Disclaimer: Takahashi Rumiko

Author: zephyrus 123

Warn: SesshouRin, oneshot.

.:Sejauh Apa Pun:.

Sesshoumaru tumbuh bersama rasa bencinya terhadap manusia. Rasa itu seolah abadi dan telah menyatu dalam aliran darah dan serat dagingnya. Manusia membuat ayahnya berpaling, manusia membuat ayahnya lemah, dan kelemahan itulah yang membuatnya mati secara menyedihkan. Sejak tahu ayahnya telah tiada, sejak tahu ia tidak lagi bisa melampauinya, kebencian sempurna menyelimuti dirinya.

Sesshoumaru merasa yakin ia masih membenci manusia sebelum di suatu malam yang berawan ia terpekur bersama pepohonan bisu. Wujud Rin yang sedang tertidur berkilas di iris emasnya. Jika ia kembali dihadapkan pada keyakinannya, saat itulah ia merasa jantungnya mengatarkan impuls nyeri.

Semesta seperti sedang mempermainkan dirinya dalam pusaran kabut. Ia tidak lagi dapat menentukan batas kebencian dan perasaannya. Ke mana pun ia melangkah, terasa begitu membingungkan dan menyesatkan.

Rin membuatnya tidak lagi dapat melihat secara jelas partisi antara manusia dan siluman.

"Tuan Sesshou—maru…?"

Rin menjatuhkan tanaman yang baru saja ia petik. Untuk sesaat ia tidak memercayai penglihatannya. Dengan sekejap ia berhambur memeluk Sesshoumaru yang tidak pernah memperlihatkan dirinya sejak ia dititipkan pada Nenek Kaede.

"Rin…." Sesshoumaru tidak dapat menampilkan ekspresinya, namun semua luapan seperti ingin berhambur keluar. "Kau tumbuh." Hanya dua kata yang mewakili ketertakjubannya pada makhluk yang tidak pernah bisa ia tolak kehadirannya.

Sesshoumaru pun sadar semesta benar-benar sedang menjungkirbalikkan takdirnya.

Umur Rin menginjak delapan belas tahun, namun tawa polos itu tidak pernah berubah di mata Sesshoumaru.

Ia berkata, "Dulu aku hanya setinggi lutut Anda," dengan nada antusiasme, "sekarang sedada Anda!"

Sesshoumaru memang tidak pernah memperlihatkan senyumannya pada gadis itu, namun ia tidak akan berpikir dua kali untuk membunuh siapa pun yang berani melunturkan senyumannya.

"Maaf, kali ini aku tidak membawakanmu apa pun."

Rin menggeleng. "Aku lebih senang bertemu dengan Tuan Sesshoumaru daripada diberi hadiah."

Sesshoumaru tidak merespons. Kebiasaan membuat gadis itu dapat memakluminya.

Rin tidak tahu kapan pastinya rasa sukanya berubah menjadi rasa kasih sayang yang mendalam. Pikirannya pun tidak mampu lagi menghalangi rasa yang terus berkembang itu, walaupun ia tahu mencintai seorang siluman bukan takdir yang pantas untuk seorang manusia.

"Lebih baik kita ke desa. Nenek Kaede pasti juga ingin bertemu dengan Anda."

Daiyoukai itu masih terpaku pada pijakannya. Rin berhenti melangkah ketika tahu tuannya bergeming. Ia lalu kembali dengan mencoba menarik Sesshoumaru serta.

Sesshoumaru membalas genggaman tangan Rin dengan gerakan kaku. Gadis itu lantas memandangnya dengan tanya. Sesshoumaru hanya menggeleng. Bukan itu tujuannya bertemu Rin.

"Temani aku di sini. Aku bukan Inuyasha yang setengah siluman. Penduduk desa akan merasa terancam dengan kehadiranku."

Sangat bukan Sesshoumaru ketika ia dapat mempedulikan orang banyak. Tapi ia merasa tuannya sedang berusaha sedikit demi sedikit menggunakan hatinya. Betapa tidak dugaan itu muncul saat daiyoukai itu mencoba menggenggamnya dengan ringan dan berhati-hati pada kuku-kuku tajamnya agar tidak menggores kulit Rin.

Ia pun mengerti untuk tidak memaksa.

.:123:.

"Dari sini Anda bisa melihat desa secara jelas." Rin menunjuk salah satu rumah. "Itu rumah Nenek Kaede. Lalu di sebelah sana, ada rumah Miroku dan Sango. Anak mereka sudah—"

Sambil berpangku pada tuannya, Rin terus berbicara seolah ia tidak mengetahui apa pun. Sejak sepasang ain emasnya tertambat pada figur Rin, ia tidak lagi mendengarkan gadis itu. Ia telah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Pikiran egosentris yang sempat tertahan.

Untuk kali ia tidak ingin menolak pusanya. Pusa untuk memiliki Rin seutuhnya.

Ketika Rin membalikkan tubuhnya untuk memastikan Sesshoumaru masih mendengarkan, di saat itulah tuannya memeluk erat dirinya. Rin terdiam cukup lama. Takut-takut kalau ia berbicara, daiyoukai itu akan melepaskannya.

Sesshoumaru mengabaikan harga dirinya sebagai daiyoukai dan memilih hatinya untuk menuntunnya. Ia lalu melonggarkan pelukannya. Satu tangan kasarnya mulai bergerak ke wajah merona Rin, mengusapnya sepelan mungkin seolah gadis itu terbuat dari porselen.

Tidak lama, ia mendekatkan wajah hingga yang dapat dilihat Rin hanya kedua iris emas cemerlangnya. Gadis itu hampir lupa cara bernapas ketika tuannya itu mulai menjilat dahi dan salah satu matanya yang kemudian terpejam pelan.

"Tu-Tuan—"

Sesshoumaru menghentikan gerakannya. Rin telah sempurna memerah.

"Tubuhmu memanas; kau sakit?"

Walaupun umurnya telah melewati ratusan tahun, ia masih terlalu awam dalam hal menginterpretasikan perasaan manusia. Rin pun terkekeh melihat kerutan halus muncul di kening Sesshoumaru.

"Tidak, Tuan, bukan begitu. Anda masih harus banyak belajar tentang manusia."

"Aku hanya mengerti pada apa yang bisa kulakukan."

Dengan wajah yang masih memanas, kali ini Rin memberanikan diri untuk mengelus wajah tuannya. Tangannya terlihat kontras pada wajah pucat Sesshoumaru yang tidak berubah sejak terakhir kali mereka bertemu.

"Manusia tidak menjilat, Tuan."

Dengan tarikan napas dalam, ia lalu mendekatkan bibirnya pada bibir tuannya yang seperti dipoles es. Begitu dingin, sedingin hatinya yang di sisi lain juga menyimpan kepolosan.

Sesshoumaru pun cepat belajar; ia membalas ciuman itu cukup dalam. Hingga di suatu detik, Rin kehabisan napas dan melepaskan pagutannya. Sesshoumaru, dengan wajah yang masih datar, tampak masih baik-baik saja.

"Aku menyakitimu?"

Rin menggeleng sambil tersenyum. Baginya tidak ada perasaan yang lebih menyakitkan daripada harus menunggu bertahun-tahun tanpa adanya kabar.

"Matahari hampir terbenam, kau harus pulang."

Kalimat yang akan mengantarkan Rin pada perpisahan, namun gadis itu tidak lagi mengeluh. Meskipun Sesshoumaru tidak dapat mengungkapkan apa yang ia rasakan, tetapi dengan apa yang dilakukannya tadi, telah cukup untuk menjawab segala kekhawatiran Rin; bahwa suatu saat nanti tuannya akan kembali padanya, menemuinya, dan mengajaknya melihat sisi lain dunia yang masih terselubung misteri.

Ia lalu bangkit diikuti Sesshoumaru.

"Rin."

Rin menoleh, mendapati Sesshoumaru mengulurkan tangannya. Sesshoumaru tahu gadis itu tidak pernah membutuhkan kehangatan, hanya dirinyalah yang membutuhkannya.

"Aku akan mengantarmu sampai di desa."

Dan Rin pun tahu ia tidak pernah lelah menggenggam jemari dingin itu.

Sejauh apa pun, Sesshoumaru akan tetap kembali pada hatinya yang tertinggal, pada manusia yang pernah ia benci, pada rasa yang membuatnya luluh.

Owari, Fin, Tamat—