Changmin membuka matanya. Wajahnya nampak kusut dan badannya masih terbungkus selimut. Rasanya sungguh sakit semua bagian tubuhnya. Yunho benar-benar menghajarnya habis-habisan semalaman. Ia pikir, ia akan bisa mengendalikan nafsu Yunho, namun nyatanya ia salah.

Changmin menatap jam di atas meja. Itu sudah terlalu siang untuk berangkat ke kantor. Yunho tidak membangunkan dirinya. Tunangannya bahkan berangkat ke kantor tanpa pamit. Ataukah Yunho tidak ingin mengganggu tidurnya, namun bisa saja pria itu masih marah.

Changmin menghela nafas. Disibaknya selimut tebal itu dari badannya. Ia menatap datar tubuh yang tidak lagi bersih itu dan segera bangun. Namun ia memekik ketika merasakam sakit yang amat pada bokongnya. Dengan meringis ia mencoba untuk duduk di atas ranjang. Kaki lemasnya menyentuh lantai dingin kamar. Kembali meringis, Changmin berusaha untuk berdiri. Namun belum selangkah ia berjalan, tubuh kurusnya terjatuh ke lantai.

Ia ingin berteriak kesal, namun tertahan begitu saja. Sebegitu sakitkah yang Yunho bilang surga? Bahkan ia tidak mampu berjalan dan rektumnya benar-benar sakit. Mungkin selama seminggu lebih cara berjalannya akan aneh.

Changmin hanya bisa menghela nafas dan kembali tidur di atas lantai.

.

.

.

HoMin Fanfiction

Present

Under the Autumn © Ran Hime

TVXQ and other Cast © Themselves

Drama, Hurt/Comfort

HoMin

M Rated

Yaoi, OOC, Typo, NC, etc.

.

.

.

Chapter 4

Jaejoong menatap selembar kertas yang baru saja dilempar di atas meja kerjanya. Ia menatap bingung kertas tersebut lalu mendongak, menatap pria yang berdiri di depannya dengan muka menahan amarahnya.

"Apa ini, Yunho yah?" ujar Jaejoong seolah tidak mengerti apapun, walau kenyataannya ia mampu melihat photo yang tadi dilempar oleh Yunho.

"Berhentilah berpura-pura, Kim Jaejoong!"

"Tapi aku-"

"Kau datang menemui Changmin dengan wajah tidak tahu apa-apa?" potong Yunho tanpa peduli jika Jaejoong akan melanjutkan kalimatnya, "tapi pada kenyataannya kau sudah tahu semuanya bahkan sebelum hari pertunangan kami."

Jaejoong meremas kertas photo di tangannya. Ia tidak tahu dari mana Yunho mendapatkan photo dirinya yang tengah hadir di pesta pertunangan mantan kekasihnya itu.

"Aku sudah cukup bersabar selama ini, Yun!" ujar Jaejoong dengan mata memerah, "aku membiarkanmu menemani Changmin namun bukan berarti harus seperti ini."

"Kau berpikir hubungan kita masih ada?" Yunho menatap sinis Jaejoong, "kau yang membuat semua berakhir, Kim Jaejoong. Dari awal kau sendiri yang membuatku memilih jalan seperti ini."

"Ini tidal adil bagiku, Yun! Changmin sudah sembuh dan kau tetap tidak menganggap semua telah berakhir. Sandiwara hubungan kalian bemar-benar membuatku muak." teriak Jaejoong. Sebisa mungkin ia menjaga air matanya tidak jatuh. Ia tidak menyangka rasanya lebih sakit dari dulu. Mengatakan apa yang ia simpan selama sepuluh tahun ini.

"Bagaimana bisa kau tidak mampu menerima kenyataan yang ada. Dari awal aku dan Changmin sudah dijodohkan, namun kau memintaku untuk tetap menerimamu."

"Cukup, Yun!"

"Dan karena kebodohanmu, Changmin bahkan harus kehilangan sebagaian memorinya," teriak Yunho tepat di muka Jaejoong, "apa yang kau inginkan setelah semua ini. Satu tahun dia koma dan ketika terbangun ia seperti orang gila yang ketakutan. SEMUA KARENA KEEGOISANMU."

Tubuh Jaejoong bergetar. Rasa sakit hatinya semakin dalam. Rasanya bahkan ia tidak mampu menelan ludahnya sendiri mendengar ucapan dari mantan kekasihnya.

"Harusnya kau mampu menerima semuanya, Jae! Aku sudah bahagia dengan Changmin. Tapi semua berantakan sampai kau datang lagi."

Yunho melangkah pergi dari ruangan Jaejoong. Ia tidak akan peduli lagi dengan pria itu. Cukup sudah pria itu ada di hidupnya. Semua tinggal selangah lagi dan ia tidak akan membiarkan pria itu merusak kebahagian yang telah ia bangun selama ini.

.

.

HoMin

.

.

"Bagaimana? Dia manis, kan?"

Pemuda di samping Jaejoong menatap dengan nafsu bocah yang tengah meringkuk di pojok gudang belakang sekolah. Sudah lama pria itu menginginkan bocah yang selalu menghindarinya. Tapi kini setelah bantuan dari Jaejoong, ia akan bisa mendapatkan Shim Changmin dengan mudah.

"Berapa aku harus membayar, Kim Jaejoong?"

"Kau pikir aku butuh uang?" dengan sinis Jaejoong menatap wajah ketakutan Changmin. Ia benci Changmin. Karena bocah itu, semua rencananya menjadi berantakan.

"Terserah kau mau apakan dia!"

Jaejoong berlalu begitu saja dari ruangan sempit itu. Tidak mempedulikan teriakan menyedihkan dari bocah itu. Ia tidak akan berhenti melangkah dan menolong bocah yang tengah meneriaki namanya tersebut.

.

Changmin menatap ketakutan salah satu kakak kelasnya itu. Ia tahu, pemuda di depannya itu telah lama menyukai dirinya. Namun Changmin menolak. Ia sudah dijodohkan, walau ia sendiri belum tahu dengan siapa.

"Bagaimana cara kita akan bersenang-senang, Changmin ah?"

Changmin semakin ketakutan ketika pemuda itu melangkah mendekatinya. Jika bisa, ingin rasanya Changmin pergi saja. Namun posisinya kini tidak memungkinkan.

"Bicaralah, Changmin ah!" pemuda itu berhenti tepat di depan Changmin dengan seringain menjijikkan.

Namun Changmin hanya diam. Tubuhnya kian bergetar ketakutan. Ia tidak tahu mengapa berakhir seperti ini. Yang ia ingat, Jaejoong memintanya untuk menemani berkeliling sekolah seusai sekolah bubar. Dari situ percakapan pun terjadi. Ia hanya bicara jika ia setuju akan perjodohannya dengan pemuda pilihan ayahnya.

"Changmin ... Shim Changmin!"

Changmin tersentak dari lamunannya dan mendapati sesuatu tengah disodorkan ke arahnya. Membuat Changmin terkejut dan reflek mundur. Namun dinding di belakangnya membuat usahanya untuk menghindar pun gagal. Dengan kuat ia merapatkan bibirnya.

"Buka mulutmu, bocah!"

"Emmp". Changmin menggeleng.

Dengan kesal pria itu mencengkeram rahang Changmin hingga mulutnya terbuka. Dan dengan kasar pemuda itu memasukkan milikknya kedalam mulut hangat Changmin.

.

Yunho menatap langit sore yang kian gelap. Ia tidak tahu mesti mencari Changmin kemana lagi. Dari tadi sore bocah itu belum juga pulang dan membuat kedua orang tuanya khawatir.

Yunho menyalakan ponselnya dan mendeteksi keberadaan calon tunangannya itu lewat GPS. Yunho mengernyit agak bingung ketika posisi Changmin berada di sekolah. Apa yang Changmin lakukan di sana sampai sesore ini? Yunho menghela nafas lalu melajukan mobilnya menerobos gerimis.

.

"Arrggh brengsek!" teriak pemuda itu ketika rasa sakit pada kejantanannya bertambah. Dengan kasar ia melepaskan miliknya yang sudah membengkak itu.

Changmin mengambil nafas sebanyak yang ia bisa. Ia hanya butuh udara namun pemuda itu tidak kunjung melepaskan benda brengsek itu dari mulutnya. Dengan sisa tenaga Changmin pun menggigit benda itu.

Changmin menatap sekeliling, mencoba mencari pintu di tengah pandangannya yang kabur. Dengan sempoyongan ia berdiri dan berjalan menuju pintu. Namun belum sampai ia mencapai pintu, pemuda itu menarik tangan Changmin dan membanting tubuh kurus itu ke lantai.

"Kau mau bermain-main denganku, bocah?" dengan erat pemuda itu mencengkeram kedua pundak Changmin. Tanpa perasaan pemuda itu bertubuh besar itu menindih Changmin.

Changmin hanya bisa menggeleng. Ia sudah lelah untuk memberontak. Changmin menatap pemuda di atasnya lalu menendang selangkangan pemuda itu dengan keras.

"Brengsek!" Pemuda itu menampar dengan keras pipi Changmin hingga sudut bibirnya berdarah. Ia cukup bersabar namun pemuda itu sudah kehilangan kesabarannya.

Tanpa mempedulikan perlawanan Changmin, pemuda itu menarik baju depan Changmin hingga kancing-kancingnya terlepas. Menyobek seragam bagian pundak itu tanpa peduli lagi akan keadaan Changmin.

Changmin hanya diam. Ia sudah tidak mampu berbuat apapun lagi. Pertahanannya runtuh. Ia menutup mata seiring air matanya yang jatuh. Ia benci dirinya saat ini. Ia benci sentuhan di setiap bagian tubuhnya saat ini. Bahkan ia benci sesuatu yang mencoba menerobos lubangnya untuk ketiga kalinya itu. Sesuatu yang lebih besar daripada ketiga jari pemuda itu.

"Min!" Changmin kembali meneteskan air matanya ketika mendengar suara seseorang yang ia kagumi.

"Brengsek!" Pemuda itu mengumpat ketika acaranya lagi-lagi terganggu. Ia menghentikan usahanya untuk membobol Changmin.

Berbeda dengan pemuda itu, Yunho mengumpat ketika menemukan calon tunangannya berada di bawah tubuh orang lain. Dengan penuh amarah ia memukul dengan keras pemuda itu hingga tersungkur.

"Min.." Yunho mencoba menyadarkan Changmin. Ia merapikan kembali celana Changmin yang berada di lutut.

"Min ... Sadarlah!"

Yunho mengambil nafas dengan kasar. Ia menatap pemuda itu dengan penuh amarah.

Buagh!

Yunho memukul pipi pemuda itu. Ia tidak akan memberi ampun kepada siapapun yang berani menyentuh tunangannya.

"Beraninya kau menyentuh milik Jung Yunho!" serunya lantang dan memukul perut pemuda itu hingga terbatuk. Ia terus menghajar pemuda itu.

Perlahan Changmin membuka mata dan seketika itu juga bangun. Ia beringsut ketakutan. Tubuh kurus Changmin bergetar ketakutan, meringkuk di sudut ruangan yang sempit. Seragam yang ia kenakan nampak robek di beberapa bagian. Pipinya terasa sakit dan sudut bibirnya masih terus mengeluarkan darah. Bola matanya terus bergerak sembari melihat dua orang yang saling memukul.

Changmin tidak mengerti tentang yang terjadi. Pikirannya cukup kacau akibat kejadian beberapa menit yang lalu. Dengan tertatih ia bangkit. Perlahan berjalan lalu berlari dari ruangan yang sesak itu. Mencoba meninggalkan perkelahian yang hanya membuat kepalanya pusing.

"Changmin ah!"

Changmin bahkan tidak menghiraukan panggilan dari Yunho. Ia hanya ingin pulang. Changmin berlari sekuat yang ia bisa. Ia mengeratkan genggaman tangannya di baju depannya yang tidak terkancing.

Yunho yang melihat Changmin berlari keluar gudang pun akhirnya menghentikan pukulannya. Tanpa peduli akan kondisi pemuda itu, Yunho segera berlari mengejar Changmin.

"Changmin ah!" teriak Yunho dengan nafas tersengal.

Namun Changmin tidak peduli. Ia terus berlari, hingga sampai ketika sebuah mobil dari arah sampingnya melaju dengan cepat. Membuatnya berhenti berpikir apapun bahkan mengabaikan rasa sakit yang membuat tubuhnya terjatuh ke aspal, tidak jauh dari tempatnya berdiri tadi.

"CHANGMIN AH!"

.

.

Under the Autumn

.

.

Jaejoong berjalan cepat meninggalkan ruangannya. Dengan panik ia terus memikirkan cara agar Yunho bisa bersamanya lagi. Ia tidak boleh hanya diam melihat semuanya ini. Dan cara satu-satunya ia harus menemui Changmin.

.

.

HoMin

.

.

Changmin berjalan tertatih sembari memegang pinggangngya yang masih terasa sakit. Tunangannya itu benar-benar menghajarnya habis-habisan.

Changmin membuka pintu apartemennya dan mencoba tersenyum kepada tamu yang sedari tadi menekan bel dengan kasar. Namun bukan senyuman yang ia dapat, tapi ...

Buagh ...

Changmin tersungkur akibat pukulan pria yang menjadi tamunya itu. Changmin meringis, merasakan ngilu pada pipinya itu. Sembari bangkit, ia mengusap-usap pipinya.

"Su-sunbae?"

Changmin benar-benar tidak mengerti akan tingkah Jaejoong. Pria itu datang lalu tanpa alasan memukulnya begitu saja.

"Kau bilang jika kalian sepupu!"

Changmin hanya bisa menelan ludah melihat mantan kakak kelasnya telah mengetahui segalanya.

"Aku masih begitu mencintai Yunho, Min! Kembalikan Yunho padaku."

Changmin hanya bisa terdiam. Ia tidak bisa menjawab permintaan Jaejoong. Dan yang ia tahu, Yunho tidak lagi mencintai Jaejoong.

"Kau bilang akan setuju jika aku bersama Yunho," ujar Jaejoong dengan mata memerah, "untuk kali ini saja Changmin ah, biarkan aku egois!"

Changmin mengangkat wajahnya. Cukup terkejut mendengar kalimat Jaejoong itu. Jika Jaejoong boleh egois, harusnya dia juga boleh.

.

.

HoMin

.

.

"Kau?"

Jaejoong cukup terkejut melihat pria tua yang berdiri di samping pintu apartemennya. Ia tidak menyangka jika ia bertemu lagi dengan pria itu.

"Tidakkah kau juga merindukan ayahmu ini, Jaejoong ah?" seru pria itu menahan hasratnya untuk memeluk Jaejoong.

"Anda bicara apa tuan Shim?"

"Jaejoong ah?"

Jaejoong tidak menanggapinya. ia buru-buru memasukkan kode untuk membuka pintu. Hingga ketika pintu terbuka. Ia menoleh ke arah pria itu dan memandangnya sejenak.

"Mau masuk?"

Jaejoong memperhatikan pria tua yang sedang berjalan memasuki apartemennya itu. kalau boleh jujur, ia sangat merindukan ayahnya itu. Namun kekecewaannya terhadap sang ayah begitu besar hingga ego pun mengalahkan rasa rindu tersebut.

"Kau mau minum apa?"

Tuan Shim hanya menggeleng. Melihat itu Jaejoong segera duduk di depan pria itu.

"Ayah ingin berbicara sesuatu Jaejoong ah!"

"Tinggalkan Yunho!" Jaejoong menatap sinis pria tua itu, "pasti itu yang ingin kau katatan."

"Jaejoong ah!" Jaejoong menatap pria itu. Betapa banyak gurat-gurat kelelahan di wajah pria itu.

"Selama sepuluh tahun kita tidak bertemu, dan kini hanya Changmin yang ada di pikiranmu." ujar Jaejoong mencoba menahan sakit di hatinya. "Kau menyebut dirimu ayah, tapi kau hanya memikirkan Changmin saja."

Jaejoong dapat melihat pria itu menghela nafas berat. Wajah tuanya benar-benar kelelahan.

"Ayah memang tak cukup adil dalam menyayangi kalian," Pria itu berdiri. Tidak ada gunanya meminta, ketika orang yang ada di depannya telah begitu banyak ia sakiti, "bahkan karena dirimu, ayah rela meninggalkan Changmin yang masih kecil di rumah sakit. Ayah minta maaf jika telah gagal menjadi orang tuamu, Jaejoong ah."

Dan pria itu pun memilih untuk keluar dari apartemen Jaejoong.

Jaejoong terdiam. Pikirannya benar-benar kacau. Pria itu terlihat menangis. Ayahnya menangis untuk Changmin. Bahkan selama mereka tinggal bersama dulu pria Shim itu tidak pernah terlihat semenyedihkan itu. Benarkah ia sudah membuat hati ayahnya terluka?

.

.

Under the Autumn

.

.

"Bagaimana keadaan Changmin?" dengan panik Yunho berusaha meminta penjelasan dari dokter.

"Jika malam ini ia bisa melewati masa kritis, besar kemungkinan ia akan cepat sadar," pria itu tersenyum sembari menepuk bahu Yunho, "namun jika ia tidak dapat sadar sampai besok pagi, besar kemungkinan ia akan mengalami koma."

Mata musang itu melebar. Sejenak ia menoleh, menatap ke arah Jaejoong yang masih syok bersandar pada dinding tidak jauh dari ruang inap Changmin. Tanpa mempedulikan pemuda itu, Yunho pun melangkah masuk ke dalam ruang inap Changmin.

.

.

Ran Hime

.

.

Tuan Shim berjalan ke arah Jaejoong yang tengah meringkuk ketakutan. Pria tua itu berjongkok dan meraih pundak Jaejoong. Mata tuanya menatap sendu pemuda yang dulu ia besarkan itu.

"Aku tidak membunuhnya!" seru Jaejoong ketakutan. Ia meremas lututnya yang ia peluk itu.

"Jaejoong ah!" tuan Shim hanya mampu memandang sedih keadaan Jaejoong, "Ayah sudah menghubungi orang tuamu dan mereka akan datang menjemputmu."

Awalnya tuan Shim cukup terkejut ketika tahu Jaejoong berada di Seoul tanpa sepengetahuan ibunya. Ia tidak menyangka pemuda itu menaruh kebencian karena keputusannya sepuluh tahun yang lalu. Ia pikir, Jaejoong akan bahagia ketika ayah kandungnya telah kembali. Ia pikir Jaejoong tidak akan lagi membutuhkan dirinya lagi dan ia pun kembali kepada keluarga aslinya.

"Semua salah bocah itu," ujar Jaejoong semakin ketakutan dan terlihat kebingungan, "dia telah mengambil ayahku dariku. Bocah itu ... Ya bocah itu yang salah."

"Jaejoong ah!" tanpa sadar tuan Shim meneteskan airmatanya. Dengan lembut ia meraih tubuh bergetar Jaejoong dan memeluknya. Menyembunyikan kepala putranya dalam dekapannya.

"Dengarkan ayah sekali lagi, Jaejoong ah!" Tuan shim menatap dinding putih di depannya, "Tidak ada yang merebut ayah darimu. Ketika kau lahir dulu, ayah datang sesuai permintaan ayah kandungmu. Ia meminta ayah untuk menggantikan sosoknya berada di sampingmu. Sampai ketika kau berumur tujuh tahun, ayah harus pergi karena putra ayah membutuhkan ayah. Dan karena ayah kandungmu telah kembali."

"Dia merebut ayah dariku." isak Jaejoong.

"Dengarkan ayah, Jaejoong ah! Kau harus kembali ke Amerika. Kasihan ibumu, bukan!"

"Dia merebut ayah. Wanita itu dan juga bocah itu."

Tuan Shim mengeratkan pelukannya. Ia tidak habis pikir putra sahabatnya itu akan mengalami tekanan seperti ini. Ia pikir semua akan baik-baik saja , ketika ia memutuskan untuk pindah ke Korea bersama keluarganya dan meninggalkan Jaejoong bersama orang tua kandungnya. Namun ia salah. Jaejoong membenci putra satu-satunya yang bahkan tidak tahu apa-apa.

"Ayah jahat! Tega meninggalkan aku demi bocah itu."

"Jaejoong ah! Dia putraku satu-satunya. Mengertilah!"

Pria tua itu dapat merasakan cengkeraman pada kemeja belakangnya semakin erat bersamaan dengan suara isak tangis pemuda di depannya. Ia tidak bisa lagi bersama Jaejoong ketika sahabatnya yang tidak lain adalah ayah Kandung Jaejoong telah kembali.

.

.

To be Continue ...