aku belum tinggal di sini cukup lama untuk untuk merasa seperti di rumah. Aku langsung menuju kamarku, dan di sana, menggantung lemas diujung tempat tidurku, menyedihkan, sebuah balon,helikopter kempes. Charlie Tango, terlihat dan terasa persis sepertiku. Dengan marah aku melempar dari ranjangku, memutuskan talinya, dan memeluknya.

Oh - apa yang telah kulakukan?

Aku jatuh diatas tempat tidur, sepatu dan semua, dan menangis. Rasa sakit ini tak terlukiskan ... fisik, mental ... metafisika ... itu ada dimana-mana, menyusup ke dalam sumsum tulangku. Kesedihan.

Ini adalah kesedihan - dan aku telah membawanya pada diriku sendiri. Jauh di lubuk hati, pikiran keji tanpa diminta berasal dari dewa batinku, bibirnya melengkung sambil menggeram ... rasa sakit fisik dari sabetan sabuk tak terasa apa-apa, tidak bisa dibandingkan dengan kerusakan ini. Aku meringkuk, putus asa menggenggam balon foil datar dan sapu tangan Taylor, dan menyerahkan diri untuk kesedihanku.

~The End~

Apa? Ini beneran tamat kok udah. Hahaha FIFTY SHADES OF KIM JONGIN THE END! *party* heung~ ga kerasa ya akhirnya bisa selese juga. Hihi

Sebelumnya,ijinkan aku yang bener-bener pengin ngucapin banyak-banyak terimakasih buat adek-adek yang nekat baca ff remake ini *oke ini salah ane ngepost story macam gini* haha buat kakak-kakak dan teman-teman sekalian yang sudah sempetin baca ff remake ini terimakasih. Dan buat para followers,favorite dan SILENT READERS big thankyou for you~ aku tahu kok kalian suka ngikutin baca sampe detik-detik END tanpa meninggalkan jejak. Haha

Serius aku bener-bener ga bisa ngomong apa-apa karena aku tahu di ff remake novel ini tuh masih banyak dan banyak sekali kekurangan. Dari bahasa,terus nama pemainnya yang sering lupa aku ganti (ini paling sering ya? Peace! Haha),dan yang paling bikin sebel readers itu mungkin kelamaan ngepost ya? Haha tapi apalah daya, aku juga manusia yang juga punya kesibukan sendiri dari kerja,kuliah dan hangout bareng temen yang membuat aku tidak luput dari kesalahan dalam mempost ff remake ini *tsahh* haha

Pokoknya BIG THANKS lah buat EL JAMES yang udah buat novel ini,maaf keun aku yang ngeremake novel ini tanpa ijin. Just for fun,makanya aku ga pernah mau koment apapun buat para author lain yang ikut ngeremake novel Fifty Shades Grey ini jadi pair yang lain. Buat Om Jamie Dornan juga makasih udah bikin aku kesengsem setengah mati sama kamu Om. Serius Om Jamie I Love You! Hahaha *apalah ini pake disebutin* hahaha dan BIG THANKS juga buat para readers sekalian yang dengan setia selalu ngikutin ff remake novel ini sampe ini udah tamat dinovel trilogy yang pertama.

Jujur hal yang terberat itu ketika musti ngepost segini panjangnya demi memuaskan rasa penasaran para readers dari novel ini dengan mengganti Pairnya jadi KaiHun. Sengaja ngepost segitu panjangnya setiap chapter karena ya kejar waktu dan biar ga bertele-tele menurutku karena tahu sendiri kan gimana tebelnya itu novel? Ya emang sih ga tebel-tebel banget tapi kalo udah lagi ngeremake novel ini coba deh rasakan gimana pedesnya mata,pegelnya badan kalian saat natap layar laptop lama-lama. Haha.

Makanya aku terima semua protes kalian disetiap chapter kalo masih ada typo's yang tertinggal. Iya sih ff remake novel ini itu ga ada apa-apanya dibanding author lainnya yang setiap ffnya bisa tembus sampe 1k+ reviewnya. Tapi aku juga manusia yang punya perasaan, yang bikin sedih waktu itu sempet kena bash masukan di inbox (ga usah sebut nama juga ya,) buat ga ngelanjutin Cuma gegara ya ada readers yang mengatas namakan aku ngelarang FF Remake dengan pair lain dari novel ini. What?! Seriously?! Aku nyuruh begitu? Hell No! Fyi, Aku bukan orang serakah dan juga bukan bocah buat ngelakuin hal childish semacam itu. Lagian penulis aslinya bukan aku,buat apa aku ngelakuin itu. Sempet sedih juga pas dapet protesan dari readers karena bikin Pair yang Baekhyun engga sama Chanyeol di ff remake ini trus aku diomelin gegara dianggap ga suka sama ChanBaek. Dooh please masih harus gitu kita sesama fandom berantem Cuma gegara pair disebuah story?

Ah udah ga mau kebanyakan keluh kesah, udah resiko ane kok ngepost ff remake novel macam begini. Ya kan?hahaha

Dan kenapa masih banyak aja pada minta dilanjut sih ke novel trilogy yang kedua? Ga puas apa sama yang ini? Haha iya sih Film sequelnya Fifty Shades Of Grey juga bakal ada, Fifty Shades Draker dan itu 2 tahun lagi baru tayang. Ugh~ tapi sayangnya udah keburu kangen sama aktingnya Om Jamie, Hahaha

Okehh aku sih oke oke aja yaa buat yang minta dilanjutin lagi dinovel yang kedua. Cuma kalian mau pada baca gak? Kalo enggak ya mending ga usah dilanjut kan? Saya capek sama hantu-hantu readers yang enggan meninggalkan wujudnya dikolom review. Haha sedih loh jujur liat segitu puluhan ribu banyaknya yang ngebaca setiap chapternya,trus jumlah favorit dan followers yang yah bagiku itu wow! tapi yang review ga ada separonya. Sedih adinda, huhu *peluk om Jamie* haha

Apa mau nunggu 2 tahun lagi ngepost sequelnya bareng sama filmnya? Hahaha

Pokoknya aku bener-bener ngucapin terimakasih lah buat yang udah ngikutin cerita ff remake novel ini. Untuk dilanjut ke next sequelnya monggo terserah readers sekalian. Sekali lagi terimakasih readers sekalian~ kita berpisah dengan KaiHun disini~ hihi *bow bareng KaiHun* pai~ pai~