Air hujan itu terus turun membasahi tanah dan aspal hitam di bawahnya. Seakan tak kenal lelah, air itu terus jatuh menghujam bagian lapis bawahnya. Tak peduli akan keadaan para manusia yang sedang berlari menghindarinya.

Tidak.

Termasuk lelaki tegap dengan mata kelam tajamnya yang sedang berdiri menantang hujan di atasnya.

Ia masih setia berdiri. Menunggu yang entah kapan akan berakhir.

Lelaki itu memejamkan matanya sejenak. Menghirup udara yang terasa kian menipis di paru-parunya. Air hujan yang turun semakin menusuk kulit pucatnya semakin dalam. Tak dihiraukannya panggilan parau dari belakang punggungnya yang setia meneriakkan namanya. Bertarung melawan derasnya suara hujan.

Lelaki itu menatap dalam jalanan luas di depannya. Genangan air dimana-mana. Ia masih berdiri dengan tangan terkepal kuat di setiap sisinya.

"Tuan! Menyingkirlah! Anda akan sakit jika seperti ini!"

Suara itu. Masih terdengar jelas di telinganya. Ia masih bergeming. Banyak pasang mata yang sedari tadi menyibukkan diri untuk berlari berhenti sejenak untuk menatapnya. Ia sendiri tidak memerdulikannya.

Jika cara ini berhasil membuat dirinya kembali. Ia rela melakukannya. Apa saja. Agar wanita itu kembali.

Waktu sudah berlalu. Detik demi detik berlalu begitu cepat. Ia baru menyadari bahwa setiap detik yang terlewat begitu berharga.

Dan ia menyesalinya.

Teriakan samar-samar dari balik punggungnya terasa menguap di telinganya. Selanjutnya yang ia tahu hanya kegelapan di depan matanya dan tubuhnya yang terjatuh membentur tanah dengan keras.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

A Walk To Remember

.

Disclaimer: Masashi Kishimoto

.

Warning: Typo and misstypo, AU, and manymore.

.

Hurt/Comfort and Drama

.

A story by emerallized onyxta

.

.

.

.

Tepukan pelan di bahunya berhasil mengambil kesadarannya. Mata kelamnya secara perlahan mulai terbuka. Pandangannya masih samar dan kepalanya masih terasa berputar-putar. Ia meringis pelan.

"Jangan dipaksakan. Anda masih butuh istirahat."

Suara lembut yang menenangkan berhasil menghentikannya. Tanpa menoleh ia tahu siapa pemilik suara tersebut. Mengangguk sebagai respon, ia kembali menjatuhkan kepala ravennya yang basah pada bantal di bawahnya.

"Anda terlalu memaksakan diri berdiri begitu lama."

Kali ini matanya terpejam. Mengabaikan perkataan dari sosok paruh baya yang duduk di samping ranjang besarnya. Sosok itu tersenyum tipis. Sebelah tangannya terangkat untuk memberi isyarat pada dua gadis berbaju khas pelayan yang berdiri di sudut pintu untuk segera pergi.

Sosok itu menghela napasnya. Menatap penuh iba pada lelaki yang sedang berbaring tak berdaya di depannya. Mata hitamnya berubah sendu. Merasakan apa yang sedang dirasakan lelaki itu.

"Tuan."

"Jangan bicara, Kakashi." Suara itu menghentikannya. Mata hitamnya berputar. Melihat langsung ke dalam mata kelam yang sedang menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong.

Lelaki ini hidup tapi jiwanya melayang di udara kegelapan.

Mata kelam itu menutup. Deru napasnya terasa. Ia jatuh tertidur dengan kondisi yang sama seperti sebelumnya. Jatuh karena kehujanan. Cuaca memang tidak bisa ditebak. Kadangkala pagi hari terlihat cerah dan selanjutnya hujan deras di siang hari. Berganti begitu cepat.

"Saya akan mengambil air hangat untuk anda."

Sosok itu perlahan berdiri. Menatap sekilas pada tubuh lemah yang sedang terbaring itu lalu pergi.

.

.

"Bolehkah aku meminta gambarmu? Untuk majalah sekolah yang akan diterbitkan minggu depan."

Suara lembut dari gadis berambut merah muda itu mengusik telinganya. Ia kemudian menoleh dan mendapati ada senyuman manis dari belakang tubuhnya. Hanya tampilan wajah datar sebagai jawaban berhasil melunturkan senyum manis gadis itu.

"Ku rasa kau tahu jawabannya."

Gadis itu menggigit bibir bawahnya pelan. Kedua tangannya dengan erat memegang benda berwarna hitam dengan lensa transparan di depannya. Mata teduh miliknya masih setia memandang wajah tampan itu dari samping. Sedikit bergeser agar dapat memotretnya langsung.

"Apa aku menganggumu?"

Lelaki itu membanting sepatu basketnya kasar. Ia menoleh cepat dengan kilatan mata tajam yang berhasil membuat nyali gadis itu menurun cepat.

"Pergilah dari hadapanku atau aku akan menyeretmu kasar untuk menjauh."

Gadis itu mundur ketakutan. Mata kelam itu tidak lagi menatapnya. Melainkan sedang memandang pada sepatu berwarna hitam yang sedang dipasang di kedua kaki kekarnya.

"Sebentar saja, aku mendapatkan tugas untuk—

"Pergilah!"

Dan suara tajam itu berhasil membuat tubuh mungilnya berlari menjauh.

.

.

Mata kelamnya masih terbuka lebar. Layaknya mentari pagi yang baru saja bersinar. Nyalang. Kedua tangannya tersimpan rapi di dalam saku celananya. Pandangannya masih lurus ke depan. Pada halaman besar dengan hiasan taman bunga lily putih yang mencolok mata.

Lily putih.

Bunga yang mengingatkannya pada seseorang.

Lagi.

Kenangan itu perlahan menyusup. Menyebar menjadi duri di dalam kepalanya. Ia jatuh terduduk dengan kedua tangannya memegang kepalanya kuat-kuat. Teriakan kencang dari dalam kamar berhasil membuat orang-orang yang berjaga di depan pintu kamar berlari. Menerobos pintu kayu itu cepat.

Mata hitamnya menemukan sosok lelaki itu jatuh terduduk sambil menahan sakit yang menyerang kepalanya. Dengan sigap, ia segera berlari mendekat dan membawa tubuh besar itu ke ranjang besar berseprei putih yang terdapat di tengah ruangan.

Masih dalam keadaan yang sama, ia berlari menuruni tangga melingkar yang menghubungkan antara lain atas dan lantai bawah mansion. Sebelah tangannya terulur untuk mengetuk ruangan yang terletak di sudut tangga.

"Dokter!"

Bunyi decitan pintu melegakannya. Dokter berambut pirang itu keluar dengan wajah tak kalah tegangnya.

"Sasuke! Dia kembali berteriak kesakitkan!"

Dokter itu dengan cepat mengambil peralatan yang sudah disiapkannya dan berlari menuju kamar.

Napasnya masih terengah. Tidak membutuhkan waktu lama untuk bisa sampai di sini. Berhubung ia memang tinggal di sini dalam waktu yang lama. Ia dibayar untuk menyembuhkan kondisi pasien yang sesuai dengan profesinya. Itu sudah menjadi tugasnya.

"Bagaimana, dokter?"

Dokter itu menghela napasnya. Mata coklat madunya menatap iba pada sosok rapuh yang berbaring tak berdaya setelah diberi suntikan penenang.

"Kembali seperti biasa, Kakashi. Ia mengingat kenangan itu."

Sosok bernama Kakashi itu menghela napas lelahnya. Ia duduk tepat di samping ranjang tuannya. Memandang iba pada kondisi majikannya.

"Aku sudah mengenalnya lebih dari apa pun. Aku sudah bersamanya sejak dirinya terlahir di dunia ini. 27 tahun berlalu, aku tak pernah melihatnya sehancur ini."

Dokter itu menarik napas panjang. Ia menaruh peralatan dokter miliknya di meja kecil sisi ranjang. Ia duduk di sudut ranjang dengan perlahan. Tangannya terulur untuk menggenggam telapak besar lelaki itu.

"Kita semua tahu, ini kesalahannya. Karena dirinya yang membuat wanita itu pergi. Karena dirinya juga ia seperti ini. Tanpa sadar ia membunuh dirinya sendiri. Raganya masih di sini, tapi ruhnya melayang pergi. Mencari keberadaan wanita itu."

Sosok paruh baya itu memejamkan matanya sejenak. Cairan suci yang tak diinginkannya perlahan keluar. Menuruni pipi pucatnya.

"Ia sudah mati sejak lama. Sudah dua tahun berlalu."

"Dan keadaan belum berubah, Kakashi!" Suara lembut itu berubah menjadi tinggi. Ia memijit pelipisnya yang terasa nyeri. "Dua tahun berlalu tapi kondisinya masih tetap sama. Sasuke tidak akan pernah sembuh."

Wanita itu berdiri dengan membawa peralatan medisnya. Ia menghela napas untuk yang terakhir kalinya sebelum tubuhnya benar-benar menghilang dari balik pintu kamar.

.

.

"Ambilah secarik kertas, tulis nama seseorang di sana."

Gadis berambut merah muda itu mengerutkan dahinya bingung. Ia memandang tanya pada sang guru yang sibuk menata buku-buku tebal yang di bawanya.

"Ada apa, Sakura? Masih kurang jelas perkataanku tadi?"

Gadis itu tersentak saat guru berambut hitam itu menegurnya. Ia tersenyum kikuk lalu merobek kertas dari belakang bukunya dan mulai menuliskan sesuatu di sana.

"Sebelum kalian menuliskan nama seseorang di sana. Dengarkan aku dulu,"

Sakura menjatuhkan pulpennya ke atas meja. Mata teduhnya yang tertunduk langsung beralih menatap depannya. Sang guru berdiri dan berputar hingga tubuhnya berada tepat di depan meja kelas.

"Kalian akan menuliskan nama seseorang di sana. Seseorang yang kalian cintai dan kalian inginkan keberadaannya bersama kalian di akhir nanti. Selamanya. Seseorang yang ingin kalian habiskan hidup bersama. Sampai napas kalian terhenti. Hingga maut yang memisahkan kalian berdua."

"Pasangan?" Yamanaka Ino menyanggah cepat dan langsung diberi anggukan oleh guru tersebut.

Sakura memandang kertas kosong itu dalam-dalam. Nama siapa yang akan ia tulis di sana nanti?

"Dalam buku filsafat di jelaskan, jika kalian sudah menuliskan nama tersebut, dorongan akan memiliki orang itu akan semakin besar. Kesempatan kalian untuk bersamanya sampai nanti mungkin saja terwujud."

"Filsafat lagi? Itu memuakkan. Filsafat hanya berdasarkan logika, bu. Bukan pada kenyataan."

Sang guru tersenyum tipis. Mata merahnya menatap pada murid berambut ungu yang duduk di belakang dengan pandangan menjatuhkan.

"Konan, kau tak mengerti apa-apa tentang arti sesungguhnya filsafat itu. Lebih baik turuti saja perintahku!"

Suara sang guru berubah menjadi tinggi dalam sekejap. Membuat para murid di dalam kelas dengan gerakan cepat segera menuliskan nama di kertas masing-masing. Tentu saja, nama yang sudah ada di pikiran mereka.

Sakura mengedarkan pandangannya memutari seisi ruangan. Mata hijaunya berhenti pada sosok lelaki berambut raven yang sedang menunduk menatap kertas dengan wajah datar yang menjadi ciri khasnya. Bibir tipisnya perlahan membentuk sebuah senyuman kecil yang samar. Ia memandang wajah tampan itu lekat-lekat sebelum kembali fokus pada kertas miliknya.

Ia tahu siapa yang harus ia tulis di kertas miliknya.

.

.

Sasuke melangkah memasuki pintu masuk gedung dengan langkah cepat. Para pegawai yang biasa menyapanya hangat kini perlahan mundur saat menyadari keberadaannya.

Karena Sasuke yang mereka kenal bukanlah Sasuke yang seperti ini.

Pimpinan besar mereka telah berubah. Berbeda. Menjadi pribadi yang lebih tertutup dan dingin dari sebelumnya. Tak ada lagi sapaan hangat atau sekedar anggukan sebagai respon darinya.

Jika Sasuke ingin bertemu dengan manager bawahannya, Kakashi yang akan berbicara dan turun langsung untuk memberitahu.

Sasuke tidak pernah berbicara lagi pada orang-orang yang mengenalnya. Ia berkomunikasi hanya pada Kakashi dan Dokter Tsunade. Selain itu? Tak ada. Sudah dua tahun belakangan ini pemimpin mereka berubah.

"Selamat pagi, Tuan Uchiha."

Sasuke melirik dari ekor matanya ketika sapaan lembut dari sekretaris pribadinya, Karin memberikan ucapan selamat pagi padanya.

Tak ada jawaban atau sekedar anggukan sebagai respon. Tubuh tegapnya melangkah melalui Karin begitu saja yang berdiri dengan wajah tertunduk menahan malu. Pimpinan tertingginya tidak membalas ucapan selamat paginya.

Karin memandang Sasuke dari belakang punggungnya dengan nanar. Lelaki ini sudah berubah. Dan semua orang yang mengenalnya menyadarinya.

.

.

Sudah dua tahun berlalu sejak upacara kelulusan mahasiswa berlangsung. Sakura masih bisa merasakannya. Dirinya masih terlihat sebagai mahasiswi kedokteran di Universitas Tokyo. Tempat dimana ia menimba ilmu sebagai mahasiswa kedokteran di sana. Cita-citanya sejak ia kecil.

Ia tersenyum melihat pantulan dirinya di cermin kamar. Rambut sepunggungnya ia ikat tinggi berbentuk ekor kuda dan wajah cantiknya diberi polesan make-up tipis sebagai penambah nilai penampilan.

Saat ini ia memakai dress selutut berwarna merah muda kesayangannya dan sepatu kets berwarna putih miliknya. Sudah menjadi cirri khasnya sejak masih duduk di bangku SMA ia memakai sepatu kets kemana pun ia pergi. Dan sepatu ini sudah menemaninya selama setahun penuh.

Ia memandang dirinya sekali lagi di cermin lekat-lekat. Wajah riangnya perlahan mulai memudar seiring penampilannya yang terlihat dari pantulan cermin di depannya.

Hari ini adalah reuni besar SMA tempat dirinya bersekolah tujuh tahun lalu. Sudah lama berlalu dan ia merasakan perbedaannya. Sakura bukanlah gadis remaja labil seperti dahulu, saat dirinya masih duduk di bangku menengah pertama. Ia sudah berubah menjadi gadis tangguh dan mandiri.

Sakura menarik napas dalam-dalam. Ia tersenyum kecil pada cermin itu lalu berlalu pergi.

.

.

Suara riuh tepuk tangan memekakkan telinga. Sakura tersenyum lebar ketika ia mendapati sahabat lamanya, Ino sedang berdiri memunggunginya dengan sebelah tangannya menggenggam segelas minuman.

"Ino!"

Gadis berambut pirang itu menoleh dan tertawa lebar saat mengetahui siapa pemilik suara itu. Sebelah tangannya yang kosong melambai ke atas. Menyuruh agar Sakura segera mendekat ke arahnya.

"Bagaimana kabarmu?" terjangan pelukan hangat dari Sakura berhasil membuat tubuh Ino sedikit terhuyung ke belakang karena terkejut. Tapi tak lama kemudian, gadis cantik ini tertawa lepas dan membalas pelukan sahabat lamanya.

"Aku baik! Bagaimana kabarmu?" Mata biru Ino menilai penampilan Sakura dari rambut hingga ke bawah kakinya. Ia memajukan bibirnya bosan saat melihat penampilan sahabat di depannya ini.

"Masih sama. Apakah kau tidak tahu tren saat ini, Sakura? Kenapa kau biarkan kepala merah mudamu ini mengikuti gaya masa lalu terus-menerus?"

Sakura terkekeh sebagai respon. Ia memukul bahu Ino pelan. "Kau tahu aku tidak begitu menyukai era perkembangan saat ini. Terutama dalam hal pakaian."

Ino mendengus. Ia mengambil segelas minuman yang dibawa pelayan saat melaluinya dan memberikan pada Sakura.

"Ini minuman untukmu. Minumlah, mari kita bersenang-senang!"

Sakura tersenyum menerima minuman yang di berikan Ino untuknya. Ia tertawa ketika Ino menariknya ke lantai dansa dan berjoget asal di sana mengikuti irama musik pengiring.

"Lihatlah! Gadis kolot itu lagi. Ku pikir ia mati di makan usia! Hahahahaha."

Suara nyaring itu berhasil membuat kepala merah mudanya menoleh. Mendapati gadis berambut perak sedang memandangnya jijik dan sinis bersamaan. Sakura memutar tubuhnya hingga menghadap gadis tersebut.

"Sakura Haruno. Berani-beraninya kau datang ke acara ini. Hanya memakai pakaian seperti ini? Oke, ku akui nyalimu memang cukup besar." Gadis itu bertepuk tangan sambil menyeringai meremehkan pada Sakura.

Sakura hendak mengeluarkan pendapatnya saat ada sosok lain yang menerobos kerumunan berdiri di depannya.

Uchiha Sasuke.

Sakura masih tak bergeming dari tempatnya berdiri. Ino sudah berlari menyusulnya dan kini gadis pirang itu berdiri di samping sambil memandang tajam Shion dan Sasuke bergantian.

"Apa yang kau lakukan di sini, brengsek?!"

Sakura menolehkan kepalanya ke samping dan melihat Ino melangkahkan kakinya selangkah di depan tubuhnya.

Shion maju. Berdiri di depan Sasuke dengan wajah tak kalah tajamnya. Kedua tangannya terlipat di depan dada. "Kau yang seharusnya tahu diri. Apa yang kau lakukan di sini, Yamanaka? Kau masih punya muka rupanya ketika berita tentang ayahmu tersebar karena masalah korupsi yang di lakukannya. Huh, kupikir kau juga ikut bersamanya mendekam di dalam penjara."

Wajah Ino pucat seketika. Ia mundur ke belakang beberapa langkah besar lalu berlari menuju kamar mandi ruangan. Sakura berteriak memanggil nama sahabatnya namun Ino tak menghiraukannya. Justru gadis itu berlari semakin cepat. Menjauhi kerumunan yang semakin banyak terlihat.

"Hentikan ini, Shion. Bisakah kau lebih sopan sedikit pada, Ino? Ia juga temanmu dulu!"

Shion tertawa tipis. Lengannya mengamit lengan Sasuke yang sedari tadi diam tak bergerak memandang pertikaian antar gadis di depannya dengan raut datar.

"Teman katamu? Aku tidak punya teman seperti sampah macam kalian berdua!"

Suara Shion meninggi.

"Kau? Bisakah kau berhenti menyukai kekasihku, Sakura? Aku tebak, saat Guru Kurenai menyuruh kau untuk menulis siapa yang kalian inginkan menjadi pasangan hidup, kau menulis Sasuke. Apa aku salah?"

Sakura terdiam.

Shion tersenyum sinis. "Benar. Setelah aku menemukan buku harianmu dan foto-foto Sasuke yang tersimpan di sana aku menebaknya. Kau menyukai, Sasuke!"

Mata kelam milik Sasuke berputar memandang Sakura dengan pandangan menilai. Matanya menyipit tajam. Meminta penjelasan pasti. Sakura menatap Sasuke dengan gerakan lambat. Menyadari tatapan itu, ia menundukkan kepalanya dan bergerak mundur secara perlahan. Shion akan menjatuhkan dirinya lagi untuk kesekian kalinya. Tak ingin itu terjadi, Sakura memutar tubuhnya. Berlari sambil menahan tangis. Pertahanannya hancur sudah. Ia berlari menuju pintu keluar dan pergi dari sana. Meninggalkan kerumunan orang-orang yang mulai meneriaki namanya dengan hinaan pedas.

Sakura sadar. Ia tidak pernah pantas berada di sini.

.

.

Sasuke memandang kosong pada layar putih dengan gambar grafik di depannya. Kemajuan pesat perusahaannya seharusnya membuat dirinya bangga. Tapi tidak. Ia tidak merasakan hal itu.

Kakashi yang menyadarinya langsung bertindak cepat. Ia berkomentar sebagai respon pada pria yang berdiri menjelaskan laporan terbaru mengenai saham milik Uchiha. Pria tersebut mengangguk-angguk saat Kakashi menjawab pertanyaannya. Kemudian ia kembali melanjutkan laporannya mengenai saham lain.

Kakashi melirik Sasuke dari ekor matanya. Tuannya sedang memandang lurus ke depan seolah-olah memperhatikan. Padahal tidak. Mata kelam itu kosong. Seperti tak ada kehidupan di sana. Semenjak kejadian pagi itu, Sasuke berubah. Tidak ada yang bisa menyentuh dirinya. Bahkan Kakashi yang selama ini berada di sisinya tidak bisa menyentuhnya.

Sasuke sedang dalam titik tertinggi kehancurannya.

Terdengar helaan napas dari hidung milik pimpinan besarnya. Para anggota menoleh cepat ketika suara kursi tergeser mengusik indra pendengaran mereka. Sasuke berdiri tanpa suara dan melangkah ke luar ruangan dalam keadaan tanpa berbicara sepatah kata pun. Para anggota yang melihatnya menatapnya bingung sekaligus iba secara bersamaan. Pintu itu tertutup keras. Meninggalkan kekosongan dan keheningan di dalam ruangan secara bersamaan. Kakashi menghela napas lelahnya. Ia berdiri menunduk hormat pada anggota pemegang saham lain. Memohon maaf.

"Rapat kita lanjutkan lusa. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Semoga hari kalian semua menyenangkan."

Kakashi pergi dengan cepat menyusul Tuannya yang pergi lebih dahulu.

.

.

Sakura keluar dari rumah sakit tempatnya bekerja dengan langkah yang di percepat. Hari akan hujan. Hari ini ia punya janji untuk membelikan makanan titipan ibu pemilik rumahnya. Sakura menghela napas kecewa ketika mengetahui hujan deras langsung mengguyur Tokyo dengan cepat. Ia telat. Sepeda miliknya sudah basah tertimpa air hujan yang turun lebih cepat dari perkiraan.

Ia membuka tas punggungnya. Ada payung berwarna hitam besar yang selalu di bawanya dan jas hujan besar miliknya. Jarak antara rumah sakit dan warung ramen tak jauh dari sini. Sepedanya biarkan tinggal di sini terlebih dulu dan ia akan berlari menerobos hujan untuk membelikan sebungkus ramen titipan.

Sakura mengambil payung hitam itu cepat. Ia membukanya sambil melangkahkan kaki di undakan tangga kedua teras rumah sakit. Payung itu terbuka. Sakura tersenyum tipis sambil membenarkan posisi tas punggungnya. Ia berlari kecil keluar halaman rumah sakit.

Langkahnya terhenti saat mendapati ada sosok yang di kenalnya sedang berdiri memandangnya dari halaman besar rumah sakit. Mata hijaunya membulat terkejut melihat sosok Uchiha Sasuke yang kini sedang melangkah dengan langkah tegap mendekatinya.

"Haruno Sakura."

Suara itu. Suara yang selalu hadir di dalam mimpinya. Sudah dua minggu berlalu semenjak kejadian memalukan itu. Sakura tak ingin mengingatnya lagi. Sudah cukup kejadian itu menjadi bagian dalam mimpi buruknya.

"Y-ya?"

Sakura menjawabnya gugup. Tak ada perubahan berarti dari wajah datar milik lelaki tampan yang sedang berdiri di depannya sambil memegang payung hitam dengan warna senada seperti miliknya.

Tak ada pembicaraan berarti di antara keduanya. Hanya suara hujan yang mendominasi. Sakura menarik napas dalam-dalam. Berusaha menteralisir rasa gugupnya dan detak jantungnya yang kian menggila.

"Maaf, aku harus pergi ke warung ramen untuk membeli sesuatu." Sakura tersenyum tipis dan mulai melangkah pergi menjauhi tubuh Sasuke yang masih setia bergeming di tempatnya.

Napasnya terengah karena berlari. Uap karbondioksida terlihat jelas dari kedua lubang hidungnya. Hujan sudah berhenti sejak sepuluh menit lalu. Sekarang, ia harus kembali ke rumah sakit untuk mengambil sepeda miliknya.

Langkahnya lagi-lagi harus terhenti ketika mengetahui bahwa lelaki yang sama masih berdiri tegap di depan mobil hitam mewah sambil bersandar di sana. Uchiha Sasuke sedang menunggunya. Benarkah?

Membuang jauh-jauh pikiran asalnya, ia beranjak pergi. Mulai melangkah dengan pasti menuju halaman parkir dimana sepedanya berada.

Suara berat itu mengusik telinganya. Sasuke dengan samar memanggil namanya lagi untuk yang kedua kalinya. Sakura menoleh dan tersenyum tipis. Mencoba bersikap biasa.

"Aku ingin bicara padamu."

Suara itu. Sakura benar-benar tidak bisa melupakan suara berat itu bertahun-tahun lamanya. Ia masih ingat betul bagaimana ia jatuh cinta pada lelaki tampan yang sudah menjadi teman satu sekolahnya sejak duduk di bangku menengah pertama. Sampai takdir membawa mereka bersama lagi di bangku kuliah. Tidak, Sakura bukan termasuk pengagum abadi Uchiha Sasuke. Ia menyukainya. Itu saja. Tidak berniat mengikuti lelaki itu kemana pun ia pergi.

"Silakan, apakah kita perlu tempat untuk duduk atau sekedar minum the bersama?" Suara Sakura dibuat seramah mungkin. Ia bertaruh, wajahnya mungkin merona merah.

Sasuke menggeleng pelan. Helaan napas terdengar. Masih dengan posisi sama seperti awal, Sasuke mulai membuka pembicaraan.

"Menikahlah denganku."

Dan Sakura merasa waktu berhenti saat itu juga.

.

.

Lelaki itu menyandarkan punggung tegapnya pada mobil hitam yang di kendarainya. Pandangan mata elangnya masih lurus ke depan. Kosong. Mata kelam itu tersesat ke dalam arus deras kegelapan. Kedua tangannya tersimpan di balik saku celana kerjanya.

Ia mengeluarkan ponsel hitam dari saku celana kiri. Mata kelamnya memandang ponsel itu lama dan dalam. Tak lama, jemarinya mulai menari di sana. Menuliskan kata-kata yang membuat seseorang membaca pesan itu akan tersayat. Mendalami penderitaan yang sedang dialami lelaki malang ini.

"Aku di depan rumah sakit. Keluarlah, Sakura."

Sasuke tahu. Sangat tahu. Ia tidak akan pernah mendapat balasan apa pun. Pesan darinya bagaikan angin lalu yang menghilang bersamaan udara yang berhembus. Tak ada tujuan.

Lelaki itu kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Kepala ravennya yang sedari tertunduk kini kembali tegak menatap depan. Menunggu. Seperti yang di lakukannya dua tahun belakangan ini. menunggu seseorang yang tak akan pernah kembali.

.

.

Sakura mengerjapkan matanya berulang kali. Sasuke melamarnya? Tidak salah dengar?

"Maaf. Bisa kau ulangi?"

Sasuke mendengus. "Hn. Ku rasa kau masih punya pendengaran yang baik."

Sakura menelan ludahnya kasar. Mata hijaunya menatap mata kelam itu bingung sekaligus takut secara bersamaan.

"Aku membutuhkan jawabanmu sekarang."

Sakura terdiam.

"Aku tahu kau menyukaiku. Ini semakin mudah. Cepatlah. Waktuku tak banyak."

Karena Sakura tak tahu, anggukan kepala setujunya membawa takdir berkata lain pada dirinya. Kesalahan terbesar dalam hidupnya.

.

.

Sasuke menghela napasnya untuk kesekian kalinya. Mata kelamnya melirik pada pegawai rumah sakit yang satu-persatu mulai meninggalkan rumah sakit dna pekerjaan mereka.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Dan dirinya masih setia menunggu dengan sabar. Penantiannya. Ia berharap semuanya berbuah manis. Jauh di dalam lubuk hatinya ia mengharapkan Sakura keluar dari rumah sakit dan pulang bersama ke rumah dengannya.

Selama tiga tahun bersama, Sasuke tidak pernah bisa mengabulkan keinginan Sakura. Sekecil apapun itu. Penyesalan itu selalu menghantuinya. Menjadi bayangan gelap yang berdiri mengamati dari punggungnya. Merasuk ke dalam hati dan otaknya. Mengganggu semua pusat sarafnya. Sampai dirinya harus menjalankan terapi pengobatan di bawah naungan Tsunade, Dokter Psikis dan Kejiwaan yang terkenal di Tokyo.

Persetan dengan orang-orang di luar sana yang menyebut dirinya gila. Ia gila. Itu benar. Sasuke gila. Ia tak akan membantah tuduhan itu.

Bahkan Tsunade sudah hampir menyerah dengan kondisinya.

Dirinya pernah terjebak dalam dunia mimpi dimana ia berada dengan wanita yang sudah mengisi hidupnya selama tiga tahun lamanya. Waktu yang cukup lama tapi membekas dalam di hatinya. Ia terjebak, kebahagiaan dan cahaya itu terlihat nyata dan jelas. Hampir ia akan masuk ke dalam dunia mimpi itu selamanya jika tak ada Kakashi dan Tsunade yang menariknya kembali.

Karena Sasuke tak pernah ingin kembali.

.

.

Sudah dua tahun berlalu. Sakura tersenyum mengingat kejadian dimana lelaki pujaannya melamar dirinya secara tiba-tiba. Di tengah rintikan hujan kota Tokyo. Itu pengalaman yang sama sekali tidak bisa di lupakannya. Selamanya.

Lengan mungilnya terulur. Mengambil ponsel putih mungil miliknya. Ia mulai mencari daftar nama yang tersimpan di dalam sana.

Uchiha Sasuke, suaminya. Nama yang sedang di carinya.

Bibir tipisnya melengkungkan senyum tipis. Ia menekan tombol hijau untuk panggilan. Jeda dua menit, Sasuke menjawab teleponnya.

"Sasuke-kun! Bisakah kau menjemputku? Ku rasa hari ini akan hujan dan aku tidak membawa payung. Kendaraan umum sudah jarang terlihat," mata hijaunya memutar kanan dan kiri. Melihat kendaraan beroda empat atau bis umum yang biasa di tumpanginya. "Aku akan membelikanmu sup kari jika kau ke sini." Suaranya terdengar riang.

Helaan napas terdengar dari sana. Sakura sudah menebak jawabannya. Jawaban yang sama yang selalu di terimanya selama dua tahun ini.

"Tidak bisa."

Dan sambungan telepon itu tertutup secara sepihak dari Sasuke. Mata hijau yang tadinya cerah kini berubah seiring hujan yang turun membasahi kota Tokyo. Sakura menatap lirih layar ponsel miliknya sebelum menyimpannya di balik saku jas dokter. Tangannya mengadah ke depan. Air hujan membasahi telapak tangan pucatnya. Ia memejamkan matanya. Menahan gejolak rasa perih karena abaian dan penolakan.

"Kenapa seperti ini.."

.

.

Tepukan lembut di lengannya membuat kepalanya menoleh terkejut. Satpam rumah sakit dengan wajah ramahnya tersenyum pada Sasuke yang menatapnya sinis.

"Sudah malam, Tuan. Tak baik di sini. Jika ingin menunggu seseorang masuklah ke dalam. Jangan di luar. Udara malam ini dingin. Anda tidak memakai pakaian musim dingin anda."

Sasuke menatap satpam ramah itu dengan pandangan menyelidik. Ia memandang pintu masuk rumah sakit itu sekilas sebelum melangkah masuk ke dalam mobil.

Kepala satpam itu menggeleng pelan. Lelaki yang sama. Yang berdiri memandang rumah sakit dengan pandangan kosong. Menunggu seseorang yang tentunya tak ia tahu.

.

.

Sakura tertawa riang ketika Sasuke pulang ke rumah lebih cepat dari sebelumnya. Hari ini, hari dimana umur sang suami bertambah. Sakura tersenyum memandang kue besar yang terlihat indah buatannya.

Sasuke menaikkan alis satu saat sang istri menyapanya dengan riang. Mata kelamnya melirik ke belakang punggung Sakura yang menyembunyikan sesuatu di sana.

"Selamat ulang tahun!"

Teriakan Sakura yang nyaring membuatnya mengerutkan dahi. Ucapan selamat ulang tahun dari istrinya dan kejutan kecil lainnya berhasil mengejutkannya.

Senyum Sakura melebar di sana. Kedua tangan mungilnya terulur memberikan kue besar itu dan lilin besar di atasnya. Kedua matanya menyipit karena senyum. Sasuke memandang dengan datar pemandagan di depannya.

Senyum lebar dari bibir tipisnya perlahan mulai menghilang seiring tak ada respon apapun dari sosok di depannya. Sakura membuka matanya dengan pandangan tak mengerti.

"Hentikan kekanakkan ini."

Sasuke berkata tajam dan meninggalkannya sendiri di tengah ruangan. Para pelayan yang berdiri menyaksikan hanya memandang dirinya dengan pandangan iba. Sakura menggigit bibir bawahnya keras-keras. Mata hijaunya mulai perlahan tapi pasti mengeluarkan cairan suci yang sama sekali tak di inginkannya.

Penolakan dari sang suami yang membuat dirinya kembali hancur tak bersisa.

.

.

Sakura menarik napas dalam-dalam saat membaca majalah pagi yang menjadi langganannya selama tinggal di sini.

Dari tampilan depan sudah dapat di tebak. Topik yang diangkat kali ini adalah tentang suaminya, Sasuke.

Napasnya terasa semakin pendek saat lembar per lembar halaman terbuka. Foto Sasuke bersama kekasihnya, Shion terpampang jelas di sana. Mereka di luar sana tak mengetahui di balik kehidupan Sasuke sebenarnya yang sudah menikah. Sakura tahu, Sasuke menyembunyikannya dari dunia luar.

Karena pernikahannya hanya berdasarkan bisnis dan kekuasaan.

Shion saat itu sedang fokus dalam karir modelnya. Saat Sasuke datang melamarnya dengan tegas Shion menolaknya dan menyuruh Sasuke untuk menunggunya. Tapi, Sasuke tidak bisa. Uchiha Group yang di pegangnya harus segera ia miliki dan syaratnya ia harus sudah menikah sebelum sang ayah menghembuskan napas terakhirnya. Tepat setelah Sakura dan Sasuke melangsungkan pernikahan kecil yang hanya di hadiri oleh keluarga Sasuke sendiri.

Sakura tak kuasa menahan air matanya yang mulai mengalir lembut di pipi pucatnya. Kebenaran itu menampar batin dan fisiknya. Seharusnya dari awal ia tidak mengetahuinya. Tidak pernah. Tapi apa daya, takdir dan benang merah yang sudah digariskan berkata lain.

Selama mereka menikah, Sasuke tak pernah mencintainya. Tidak, menganggap dirinya ada pun tak pernah dilakukan lelaki itu. Sakura hanyalah barang antik di dalam rumah mewah ini untuk sekedar dilirik. Tidak dianggap penting keberadaannya.

Tiga tahun bersama, Sasuke mengabaikannya. Tak ada kata-kata mesra. Hanya cacian dan makian kata-kata kasar yang selalu keluar dari bibir lelaki itu. Lelaki yang menjadi cinta pertamanya dan orang terakhir yang akan menjadi teman hidupnya.

Sakura tahu, Sasuke bermain api di belakangnya. Ia tak bisa berbuat banyak. Karena kembali pada prinsip awal, ia takut kehilangan. Sudah cukup orang tuanya pergi. Ia tak ingin Sasuke pergi dari hidupnya.

Egois kah? Tidak. Sakura hanya mempertahankan apa yang menjadi miliknya. Berbeda dengan Sasuke yang dengan mudahnya mencampakkan dirinya.

Sakura berlari ke kamar tidur yang sengaja diberikan Sasuke untuknya. Mereka tidak tidur bersama. Selama tiga tahun menikah, Sakura tidak pernah tidur bersama suaminya.

Dan lagi-lagi yang hanya bisa di lakukannya adalah menangis.

.

.

Sasuke membanting pintu kamarnya kencang ketika suara panik Kakashi dan Tsunade dari balik pintu mengganggunya. Pecahan kaca dari lampu tidur berhasil membuat kedua orang itu berlari untuk melihat keadaan.

"Pergi dari sini!"

Teriakan keras Sasuke dari dalam kamar tidak berhasil meredamkan rasa panik keduanya. Kakashi bahkan mengancam akan mendobrak pintu secara paksa jika Sasuke berani berbuat macam-macam di dalam.

"Pergilah, kumohon." Suara Sasuke terdengar lebih parau dari sebelumnya. Kakashi terdiam di balik pintu. Tsunade yang melihat Kakashi di samping tubuhnya juga ikut terdiam.

Karena tak lama yang mereka dengar adalah suara tangisan tertahan dari balik pintu kamar.

.

.

"Kau mau pergi kemana?"

Suara khas bangun tidur dari wanita berambut merah muda itu menghentikan langkah cepatnya. Sasuke menoleh dengan wajah dingin, membuat wanita itu berjengit terkejut ketika ditatap seperti itu.

"Bukan urusanmu."

Sakura berlari mengejar saat tubuh tegap itu berlari kecil menuju pintu utama. Menahan lengan kekar itu kuat-kuat.

"Ini tengah malam, jangan bertindak bodoh!" Suara Sakura meninggi satu oktaf. "Kau mau pergi kemana?"

Sasuke menghentakkan tangannya kasar. Membuat pegangan Sakura terlepas begitu saja.

"Shion kecelakaan dan ia keguguran."

Suara Sasuke tercekat di sana. Sakura mundur beberapa langkah ke belakang. "Kecelakaan? Dimana? Bisakah aku ikut?"

Sasuke tertawa mengejek. "Kau pikir kau mau apa?"

Sakura menggeleng dan melangkah ke depan. Berhadapan dengan sang suami. "Kau tak ingat kejadian setahun lalu? Saat dirimu kecelakaan mobil dan kau sekarat? Kau tidak mengerti bagaimana perasaanku waku itu melihatmu terbaring dengan darah di seluruh tubuhmu. Hidupku terasa terhenti saat itu juga, Sasuke. Aku tak ingin kejadian itu terulang karena rasa panikmu."

Sasuke memandang wajah sang istri dingin. Ia mendengus sebagai jawaban dan pergi menuju pintu lalu menutupnya kasar. Mengunci dari luar pintu. Karena tak lama, teriakan parau Sakura terdengar hingga luar. Sasuke menulikan pendengarannya. Kata-kata Sakura berhasil menampar pelan hatinya.

Mobil hitam itu melaju kencang. Menembus jalan besar Tokyo yang tampak telrihat renggang. Mengingat ini adalah waktu untuk beristirahat.

Sakura jatuh terduduk. Kedua tangannya terkepal di depan dada.

"Ya Tuhan, semoga Sasuke-kun baik-baik saja."

.

.

Sasuke memandang datar telapak tangannya yang mulai berhenti mengeluarkan darah segar. Pecahan kaca berserakan di lantai kamarnya. Ia tak peduli.

Ia berdiri. Melangkah lemah pada ranjang besar miliknya. Menatap sekotak kecil kotak musik yang di berikan Sakura di akhir pertemuan mereka. Lengannya terulur, menekan tombol berwarna merah dan selanjutnya kotak musik itu berbunyi lembut. Mengalunkan nada-nada penghantar tidur baginya.

.

.

"Jika aku pergi, jangan cari aku." Sasuke menoleh cepat pada wanita berambut merah muda yang sedang berbaring di atas rumput hijau sambil memejamkan matanya. Senyumnya berkembang di wajah mungilnya.

"Kenapa?"

Wanita itu membuka matanya dan berputar untuk memandang wajah tampan di sampingnya. Lengannya terulur untuk menyentuh pipi itu. "Tak perlu mencariku, tanyakan saja pada hatimu dimana aku berada," Wanita itu terkekeh pelan. "Karena diri ini selalu berada di sini." Lengan itu turun dan menyentuh pelan dengan jemari telunjuknya pada dada bidang yang terbalut kemeja putih milik lelaki tampan itu.

Lelaki itu memandang wajah cantik itu lama. Seiring senyum yang mulai perlahan terbentuk di bibir tipisnya.

.

.

Sasuke terbangun ketika sinar matahari mulai masuk ke celah-celah jendela kamar. Mata kelamnya membuka dan langsung terjaga. Mendapati Kakashi dan Tsunade yang berdiri di sampingnya.

"Kau hampir membunuh dirimu lagi."

Tsunade menekan luka di telapak tangannya yang sudah terbalut perban putih itu agak keras. Membuatnya meringis menahan perih.

"Sasuke, sudah ku peringatkan beribu kali untuk tidak menyakiti dirimu sendiri. Kau sudah mencoba berbagai cara untuk melenyapkan nyawamu. Kau pikir dengan cara seperti itu, Sakura akan bahagia melihatmu? Begitu?"

Sasuke mendengus tertahan. "Hn. Dan kau pikir jika aku tidak melakukan hal itu, Sakura akan kembali?"

Tsunade terdiam. Mata coklat madunya melirik Kakashi yang memandang Sasuke prihatin.

"Tidurlah. Aku sudah siapkan bubur hangat. Kau harus banyak istirahat."

Tsunade menyentuh semangkuk bubur dengan uap hangat yang masih terkepul di atasnya. Sasuke memandang bubur itu datar dan membantingnya kasar hingga bubur malang itu jatuh berserakan di lantai kamar.

"Pergi dari sini!" Teriakan itu nyaring terdengar. Memekakkan telinga bagi yang mendengar. Kakashi dengan sigap mendekat. Menahan kedua tangan kekar Sasuke saat Tsunade dengan cepat menyuntikkan cairan penenang ke dalam tubuh Sasuke.

"Kapan ia bisa sembuh?"

Tsunade menggeleng lemah. Ia membalikkan tubuhnya menjauhi tubuh besar tak berdaya itu.

"Hanya waktu yang bisa menjawabnya."

.

.

Sudah seminggu berlalu dan Sasuke tak kunjung pulang ke rumah. Sakura paham ini salahnya. Saat dirinya datang berkunjung ke rumah sakit untuk menjenguk Shion dan mendapati Sasuke memandangnya tak suka. Sakura menyesalinya.

Ponsel Sasuke tak aktif. Hanya bunyi pesan suara untuk meninggalkan pesan. Sakura sudah beribu kali mencoba berkomunikasi tapi gagal. Sasuke benar-benar menghindarinya.

Sebelum lelaki itu benar-benar pergi, ia mengucapkan kata untuk bercerai dan pengacara pribadinya akan datang untuk keterangan lebih jelasnya lagi. Ketakutannya selama ini akan menjadi nyata. Sasuke benar-benar akan menjauhkan dirinya dari lelaki itu.

Lelaki yang sama sekali tak pernah bisa di sentuhnya.

Sakura menghembuskan napas kasar. Kepalanya ia sembunyikan dalam lipatan tangan mungilnya di atas meja.

Sakura mengambil kue coklat tanpa rasa manis berlebih dari dalam kulkas untuk sang suami. Hari ini ia bertekad untuk datang ke kantor Sasuke. Meminta maaf dan mencoba memperbaiki semuanya.

Ia tersenyum memandang pantulan dirinya di cermin. Tak ada yang salah kali ini. Biarlah ia berdandan untuk Sasuke hari ini.

Sakura megambil tas kecil miliknya dan berlari menuju halte bus. Sepuluh menit menunggu bus tak kunjung datang. Sakura memanggil taksi yang melintas di depannya. Kemudian ia menaiki taksi tersebut dan berlalu pergi.

.

.

"Bisakah saya bertemu pimpinan besar Uchiha?" Sakura bertanya pada wanita berambut merah berkacamata yang memandangnya dengan tatapan menilai.

"Tidak. Tuan Sasuke sedang tidak bisa di ganggu hari ini."

Sakura menggelengkan kepalanya berusaha menyakinkan. "Hanya sepuluh menit ku mohon," suaranya terdengar memelas di sana.

Wanita itu tetap menggeleng tegas sebagai jawaban.

Sakura menarik napas dalam. Tak ada gunanya berdebat di sini. Sudah dua puluh menit ia berdiri Sasuke tak kunjung muncul. Sakura menyerahkan isi bungkusan kue itu pada wanita berambut merah yang memandangnya heran.

"Berikan ini pada Tuan Sasuke," Sakura menyerahkan isi bungkusan itu. "Terima kasih. Maaf mengganggu." Sakura mundur perlahan dari meja sekretaris itu dan melangkah keluar pintu ketika menyadari ada sosok yang sangat di kenalnya sedang berbicara di belakangnya.

Sakura menoleh cepat. Mendapati Sasuke sedang berbicara pada wanita berkacamata itu. Ia terdiam. Memandangi sosok itu dalam sebelum mata mereka saling bertemu satu sama lain.

"Sasuke-kun!"

Sakura berteriak ketika tubuh itu melewatinya begitu saja menuju teras kantor. Sakura berlari mengejar hingga lengannya menangkap lengan kekar itu dan memegangnya erat.

"Kita perlu bicara."

Sasuke menaikkan alis satunya sebagai respon. Tanpa sadar, Sakura melepaskan genggamannya dan memandang wajah itu dalam.

"Kenapa kau tak menjawab telepon dariku? Pesan atau apapun? Kau tinggal di mana? Kenapa kau menghindariku?"

Suara Sakura berubah serak. Menahan tangis karena tak ingin dilihat pegawai kantor yang sedang berlalu-lalang melalui mereka berdua.

"Jawab aku, Sasuke," suara itu semakin samar terdengar. "Kenapa kau lakukan ini?"

"Kau mempermalukan kita berdua."

"Malu katamu? Kenapa?"

Sasuke memegang lengan mungil itu kencang. Meremasnya seakan ingin meremukkannya. "Kita sudah berpisah."

"Sejak kapan?!" Sakura berteriak tanpa sadar. Membuat kepala raven itu menatap terkejut.

"Sejak kapan…" berubah menjadi gumaman samar yang hampir tak terdengar.

"Seminggu lalu. Kau tinggal menanda tangani perjanjian cerai dan selesai. Aku meninggalkan dua kartu atm atas nama dirimu dan hidupmu akan tercukupi."

Sakura menggeleng tegas. "Aku tidak butuh uang atau apapun darimu," ia menarik napas dalam. "Aku minta maaf, ku mohon maafkan aku."

Sasuke menggeleng pelan. "Keputusanku sudah bulat. Selamat tinggal."

Sasuke berbalik. Meninggalkan Sakura dalam kebisuan tanpa kata. tubuh mungil itu berdiri bergetar.

"Aku mencintaimu."

Sasuke bisa mendengar jelas ucapan samar itu sebelum dirinya benar-benar melangkah jauh menuju parkiran mobil milik direksi. Kepalanya menatap lurus ke depan. Tidak menoleh ke belakang lagi dan ia sendiri tak pernah ingin tahu bagaimana keadaan Sakura saat ini.

Tangannya terulur ketika menyentuh pintu mobil. Bunyi decitan rem keras dan benda terjatuh dengan suara tak kalah kencangnya berhasil membuatnya terdiam. Ia menoleh ke belakang dan melihat pegawai kantornya sedang berlari menuju luar gedung. Sasuke mengangkat bahu tak peduli dan mulai menyalakan mesin mobilnya.

Kemacetan di depan gedung membuat ia kesal. Kemudian ia turun, membanting pintu mobil kasar dan melihat keadaan yang terjadi.

Sekerumunan orang membentuk lingkaran di depan sana. Melihat sesuatu yang hampir membuat sebagian dari mereka berteriak histeris.

Sasuke mempercepat langkahnya. Melihat situasi yang terjadi. Ia menerobos masuk ke dalam kerumunan dan menemukan sesuatu yang sama sekali tak pernah di sangkanya.

Sakura berbaring dengan darah yang keluar dari seluruh tubuhnya. Napasnya terputus-putus. Beberapa dari mereka membantunya. Meneriakkan kata 'bertahanlah' dan Sasuke merasa ia tak sanggup lagi untuk berdiri.

Suara sirine ambulance terdengar. Mereka dengan hati-hati menggendong tubuh Sakura ke dalam ambulance dan tak lama ambulance itu berlalu, membawa tubuh Sakura yang tak berdaya ke rumah sakit.

Sasuke bergeming di tempatnya. Bahkan di saat seperti ini ia tak bisa melakukan apapun. Telinganya samar-samar mendengar percakapan dari dua orang yang melaluinya.

"Sepertinya wanita itu sudah meninggal. Tidak terdengar detak dan deru napasnya tak telrihat."

"Tidak!" Suara Sasuke yang berteriak membuat orang-orang yang masih berdiri di sana memandangnya heran. Dengan cepat, ia berlari menuju mobilnya dan melaju dengan kecepatan tinggi tak terkendali.

.

.

Sasuke berlari sepanjang lorong rumah sakit. Mencari keberadaan Sakura. Ia berlari menuju ruang UGD dan di sana Sakura sedang di tangani.

Mata kelamnya tak bisa menahan cairan hangat lagi. Sakura sedang bertaruh nyawa di dalam sana. Tak lama, teriakan histeris dari Ino di balik punggungnya membuat dirinya terkejut.

Tamparan keras dari Ino menyadarkannya dari lamunan.

"Brengsek! Bajingan! Kau yang seharusnya mati bukan sahabatku!" Ino berteriak dengan cacian kasar yang di lontarkannya pada Sasuke di depannya. Wajahnya sudah basah akan air mata.

"Ku bunuh kau nanti! Kau pikir aku tak tahu apa yang selama ini kau lakukan pada Sakura, hah? Kau yang bertanggung jawab akan semua ini, Uchiha. Kau yang seharusnya tertabrak bukan Sakura!"

Sasuke terdiam. Tubuhnya mundur secara perlahan dan menabrakn dinding rumah sakit lalu jatuh terduduk. Menyembunyikan wajahnya di lipatan tangan dan lututnya.

"Kau brengsek! Air matamu tak ada gunanya. Pergi jauh dari-dari kehidupan sahabatku!"

Ino masih meneriakinya dengan kata-kata kasar yang memang pantas di tunjukkan olehnya. Sasuke tak menjawab. Hanya bisa terdiam. Menahan jutaan gejolak rasa bersalah di hatinya.

.

.

Dua hari berlalu, dirinya hanya bisa memandang Sakura dari balik pintu kamar inap wanita itu. Ia hanya bisa datang saat Ino tak ada. Wanita itu akan dengan kasar mendorongnya menjauh dan mengusirnya dari rumah sakit. Sampai sosoknya hilang tak terlihat lagi.

Sasuke menghela napasnya. Kedua matanya terlihat hitam dan membengkak. Dirinya menangis. Lelaki macam dia ini? menangisi kesalahannya.

Sasuke perlahan mundur menjauhi kamar dan berlari menjauh. Tak berani memandang wajah kesakitan Sakura yang terpasang alat-alat medis berat dengan tegangan listrik di sana.

.

.

Sasuke mendorong kamar rawat itu keras. Tak ada sosok Sakura di sana. Tidak ada siapa-siapa. Kosong. Sakura sudah pergi dari sini. Tapi kenapa bisa? Siapa yang membawanya pergi?

Sasuke berlari seperti orang kesetanan kesana kemari emncari dokter yang menangani Sakura. Dan bertanya kemana wanita itu pergi.

Dokter tak menjawab apapun hanya sebatas kata maaf dan berlalu pergi. Meninggalkan kekosongan dan ribuan pertanyaan di benaknya.

Tidak bisa. Sasuke menghempaskan punggungnya kasar pada pintu kamarnya dan jatuh terduduk. Menangis keras-keras karena kesalahannya. Tak peduli teriakan Kakashi dari balik pintu kamar. Ia tak peduli.

Karena semenjak saat itu, hidupnya berubah. Menjadi pribadi yang tenggelam dalam kubangan luka dalam dan kegelapan bersama.

.

.

Sasuke memandang cincin dan selembar kertas erat-erat. Cincin emas pernikahannya dengan Sakura yang sedang di genggamnya.

Aku akan mengingat hal-hal kecil kebahagian kita, Sasuke-kun! Jaga dirimu baik-baik, ya.

Aku mencintaimu, selamanya.

Kertas dengan setitik air mata di bawahnya sudah cukup menamparnya saat dirinya membaca surat itu. Surat dengan tulisan tangan istrinya semakin membawanya ke dalam kubangan luka dalam dan rasa bersalah yang tak berdasar.

Kata-kata Sakura yang menyatakan cinta padanya selalu berputar di kepalanya. Menjadi melodi pengiring dalam hidupnya. Alunan musik yang entah kapan terhenti.

Sasuke menyandarkan punggungnya pada mobil hitam miliknya. Ia bersyukur bisa lolos dari pengawasan Kakashi dan Tsunade yang semakin diperketat karena keadaan dirinya yang semakin mengkhawatirkan.

Sasuke menghela napasnya. Mata kelamnya memandang pintu keluar rumah sakit. Seperti biasa. Sudah dua tahun berlalu. Keberadaan Sakura tak pernah di ketahui selama ini. Wanita itu menghilang bagai di telan bumi. Tak berbekas.

Sasuke menggenggam cincin dan selembar kertas di masing-masing kedua tangannya. Jam sudah menunjukkan pukul Sembilan malam. Masih belum terlalu malam.

Kepalanya tertunduk. Menatap tanah di bawahnya kosong. Harapannya masih sama, dapat menemukan di mana Sakura berada. Hanya itu. Doa dan harapannya hanya itu. Ia tak ingin apapun lagi.

Semenjak Shion meninggalkannya tanpa berita dan kabar hidupnya kian hancur. Ditambah keadaannya yang sedang tak baik dengan Sakura saat itu. Bertambah beban dalam pikirannya.

Kepala ravennya mendongak. Menatap dalam pada pintu masuk rumah sakit. Ia hendak membalikkan tubuhnya ketika mengetahui ada sosok wanita yang baru saja keluar dari pintu keluar sambil tersenyum.

Wanita itu.

Sasuke tidak salah lihat. Ia mengenal jelas siapa wanita itu.

Kepala wanita itu mendongak. Menatap halaman dan langsung berputar memandang ke arahnya. Kedua mata hijaunya membulat terkejut. Wajahnya berubah seketika. Senyumnya menghilang dari wajah cantiknya.

"Sasuke.."

"Sakura.."

Dan keduanya merasa waktu terasa lama berputar ketika kedua mata berbeda warna itu saling memandang terkejut.

.

.

.

.

.


"Karena cinta tahu kemana ia harus pergi.."


.

.

.

.

.

End?

Author Note:

Akhirnya fic OS jadiiiiii. Ini sebenarnya buat sepupuku yang sudah setahun pergi meninggalkan kami di sini. Semoga tenang di sana, kami semua mencintaimu :")

Ficnya gagal total ya? saya gatau feelnya gimana. Saya sendiri buatnya sambil nahan nangis kalau ingat kejadian setahun lalu. Hampir sebagian diambil dari sana dan sisanya ide saya. Huhu

Saran dan reviewnya ditunggu. Terima kasih bagi yang sudah mampir untuk membaca :")

Love,

emerallized onyxta