Siang ini matahari sudah tepat di atas kepala orang-orang yang sedang beraktivitas, termasuk Mayuzumi Chihiro. Meskipun udara dingin khas musim semi masih terasa, panas matahari cukup menghangatkan.

Siang ini di waktu senggang, sambil menunggu mata kuliah berikutnya, Mayuzumi berniat mengunjungi suatu tempat. Ia harus mengorek informasi secepat mungkin.

Dari kampusnya, ia langsung bertolak ke sebuah rumah sakit. Untungnya, rumah sakit tersebut dapat dijangkau dengan berjalan kaki dari kampusnya.

Sesampainya di rumah sakit, ia segera menanyai kepada suster yang sedang berjaga di lantai dua. Di lantai ini terdapat ruang praktik dokter. Di mana jika kalian berobat kalian harus menunggu di lantai dua.

Mayuzumi menanyai tentang keberadaan dokter bernama Midorima Shintarou.

"Hari ini, ia ada praktik. Sekitar jam dua siang. Memangnya ada keperluan apa?"

Mayuzumi melirik jam tangannya sebentar. Waktu menunjukkan pukul 13.07. Masih 53 menit lagi sampai pukul dua. "Begini.. adikku, pasien tetap dari Midorima-sensei. Sekarang adikku sedang dalam keadaan yang tidak baik. Jika, memang Midorima-sensei ada, aku akan menelpon orang rumah untuk membawa adikku ke sini."

'Alasanmu terlalu bertele-tele, Chihiro..' rutuk Mayuzumi dalam hati.

"Oh, baiklah. Saya akan mencoba menghubungi Midorima-sensei jika memang adikmu dalam keadaan tidak baik." Suster itu segera meraih gagang telepon dan menekan tombol nomor telepon.

"Aku sangat berterima kasih sekali." Mayuzumi sedikit membungkuk.

Setelah melakukan pembicaraan singkat, suster itu langsung mengembalikan gagang telepon pada tempatnya.

"Midorima-sensei akan datang lima belas menit lagi. Mohon ditunggu."

"Syukurlah.. terima kasih banyak."

Rasanya Mayuzumi lega sekali. Artinya ia tidak perlu menunggu lama-lama bukan? Syukurlah, jika Tuhan masih sayang padanya, dan pada 'adiknya'.

Lima belas menit berikutnya, sesuai janji, Midorima-sensei hadir ke rumah sakit itu. Tentu saja Mayuzumi langsung menoleh ke arah dokter muda bersurai hijau lumut, dengan wajah berkacamata.

Midorima-sensei hendak pergi ke ruang praktiknya. Tanpa menunggu lagi, Mayuzumi ikut melesak masuk ke dalam ruang praktik.

Sesampainya di dalam, dokter muda itu langsung membentak, antara terkejut atau kesal. "Kau sedang apa di sini? Jangan seenaknya masuk!"

"Aku kemari ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan Akashi? Kau pasti tahu sesuatu. Karena tindakan mu yang berhenti sebagai dokternya, menimbulkan banyak kecurigaan di kepalaku."

"Hmp, sayangnya tidak ada apa-apa. Kau saja yang terlalu curiga." Midorima-sensei pun membela diri.

"Jangan bohong! Kau pasti tahu sesuatu, cepat katakan apa yang kau tahu!"

Terjadilah adu teriak-teriakan yang jika saja ruangan ini tidak kedap suara, pasti akan memekakan telinga orang-orang tak bersalah.

"Yang aku tahu hanyalah, dia mencoba membunuh tunanganku!"

Mayuzumi melebarkan pupil kelabunya. "Apa-apaan itu? Jangan ngarang cerita, Akashi tidak mungkin melakukan hal setolol itu!"

"Dia memang sudah tolol! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Ia berada di samping tunanganku saat perutnya menganga."

"Tapi kau tidak tanya kan kepada tunanganmu? Coba kau tanyakan padanya!"

Midorima-sensei bungkam. Pernyataan Mayuzumi memang ada benarnya. Ia belum pernah mempertanyakan kepada tunangannya bagaimana kronologi kejadiannya, karena sudah terbakar amarah.

"Besok aku akan kembali lagi ke sini, kau harus tanyakan pada tunanganmu. Aku tunggu jawabanmu besok."

Tanpa pamit, Mayuzumi langsung undur diri dan bertolak lagi dari rumah sakit menuju kampusnya. Mengikuti mata kuliah terakhir untuk hari ini.

.

Tokyo, 17.39.

Midorima baru saja menyelesaikan praktiknya. Tanpa menunggu apa-apa lagi, ia segera pulang ke rumah tunangannya. Sejak kejadian sebulan lalu, ia jadi suka mengakhawatirkan tunangannya begini.

"Tadaima.."

"Okaeri, Shintarou." Tunangannya pun menyambutnya dengan gembira. "Kau ke sini kenapa tidak telepon dulu?"

"Kau lupa? Aku sudah hampir setiap hari ke sini, untuk apa aku telepon."

"Ah, iya benar juga." Tunangannya itu langsung meraih tas yang Midorima bawa dan membuka jas hitam yang menggantung di tubuhnya.

"Aku sedang masak makan malam, Shintarou makan malam di sini saja ya?"

Tak ada jawaban lisan, Midorima hanyan mengangguk lalu pergi ke ruang tengah untuk beristirahat, merebahkan tubuhnya di atas sofa.

19.06.

"Shintarou, waktunya makan malam~" si tunangan berteriak dari dapur.

Midorima langsung terbangun dari tidur singkatnya. Sungguh mengganggu, tapi ia juga lapar. Tanpa perlu menjawab, ia langsung melangkah menuju ruang makan.

Di sana, ada tunangannya yang sudah duduk manis menunggu kehadirannya. "Ayo, kita makan selagi hangat." Ia tersenyum lagi.

Shintarou menempatkan dirinya di sebelah tunangannya. Mereka makan malam dalam kekhusyukan. Tak ada yang memulai pembicaraan. Tiba-tiba,

"Shintarou, aku ingin tahu bagaimana kabarnya 'si merah' itu?" Ia menatap Midorima penuh antusias.

" 'si merah'? Siapa maksudmu?"

"Tentu saja pasienmu itu. Yang anak kecil itu lho, surainya berwarna merah. Dia manis sekali lho. Rasanya aku ingin mengangkatnya jadi anak kita."

Midorima hampir saja tersedak jika saja ia tidak cepat-cepat mengambil segelas air.

"Aku sudah berhenti jadi dokternya. Dan jangan mengatakan hal yang mustahil."

"Kenapa kau berhenti menjadi dokternya? Aku pikir dia sangat menyukaimu."

Midorima jadi merasakan suatu hal yang janggal. Kenapa tunangannya begitu senang membicarakan si merah padahal dia pelaku kejahatan yang sudah mencoba merenggangkan nyawanya.

"Dan kenapa kau menyukainya? Aku pikir dia sudah jahat padamu." Midorima melanjutkan makannya.

"Jahat? Maksudmu, kejadian saat kau sedang berjalan bersamanya, lalu aku bertemu denganmu, dan ia langsung menyerangku? Aku sama sekali tidak masalah. Mengetahui, kalau anak itu ada yang salah dengan mentalnya."

Midorima merasakan ada suatu yang mangganjal. Kenapa tunangannya seakan amnesia apa yang sudah di lakukan si merah itu sebenarnya.

Muncullah perasaan bahwa 'Akashi memang tidak bersalah'.

"Shintarou, kenapa kau diam saja?" Ia pun kembali menyadarkan Midorima.

"Kepalamu terbentur atau apa? Kau lupa apa yang terjadi saat kejadian itu?" Midorima sedikit menaikkan oktaf.

"Kejadian mana, Shintarou? Kenapa kau terlihat ingin marah? Apa yang sebenarnya kau pikirkan?"

"Aku pikir, bocah itulah yang telah menikammu."

Tak ada respon lain, selain wajah yang terkejut. Midorima jadi ikut tak bergeming. Terkejut pada dirinya sendiri barangkali?

"Apa yang kau bicarakan, Shintarou? Jelas-jelas pelakunya bukan anak itu. Pelakunya pria dewasa dan aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas."

Benar saja, dugaan itu memang patut dilontarkan. Ternyata ini yang membuat perasaan Midorima serasa terganjal linggis.

Midorima memijit kening, pening menyergap tiba-tiba. "Ck, bagaimana aku tidak curiga pada bocah itu saat kau terbaring ia ada persis di sampingmu." Midorima menurunkan nada bicaranya.

"Prasangkamu terlalu buruk, Shintarou. Bagaimana bisa kau menuduh anak kecil tak berdosa sepertinya? Jadi karena itu kau berhenti menjadi dokternya. Aku tidak menyangka kau memiliki perilaku seperti itu, Shintarou."

Suasana pun berubah canggung. Shintarou tak mampu menjawab. Memang kepalanya sudah blank, seakan ia lupa cara membaca huruf alphabet. Ketegangan di antara mereka perlahan mulai terbangun.

.

.

.

Entah pukul berapa sekarang ini, rasanya Mayuzumi sangat enggan untuk membuka mata. Tapi, bunyi ponsel yang berdering tak bisa membuatnya diam saja. Dengan sangat terpaksa, ia sedikit bangun dari posisi rebahannya untuk mengambil ponsel di meja sebelah.

Tanpa repot-repot melihat siapa yang telepon, Mayuzumi langsung menjawabnya.

"Mayuzumi-san, maaf mengganggu anda malam-malam. Sei-chan kabur dari rumah."

Seketika mata Mayuzumi langsung terbuka lebar-lebar. Ini bukan tersambar petir di siang bolong, tapi badai datang tanpa izin.

"Apa yang kau bicarakan, Takao-san?! Tapi kan sekarang jam- ah, sudahlah. Aku akan ke sana sekarang."

Mayuzumi sadar sepenuhnya dan langsung beranjak dari tempat tidurnya untuk berganti pakaian. Sehabisnya, ia segera meninggalkan apartmen menuju kediaman Akashi.

.

"Maaf, Mayuzumi-san. Saya tidak tahu kemana Sei-chan pergi." Pria bersurai hitam berbelah tengah itu membungkuk sopan kepada Mayuzumi.

"Jangan seperti itu, Takao-san. Aku bukan siapa-siapa mu kok. Yang terpenting, kapan kau menyadari Akashi kabur?"

"Saat aku sedang membereskan ruangan di sebelah kamar Sei-chan, aku mendengar suara pintu terbuka. Aku pikir Sei-chan sekedar keluar kamar, tapi setelah aku cari ia tidak ada."

"Bagaimana bisa, Takao-san? Apa yang sedang ia pikirkan sebenarnya?"

"Aku juga kurang tahu, Mayuzumi-san. Maaf.."

.

Malam ini, Midorima memutuskan untuk bermalam di rumah tunangannya. Meskipun hubungan di antara mereka masih bersitegang. Tapi, Midorima sedang mencoba memulihkannya lagi dengan cara seperti ini.

Tiba-tiba, ponselnya yang berada di meja sebelah bergertar, menandakan ada telepon masuk. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya dan keluar dari kamar untuk menerima panggilan.

"Moshi-moshi.. Ibu ada apa menelponku malam-malam begini?" Ucapnya yang ternyata adalah ibunya yang menelpon.

"Ano.. Shin maaf menelpon malam-malam, tapi kau sedang kedatangan tamu di sini.."

"Hah? Yang benar saja?! Ini hampir tengah malam dan ada tamu untukku?" Midorima hampir saja berteriak jika saja ia tidak ingat kalau ini bukan apartmennya di Kyoto.

"Aku juga tidak mengerti, Shin.. tamunya seorang laki-laki bersurai merah, apa kau mengenalnya?"

'Dia...', "aku akan ke sana, suruh dia untuk menunggu." Midorima langsung memutus sambungan.

Dengan sedikit menyelinap ia kembali ke dalam kamar untuk mengambil bajunya dan barang-barangnya. Lalu, ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Tak lupa ia meninggalkan memo di meja samping ranjang tunangannya. Setelah meninggalkan jejak, ia segera melesat menuju rumah orang tuanya.

.

"Jadi.. bisa kau katakan kenapa kau bisa sampai di sini?"

Midorima mulai berbicara serius dengan bocah lelaki bersurai merah menyala yang duduk dihadapannya, kepalanya tertunduk tak berani menatap Midorima.

Setelah menyelesaikan masalah dengan ibunya yang bertanya siapa anak itu, dan untungnya, ibunya tidak salah sangka seperti 'bocah itu adalah anak Midorima'. Untung saja tidak. Midorima kembali menatap lekat-lekat bocah yang membisu itu.

"Cepat katakan, tidak sadar kah kau sudah mengganggu banyak orang? Kau sudah mengganggu ibuku, dan terutama menggangguku." Midorima berucap dengan dinginnya.

"Aku minta maaf, Midorima-sensei... jika memang kejadian itu adalah perbuatanku, aku minta maaf.." bocah itu menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Tapi tolong, jangan membenciku seperti ini. Ini membuatku tak nyaman.." lanjut bocah itu.

Midorima masih tak bergeming dengan perkataan bocah di depannya ini sambil bergumam, 'apa yang dibicarakannya?'. Apa ia pura-pura bodoh?

Di menit berikutnya, Midorima beranjak dari posisi duduknya. Ia langsung menarik bocah bersurai merah itu dan menggeretnya ke kamar pribadinya. Lalu menyuruhnya duduk di ranjang.

"Tunggu di sini, aku akan kembali." Midorima langsung keluar lagi dari kamarnya.

Ia pergi ke dapur, mengambil obat itu tidur dan segelas air. Ia membawa kedua objek itu ke kamarnya.

Sampai di kamar, si bocah terbengong melihat apa yang Midorima lakukan. Midorima memasukkan obat itu ke dalam mulutnya dan menenggak air yang dibawanya. Dengan gerakan cepat, ia menempelkan bibirnya kepada bibir si bocah, membuka dua belah daging itu dan memasukkan tablet beserta airnya yang ditampungnya selama beberapa detik. Tentu si bocah langsung tekejut dengan tidak santainya.

Tak perlu waktu lama untuk menunggu bocah itu terlelap dengan nyenyak.

.

Akashi membuka matanya perlahan, kepalanya terasa pening. Terasa berat untuk diangkat. Tubuhnya serasa lemas dan panas. Ia merasakan bahwa dirinya sedang terbaring di atas kasur empuk.

Ia mengedarkan pengelihatannya ke seluruh ruangan ini. Cahayanya remang-remang, hanya disinari dengan beberapa lilin yang bertengger di dinding.

"Kenapa panas sekali..." kepalanya bergerak gelisah mencari kesejukan.

Ia sangat yakin bahwa ruangan ini adalah hal yang baru baginya. Entah siapa yang membawanya kemari, tak perlu di tanya pun, jawabannya sudah ada di depan mata.

Ia berusaha untuk mendudukkan tubuhnya. Ia melihat di depan ranjang ini terdapat sofa yang menghadap ke arahnya. Dan ada yang menduduki sofa itu. Sofa itu ditempati oleh orang yang paling dirindukannya satu bulan belakangan ini.

Midorima-sensei menduduki sofa panjang itu, dengan celana hitam bahan dan kemeja putih dengan beberapa kancing teratas yang terbuka. Di tambah lagi, ia sedang tidak menggunakan kacamatanya. Akashi ingat betul, saat ia bertemu Midorima beberapa waktu lalu, ia tidak mengenakan pakaian itu dan tidak seberantakan itu.

"Mi-Midorima-sensei.. apa yang kau lakukan di situ...?" Akashi bertanya ragu.

"Menunggumu bangun." Jawabnya singkat, sangat singkat.

Midorima-sensei beranjak dari sofanya menghampiri Akashi, menduduki tepian ranjang sambil memandang Akashi intens. Terasa wajahnya memanas.

"Merasa lebih baik?" Tanya Midorima-sensei sedikit lembut.

"Iya.. tapi agak panas.."

"Bagus kalau kau panas."

Tiba-tiba pengelihatan Akashi menghitam. Ia menggerakkan tangannya berusaha mencari sosok Midorima-sensei.

Ternyata, Midorima-sensei menutup mata Akashi dengan sehelai kain hitam. Ia langsung membaringkan Akashi dengan dua tangannya yang digenggam erat di atas kepala.

"Midorima-sensei, apa yang kau lakukan? Ini tidak lucu." Akashi terdengar panik.

Midorima-sensei menindihnya sedemikian rupa, sampai Akashi benar-benar tak bisa bergerak.

"Bukankah, ini yang kau inginkan semenjak bertemu denganku, Akashi?"

Akashi merasakan hembusan nafas Midorima-sensei di depan wajahnya. Ia tahu, pasti jarak wajahnya denga Midorima-sensei nyaris tidak berspasi.

"Kau salah, Midorima-sensei. Aku hanya ingin kau berada di sampingku."

"Benarkah?"

Midorima-sensei mengeratkan genggamannya pada kedua pergelangan tangan Akashi. Seperti orang kesal yang ingin memecahkan sesuatu.

"Sakit, tolong lepaskan aku."

"Orang bilang, hubungan sesama jenis itu hanya untuk memenuhi nafsu birahi saja. Jauh di lubuk hatimu yang paling dalam, kau pasti menginginkannya, hanya kau tidak sadar."

"Aku tidak menginginkan ini, Midorima-sensei. Tolong lepaskan."

"Kita selesaikan ini, dengan perjanjian, kau tidak akan pernah datang menggangguku lagi. Kalau bisa kau lenyap dari dunia ini."

Tanpa permisi, Midorima-sensei langsung melumat bibir ranum yang menggoda itu. Ia membuat celah di sana untuk mengajak lidah yang 'lain' untuk bermain. Akashi mendesah tertahan.

Akashi semakin ingin memberontak. Tapi apa daya, tubuh Midorima-sensei yang lebih besar darinya, tentu punya kekuatan yang besar pula dari dirinya.

Puas dengan bibirnya, Midorima meninggalkan jejak saliva yang membentang dari ujung bibir Akashi hingga ke dagunya. Midorima turun sampai ke leher, menghisap leher itu penuh nafsu. Akashi mulai mengerang.

"Mi.. Midorima-sensei.. hentikan.."

Beres dengan lehernya yang sudah basah itu, Midorima langsung menduduki perut bocah itu agar tidak melarikan diri. Dengan gerakkan cepat, ia segera menanggalkan kaus yang menempel di tubuhnya. Lalu kembali mengekang kedua tangannya di atas kepala.

"Midorima-sensei... kau salah paham.."

Midorima pun tidak menghiraukannya, dan kembali melanjutkan kegiatan jilat-menjilatnya pada dada Akashi. Akashi semakin panas dibuatnya.

"Midorima-sensei, hentikan!" Akashi berteriak dengan terengah-emah.

Sontak teriakan Akashi mengehntikan pergerakkan tangannya yang sudah siap membuka celana panjang Akashi.

"Aku tidak menginginkan ini.. Midorima-sensei..." terdengar isakan dari suara itu. "Aku tulus menyukaimu, Midorima-sensei.. jika kau memang ingin aku lenyap, aku bisa melakukannya. Kalau perlu aku melakukannya di depanmu..."

Akal sehatnya yang sempat hilang sebagian, kembali sepenuhnya. Midorima sadar, dirinya hampir saja melakukan kejahatan seksual.

"Tolong lepaskan.. aku akan pergi dari sini.. aku tidak akan tersasar, aku akan lenyap sesuai permintaanmu.."

Midorima langsung melepaskan genggamannya pada tangan Akashi. Ia merubah posisinya menjadi duduk. Begitupun dengan Akashi, ia mendudukkan tubuhnya. Ia melepaskan kain hitam yang membutakan matanya. Air mata langsung jatuh kian menderas setelah kain hitam itu tanggal.

Akashi memungut bajunya yang terjatuh di lantai, lalu memakainya kembali.

"Maaf, aku sudah mengganggu..."

Akashi berjalan gontai menuju pintu keluar. Midorima tak berani melihatnya. Perasaannya bertengkar hebat, antara ingin menahannya pergi atau membiarkannya.

Toh pada akhirnya, Midorima tak bergerak sesenti pun dari tempatnya semula. Antara ia shock atau merasa bersalah.

.

Akashi berjalan susah payah sambil menahan keseimbangannya. Angin malam yang dingin menerpa kulitnya, ia memeluk dirinya sendiri mencari kehangatan.

Efek obat tidur yang sempat dikonsumsinya, membuat ia merasa tidak tahan untuk tetap sadar dan berjalan sampai rumahnya. Tiba-tiba saja ia amnesia, kemana jalan pulang yang sebenarnya?

Rasanya, ia ingin menjatuhkan diri ke tanah dan tidak peduli siapa yang akan menemukannya dan menyelamatkannya.

Sebelum tubuhnya benar-benar jatuh, seseorang menahannya dengan sangat tiba-tiba dari depan.
"Astaga, Akashi. Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa wajahmu berkeringat seperti ini?" Orang itu mengusap wajah Akashi yang penuh keringat.

Akashi masih bisa melihatnya, laki-laki bersurai silver dengan manik kelabu, menatapnya khawatir.

"Mayuzumi-senpai..."

Penghelitannya buram, lalu gelap total. Tak perlu lama disadari, Akashi sudah pingsan di tempat.

.

Beberapa kali Mayuzumi mengelap keringat yang terus mengalir pada wajah Akashi. Ia terlihat sangat khawatir dengan bocah yang sedang terbaring lemah di hadapannya. Sangat jarang sekali Akashi terkena demam. Sekalinya demam, menggemparkan satu keluarga, bahkan sampai Mayuzumi pun ikut gempar.

Detik berikutnya, mulai ada pergerakan dari Akashi. Ia terlihat berusaha membuka matanya, betapa leganya Mayuzumi melihat ini.

"Akashi.. Akashi, kau merasa baikan?" Mayuzumi langsung bertanya saking tak sabarannya.

Yang ditanya pun seakan masih menerka-nerka siapa orang yang sebenarnya ada di hadapannya.

"Akashi..?" Mayuzumi mencoba memanggil kembali.

Akhirnya pandangannya focus kepada Mayuzumi. "Mayuzumi-senpai…"

"Ya, ya..? Aku di sini, Akashi…"

"Kepalaku pusing sekali…" Akashi memegangi kepalanya yang terasa berputar-putar.

"Ya… makanya kau istirahat. Tidur yang nyenyak.. atau kau tak bisa tidur?"

Akashi menggeleng pelan. "Terima kasih, Mayuzumi-senpai…" ia tersenyum tipis di akhir kalimat.

Mayuzumi mengerjapkan matanya, tak mengerti. "Kenapa kau berterima kasih, Akashi?"

Entah kekuatan dari mana, Akashi langsung menarik Mayuzumi untuk mendekat, lalu mencium bibirnya dengan lembut. "Hanya.. ingin berterima kasih saja."

Wajah Mayuzumi langsung merah padam. "Da-dari mana ka-kau belajar mencium orang seperti itu?!" Mayuzumi gagap seketika.

"Seseorang baru saja mengajarkannya padaku." Akashi terkekeh pelan.

"Si-siapa?! Katakan siapa, Akashi!"

"Suatu hari pasti akan aku beritahu."

.

.

.

The End.


Yaps! Ini dia chapter terakhir dari fic ini!

Arigatou untuk yang sudah baca! Semoga puas dengan endingnya, karena saya juga puas udah nyelesein fic ini. Jadi hutang fic saya berkurang hehe...

Sekali lagi arigatou readers-tachi! Jangan lupa tinggalkan review

Sampai bertemu di karya saya berikutnya!

Ja~