Jerman timur masih hanya sepetak regional di eropa tengah yang tengah berada dalam kebekuan desember. Natal adalah alasan yang memancing orang-orang untuk keluar hari ini, tanggal 24 ini, untuk berangkat misa, bersapa dengan sanak keluarga, dan mempersiapkan pesta atau hanya menghadiri undangan. Bagi anak-anak, segalanya jauh lebih sederhana. Mereka duduk di ruang tengah, mengitari pohon cemara di dekat perapian, bersikap manis, berharap sekotak berisi mainan idaman akan sampai di tangan mereka dari para orang dewasa terdekat mereka yang malam itu berkonspirasi untuk menciptakan sebuah sandiwara maha klise, Sinterklas.

Meski begitu, bagi anak-anak konspirasi murahan itu tetap malam terhebat sepanjang masa, di mana dalam malam-malam berikutnya, mereka berdoa, bersumpah serapah akan jadi anak paling baik asalkan setiap hari adalah Natal.

Sederhana. Sesederhana itu pula aku mengenalmu, mengenal cinta, dan menemukan bahwa mereka berdua adalah sama.

7 tahun kemudian, Berlin.

Tahukah kalian mengapa bintang-bintang selalu berada di sekeliling bulan? Kupikir aku tahu rasanya, mereka pasti nyaman berada disana. Berada disisi sosok yang dikaguminya, yang melindunginya, yang membuat mereka merasa istimewa diantara milyaran atau bahkan triliunan bintang yang ada di jagad raya. Aku mengenal sosok bulan dalam hidupku. Kapten dari petualangan-petualangan besarku, sahabatku, tangan kananku, pahlawanku, cinta pertamaku. Si Elizaveta Hedervary yang katanya setengah pria itu.

"Gil!" panggil seseorang. Spontan aku bangkit dari lamunanku dan lantas menoleh.

Seorang wanita dengan kemeja oranye, rok hijau selutut, topi lebar, dan senyum yang kurindukan melambaikan tangannya. Aku balas lambaiannya.

Senang melihatnya baik-baik saja, setelah 3 tahun aku tak pernah mendapati sosoknya secara langsung. 3 tahun ini, ia melanjutkan sekolahnya di Wina, sedang aku tetap disini. Tumbuh kurus menjadi pemuda kampung yang semakin tak pantas berada disisimu sedekat ini.

"Kau, sudah besar Eli." Ujarku bersamaan dengan sesimpul senyum yang muncul begitu saja tanpa bisa kukendalikan.

Kemudian wajahnya memerah, tapi aku hapal dia tak sedang tersipu melainkan marah. "Apa maksudmu?!" Ia mencengkeram kerahku, diksi yang kupilih rupanya memiliki kesalahan fatal, tapi,

Eli, aku senang kau tak berubah.

"Aku hampir tak mengenalimu, kau benar-benar berbeda sekarang."

Ia melepaskan cengkeramannya. "Terserah kau lah. Yang penting ayo makan, karena aku sudah lapar."

Aku mengikutimu. Sama seperti dulu, aku kerap mengekor di belakangmu. Kau tahu, aku sekarang tentara Eli, manusia yang dituntut kuat untuk melindungi negara yang rentan oleh konspirasi, tapi aku merasa aman—lebih-lebih nyaman—, di dekatmu. Aku pergi kemanapun restoran yang kau tuju dengan langkah sepatumu, ke jalan menuju Austria yang memutar dunia sekalipun. Ah, hei, Austria…

"Kenapa Kau ingin mengalahkanku? Aku ini awesome. Kau yang akan kalah~"

"Kenapa tidak. Aku tak mengatakan hal yang salah!" Kau berkacak pinggang, gadis kecil dengan rambut pirang cokelat berikat dua itu berkacak pinggang dan memandangku demikian rendah.

Beberapa menit setelahnya, serapahmu terealisasikan, aku kalah.

Dalam sebuah malam sunyi di pinggir danau dekat rumah kita, aku bertanya lagi di waktu yang lain setelah beberapa tahun berlalu, "Kau perempuan Eli, kenapa kau ingin jadi kuat?"

Lalu kau menjawabnya dengan tawa, "Hahaha, sejak kapan kau sadar kalau aku perempuan. Aku sendiri saja tidak pernah."

"Tentu saja, aku tak sebodoh dirimu."

Kau mendongak, seolah mencari jawaban di pola yang terpetakan oleh bintang. "Di mataku, soal itu semuanya samar, Gil. Ayahku mengajariku bertarung karena aku anak tunggal. Tiap kali ia menggadaikan nyawa di peperangan, tak ada yang cukup membuatnya tenang sampai kembali. Ayahku seorang perwira, nyawanya ibarat balon gas di genggaman anak kecil. Kami, bahkan ia sendiri pun tak tahu kapan nyawanya akan diminta oleh negara, dan jika itu terjadi, aku harus sanggup menggantikan posisinya, melindungi ibuku sebagaimana dirinya."

"Eli, maaf."

Aku terenyuh ceritamu, herannya, tak sedikitpun matamu berkaca-kaca. Ayah Eli benar-benar memenuhi tugas terakhirnya 3 tahun sebelum malam itu, ketika usia kami baru 12 tahun. Jangankan Eli, aku yang laki-laki pun tak tahu apa yang kubisa saat itu. Benakku hanya benar-benar muak oleh takdir yang membuat Eli yang tegar menunduk lemah dalam air mata hari itu. Tapi sepertinya ayahmu tak melakukan hal yang sia sia, itu hari terakhir aku melihatmu menitikkan air mata.

"Tidak apa-apa. Aku tetap emosional Gil, untuk yang satu itu sulit untuk menahannya. Bercerita seperti ini bisa membuatku sedikit lebih tenang."

Di sekian banyak saat-saat bersamamu yang berharga, aku hampir selalu menemukan posisi ini. Posisi yang membuatku seketika saja pantas merasa berguna untukmu. Selain petualangan-petualangan tanpa travel-log yang hanya akan jadi harta karun tak tersentuh di masa lalu, kurasa aku tak ada andilnya di kehidupanmu. Semakin aku merasa kecil, semakin aku menyadari dan mengaku kalau kekagumanku padamu mulai beralih jadi perasaan lain.

Kau menghajarku ketika mendengar aku mendaftarkan diri ke militer. Katamu, aku sok kuat. Kau menantangku duel, membuat koyak beberapa grahamku yang penting untuk pemeriksaan kesehatan. Kau bilang jika aku menang melawanmu, baru aku boleh mendaftar. Tapi waktu telah banyak berlalu. Semua yang kau anggap samar kini telah terlukis dalam garis-garis tegas. Aku berlalu, menghiraukanmu, mengecewakanmu, mengembalikanmu ke mimpi kelabu di masa silammu.

"Tapi aku menyayangimu, Gil. Aku tak ingin kau mati."

Rasanya hatiku meleleh dalam suhu dingin. Kau menyayangiku, tapi dengan cara yang berbeda dengan bagaimana aku menyayangimu. Tapi apa dayaku, aku hilang arah, Eli. Aku bukan orang kuat sepertimu, yang hidup demi memperjuangkan sesuatu, yang punya mimpi, harapan, dan angan-angan untuk diwujudkan. Ketika kau memutuskan untuk mengajak ibumu ke Wina tiga tahun lalu untuk belajar, aku mulai kehilangan diri.

Setelah bertahun lamanya, detik itu baru aku sadar kalau kau setengah dari motivasi hidupku. Ketika aku membuka jendela kamarku di pagi hari, senyummu yang lebih dulu ingin kulihat daripada bulir-bulir embun di pucuk dedaunan. Kita akan terpisah, begitulah kenyataan yang terpapar di depan mataku. Kau ke Wina, belajar dan akan bermetamorfosa jadi seorang gadis pintar yang disegani. Kau mungkin akan jadi diplomat seperti katamu dulu yang ingin tetap melindungi negara ini, tapi tidak dengan cara yang meminta banyak nyawa sebagai harga. Bukannya aku tidak senang atas itu. Aku mendukungmu, bahkan bertaruh pada negara jikalau kau yang memang akan jadi penyelamat kami di waktu mendatang. Tapi dengan ini, jarak antara kita memang tak lagi bisa terperi dalam untaian angka. Aku melepasmu pergi mengejar mimpi-mimpimu, sekaligus melepas mimpi-mimpiku mengejarmu.

Setelahnya, dua tahun aku berada di kamp pelatihan tanpa bisa melupakanmu. Bahkan ketika waktu yang kupunya untuk tidur hanya dua jam sehari, kau tak pernah absen dari mimpiku. Pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana keadaanmu, apa yang sedang kau lakukan, atau apakah kau sibuk dengan semua itu, tanpa sadar terus bermunculan. Kalau dibilang rindu, mungkin lebih dari itu. Menangkap sosokmu dengan inderaku mungkin akan menyejukkan hati yang kian kerontang oleh debu mesiu ini.

Kau menyayangiku, setidaknya dalam hidupku yang sia-sia ini, aku pernah mendengar cinta pertamaku mengatakan hal seperti itu padaku. Kecenderungan untuk memenggal kalimat itu tanpa cerita utuhnya selalu jadi ironi yang kuperjuangkan tanpa hasil. Lagipula pura-pura tidak melihat jauh lebih gelap dari tak melihat sama sekali. Melihat kau, di hari ketika setelah tiga tahun pergi akhirnya mengunjungi desa kelahiranmu lagi, dijemput seorang pria kota yang mengenakan torso dan berkacamata.

"Gil, kita punya cita-cita yang sama soal perdamaian. Kau harusnya ikut aku. Kita berjuang dengan cara yang baru, bukan membuang nyawamu seperti ini."

"Kekasihmu menunggu. Membujukku hanya akan membuat banyak waktu indah kalian terbuang percuma disini. Keputusanku mutlak, kalau kau menyayangiku, pantasnya kau hapal itu."

Eli, aku seekor elang hitam yang mestinya memang mengudara di langit tak bertepi. Kau mungkin punya kekuatan dan cara anggun untuk mewujudkannya, tapi bagiku, perdamaian hanya soal harga mahal yang kalaupun nyawaku dibutuhkan untuk menebusnya, akan kuberikan dengan sukacita. Kepergianmu ke Wina tiga tahun lalu, semacam memberiku tamparan untuk bangun dan tersadar. Aku telah memilih bodoh untuk membisu sekian lama soal apa yang kurasakan terhadapmu, dan tidakan menyia-nyiakan kesempatan itu harus kubayar mahal dengan luka yang pedihnya tak lagi kumengerti hingga detik ini. Ketika kau pergi jauh dan menemukan bagian lain dari jiwamu yang bisa menjaga konsistensi dari nyala api tekadmu, membahagiakanmu, dan melakukan apapun yang tak bisa kulakukan untukmu, aku tak punya kuasa. Akan sangat konyol dan murahan jika aku tak bisa menerimanya, merebutmu dan menyiksa kedua hati yang mestinya bahagia.

Elang tak pernah bicara pada bulan, ia hanya mengepak sayap di langit kelam yang menyamarkan eksistensinya, kasih dan perasaan tulusnya yang tak pernah terlihat. Bahagialah Eli, masa kecilmu yang kelabu akan segera dibayar oleh bunga-bunga yang ia tumbuhkan di taman hatimu. Dan maaf, bukannya aku meragukan kemampuanmu, tapi seorang pejuang di meja perundingan sepertimu perlu dilindungi. Ketika aku tak bisa jadi kupu-kupu yang berlabuh padamu, biarlah aku menduri dalam jalaran perjuanganmu.

Kau boleh jadi hanya menyayangiku, tapi negara ini mencintaiku sebagaimana aku mencintainya dan dirimu. Tak gentar buatku untuk sekedar menyumbang nyawa, tapi tentu akan lebih baik jika aku terus bisa menjamin semuanya—termasuk dirimu— baik-baik saja untuk waktu yang lama. Bagaimanapun, aku berada disini bukan karena aku patah hati darimu. Aku hanya menyesalkan betapa bodohnya diriku dulu, tapi sekarang tujuan hidupku adalah cinta yang berbeda. Elang tak akan bisa berada di daratan untuk waktu yang lama, sekalipun cintanya disana. Udara ini mendekapku lebih erat dari kebahagiaan dalam mimpi-mimpiku akan dirimu.

*cukup, cukup segini saja*

Terimakasih mau membaca, dan kalau berkenan, mari bersapa-sapa di review~ #dor