Oke, saya ini hard die fans Taylor Swift. Oleh sebab itu, beberapa dari lagunya menginspirasi saya sebagai ide fic. Dan lagu If This Was A Movie ini adalah salah satu favorit saya! T^Tb Dengarkan lagu itu biar baca fic ini makin greget(?) :3

Naruto © Masashi Kishimoto

Inpsired by, "If this was a movie", a song by Taylor Swift

No original lyrics mentioned

Warning: AU, (little bit) OoC, minim dialog, deskripsi membludak.

A SasoSaku fanfic for:

Crack Pairing Celebration Challenge

And

SasoSaku fans (Flacher)

Enjoy

-oOo-

Sore itu adalah pertengahan musim gugur. Langit tampak begitu gelap dan kelabu. Matahari tertelan di balik mendung-mendung yang menggantung rendah itu. Udara dingin, angin berhembus lirih menerbangkan dedaunan yang telah kering dan mati. Pakaian musim panas terganti dengan mantel atau jaket yang lebih mampu menghangatkan diri.

Dua emerald itu memandang ke arah jendela kaca di kamarnya. Pemandangan khas musim gugur di luar yang sering dan biasa ia lihat setiap tahunnya. Beberapa orang tampak berjalan kaki melintasi jalan di depan rumahnya, kendaraan silih berganti bergulir di sana pula. Meskipun heater di kamarnya telah ia pasang, namun tubuhnya masih menggigil dingin. Bibirnya terasa beku. Bahkan jemarinya merasakan dingin yang sama ketika secara pelan ia menyentuh permukaan kaca jendela itu.

Dan tak peduli berapa lama ia menatap pemandangan di luar, tak peduli secermat apapun ia meneliti satu persatu orang yang ada, apa yang diharapkannya tak muncul juga.

Pemuda itu tak ada. Tak ada helai merah di sana. Tak ada sosok familiar yang berdiri di halaman depan rumahnya. Mendongak, mengarahkan wajah ke jendela kamarnya.

Menantinya.

"Sasori-kun."

Tak peduli ia telah bersumpah untuk tidak menyebut nama itu lagi, apa daya hari ini sumpah itu telah ia langgar untuk kesekian kali. Hatinya merasa kosong kembali, pecahan yang susah payah ia rekatkan kini tercerai berai berantakan lagi.

Ia merindukannya.

Ia menurunkan pandangan ketika matanya mulai memanas. Ia menggelengkan kepala pelan, seakan berusaha mengibaskan bayangan wajah itu yang telah melekat erat di tiap sel memori otaknya. Menarik napas dalam-dalam, tak peduli justru hal itu membuatnya ingin jatuh dan menangis saat itu juga.

Ia merindukannya.

Terlalu lama. Terlalu lama ia merasakan semua ini di tiap harinya. Terlalu lama ia tidak menatap lagi wajah itu, menikmati senyum tipis itu, mendengar suaranya yang ringan ketika tertawa. Terlalu lama ia hanya bisa menanti datangnya keajaiban yang rasanya setiap hari justru semakin jauh dari jangkauannya.

Betapa ia merindukannya.

Dari sudut pandang matanya, ia melihat sesuatu bergerak ke arah rumahnya. Ia kembali menatap kaca jendela, dan sepasang emeraldnya yang telah basah dan menghangat, akhirnya meneteskan dua bulir kristal cair ketika menatap apa yang kini bergerak mendekati kediamannya.

Tepatnya, siapa yang tampak tengah berlari menuju ke rumahnya.

Helai merah berantakan oleh sapuan angin musim gugur. Wajah putih yang sangat ia kenali bahkan dalam mimpi. Dan sepasang hazel yang bisa ia lihat menatap ke arah jendela kamarnya yang berada di lantai dua rumahnya ini.

Hazel terhangat yang pernah ia tahu dan temui.

"SAKURA!"

Teriakan itu ia dengar. Bagaikan keajaiban ia hadir di depan sana. Bagaikan terkabulnya doa yang terus ia panjatkan selama enam bulan terakhir, Sakura kembali mendapatinya berdiri di sana.

"SAKURA!"

Bagaikan adegan di film, pemuda itu akhirnya berlari ke depan rumahnya, berdiri menunggu di halamannya.

Kembali padanya.

Tanpa pikir panjang, Sakura berbalik dan segera berlari untuk keluar dari kamarnya.

Bagaikan keajaiban yang terjadi di film yang memiliki akhir yang indah, Sasori Akasuna kembali ke depan rumahnya setelah enam bulan ia lepas dari jangkauan tangan dan matanya.

-oOo-

Sasori dan Sakura—dari awal, banyak teman-teman mereka yang bilang bahwa dari nama saja mereka sudah serasi. Berjodoh, beberapa bilang. Namun tiap mereka berdua mendapatkan ucapan demikian, mereka hanya tertawa dan bilang bahwa teman-teman hanya mengada-ada. Sasori dan Sakura hanya sahabat sejak masa SMA. Sahabat yang menghabiskan banyak waktu baik di kampus atau luar kampus bersama. Sahabat yang tidak menyimpan rahasia dari yang lain. Sahabat yang lebih memilih menghabiskan malam minggu atau Hari Valentine berselimut berdua dan menonton film di apartemen Sasori. Sahabat yang membuat jantung Sakura melewatkan satu detakan ketika Sasori menggenggam tangannya.

Sakura hanya sahabat yang kerap mendapatkan senyum tipis namun jarang dari Sasori, menyinggahi mimpi-mimpi indahnya.

Awalnya Sakura mencoba menampik semua. Mencoba tetap bersikap naif dan membodohi logika dari bisikan hatinya. Sasori hanya sahabat. Hanya sahabat. Dan hanya sahabat—kalimat itu kerap terucap bagai mantera. Namun tidak—ternyata. Sasuke dan Naruto adalah sahabat Sakura, bahkan dari kecil dan jauh lebih dekat daripada ia dan Sasori. Namun Sakura tidak merasakan debaran gila di balik tulang rusuknya tiap Sasuke atau Naruto menatapnya. Sakura tidak pernah berandai betapa halusnya rambut sahabatnya jika ia menyisirkan jemarinya di sana. Dan rasa hangat dan nyaman yang khas itu hanya ia dapatkan tiap ia bersama dengan Sasori, bukan dari kedua sahabatnya yang lain.

Sejak itulah, Sakura menyadari semuanya. Bisikan hatinya yang semula teredam oleh penyangkalannya, kini kembali ia dengar dengan lebih keras dan nyata.

Bahwa ia mencintai sahabatnya, Sasori Akasuna.

-oOo-

Salah satu hal yang paling utama yang menyatukan Sasori dan Sakura sebagai dua sahabat yang paling dekat adalah hobi. Benar kata orang, kau bisa mudah akrab dengan orang asing jika kalian memiliki ketertarikan pada hal yang sama. Ketika Sakura mengetahui bahwa Sasori adalah penyuka film, sama sepertinya, maka hanya butuh waktu waktu tiga minggu bagi mereka untuk menjadi sahabat dekat seakan dari kecil lamanya.

Bertukar koleksi DVD menjadi hal rutin yang mereka lakukan. Menghabiskan malam minggu atau liburan dengan pergi ke bioskop atau melihat film di kediaman salah satu, kerap mereka lakukan. Obrolan keduanya di waktu senggang pasti tidak akan jauh-jauh dari film—jika sudah demikian, mereka akan terlihat begitu semangat, begitu terlarut dalam percakapan, dan tak menyadari atau peduli pada hal lain. Sakura kerap berpikir, bahwa mungkinkah pekerjaan sebagai kritikus film akan menyenangkan untuk mereka di kemudian hari?

"Di series yang pertama dan kedua film ini memang bagus. Aku bahkan menonton 3 kali DVD nya selama 1 bulan," ucap Sakura ketika mereka berada di ruang perpustakaan kampus saat pertengahan hari musim panas, "Tapi ketika mereka memberikan subplot romance di series yang ketiga, aku tidak berminat melihatnya lagi, atau menanti series selanjutnya."

Sasori mengangguk, "Kau benar. Menurutku tak apa ada romance, tapi jika proporsinya terlalu berlebihan daripada scene action-nya maka maaf saja."

"Makanya, sudah tiga minggu film ini beredar namun tidak bisa masuk 5 besar Box Office!"

"Kupikir mereka tidak akan membuat series ke-4," Sasori mengendikkan bahu, "Apalagi sekarang ada film action baru yang lebih mampu menyedot minat masyarakat."

"Ah yang itu, aku tahu. Baru beredar seminggu yang lalu?"

Sasori mengangguk, "Sudah lihat?"

Kepala berwarna merah jambu itu menggeleng, "Tugas praktikum membuatku gila."

"Sabtu ini kita pergi bagaimana?"

"Kau juga belum lihat? Aku ragu."

Menggeleng lirih, Sasori mendengus, "Tentu sudah. Tapi dengan siapa aku bisa ngobrol soal film ini jika kau tidak tahu apa-apa," hazel itu menatap sepasang emerald di depannya, "Sabtu. Kujemput pukul enam sore. Bagaimana?"

Sakura tersenyum dan mengangguk.

Ia tahu ini hanya ajakan pergi ke bioskop dari sahabatnya. Hanya sekedar melihat film dengan genre yang sama-sama mereka suka.

Namun tiap kali Sasori menawarinya, Sakura tak bisa menahan dirinya untuk menganggap bahwa ini adalah kencan untuk mereka berdua.

-oOo-

Di musim semi pada hari Selasa, Sakura terbangun di pagi hari dengan ketukan di pintu rumahnya. Sembari masih terpejam, ia berpikir siapa yang bertamu ke rumahnya. Seingatnya orang tuanya baru mengunjunginya kemarin, dan ia tidak memiliki janji dengan siapapun di hari itu.

Betapa terkejutnya dirinya ketika ia membuka pintu, dan sepasang emerald-nya tampak sedikit melebar ketika menatap sebuah kotak besar ada di depannya. Kantuk yang masih menyelimuti otaknya sempat membuatnya berpikir bahwa kotak itu melayang oleh mantera sihir, namun ketika menatap sepasang tangan yang memegangi kotak berwarna merah muda itu, ia baru tersadar.

Dan sang pelaku baru diketahui Sakura ketika satu kepala berhelai merah muncul dari belakang kotak berbungkus kertas warna merah itu, "Selamat pagi, pemalas," senyum tipis itu terlukis di bibirnya, "Dan selamat ulang tahun."

Sakura mengerjap beberapa kali, seakan memproses apa yang dilihat dan didengarnya. Ketika tersadar, ia baru teringat bahwa hari itu usianya tepat berada di angka 20.

Beberapa saat kemudian, setelah mempersilahkan Sasori masuk dan memberinya air dingin, ia membuka kotak yang diberikan pemuda itu padanya. Dan ia tidak tahu harus merasa senang atau ingin menjitak keras pemuda Akasuna itu tatkala mendapatkan satu stel kostum di dalamnya.

Ya, hanya Sasori Akasuna lah yang mungkin menjadi satu-satunya laki-laki yang memberi kostum Iron Man ukuran besar dan tampak berat, di hari ulang tahun seorang wanita.

"Apa-apaan ini?" Sakura berusaha melotot, namun senyum tertahan itu tak mampu ia sembunyikan.

"Ada apa?" Sasori menatap heran, "Itu tokoh idolamu. Dan aku mendapatkannya susah payah, harus titip ke Hidan yang minggu lalu berlibur ke Yokohama."

"Iya tapi ini 'kan berat!"

"Itu terbuat dari kain. Mau kubelikan yang dari besi sungguhan?"

"Sasoriiii!" akhirnya satu kepalan Sakura mendarat di kepala pemuda itu, membuat sang korban meringis sejenak.

"Terimakasih kembali, Sakura," gerutu Sasori sembari mengusap puncak kepalanya.

Sakura hanya tertawa. Meski demikian, tak dapat ia pungkiri rasa hangat yang menyelimuti perasaannya.

Sasori menyuruhnya memakai kostum itu—ingin melihat seberapa bagusnya atau jika tidak ia akan menukarnya kembali ke toko asalnya. Sakura awalnya menolak, belum mencoba saja ia sudah bisa membayangkan bahwa kostum ini akan sangat kedodoran dan berat untuk dipakainya. Mungkin ia harus mengecilkan ukurannya nanti. Namun ketika Sasori terus membujuknya, dengan berat hati Sakura akhirnya menyetujuinya.

Dan ketika ia kembali dari kamar ke arah ruang tamu, dengan kostum Iron Man yang terpakai di tubuhnya, wajah gadis itu merah padam. Sudah ia duga, kostum itu kebesaran, dan hampir menenggelamkan seluruh tubuhnya. Bagian atas malah melorot ke satu bahunya, memperlihatkan bahunya yang terbalut oleh kaus biru yang ia pakai.

Ia pikir Sasori akan tertawa terbahak-bahak. Akan dengan senang hati menghina dan mempermalukan Sakura. Namun pemuda itu hanya menatap, meneliti dari atas hingga bawah.

Seulas senyum hadir di bibir si pemuda, dan matanya yang berwarna coklat hazel tampak berkelip tertimpa sinar mentari dari jendela, ketika ia berucap pelan, "Kau kelihatan imut, Sakura."

Bersama dengan jantungnya yang seakan hendak meledak dan wajahnya yang meleleh terbakar panas, Sakura hanya menyahut bantal sofa dan melemparnya sekuat tenaga ke arah sahabatnya.

Sepertinya ia akan sangat menyukai kostum tersebut.

-oOo-

Seketika Sakura tahu ada yang tak beres dari Sasori ketika melihat betapa tak terjangkaunya pandangan hazel itu sepanjang mereka menghabiskan waktu di bioskop sore hari itu. Sering ucapan Sakura seakan tidak menyentuh otak pemuda tersebut. Bahkan seakan-akan Sasori sama sekali tidak peduli pada film yang sedang mereka tonton, sekalipun itu adalah salah satu dari daftar must watch movies mereka berdua. Seperti pikiran pemuda itu ada di tempat lain, ada di hal lain.

Ketika Sakura menanyakannya, pemuda itu hanya menggeleng, memberi senyum sekilas, dan berkata bahwa hanya tugas lapangan saja yang menganggu pikirannya.

Namun Sakura mengenal Sasori bukan sejak kemarin. Ia tahu bahwa pemuda itu berbohong kepadanya.

Pada perjalanan pulang, Sasori mengajak Sakura untuk ke taman kota yang menjadi bagian dari rute yang dilalui mereka. Terduduk di bangku beton dengan pohon sakura di samping mereka, yang tampak mekar di pertengahan musim semi. Beberapa orang tampak di sana, sama-sama menikmati hawa sejuk dari angin malam yang berhembus. Langit saat itu berwarna cerah, dengan bulan dan bintang yang seakan bersaing dengan cahaya lampu-lampu kuning yang menyinari sekeliling taman.

Beberapa saat kesunyian tercipta di antara mereka. Keduanya sama-sama mendongak, menatap ke arah kanvas alam yang hitam bersih tanpa adanya setitikpun awan yang menodai. Namun kesunyian itu pecah ketika Sasori membuka mulutnya dan berucap lirih, "Hei, kudengar kau sudah mulai mengerjakan proposal penelitianmu?"

Sakura menoleh, dan mendapati pemuda itu masih mengarahkan tatapannya ke langit sana, "Ya, baru kemarin. Darimana kau tahu?"

Dengusan samar terdengar, "Hal apa yang tak akan diketahui tentang Nona Haruno, salah satu mahasiswi berprestasi kampus?"

Satu kepalan tangan Sakura memukul pelan lengan Sasori, "Jangan mulai. Kau pikir kau juga tidak?" ia kembali mengarahkan pandangan ke langit, "Makanya, mulailah penelitianmu, agar kita bisa lulus sama-sama."

Keheningan kembali tercipta ketika tak ada respon yang diberikan oleh Sasori. Sakura hendak membuka mulut untuk memulai obrolan baru, ketika pemuda itu terlebih dahulu bersuara, "Setelah lulus, apa yang akan kau lakukan?"

Menaikkan sebelah alisnya, Sakura memandang heran, "Kenapa tiba-tiba ngobrol mengenai masa depan?"

"Tentu saja. Karena kita hidup bukan untuk masa lalu."

"Tapi ini tidak kedengaran seperti dirimu."

Sasori terkekeh lirih, "Begini-begini aku juga peduli pada masa depanku, bukan hanya film saja."

Menarik napas, Sakura menjawab, "Apa ya? Mungkin aku inginbekerja satu tahun di rumah sakit, lantas melanjutkan pendidikan untuk menjadi dokter spesialis," ia mengendikkan bahu, "Masih panjang. Kau?"

"Tidak tahu," jawab Sasori, sembari menggeleng, "Menjadi teknisi, mungkin. Namun selebihnya aku tak tahu."

"Heeee? Kenapa?"

Mengendikkan bahu, Sasori menjawab, dengan pandangan yang masih mengarah pada kanvas di atas sana, "Tak tahu. Terkadang, aku takut memikirkan apa yang terjadi di masa depan. Terkadang juga… aku ingin waktu berhenti dan aku hidup hanya di saat ini."

Sakura terdiam. Perasaannya yang mengatakan bahwa ada yang tak beres dengan sahabatnya, semakin menguat. Betapa pandangan hazel itu seakan menunjukkan jiwa yang tengah berada di tempat lain. Entahlah, mungkin di antara kumpulan bintang yang tengah ditatapnya itu.

"Andai hidupku ini film, aku ingin ceritanya tamat pada detik ini saja," sambung Sasori pelan dan terdengar hampa.

"Sasori," tangan Sakura melingkari sebelah lengan pemuda itu, "Ada apa? Kau baik-baik saja?"

Tak ada respon, seakan ucapan Sakura sama sekali tidak mengenai gendang telinganya. Tetap memandang ke arah langit, dengan ekspresi hampa yang sama. Hendak Sakura panggil lagi namanya, namun urung ketika pemuda itu menoleh ke arahnya dan memberinya sebuah lengkungan tipis di bibirnya.

Tak butuh waktu dua detik bagi Sakura untuk segera menyadari bahwa senyuman itu tak sampai pada dua hazel yang masih menatap sendu.

"Hei, kau mau bermain sesuatu?"

"A-apa? Sasori—"

Pemuda itu menunduk, mengambil satu ranting kecil yang terjatuh dari pohon sakura di samping mereka, lantas menghadapkan ranting itu di depan Sakura, "Anggap ini tongkat sihir dari Hogwarts dan aku adalah salah satu muridnya."

Meski rasa cemas Sakura belum hilang, mau tak mau ia menaikkan sebelah alisnya, "Apa maksudmu? Kenapa tiba-tiba?"

"Karena sihir itu asik," jawab Sasori, "Bayangkan, betapa lebih mudahnya hidup ini jika ada sihir."

Sakura tertawa lirih, "Itu tidak menjawab pertanyaanku, kau tahu?"

"Sudahlah, sekarang kita mulai bermainnya."

"Bagaimana?"

"Mudah saja. Peraturannya, kau harus mentaati mantera apapun yang aku ucapkan. Harus mematuhinya, seakan-akan sihir itu benar-benar ada dan kau terkena."

Senyum tertahan ada di bibir Sakura, "Jika kau membuatku terbang, aku harus bagaimana? Naik ke pohon sakura ini lantas terjun?"

"Tidak akan sejauh itu," Sasori memutar bola mata, "Nah sekarang pejamkan matamu."

Pandangan emerald itu tampak curiga, "Apa yang mau kaulakukan?"

"Nanti kau tahu. Percaya saja."

Sakura memejamkan matanya.

"Jangan mengintip, oke?"

"Oke," Sakura mengangguk. Ingin ia mengintip sedikit jika ia boleh jujur. Ingin ia melihat apa yang sedang dan akan dilakukan oleh Sasori. Ingin menatap ekspresi apa yang ada di wajah putih itu.

Namun entah mengapa ia juga ingin jujur dan mentaati kesepakatan mereka.

"Kau tahu ada mantera di film ini yang berguna untuk menghapus ingatan?" Sakura dengar Sasori bersuara.

Gadis itu mengangguk, "Mau apa kau? Membuatku lupa namaku sendiri?"

"Aku masih kasihan pada orang tuamu."

Sakura terkekeh, "Lantas?"

"Aku….," jeda sejenak, "Akan mengucapkan mantera itu. Dan berjanjilah kau akan mentaatinya. Kau akan berpura-pura mantera itu ada, dan kau akan benar-benar melupakan semuanya."

"Memang apa, sih?" mau tak mau Sakura tak bisa menyembunyikan rasa penasaran di ucapannya.

"Berjanji dulu."

Tanpa ragu Sakura mengangguk. Lagipula ini hanya permainan konyol. Dan tanpa mantera mainan itu pun, pasti Sakura juga sudah akan melupakan semua permainan konyol ini.

Hanya permainan. Tak lebih.

"Aku berjanji."

Tak ada respon. Sepi. Hanya suara para pengunjung taman lain yang terdengar samar, atau suara kendaraan yang sesekali terdengar di jalan dekat taman. Sempat Sakura mengira Sasori telah pulang meninggalkannya di taman itu seorang diri—itu benar-benar kejam pasti.

Namun tidak.

Pertama-tama adalah kedua pipinya yang Sakura rasakan menghangat. Dua benda yang terasa menangkup kedua pipinya dengan lembut. Dan butuh waktu beberapa detik bagi Sakura untuk menyadari bahwa benda itu terasa seperti telapak tangan. Telapak yang lebih besar dari miliknya yang kecil. Lebih kasar dari tangannya yang halus.

Kedua adalah hawa hangat yang menerpa wajahnya. Tidak mungkin angin, karena hembusannya pun konstan dan pendek-pendek. Dan jantung Sakura seketika melewatkan satu denyutan tatkala menyadari bahwa hembusan itu kemungkinan adalah napas Sasori.

Apa—

Rasa penasaran dan terkejut membuatnya otomatis membuka mata—refleks. Dan di saat itulah ia mendapati wajah Sasori yang telah berada begitu dekat dengan wajahnya, dengan dua hazel yang tersembunyi di balik kelopak matanya.

Tak ada kesempatan untuk menghindar, karena dua bibir mereka kemudian bertemu dalam satu pagutan yang lembut dan hangat, di antara gugurnya daun merah muda sakura oleh hembusan angin.

Masa seakan terhenti saat itu juga.

Ada yang bergumuruh di dalam dada Sakura. Seakan peringatan bahwa sebentar lagi jantungnya akan meledak karena perasaan yang membuncah. Darahnya berdesir seiring dengan sekelilingnya yang tampak mengabur di pandangan dua emerald-nya. Waktu yang terhenti, segalanya yang tampak mati. Bahkan daun-daun Sakura yang melayang jatuh seakan terhenti di udara sekeliling mereka.

Hanya Sakura dan Sasori yang tampak hidup dan nyata.

"Maafkan aku, Sakura," bisikan itu terdengar, terucap lirih dari mulut Sasori yang masih tertempel lembut di atas mulut Sakura, "Maaf, Sakura."

Sakura memandang tak mengerti. Kedua mata Sasori terpejam, namun ia bisa melihat kesedihan yang tergambar di sana. Ada yang tak beres, ada yang mengganggu pemuda yang menjadi sahabat sekaligus pemilik hatinya. Suara yang terdengar rapuh, yang mau tak mau membuat rasa hangat dan bahagia yang sejenak Sakura rasakan terganti oleh ketakutan.

"Sasori…."

"….Obliviatte," bisik Sasori, sembari memundurkan kepalanya, "Obliviatte."

Lupakan. Lupakan. Lupakan.

Bagaimana bisa? Mengapa?

Emerald Sakura terpaku pada pemuda tersebut. Sasori yang masih terpejam, namun sudah menarik dirinya menjauh. Menundukkan kepala, seakan enggan menegakkannya dan bertemu pandang dengan Sakura.

Ada apa?

"Sasori—"

"Lupakan. Aku sudah mengucapkan manteranya. Dan kau sudah berjanji," potong Sasori lirih.

Tanpa menunggu respon Sakura, pemuda itu segera bangkit, lantas mulai melangkah pergi, "Sudah malam. Kuantar kau pulang, Sakura."

Lupakan?

Bagaimana bisa? Bagaimana bisa ia menghapus ciuman manis itu hanya dengan mantera konyol dan fiktif itu?

Ketika salah satu angan dan mimpinya menjadi kenyataan, mengapa Sasori dengan mudah menyuruhnya untuk melupakannya?

-oOo-

Tepat keesokan harinya, terjawablah semuanya. Ketika Sakura terbangun pada pukul lima pagi karena suara dari ponselnya. Sebuah e-mail masuk. Sakura hendak mengabaikannya, akan memeriksanya nanti, dan kembali tertidur, jika saja dia tak melihat nama Sasori di bagian pengirim pesan.

Ia terduduk di ranjangnya dan membukanya. Seiring dengan bergeraknya kedua matanya ke kiri dan ke kanan, ekspresi mengantuk itu perlahan-lahan lenyap. Emerald itu tampak berangsur-angsur menyipit. Tangan yang memegang ponsel itu bergetar halus. Entah sejak kapan suhu di kamarnya menurun beberapa derajat dan membuatnya merasa hawa dingin menusuk hingga ulu hatinya.

Ada yang terasa jatuh menghantam dasar perutnya, meninggalkan lubang besar dan menganga di hatinya.

Bahkan ia tak sadar ketika kedua matanya memanas, pandangannya mulai mengabur, dan layar ponselnya terbasahi oleh setetes kristal cair yang menetes dari sebelah matanya.

Jadi inikah maksud Sasori? Maksud semua ucapan anehnya malam sebelumnya? Maksud ciuman singkat namun telah terpatri dalam di ingatannya?

From: Sasori

Jangan maafkan aku sekalipun aku meminta maaf padamu nanti. Karena aku tahu apa yang akan kukatakan padamu pasti menyakitkan. Hah, bahkan saat mengetik pesan ini aku sendiri merasa terluka, kau tahu? Hari ini, di saat kau membaca pesan ini, mungkin aku sudah berada di mobil Ayahku. Semua barang-barang di rumahku telah berada di truk pengangkut barang. Bangunan yang kau tahu sebagai kediamanku akan kosong. Dan barang-barang kami, serta keluargaku, akan berada di Hokkaido. Hari ini. Besok. Dan mungkin, selamanya. Ayahku berpindah kerja di sana.

Itu bukan yang terburuk. Yang terburuk adalah saat seminggu yang lalu Ayahku mengenalkanku pada seorang gadis, anak dari kolega bisnisnya, katanya. Dan sesuai dugaanmu, dia ditunangkan denganku. Seperti yang kau tahu, Ibuku sakit keras, dan ia memohon padaku untuk menerima. Apa yang bisa kulakukan meskipun seluruh hatiku ingin menolaknya?

Maaf aku tak memberitahumu sebelumnya. Karena aku tahu betul bagaimana kau akan meresponnya. Kau akan menangis, akan menuntut, memprotes. Dan sekarang kau mungkin juga menangis, pada akhirnya. Namun aku tidak melihatmu. Panggil aku pengecut—aku hanya tak mau jika aku nekat menentang kedua orang tuaku dan kabur denganmu, jika aku sampai melihatmu air matamu.

Karena aku mencintaimu.

Aku tak mencintainya, kau mungkin tahu. Aku sama sekali tak mencintai gadis itu. Namun aku juga tak bisa mengabaikan kedua orang tuaku. Kita hidup di dunia nyata, bukan film, Sakura. Dan aku dan kau bukan Romeo atau Juliet yang bisa kabur bersama dan melupakan semua.

Jika hidupku ini adalah film, maka hal yang pertama paling ingin kuucapkan adalah 'aku mencintaimu'. Dan hal pertama yang paling ingin kulakukan adalah pergi ke rumahmu, berlari, berdiri di halamanmu, dan meneriakkan padamu bahwa aku urung pindah, aku kembali, dan aku ingin berada di sisimu. Selamanya.

Aku tak akan membuka lagi email ini dan aku akan mengganti nomor ponselku.

Bahagialah Sakura. Bahagialah.

Karena aku juga akan berusaha hidup bahagia tanpamu.

Bagaimana bisa Sakura melupakan semua ketika kenangan bersama pemuda itu telah terpahat begitu dalam di hatinya? Berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk melupakan semuanya, ketika hampir seluruh memori otaknya terpenuhi oleh kenangan bersama Sasori saja?

Bagaimana bisa?

-oOo-

Tak mudah. Seperti dugaan Sakura, tak mudah.

Alih-alih terlupa, justru tak ada satu haripun yang bisa Sakura lalui tanpa teringat akannya. Tak ada satu malampun yang bisa berlalu tanpa mengingat wajah dan senyum itu tiap ia berbaring di ranjang dan melepas lelah. Kenangan itu justru menguat, seakan-akan baru terjadi dan ia alami di hari sebelumnya. Entah telah berapa banyak tetes yang harus matanya jatuhkan tiap pedih akan Sasori meredam perasaannya.

Dan entah berapa kali ciuman itu menjadi hal yang ia lihat dan rasakan kembali di mimpi-mimpinya.

Sakura ingin Sasori kembali.

Sedang apa dirinya sekarang? Apakah belajar di kampus barunya? Berapa teman baru yang telah ia dapat? Bisakah ia bertahan di hawa dingin khas Hokkaido?

Sakura ingin Sasori hadir di depannya.

Apakah gadis yang menjadi tunangannya juga memiliki hobi yang sama dengannya? Apakah gadis itu juga sering diajaknya pergi ke bioskop dan mengobrol mengenai film hingga lupa waktu?

Betapa Sakura tak ingin merindukannya dengan cara seperti ini—terlalu dalam hingga yang ia rasa hanya sakit dan pedih.

Setiap ia menatap ke arah kendaraan yang lalu lalang di jalan yang ia lalui tiap ia pulang dari kampus, ia tak bisa menahan diri untuk berharap bahwa di salah satu taksi itu… di salah satu gerbong kereta yang ia naiki…

Sasori ada di sana. Sasori akan turun dari kendaraan yang membawanya bertolak dari Hokkaido. Meneriakkan namanya. Memeluknya, dan mengatakan bahwa ia telah kembali dan tak akan pergi lagi.

Sakura tak ingin membutuhkan Sasori demikian dalam hingga tanpanya perlahan-lahan apapun yang Sakura lihat di hidupnya tampak abu-abu dan suram.

'Kembali. Kembali,' bisik Sakura dalam batin, seakan berdoa pada Tuhan, tiap kali ia memandang ke arah halaman rumah melalui jendela kamarnya, 'Kembali ke sini.'

Jika hidupnya adalah film, pasti pemuda itu sudah ada di sana. Di depan rumahnya. Berdiri. Dan menantinya.

Namun lima bulan lebih yang telah berlalu dan halaman rumahnya yang masih tampak sepi, justru kembali menegaskan bahwa hidupnya adalah realita.

-oOo-

Sakura masih berlari. Ia bahkan tak mempedulikan ketika sebelah sendal kamarnya terlepas dan tertinggal di salah undakan tangga yang dilaluinya. Ia mengusahakan agar langkahnya semakin cepat, agar waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pintu depan rumahnya juga semakin sedikit.

Sasori datang. Sasori ada di depan rumahnya.

Jantungnya memacu cepat, baik karena usaha larinya ataupun karena rasa antusias yang membuncah. Tangannya gemetar terayun di kedua sisi tubuhnya tiap ia menapakkan langkah larinya. Dua emeraldnya memandang ke arah pintu depan yang tertutup, dengan pandangan desperet seakan ia tengah berlari dari bahaya dan pintu itu adalah satu-satunya jalan yang bisa menyelamatkannya.

Tentu saja. Karena di balik pintu ada Sasori.

Akhirnya Sasori kembali, setelah enam bulan Sakura habiskan hanya dengan merenungi, meratapi, dan mengharapkan kedatangannya kembali.

Tangannya yang putih terulur menggapai daun pintu. Terasa dingin. Dengan gerakan cepat dan kuat, ia menarik pintu hingga terhempas membuka. Dan hawa dingin udara musim gugur di luar seketika menerpa wajahnya yang entah sejak kapan telah berpeluh oleh lelah.

Dan apa yang ditatap oleh kedua emeraldnya adalah kosong.

Hanya halaman rumahnya yang kosong. Beraspal, dengan tatanan jalan setapak berbatu yang menuju ke terasnya. Dengan beberapa pot bunga yang tertata di sana sini, yang sebagian besar telah kehilangan daunnya.

Sasori tak ada di sana.

Sakura menelan ludah, matanya mulai memanas ketika merasakan perasaan berat dan menyesakkan itu kembali ia rasa di hatinya. Ia melangkah, berlari menuju ke tengah halaman. Ia tolehkan kepalanya kesana-kemari—siapa tahu pemuda itu tengah bersembunyi dan akan mengagetkannya.

"Sasori!"

Tak ada sahutan. Langit semakin tertutup oleh mendung kelabu. Angin beku musim gugur menerpa kulitnya yang hanya terbalut oleh rok dan kaos.

"Sasori!"

Mulai ia merasa takut. Mulai ia merasa sadar bahwa semua ini tak lebih adalah hasil dari khayalan kejam yang diciptakan oleh otaknya sendiri. Otaknya yang terlalu penuh oleh ingatan tentang Sasori—terlalu penuh, hingga kerap membuatnya tak bisa membedakan antara realita dan imajinasi.

"Sasori…"

Suaranya melemah. Bersama dengan satu tetes pertama air hujan yang terjatuh, saat itu pula bulir bening dan hangat itu luruh di kedua pipinya.

"Kembali…."

Tubuhnya bergetar. Berdiri dan diam di tengah halaman rumahnya yang terguyur deras oleh air hujan. Tiap tetesnya membasahi sekujur tubuhnya, membuat pakaiannya yang tak tebal terasa melekat erat di kulitnya.

Namun bukanlah itu semua alasan dari rasa dingin yang ia rasakan hingga ke dasar hatinya.

"Kembali…."

Bisikannya teredam oleh suara hujan. Tak ada satupun yang mendengar, tidak juga Sasori, dan tak pula dirinya sendiri.

"Aku bahkan tidak sempat mengatakan bahwa aku mencintaimu."

Jika semua ini adalah film, pasti pemuda itu saat ini juga tengah berlari menghampiri. Menembus hujan, lantas akan menarik dan membawanya ke dalam pelukannya untuk berbagi kehangatan.

"Aku mencintaimu."

Jika saja semua ini adalah film…

"Kembalilah."

….Maka kisahnya bersama Sasori pasti akan berakhir indah.

-selesai-

A/N DUH BERASA MASO BANGET GUEEE #bejek2otak Saya garis keras SasoSaku, tapi kebanyakan fic yang udah saya buat soal mereka tuh pasti sad-ending. Well, ini saya ketik pas lagi WB. Tapi ga tahu kenapa ngetik fic ini lancar jaya dan hanya butuh waktu 3 jam saja. Apa karena udah feel banget dengan lagunya ya T^T

Semoga fic ini udah memenuhi persyaratan challenge o_ov

Salam maso :'(

Yukeh