One Night With Arima

Pairing: ArimaxHaise/ Kaneki

Warning: contains porn; BoyxBoy; yaoi

Arima Kishou and Ken Kaneki/ Haise Sasaki aren't mine to begin with.

I would appreciate if you hit the back button instead of read the whole fics,

-Chapter 5-

Dalam sekali gerakan Arima kembali melumat bibir Haise, membuat bibir mungil itu lagi-lagi tak berdaya dalam pagutannya. Haise merengkuh kembali paras Dewa Kematian CCG itu. Ia mengacak-acak helaian sewarna kapas itu, menekan kulit kepalanya, membuat ciuman mereka semakin basah dan semakin intim. Haise mendominasi cumbuan mereka kali ini, ia dengan tidak sabar mengajak lidah pria berambut putih itu untuk menari. Arima membiarkan pemuda berambut hitam putih itu merebut penguasaan lidahnya, tubuh mereka bergesekan, saliva mereka larut menjadi satu, gerakan lidah mereka menyuntikkan jutaan nafsu yang menguapkan udara di ruangan.

Haise menyondongkan tubuhnya, menggoda dada telanjang Arima untuk menempel pada tubuhnya yang juga dalam kondisi serupa. Detektif Special Class itu kembali meletakkan tangan kirinya di dada bidang Haise, menangkupnya dan meraba puting Haise yang sudah ranum. Haise menyuarakan lenguhannya diantara cumbuan mereka, gerakan tangan di buah dadanya melelehkan dominasi lidahnya. Ia meraih lengan Arima yang tengah menstimulasi tonjolan di dadanya, mencegah tangan besar itu untuk menggodanya lebih jauh lagi karena ia yakin sebentar lagi dirinya akan berteriak seperti wanita yang tengah orgasme. Namun usahanya tampak sia-sia, jemari panjang itu malah semakin menggoda puting dadanya.

Haise yang panik tanpa sengaja menarik kencang rambut Arima dengan kedua tangannya, membuat ciuman panas mereka terputus. Arima sedikit meringis akibat ulah Haise yang menjambak rambutnya, namun ia tetap bersikap tenang, bibirnya mengerucut, bengkak dan memerah. Terlihat sangat seksi.

Pemuda berambut hitam putih itu terengah-engah akibat stimulus erotis yang menggelitik dadanya, ia menyadari tindakan refleksnya. "Maafkan aku!" Seru Haise sambil berusaha mengatur napasnya.

"Kau terlalu tegang, Haise." Jawab pria berambut putih itu dengan suara lembut. "Tenanglah dan rilekskan tubuhmu." Arima membiarkan tangan Haise di kepalanya.

Haise tidak menjawab, ia hanya mengangguk menyanggupi kemudian menempelkan keningnya pada kening Arima, ia mengatur napas dan memejamkan matanya, berusaha membuat seluruh tubuhnya rileks seperti yang diperintahkannya.

"Ssh, relax." Bisik Arima dengan lembut diwajahnya, ia membantu Haise meregangkan tubuhnya dengan mengecup bibir mungilnya dengan lembut. Arima mengangkat tangannya dari dada Haise untuk membelai pipi pemuda setengah Ghoul itu, matanya terpejam penuh gairah.

Haise menikmati kecupan lembut Detektif Special Class itu dibibirnya, kecupan lembut itu membuat kepanikannya luntur, seluruh tubuhnya seperti melayang. Ia meraih tangan Arima yang sedang membelai pipinya dan kecupannya pun berhenti. Arima membuka matanya, menatap ke iris kelabu yang sudah kepayahan karena gairah yang menggelora ditubuhnya. Berbeda dengan ketenangan yang dipancarkan dari kedua mata yang segelap malam itu.

Haise menyisipkan jemarinya diantara sela-sela jari Arima, ia tidak berkedip memperhatikan Arima yang tetap tenang meskipun birahi sudah mengawan diwajahnya, ia menelusuri paras menawan itu mulai dari keningnya yang simetris, pelupuk mata yang ditanami bulu mata yang panjang terus hingga ke bibir tipisnya yang memerah dan sedikit bengkak . Bibir yang penuh kenikmatan itu tak bergeming, hembusan napasnya yang halus dapat ditangkap oleh indera pendengarnya.

Di hadapannya sekarang bukanlah sosok Dewa Kematian dari CCG yang ditakuti oleh Ghoul, bukan pula seorang strict mentor yang sedang melatihnya maupun atasan yang ia hormati. Yang ada dimatanya kini cuma seorang laki-laki bernama Arima Kishou. Seorang manusia biasa yang dapat terkontaminasi oleh nafsu, kumpulan daging dan tulang ringkih yang bisa hancur oleh Kagunenya.

Arima menggenggam jemari Haise di sela jari-jarinya. Entah kenapa jari-jari kurus pemuda setengah Ghoul ini terasa sangat pas di tangannya. Tak ada lisan yang terucap dari keduanya, mereka saling memandang satu sama lain seolah mereka dapat berbicara melalui tatapan, ruangan kembali sunyi, bunyi-bunyian erotis yang tak etis tidak lagi terdengar, yang mengalun hanya suara respirasi mereka saja.

Haise meraih tangan pria berambut putih itu lantas mendekatkannya ke bibir imutnya. Arima melihat bagaimana Haise mendekatkan jarinya ke bibir yang sudah membengkak itu, ia membiarkan Haise mencium ketiga jarinya dengan sensual, memperhatikan bagaimana pemuda di rangkulannya ini menekan bibir kemerahannya pada jari-jari putihnya dan menelusuri volume jemari penghantar gairah itu dengan lidahnya yang hangat.

Keintiman menguar dari tangannya yang sedang dicumbu oleh Haise, bibir itu melumuri seluruh jemarinya dengan saliva, lidah nakal itu menggelitik permukaan jarinya. Iris kelabunya enggan menatap kedua matanya yang menyembunyikan kobaran nafsu.

Haise membuka mata dan menyudahi aktivitasnya, ia kemudian mendapati Arima berbisik di telinganya.

"Angkat kepalamu, Haise." Bisik pria itu ditelinganya.

Walau Haise tak dapat menampik kegugupan dirinya, ia berusaha menuruti perintah Detektif Special Class itu. Haise mengangkat wajahnya membuat leher jenjangnya dapat diakses dengan lebih mudah, sejurus kemudian ia mendapati lidah hangat menelusuri lehernya.

Arima dengan cepat menyambar leher putih itu, menyesapnya hingga menimbulkan bercak warna merah, tanpa malu ia menjilati kulit lehernya, menelusuri bentuk rahang Haise dengan otot dimulutnya itu.

Haise ingat Arima yang melarangnya menahan suaranya, oleh karena itu ia tanpa malu menyuarakan gairah didalam tubuhnya. Ia membenamkan ke sepuluh jarinya di kulit kepala Arima. Tubuhnya melengkung lagi di dalam rengkuhan pria berambut putih itu. Ia menolehkan kepalanya sehingga lehernya bisa dicumbu dengan lebih leluasa.

Melihat Haise yang sudah bisa bekerja sama, ia pun semakin intens menjamah leher putih itu, membuat tanda cinta baru diatas tanda cinta yang sebelumnya telah dibuatnya. Ia menghisap leher Haise dengan kuat seperti seorang vampir yang tengah menghisap darah mangsanya, sesekali ia menggigit kumpulan otot dan urat yang tengah berkontraksi itu.

Gigitan Detektif Special Class itu hanya terasa seperti gelitikan bagi Haise, justru membuat lenguhannya terdengar makin sensual, lidah hangat yang tengah berselancar dilehernya itu membuat napasnya memburu, dadanya naik turun dan matanya mengerjap-ngerjap, kedua tangannya mengacak rambut sewarna kapas itu. He admits, it's beyond delicious.

Merasa cukup meninggalkan banyak Hickey di leher putih Haise, ia menuruni leher pemuda berambut hitam putih itu dengan bibirnya, sesaat ia berhenti di tulang selangkanya dan mengecup ledokan diantara tulang selangka itu hingga akhirnya bibir itu menggapai tujuan aslinya.

Haise berhenti bernapas ketika merasakan lidah hangat di dadanya, jantungnya seketika berhenti berdetak, matanya terbelalak, dan bibirnya terbuka namun tidak bersuara. Dan sejurus kemudian, Haise mengeluarkan desahannya yang paling kencang, kepalanya tidak berhenti menggelepar, tubuhnya melengkung dengan sempurna, ia mencengkeram erat rambut putih Detektif Special Class itu ketika putingnya tengah dilumat oleh mulutnya yang basah. Entah darimana Arima mempelajari trik-trik foreplay ini karena ia benar-benar pintar membuat Haise kehilangan napasnya. Well, he already genius in everything, you know?

Arima mencengkeram salah satu pergelangan tangan pemuda berambut hitam putih itu, Haise tak berhenti menyuarakan suara erotis yang memicu libido Dewa Kematian CCG itu. Mulut itu melumat permukaan dadanya, lidahnya membelai puting susunya yang sudah mengeras, dan membasahinya dengan air liur. Arima menyesap dada kurus itu seakan-akan dirinya tengah menyesap payudara seorang wanita.

Haise benar-benar sudah tidak berkutik, ia tidak bisa menginterpretasikan sensasi yang dibawa oleh bibir nakal itu didadanya, yang keluar dari bibir imutnya hanyalah lenguhan, erangan dan desahan yang lirih dan penuh kenikmatan. Cairan lava dalam jumlah yang lebih besar bergemuruh dari dalam perutnya dan sensasi itu menggelitik bagian vitalnya.

Arima dapat merasakan sesuatu dari balik celana Haise yang mengeras. Ia menyesap kuat-kuat puting susu itu untuk yang terakhir kalinya dan mengakhiri aktivitasnya. Akibat ulahnya ini, dada Haise jadi terasa sakit dan perih, timbul juga tanda merah di sekitar putingnya akibat hisapannya yang terlalu kuat, namun kegelapan menyamarkannya.

Arima bangkit dari posisinya dan melepas cengkeramannya dari tangan Haise. Sementara Haise memalingkan wajahnya, kedua tangannya terlempar di atas kepala, ia membenamkan wajahnya ke tempat tidur sambil memejamkan matanya erat-erat, berharap ia bisa tuli sekarang hingga ia tidak lagi mendengar erangan dan desahannya sendiri yang sangat memalukan.

Arima melucuti kain terakhir yang melekat pada tubuh Haise. Tak butuh tenaga ekstra untuk menarik celana malang itu dari pinggang Haise. Sementara dirinya yang tidak bisa pulih dari kekacauan ditubuhnya itu hanya bisa merelakan satu-satunya pakaian yang membungkus tubuhnya dienyahkan begitu saja. Ia tidak berusaha menutupi bagian vital yang sudah terekspos itu karena seluruh tenaganya telah menguap terbakar aktivitas intim ini.

Arima melihat bagaimana pemuda dibawahnya ini kesulitan mengatur napasnya, kedua tangannya tampak pasrah diatas sprei yang bentuknya sudah semrawut, dada dan perut telanjangnya naik turun, Haise masih berpaling, sebagian mukanya tertekan oleh ranjang. Ia terlihat rapuh, menggoda dan seksi. Arima tahu pasti Haise akan meraih klimaksnya, dan sebaliknya ia malah menggoda Haise lebih jauh.

"Aku tidak dapat melihatmu, Haise." Ujarnya dengan suara yang lembut. Ia menahan kedua lutut Haise yang bergetar.

Haise tidak sanggup mengatur kata-kata karena otaknya sudah dibanjiri nafsu, Belum lagi belaian udara yang menggelitik organ vitalnya. Ia benar-benar sudah akan meledak. Tolong jangan banyak bicara lagi, sentuh saja aku, sentuh saja bagian itu. Protesnya dalam hati.

Arima nampak tidak sabar, ia menggamit dagu Haise dan memaksanya membuka mata. Haise setengah meringis ketika Arima menjepit dagunya dengan tangan besarnya, namun kedua matanya malah semakin tertutup rapat.

"Bukankah sudah kukatakan untuk tidak menutup matamu, Haise?" Tukasnya setengah menuntut.

Haise masih tidak menggubrisnya.

"Buka matamu!"

Haise merasakan tekanan didagunya semakin kuat, ia mengerang protes dan terpaksa membuka kedua matanya. Ia menemukan paras menawan Detektif Special Class yang tengah merengkuh tubuhnya itu dengan kedua iris kelabunya.

Arima bertumpu pada sikunya, ia benar-benar lega saat kedua mata yang merefleksikan dirinya itu masih sepasang iris kelabu milik Haise. Sesuai yang ia harapkan, stimulasi seksual dan hubungan intim ini tidak memicu Kakuhou Haise. Arima jelas-jelas tidak mau bercinta dengan Haise saat Kakuhounya muncul, akan sangat menjijikkan membayangkan dirinya bercinta dengan pemakan manusia itu. Dan apabila hal itu terjadi, Arima sudah menyiapkan Quinque-nya di ujung tempat tidur, terbungkus rapi dibawah sarung guling. Detektif Special Class itu membuktikan kejeniusannya yang bukan omong kosong, bahkan ketika berbagi tempat tidur dengan seorang Ghoul yang paling ia ampuni kejahatannya ia tetap waspada.

"I'm glad it's still you." Arima berkata dari lubuk hatinya yang terdalam, ia benar-benar bersyukur ia masih bercinta dengan Haise yang versi manusia. Arima tersenyum tulus.

Senyuman yang menawan itu sukses membuat mata Haise berhenti berkedip, diantara kemelut gairah yang menggenangi pikirannya ia mencoba merapalkan sebuah kalimat. "What are you talking about?"

Meski suaranya terdengar lemah, Haise bangga dengan dirinya sendiri karena telah berhasil membuka mulutnya. Ia terlihat susah payah membalas senyuman tulus pria berambut putih itu.

Arima melonggarkan genggamannya pada dagu Haise, dan ia pun menyambar bibir mungil itu lagi. Dengan lidahnya ia membuka paksa bibir Haise dan sejurus kemudian melesakkan otot yang menggeliat itu ke dalam mulut pemuda setengah Ghoul itu.

Haise harus menyesuaikan rahangnya ketika merasakan lidah pria berambut putih itu menyentuh pangkal kerongkongannya, menggelitik faringnya hingga ia hampir tersedak. Arima menaklukan bibir yang sudah membengkak itu dengan penuh nafsu, ia memejamkan matanya, menyapu langit-langit mulut yang hangat itu dengan lidahnya yang lihai, membuat bibir Haise semakin memerah dan bengkak karena isapannya.

Haise tidak berusaha terlepas dari tawanan mulut Dewa Kematian CCG itu, lidahnya hanya mengiringi lidah Arima yang tengah mengeskplorasi mulutnya untuk yang kesekian kalinya, ia membiarkan bibirnya tenggelam dalam cumbuan yang panas dan menggairahkan, sesaat ia melupakan bagian bawahnya yang tengah ereksi tanpa pertahanan itu. Kedua tangannya tidak bergeming di atas permukaan sprei malang yang sudah tidak berbentuk itu.

Arima mengakhiri cumbuan intim mereka. Ia senang memperhatikan Haise yang kesulitan mengatur napasnya setelah berciuman. Tatapannya nanar dan lemah, bibir mungil itu bengkak, merah, basah dan tampak menggiurkan sementara dada kurusnya naik turun dengan berat, perut yang di penuhi bekas jahitan itu ikut kembang kempis, tulang rusuknya mencuat dengan seksi. Tubuh Haise terlihat begitu menggoda untuk diabaikan. Setiap senti tubuh SS-rated Kakujya ini diselimuti magnet sensualitas yang merangsang libidonya dan memaksanya meninggalkan kewarasannya, bahkan suara napasnya saja terdengar begitu erotis dan menggoda.

"Tolong jangan tendang aku." Bisiknya sebelum akhirnya ia menekuk kedua lutut Haise yang bergetar kemudian menundukkan kepalanya di selangkangan Haise.

Pemuda berambut hitam putih ini seperti bisa menebak apa yang dilakukan Arima selanjutnya. Ia menahan napasnya selama beberapa saat, menengadahkan kepalanya dan memejamkan mata, berusaha menolak rasa nikmat yang sebentar lagi akan menerjang tubuhnya. Saat ia merasakan sebentuk mulut hangat menangkup kemaluannya, Haise berteriak sejadi-jadinya. Teriakan nikmatnya menggema diseluruh ruangan, mulutnya terbuka berusaha meraih kembali oksigen yang sangat cepat meninggalkan tubuhnya, ia menjambak rambutnya sendiri, matanya terlihat panik, bingung dan mulai berkaca-kaca, lehernya tercekat, dadanya membusung, jaringan intuisi dan gerakan tubuhnya terputus akibat mulut hangat asing yang mengurung bagian tubuh paling sensitifnya.

Arima melakukannya tanpa peringatan, ia tidak malu meraih organ yang sudah bersemu itu dengan mulutnya. Ia mengunci kemaluan Haise dengan gigi dan dinding mulutnya, lidahnya bergerak membelai lubang sperma, dan dengan perlahan ia menggesekkan organ vital itu ke pangkal tenggorokannya. Ia mengabaikan kedua lutut yang meronta-ronta dicengkeramannya dan cairan transparan berbau anyir disekitar daerah sensitif itu. Kelima panca inderanya nampak tidak berfungsi dengan baik disaat-saat intim seperti ini, yang diciumnya hanya wangi yang terbias oleh gairah, rintihan menderita Haise terdengar amat seksi ditelinganya, rasa getir di lidahnya bertransformasi menjadi rasa yang paling fantastis yang pernah disesap, kulit yang berdenyut di mulutnya terasa hidup dan menendang-nendang.

Bulir airmata mengalir dari iris kelabu yang sedang tercekat itu, lenguhannya terdengar perih dan menderita, ia bukan kesakitan melainkan berusaha menolak kenikmatan yang dirasakan organ paling sensitifnya. Haise lupa caranya bernapas, peluh semakin melapisi seluruh tubuhnya, kedua matanya tidak dapat melihat apapun kecuali kabut gairah yang mengurung seisi ruangan, lututnya bergetar hebat, kepala berambut putih itu menggelitik selangkangan yang juga telah dilapisi peluh. Ia memohon dalam teriaknya, otot hangat itu membuat kemaluannya berdenyut hebat.

Haise segera ingin terlepas dari belenggu waktu yang seakan-akan berhenti ini, seluruh kawasan disekitar selangkangannya dikuasai oleh kenikmatan birahi yang membuatnya tanpa sadar mengangkat pinggulnya sendiri, permainan lidah itu membuat ototnya mengencang, mengubah seluruh tulangnya menjadi karet dan mengaliri pembuluhnya oleh lava gairah yang membakar seluruh saraf ditubuhnya.

"Aaaahh!" Haise merintih ketika mulut asing itu menghisap ujung kemaluannya, memaksa cairan yang tidak diinginkan keluar akibat tekanan yang mengelilingi organ vitalnya.

Suhu ruangan naik bersamaan dengan dua anak Adam yang tenggelam dalam hubungan intim mereka. Kepala pemuda berambut hitam putih itu menggelepar dengan seksi, bersamaan dengan tiap desahannya ia berusaha mengambil udara yang sudah panas, bibirnya ranum dan mencibir, urat-urat melesak dari balik kulit lehernya, ia melarikan tangannya ke buah dadanya sendiri mencoba membuat stimulasi untuk dirinya sendiri pada kedua putingnya yang rindu isapan dan permainan lidah asing yang sensual.

Intuisinya meleleh seiring derasnya lava gairah yang menghampiri otaknya, membuatnya melupakan pergolakan dirinya akan sensasi nikmat ini. Tubuhnya mendesak keintiman yang lebih. Kedua tangan nakalnya mencubit puting dadanya sendiri, kepalanya melesak ke lipatan sprei yang sudah semrawut, bibirnya berusaha mencari bibir semu yang bisa memanjakan seisi mulutnya.

"Haaahhh.." Haise mendesah lagi, dirinya sudah bisa beradaptasi dengan situasi erotis ini. Salah satu tangannya menuruni perutnya, membelai bekas jahitannya sendiri dengan tangan yang bergerak diluar kendali itu. Perutnya menggelinjang sendiri karena sensasinya sementara tangan yang satunya mengelus putingnya, mencubit, dan meraba Areola-nya yang berwarna cokelat kemerahan khas nuansa intim.

"Uuhh.." Bibirnya masih mencari-cari bibir khayalan untuk memanjakan lidahnya, ia melesakkan wajahnya ke sprei putih malang itu, menghirup bau katun yang direpresentasikan hidungnya sebagai bau seks, lidahnya menggeliat menjilati bahan katun itu seolah kain itu adalah sebongkah mulut yang membawa kenikmatan, kedua matanya terpejam, meringis karena gairah, kedua pipinya dijejaki bekas airmatanya.

Dibawah sana, pria berambut putih itu masih sibuk memanjakan batang kemaluannya, ia seperti terlatih dalam bidang ini, lidahnya tiada henti menelusuri volume organ vitalnya yang telah lembap karena cairan pra-sperma* dan campuran salivanya. Arima melesakkan organ yang berdenyut itu hingga ke pangkal tenggorokannya, menggelitik langit-langit mulutnya, membiarkan cairan yang tidak diinginkan larut ke dalam tenggorokannya. Setelah di rasa mulutnya penuh, ia melonggarkan tekanannya hanya untuk menutup lubang Urethra yang tiada henti mengeluarkan cairan itu. Lidahnya berhenti di lubang sperma itu selama beberapa waktu.

Pemuda berambut hitam putih itu tercekat lagi saat dirasa lidah itu tak mau beranjak dari lubang spermanya, pinggulnya melayang diatas tempat tidur, berusaha memicu lidah nakal itu agar mengizinkan cairannya keluar.

"Urrgh." Haise meringis tidak nyaman. Ia meraih kepala Arima dengan tangannya yang berada diperutnya, namun lidah itu masih tidak mau beranjak dari lubangnya dan ia pun mulai menarik helaian rambut putih itu, mencengkeram kulit kepala dan membuat helaian sewarna kapas itu senasib dengan sprei yang ditidurinya.

"Uunghh." Ia memohon lagi dalam rintihannya, pahanya makin tersetrum dan perutnya seperti mengeras. Cairan gairah yang seharusnya bebas mengekspresikan kenikmatannya itu dikekang oleh sebongkah otot hangat dan basah. Haise seperti ikan yang tertangkap jaring nelayan, ia meronta, memohon dan menggelepar untuk dibebaskan.

"Aaah, aargh.." Lenguhannya naik beberapa oktaf, gemuruh cairan didalam tubuhnya menolak untuk ditahan. Sebaliknya, Arima justru semakin menggodanya, ia membiarkan giginya yang menganggur mencubit ujung kemaluannya, membuat tubuh Haise jadi semakin tersetrum dan kepayahan karena gairah yang bertubi-tubi namun tak kunjung dilepaskan.

Detektif Special Class itu dapat membaca penderitaan Haise, ia menyunggingkan senyum tipis ditengah aktivitasnya. Arima bukannya seorang masokis, namun ia tidak dapat menampik bahwa libidonya semakin terpacu bila melihat rekan seksnya memohon dan meronta seperti ini, ia menggunakan salah satu tangannya untuk mengganti kerja lidahnya kemudian bangkit untuk melihat seberapa menderita Haise sejauh ini.

"Kau tampak berantakan, Haise-kun." Ujar Arima dengan suara yang sensual. Haise bisa melihat dengan jelas Arima yang tersenyum diatas penderitaannya, namun Haise tidak dapat menjawabnya, ia ingin terlepas dulu dari belenggu gairah ini.

Arima mendekatkan wajahnya ke wajah Haise yang tampak kacau, dan Haise pun mengalungkan kedua tangannya ke leher Detektif itu. Tatapannya penuh rasa memohon, bibirnya meracau, keringat dan airmata membasahi pipinya dan napasnya tidak beraturan.

"Urrgh." Haise mengerang didepan wajah pria berambut putih itu, berusaha menarik rasa ibanya, walaupun ia tahu hal itu sia-sia. Arima tidak pernah merasa iba dalam sebuah pertarungan.

"Kau ingin aku melepaskanmu?" Tanyanya, ia menekuri wajah yang tengah menderita itu. Bibirnya menutup dan membuka, mengeluarkan erangan dan mencari udara. Hembusan dari hidungnya terasa hangat. Ia menambahkan tekanannya pada kemaluan yang sedang digenggamnya.

"Arrgh." Haise berteriak didepan wajahnya. Air mata kembali menetes dari ujung-ujung matanya, ia memejamkan matanya erat-erat berharap desakannya bisa sedikit menghilang apabila ia menutup mata.

"Bukankah sudah kubilang untuk tidak menutup matamu, Haise-kun?" Ia menekan lubang sperma Haise dengan kuku ibu jarinya.

"Arrgh!" Pemuda setengah Ghoul ini semakin meronta dalam rengkuhannya. Haise pun terpaksa membuka matanya, pipinya dibanjiri airmata.

Arima menempelkan keningnya pada kening Haise tanpa berusaha mengurangi penderitaannya terhadap organ vital Haise. Ini adalah momen terbaik dan ia tidak mau kehilangannya. "Now, Haise." Ia berbisik diantara rintihan Haise, "Jadilah anak baik dan turuti perintahku."

Haise menelan ludahnya sebelum mengangguk, ia tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah Dewa Kematian CCG itu supaya diampuni.

"Good." Ia tersenyum melihat respon Haise yang alakadarnya. "Cium aku." Ia memerintahkan sambil melihat kearah bibir pemuda berambut hitam putih itu.

"Uungh." Haise melenguh lagi, tatapannya seolah berkata: tolong jangan lakukan ini padaku. Ia menelan ludah lagi dengan bimbang sebelum akhirnya ia menempelkan bibirnya yang merah dan bengkak itu ke bibir si Dewa Kematian.

Tanpa berusaha memejamkan matanya ia mengecup bibir tipis Arima, walau bergetar lidahnya merayu bibir itu untuk terbuka, Arima pun mengizinkan lidah Haise untuk memasuki mulutnya, ia menatap Haise dan tampak menakar ciumannya seolah-olah ciuman ini adalah sebuah tes kesehatan dan bukan kegiatan intim. Haise mulai menginspeksi mulutnya dengan lidahnya yang tak berhenti bergetar. Lidahnya tampak memberi salam pada lidah Arima dan ia menyapu keseluruhan gigi Arima yang teratur. Haise memiringkan kepalanya, melesakkan lidahnya lebih dalam hingga mencapai ke pangkal tenggorokan dan menggelitik langit-langit mulut Arima, cairan saliva menetes dari sudut bibirnya karena mulutnya tidak mampu menampung dua cairan saliva yang terlarut menjadi satu.

Haise mengubah posisi kepalanya kemudian melesakkan lidahnya lagi. Ia memijat lidah Arima dan membalurinya dengan saliva, rahangnya terbuka lagi, kali ini ia menyesap bibir tipis Detektif Special Class itu hingga bibirnya semakin bengkak dan memerah. Tekanan Arima pada kemaluannya jadi lebih kuat lagi, dan ia pun berteriak di tengah-tengah ciumannya. Ciumannya pun menjadi kacau dan berakhir.

Haise mengangkat wajah Arima yang tampak tidak puas karena ciumannya berakhir. Ia berusaha memohon ampun dalam tatapannya, napasnya semakin tidak beraturan, wajahnya semakin beruap.

"Itu tidak baik, Haise-kun." Katanya memicingkan tatapannya pada Haise. "Kabur ditengah-tengah ciuman seperti itu bukan perbuatan anak baik." Ia menekan Urethra Haise lebih kencang.

"Aarrgh!" Haise melesakkan mukanya sendiri ke pemukaan ranjang memperlihatkan leher jenjangnya yang dipenuhi oleh urat-urat dan otot yang menegang dengan seksi. Arima pun tidak membiarkan leher yang tampak menggairahkan itu. Ia menjulurkan lidahnya dan menyesap leher putih itu hingga menimbulkan Hickey lagi. Keringat yang melapisi leher itu terasa manis oleh lidahnya yang sedang di selimuti kabut seks. Haise menelusuri kepala berambut putih itu lagi dan membenamkan ke sepuluh jarinya ke kulit kepalanya. Arima tampak terganggu oleh kedua tangan yang tengah mengacak-acak mahkota kepalanya itu sehingga ia menghentikan aksinya meninggalkan Hickey pada leher Haise.

"Kau ingin ini segera berakhir, Haise-kun?" Arima masih memicingkan kedua matanya, ia menggelengkan kepalanya supaya kedua tangan Haise terlepas.

Haise menoleh ke wajah Arima lagi, tatapan Detektif Special Class itu sudah gelap karena nafsu. Bibirnya membeku, Haise pun mengangguk dengan sungguh-sungguh. Ia ingin belenggu gairah ini cepat-cepat melepaskan tubuhnya.

"Ikuti perintahku!" Arima menghardik, "Angkat tanganmu dan tetap buka matamu."

"Mmmh." Ia merintih untuk yang kesekian kalinya, bibirnya bergetar dan airmatanya mengalir semakin deras. Meskipun ragu, ia tidak bisa mengabaikan perintah Dewa Kematian CCG ini, adalah sebuah keharaman untuk tidak melakukan apa yang Arima katakan atau kau bisa berakhir di Quinquenya. Ia mengangkat kedua tangannya dan berusaha keras untuk tidak memejamkan matanya lagi.

"Apapun yang terjadi, jangan pernah berani menggerakkan tanganmu." Titahnya dengan nada yang baritone. "Kau tidak ingin mendapat yang lebih buruk dari ini, bukan?"

Arima tidak peduli pada respon Haise, ia buru-buru menggamit bibir mungil itu lagi untuk yang kesekian kali. Ia mengecupnya, mengajak lidah Haise yang bergetar untuk kembali berdansa dan melumurinya dengan salivanya hingga tumpah ke sudut bibirnya. Ia tampak tidak tertarik ketika Haise sudah mengadaptasi ciumannya, ia malah meninggalkan bibir itu dan bermanuver lagi dileher putih Haise.

Haise tampak sudah pasrah ketika Arima kembali menjilat lehernya. Ia benar-benar memaksa lepas dari belenggu gairah ini dan ia tidak mau mendapatkan penderitaan yang lebih dari ini, ia menikmati kehendak Arima yang dipaksakan pada dirinya.

"Aaah." Ia mengangkat kepalanya, membiarkan Arima menodai lehernya lebih dari sebelumnya. Dan seakan tahu apa yang terjadi selanjutnya, ia mempersiapkan diri. Tepat setelah ia menelan ludahnya, lidah Detektif Special Class itu mendarat lagi di puting susunya, ia berusaha sekeras mungkin agar tidak menutup mata dan tak menggerakkan kedua tangannya. Perintah Arima benar-benar sulit untuk dijalankan, seakan Arima tahu betul apa yang dapat menyiksanya. Dan stimulasi pada kedua kiblat sensitif tubuhnya inilah jawabannya.

Arima kembali melumat dada Haise yang tengah melengkung, ia menjilat Areola-nya berkali-kali sebelum mengecup permukaan yang sudah basah dengan peluh dan saliva itu. Arima bisa mendapati erangan Haise yang merdu di telinganya. Suara itu benar-benar bisa membuatnya meninggalkan dirinya. Haise begitu sensual, begitu erotis dan penuh dosa.

Arima memperlakukan hal yang sama pada puting Haise yang lain sebelum akhirnya ia menuruni perut rata itu dengan lidahnya. Ia bisa merasakan perut itu menggelinjang akibat perlakuannya. Ia menelusuri bekas jahitan memanjang vertikal diperut kiri Haise. Ia tahu persis siapa yang menyebabkan perut rata ini dikotori oleh benang jahitan yang mengganggu.

Bahkan ketika Arima tidak melihatnya, Haise masih berusaha keras untuk mengamini perintah Detektif Special Class itu dengan tidak menutup matanya. Ia hanya mampu mendesah dan melenguh, mengekspresikan bahwa ia benar-benar menikmati momen seks yang sedikit masokis ini, hal ini benar-benar diluar ekspektasinya. Aah, so intimidate yet so intimate.

Setelah lima belas detik, Arima menyudahi aktivitasnya. Ia bangkit lagi dan melihat Haise masih tidak bergeming dari posisinya. Kedua tangannya terhampar pasrah diatas kepalanya, matanya terbuka dan merintih, bibirnya mencibir dengan sensual, peluh membanjiri dadanya yang naik turun dan perut ratanya kembang kempis.

"Rilekskan tubuhmu, Haise." Ujar Arima, suaranya kembali lembut. "Buka pahamu lebar-lebar."

Meskipun napasnya masih tidak beraturan, Haise berusaha merilekskan tubuhnya. Sebisa mungkin ia menyesuaikan pahanya sesuai dengan perintah Arima walaupun pahanya tidak berhenti bergetar. Ia membentangkan pahanya dengan bimbang, kedua tangannya masih mengawang diatas kepalanya, ia mendesah dan tatapannya terlihat bingung.

"Aku yakin tidak perlu melumasimu, Haise." Ia melanjutkan tanpa mempedulikan Haise yang terlihat bingung oleh perkataannya. "Kau seorang Ghoul, ini pasti tidak akan terasa sakit." Arima mengatur napasnya, tangannya masih enggan membebaskan organ vital Haise yang tengah meronta, sisa tangannya bergerak ke balik selangkangannya.

Haise memang tidak melihat tangan Arima yang lain menghilang ke selangkangannya, namun ia dapat merasakan beberapa tekstur jari menggerayangi cincin anusnya. Arima melesakkan tiga jarinya sekaligus pada lubang kecil yang terasa lembap itu, seketika ia mendengar Haise melolong lagi.

"Aaarrrghh!" Haise memang tidak merasakan sakit, sama sekali tidak merasakan sakit saat ketiga tiga jari yang panjang itu memasuki lubang perawannya. Tusukan yang seharusnya terasa sangat sakit dan kesat bagi manusia biasa itu hanya direpresentasikan sarafnya seperti sebuah cubitan, cubitan yang menyuntikkan sensasi aneh yang membuat perutnya membatu akibat gemuruh gairah yang tertahan keluar itu. Kemaluannya menjadi sangat panas dan menggelitik, pahanya sudah kesemutan dan seluruh tulangnya seperti menghilang dari tubuhnya.

Haise mengangkat pinggulnya hingga punggungnya meninggalkan permukaan sprei, ia berusaha keras untuk tidak memejamkan mata dan menggerakkan kedua tangannya, rasanya begitu mencubit dan menggelitik, seperti ada jutaan semut yang sedang menyelubungi sekitar selangkangannya dan menggigitnya hingga selangkangannya tidak dapat merasakan apapun.

Arima baru melesakkan sepertiga permukaan jarinya ketika ia merasakan dinding perawan itu menyempit tiba-tiba, ia menahan jarinya di lubang perawan itu selama beberapa detik. Tatapannya sudah berembun oleh kelakuannya sendiri, ia benar-benar ingin merusak lubang perawan ini secepatnya. Arima sudah cukup panas mendengar desahan dan erangan sensual dari pemuda setengah Ghoul ini, libidonya benar-benar menggelitik seluruh tubuh dan melucuti kewarasannya. Ia tahu ia telah meninggalkan pemikiran rasionalnya dan ia mengakui bahwa sebentar lagi dirinya akan menjadi seorang pencuri keperawanan. Beruntung Haise adalah laki-laki sehingga dirinya tidak perlu repot-repot bertanggung jawab, lagipula Arima tahu bahwa Haise menyukainya.

Ia mencoba mengatur napasnya yang mulai tidak beraturan, "Ini akan sobek, Haise." Katanya dengan suara yang diselimuti nafsu. Dan ia pun dengan sekuat tenaga mendorong jarinya lebih dalam lagi, membiarkan kukunya merobek permukaan dinding yang merah dan tipis itu hingga permukaannya ledes dan darah segar menetes namun luka itu segera menutup lagi dan tetesan darahnya mengering.

Haise dapat merasakan jari-jari itu menyodok gairahnya, namun sayang lubang keluarnya masih dikunci oleh tangan Arima yang lain. Ia memohon dan meronta lewat tatapannya, pipinya sudah basah oleh airmatanya sendiri. Pemuda berambut hitam putih itu bisa melihat Arima tersenyum lagi, ia berkata "Ini tidak sakit bukan, Haise-kun? Seharusnya tidak. Lalu kenapa kau berteriak, Hm?"

"Aaaah!" Haise mendesah lagi sambil menggelengkan kepalanya, tubuhnya sudah basah diliputi peluh.

Arima merasakan lubang perawan Haise melonggar, lantas ia meraba keseluruhan dinding anus itu berharap dapat membuat Haise memohon kepadanya sejadi-jadinya. Jari-jarinya merangsak masuk lagi dan akhirnya menemukan apa yang diincarnya. Ketika Arima menekan titik itu, tubuh Haise melengkung sejadi-jadinya.

Teriakan nikmat Haise mendengung lagi diseluruh ruangan, ia tak mampu lagi mengenali oksigen dan karbondioksida untuk dihirup, tubuhnya melengkung sejadi-jadinya, kedua putingnya mengeras dan matanya membelalak sempurna ketika ia merasakan gerakan jari di lubang perawannya menyentil sesuatu yang membuat kemaluannya berdenyut tak terkendali. Arima benar-benar mendorongnya hingga ke ujung, ia sudah tidak kuat lagi.

Detektif Special Class itu memperhatikan gerak-gerik Haise yang akan meraih klimaksnya, ia menekankan jarinya pada titik tersensitif itu lagi, dan dalam sekejap pemuda berambut hitam putih itu melolong seperti serigala yang sedang terluka.

Penderitaan yang ditanggung tubuhnya semakin berat, diantara kewajibannya memenuhi perintah Arima untuk tidak menggerakkan kedua lengannya ia mendapatkan jutaan butir ekstasi yang ingin meledak keluar dari tubuhnya terhalang oleh sebongkah tangan besar yang nakal, membuat kedua tangannya justru gatal untuk meraih tangan besar itu dan mematahkannya karena menghalangi jalannya. Setengah mati ia berdoa supaya Kagune benar-benar tidak muncul disaat seperti ini. Jika Ghoul bisa mati akibat desakan gairah yang tidak kunjung keluar, maka Haise akan menjadi salah satunya, siksaan ini bukannya terasa sakit untuk membuatmu sekarat, melainkan begitu nikmat. Saking nikmatnya sampai-sampai kau ingin mati saja karenanya. Ah, so sensual, so erotic.

Peluh membasahi tubuh keduanya, tatapan Haise begitu nanar dan menderita, berbeda dengan orang yang tengah merobek lubang perawannya yang berkilat karena nafsu. Keduanya sama-sama lupa caranya nafas, Haise telah lebih dulu kehilangan akal sehatnya dan sebentar lagi Arima akan menyusulnya menggapai oase keintiman yang hanya dipenuhi oleh kenikmatan temporer dan birahi yang berkelanjutan.

Arima mendapati penglihatannya semakin berkabut dan kepalanya berkunang-kunang. Ia memejamkan matanya, mencoba mengatur kembali napasnya yang semakin tercekat seolah lehernya tengah dicekik oleh seseorang, bibirnya terbuka merapalkan sesuatu yang hanya sebuah desahan dan residu respirasinya saja. Perutnya keram dan celananya semakin tidak nyaman dipakai, ia yakin tidak akan dapat berkata dengan benar setelah ini.

Ia bertumpu pada lututnya kemudian menarik ketiga jarinya dari lubang perawan Haise dan tanpa melepas genggamannya pada kemaluan Haise ia menurunkan celananya sendiri. Tanpa usaha yang banyak celana longgar itu telah turun hingga ke lututnya. Arima bisa merasakan sengatan udara asing yang menggelitik selangkangannya. Ini adalah kali pertamanya ia telanjang didepan orang lain dan ia bersyukur bahwa Haise sudah kepayahan sehingga ia tidak perlu menyembunyikan wajahnya yang sudah merah akibat tuntutan gairah dan rasa malu.

Lelaki berambut putih itu tidak membuang waktu, ia melebarkan lututnya membuat paha Haise membentang semakin lebar kemudian dalam posisi setengah meringkuk, ia meletakkan tangannya di dekat lengan Haise yang menengadah. Ia bisa merasakan kemaluannya sendiri bergesekan dengan kemaluan Haise yang digenggamnya. Ini pertama kalinya ia merasakan organ vitalnya bergesekan dengan kulit telanjang lain, Arima memejamkan matanya, berusaha menikmati sensasi yang aneh dan nikmat itu tanpa kehilangan kendali dirinya. Dan walaupun lemah, ia dapat mendengar lenguhannya sendiri. Wajahnya benar-benar berantakan karena nafsu.

Kekuatannya menguap sedikit demi sedikit, kedua lututnya terasa semakin kecil untuk menopang tubuhnya yang berat, dada dan perut kekarnya kembang kempis. Seluruh sarafnya membeku oleh gairah bahkan bernapas saja bisa sangat sesulit ini, ia mencoba menggerakkan lidahnya yang terasa kaku, namun yang keluar dari mulutnya pertama kali adalah desahan.

"Hn..Angkat pinggulmu, Haise." Gumamnya diantara desahan dan hembusan napasnya.

Tidak butuh waktu lama hingga organ vitalnya bergesekan dengan lubang perawan Haise. Pemuda berambut hitam putih itu mengupayakan tenaga yang tersisa untuk mengangkat pinggulnya yang sudah mati rasa, ia bisa merasakan sesuatu yang akan mendesak lubang perawannya.

Sejurus kemudian Arima menempelkan keningnya pada kening Haise yang bersimbah peluh. Ia bergetar, dadanya naik turun dan hembusan napasnya terdengar berat, ia memejamkan matanya erat-erat seperti tengah menahan rasa sakit, residu pernapasannya terasa hangat diwajah Haise. Tanpa membuka mata ia kembali memagut bibir mungil Haise dan mendorong kemaluannya yang sudah mengeras itu ke lubang perawan Haise.

Kedua mata Haise nyaris lepas dari rongganya ketika ia merasakan sesuatu yang keras dan dingin merobek dinding perawannya yang hangat. Sesaat ia lupa bahwa dirinya tengah berciuman, ia berteriak kencang.

Mereka berdua dalam perjalanannya menuju oase keintiman. Lidah Arima meredam teriakan Haise yang parau, kedua saliva kembali larut menjadi satu, bibir mereka tak tergoyahkan. Detektif Special Class itu mendorong pinggulnya, memaksa batang kemaluannya melesak kelubang perawan Haise yang sempit dan hangat, tangannya kembali menstimulasi organ vital Haise yang sedari tadi memohon jalan keluar.

Arima melepaskan ciumannya dan membuka kedua iris mutiara hitamnya, ia melihat wajah Haise yang begitu tercekat. Kedua iris kelabunya membelalak penuh gairah, bibirnya yang bengkak terbuka lebar melolongkan desahan yang terdengar ringkih namun seksi. Dirinya sekarang kurang lebih bernasib sama. Bibirnya melantunkan bunyi-bunyian erotis yang perlahan semakin kencang, lehernya nampak tegang, pundaknya naik turun karena sulit bernapas. Cengkeraman dinding perawan Haise menyulut gemuruh diperutnya untuk segera keluar, dan ia mencium Haise lagi, mencari pelarian agar suara erotis yang memalukan yang disuarakannya tidak semakin kencang terdengar.

Arima terus memaksakan dinding perawan Haise untuk terbuka lebih lebar lagi, pemuda berambut hitam putih itu menggelepar dalam ciumannya, ia menghindari bibir Arima dan secara konsisten menyuarakan erangan bernada intim dan sensual, tatapannya memohon, seluruh tubuhnya merintih meminta pengampunan, kemaluannya sudah bersemu gelap.

Detektif Special Class itu tidak berhenti melesakkan organ vitalnya yang mengeras ke lubang perawan Haise yang seperti sedang memakannya, himpitan dinding hangat itu membuat kemaluannya semakin mengeras dan bergerak tanpa henti. Desakan daging yang mengeras di lubang perawannya menyiramkan seluruh tubuhnya dengan miliaran ekstasi yang membuatnya lupa diri. Dan ketika organ yang berdenyut itu menggesek sweetspotnya, Haise seketika mengabaikan perintah Arima.

"Aaarrrgghhh!" Teriakannya terdengar seperti ia tengah disuntikkan oleh cairan penekan sel RC. Tubuhnya menggelepar, matanya terpejam dan bibirnya terlihat mencibir dengan seksi. Haise menoleh mengabaikan Arima, ia membenamkan wajahnya sendiri ke lengannya, airmata dan keringat membanjiri seluruh parasnya, urat-uratnya menonjol keluar seperti akan menerobos kulit putihnya, lubang perawannya melumat kemaluan Arima, organ vitalnya sendiri telah hangat oleh campuran cairan yang merembes dan keringat tangan Detektif Special Class itu.

Arima tidak mempunyai waktu untuk tersenyum melihat hasil kerjanya. Ia benar-benar tenggelam dalam keinginan untuk mengeluarkan gairahnya, ia menekan ke sweetspot Haise lagi sebanyak yang ia bisa sebelum kemaluannya meledakkan letupan gairah yang sedari tadi bergemuruh diperutnya. Ketika desakan untuk makin memburunya, ia dengan perlahan menarik pinggulnya ke belakang, meninggalkan lubang hangat yang masih dengan erotis mencengkeram kemaluannya.

Setelah daging keras dan besar itu meninggalkan lubang perawannya, Haise dapat merasakan genggaman di organ vitalnya menghilang dan sejurus kemudian ia dan Arima tenggelam ke dalam oase keintiman yang mereka capai sendiri. Cairan putih berbau khas seks itu meledak dari organ vital keduanya.

Arima membenamkan wajahnya pada leher Haise, ia ambruk seketika begitu letupan gairah di dalam tubuhnya menggapai jalan keluarnya. Ia membenamkan seluruh mukanya ke ceruk leher Haise yang berlapis peluh, pundaknya bergetar hebat, tangan yang sedari tadi kesemutan menggenggam organ yang berdenyut itu beristirahat di perut Haise yang kembang kempis.

Haise memejamkan matanya dengan penuh kelegaan, ia merengkuh kepala Arima yang bergetar di lehernya dengan kedua tangannya, mencoba menenangkan Detektif Special Class yang tengah kalut akibat letupan gairahnya sendiri dengan mengusap kepalanya, merapikan helaian rambut sewarna kapas itu hingga terlihat teratur lagi, ia merasakan salah satu tangan Arima menggelayut manja di lengan kanannya. Meskipun dalam kekacauan yang sama, Haise berusaha menciptakan suatu sensasi yang dapat membawa kenyamanan bagi dirinya dan Arima.

Haise bisa merasakan pikirannya kembali mengakar, kabut gairah itu menghilang dari penglihatannya, ia bisa merasakan seluruh tubuhnya lagi bahkan tanpa sadar ia tengah merengkuh Arima dalam pelukannya. Tidak ada yang dapat menggantikan rasa manis dan nikmatnya air telaga keintiman yang mereka raih sendiri. Rasanya benar-benar membuat tubuh mereka ringan dan melayang.

Haise melarikan tangan kirinya ke pundak Arima yang bergetar, pundak telanjang itu begitu basah, kulit putih itu berpeluh gairah sama seperti dirinya. Ia mengelus pundak yang bergetar itu, mencoba menyampirkan kedamaian pada tubuh telanjang Arima. Tangannya merangkak ke pipi kanan Arima yang juga bersimbah peluh, ia membelai pipi halus itu dengan tangannya seperti orang tua yang sedang meninabobokan anak dipangkuannya.

Entah kenapa malah Haise yang terbawa kantuk sendiri, iris mata kelabu itu melemah, kelopak matanya menjadi berat dan masih dibebani Arima di rengkuhannya ia pun tertidur.

Haise tidak mengerti kenapa ia berada ditempat tidur bersprei putih itu sendirian, tubuh telanjangnya hanya dilapisi selimut yang ditarik sampai dada, kepalanya difasilitasi oleh bantal besar yang empuk.

Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, telinganya mencoba menangkap kegaduhan apapun diruangan tersebut namun yang tertangkap cuma hening yang tanpa akhir, ia belum menyadari keadaannya sampai ia menyibakkan selimut tebal itu sendiri. Ketelanjangannya mempercepat kerja otaknya sendiri, ia membelalak meski mukanya masih tampak kisut kemudian bertumpu pada lengan kirinya dan memandang seisi ruangan yang hanya diisi oleh kesunyian, lemari besar yang tak bergeming, jendela bergordyn yang kokoh dan lampu ruangan yang berpijar. Seingatnya, tadi malam Arima melakukan cobaan pemerkosaan pada dirinya—walaupun tidak bisa dibilang pemerkosaan juga karena ia menikmatinya. Intuisi meyakinkan dirinya bahwa yang terjadi semalam hanyalah mimpi, namun kalau benar mimpi kenapa sekarang ia terbangun dalam keadaan telanjang?

Ia menoleh ke kanan dan seketika matanya menangkap buffet kecil berwarna brown ash yang berada disebelah tempat tidur. Permukaan buffet dua tingkat itu diisi oleh setangkai bunga mawar segar yang terbungkus plastik transparan, secarik kertas putih yang tertindih pena dan sebuah jam digital yang tak pernah ia sadari ada disitu sebelumnya, jamnya menunjukkan angka 10:45 AM. Ia menggeser tubuhnya hingga jam digital itu berada dijangkauannya.

"Oh, crap! Aku tertidur hingga sesiang ini?!" Ia berseru pada dirinya sendiri. Matanya seperti baru saja melihat kecelakaan mengerikan ketika ia menekuri angka pada jam digital berwarna abu-abu itu. Ia sudah membayangkan dirinya akan kena Surat Peringatan, dirinya bangkit dan terkulai, selimutnya turun hingga ke perut, matanya kuyu dan tidak bergairah. Kenapa sih Arima-san tidak membangunkanku?! Protesnya dalam hati.

Ia menggeliat lagi hingga ke ujung tempat tidur—tidak memedulikan lipatan sprei yang sudah tidak jelas lagi bentuknya dan mendudukkan dirinya yang masih telanjang pada ujung tempat tidur empuk itu, ia meraih setangkai mawar merah segar dan secarik kertas yang ternyata berisi tulisan. Haise menelusuri tulisan yang ada dikertasnya dan sejurus kemudian pipi Haise kembali bersemu, matanya membesar dan mulutnya sukses menganga, ia lantas membanting dirinya ke kasur dibelakangnya, kedua kakinya meringkuk seperti Armadillo, wajahnya yang merah tenggelam diantara kedua lututnya. Yang semalam terjadi adalah sungguhan dan bukan mimpi!

Isi catatannya adalah sebagai berikut:

Selamat Rank 1st Investigator Haise Sasaki , kau resmi tidak perawan sejak tadi malam.

Nikmati bunga mawar dariku.

P.S: Jangan khawatir, aku mengatakan pada Akira bahwa kau sakit hari ini.

Terima kasih dan penuh cinta,

Kishou.

—TAMAT—

Selesai juga, yeaayyy! \ ^ ^ /

Percaya atau engga, chapter ini adalah chapter tersulit dari chapter-chapter sebelumnya, phew..

Apalagi saya harus ngebayangin Arima yang TOTALLY NAKED, Kyaaaaaaa | , |

Sumpah saya mesti bolak-balik baca manganya dari Tokyo Kushu, Tokyo Kushu Jack, sampe yang Tokyo Kushu:re sampe bosannnn supaya bisa mendapatkan feel yang lebih greget buat karakter Arima dan Haise.

Saya harap chapter terakhir ini bisa memuaskan gairah kalian akan pairing ini. Jujur review-review dari kalian viewers, ngebantu bingittttt ! *kecupeluk dari jauh*

Terima kasih banyak yang sudah berkenan meninggalkan coret-coretannya di wall saya, review dari kalian benar-benar mempercepat jadinya chapter baru ini karena saya sendiri tidak yakin chapter terakhir ini kelar dalam waktu 1 minggu.

Dan saya mohon maaf banget karena Arima kalian saya bikin rada maso disini dan pemetaan anal sex yang kurang jelas, saya aja butuh keberanian yang lebih buat ngetik kalimat demi kalimat. T_T

Harap maklum, ^^v