Akhirnya, epilog! Hah... fanfic yang kubuat untuk ngisi masa liburan ini, akhirnya beres juga. Aku seneng, liat banyak fanfic lain terinspirasi dari fanfic ini, seenggaknya, selain genre romance dan friendship, sekarang bisa muncul genre family juga di Boboiboy. Meski kadang aku ngarep, ada yang bisa menginterpretasikan para Elemental Boboiboy dengan sifat yang berbeda... hehehe...

Yah, pokoknya silahkan dinikmati chapter terakhir ini, maaf kalau kurang greget gimana...


Epilog: Together Ever After

Sebuah pepatah mengatakan, darah lebih kental daripada air. Suami istri mungkin bisa cerai, tapi untuk saudara tidak ada kata 'mantan saudara'. Apalagi anak kembar identik yang memiliki DNA yang sama.

Mungkin terhadap saudara, rasa sayang tidak selalu ditunjukkan dengan perhatian. Ada bermacam-macam hubungan antara saudara di dunia ini yang unik dan berbeda antara satu dengan yang lainnya.

"Gempa...?"

Taufan sedikit bingung saat melihat dapur kosong tanpa sosok adik kesayangannya di pagi hari. Biasanya jam segini, Gempa selalu hadir untuk memasak sarapan. Ia melirik jam, sudah jam 6 tepat. Sang kembaran kedua Boboiboy segera berlari kecil menuju kamar adiknya dan tersenyum saat melihat adiknya masih meringkuk di balik selimut.

Kamar yang biasanya rapi itu, sedikit berantakan dengan kertas-kertas bertumpuk dan laptop yang masih terbuka.

Apa lagi kalau bukan karena Pentas Seni?

Di luar dugaan semua orang , menyelenggarakan suatu acara dengan skala besar, tidak mudah. Banyak sekali hal yang harus dilakukan, membuat proposal, mengumpulkan dana, menentukan tema, menentukan tanggal, menyusun acara, mencari bintang tamu untuk mengisi acara, dan sebagainya. SMP Pulau Rintis memang terkenal dengan acara Pensi yang megah setiap tahunnya, tahun ini pun pastinya tidak ketinggalan.

Lucunya, para guru hanya sekedar memberikan ijin dan dana, tapi sisanya semuanya diserahkan kepada murid-murid terutama OSIS.

Tentu saja, bisa ditebak, OSIS babak belur mengurus acara tahunan itu.

Apalagi Ketua OSISnya.

Taufan berbalik dan menuju kamar kakak tertuanya. Karena Gempa ketiduran, ia harus membangunkan Halilintar sekarang, setidaknya kakaknya itu harus mau membantunya melakukan rutinitas pagi.

"Kak Hali~," Taufan membuka pintu kamar dan tidak terkejut melihat kakaknya masih terlelap dengan posisi aneh di tempat tidur. Satu kaki ada di bantal, kaki yang lain tergantung dari tempat tidur dan Taufan hampir tidak bisa melihat wajah kakaknya yang tidur telungkup.

Sang adik menghampiri kakaknya itu. Ia tahu, ia memang jahil. Sifat itu terbentuk karena ia tidak pernah tahan melihat kakaknya yang wajahnya sama persis dengan dirinya, hampir tidak punya ekspresi. Karena, itu, apapun resikonya, ia ingin melihat kakaknya lebih ekspresif. Meski taruhannya kadang nyawa.

Taufan mendekatkan diri ke salah satu telinga kakaknya dan menarik napas panjang.

"KAK HALIIIII BANGGGUUUUUUUUUNNN!" teriaknya sekuat tenaga.

Taufan segera mundur karena secara reflek, Halilintar langsung bangun dengan kecepatan cahaya, agar kepala mereka berdua tidak saling beradu.

"URGH! KAAAAUUU!" seru Halilintar penuh amarah. Namun, Taufan mengangkat satu tangannya, menghentikan kakaknya sebelum dia menerjang.

"Gempa masih tidur, aku mau masak sarapan, Kak Hali bisa jemur cucian nggak?" tanya Taufan.

Halilintar mengerjap, menurunkan kedua tangannya yang tadinya hendak mencekik adiknya. "Dia kecapekan...," komentar Halilintar lirih, membahas soal adiknya.

"Iya, kayaknya tidurnya baru pas pagi buta deh, makanya, aku yang masak sarapan, Kak Hali jangan protes ya kalau nggak enak," kata Taufan dengan wajah jahil. Halilintar hanya memutar matanya. Ia menggaruk kepalanya dan menyetujui permintaan adiknya itu.

Kedua bersaudara itu segera keluar dari kamar. Taufan segera menuju dapur. Ia tidak pandai memasak memang, entah kenapa ia tidak berbakat untuk yang satu ini, padahal dia jago sekali olahraga dan teknik akrobatik (apa hubungannya?).

Sang kembaran kedua segera membuat omelete dan menghangatkan tumis sayur sisa kemarin. Sementara sang kakak kedua menjemur baju di teras atas. Gempa memang selalu terbiasa, mencuci menggunakan mesin cuci sebelum tidur. Jadi, saat pagi hari tinggal dijemur.

Selesai menjemur pakaian, Halilintar menengok adik terkecilnya yang masih tidur. Karena Taufan masih sibuk di dapur, dan jujur saja, ia tak begitu suka cara Taufan membangunkan orang, jadi Halilintar memutuskan untuk membangunkan Gempa.

"Gempa, bangun...," panggil Halilintar, menepuk-nepuk kepala adiknya.

"Unghh...," keluh Gempa, jelas masih ngantuk.

"Udah siang nih," tambah Halilintar.

Tepat sesuai dugaan, Gempa langsung mengerjap cepat dan melonjak di tempat tidur.

"Serius!? Eh, Kak Halililintar... sekarang jam berapa!?" Gempa menyahut dengan panik. Namun, sebelum sang kakak bisa menjawabnya, Gempa sudah menoleh ke jam dinding di kamarnya.

"Jam 6 lewat 15! Kenapa nggak bangunin aku dari tadi!?" tampang adiknya makin kusut. Halilintar mengangkat tangannya, agar Gempa mau memberikannya kesempatan bicara.

"Taufan lagi bikin sarapan, cucian udah dijemur, kamu tinggal mandi sama pakai baju," kata sang kakak. Gempa mendengarnya kemudian mencoba memprosesnya, melihat adiknya mungkin masih belum sadar sepenuhnya, Halilintar pergi berlalu. Ia juga harus mandi dan siap-siap berangkat sekolah.

"Pagi, Gempa. Gimana? Enak tidurnya?"

Kalau Taufan yang mengatakan hal seperti itu, entah kenapa jadi ada dua makna, murni perhatian atau sindiran. Entah yang mana, Gempa tidak paham tapi ia hanya membalasnya dengan tersenyum malu.

"Maaf Kak Taufan," katanya. Taufan hanya tertawa kecil, ia menyusun tiga piring berisi nasi hangat, omelete dan tumis sayur sisa kemarin di meja makan.

"Yah untungnya aku nggak ikut ketiduran juga, kalau kita bertiga telat sekolah, nggak lucu ya?" katanya.

Tepat saat itu, Halilintar turun dari tangga, rapi dengan seragam sekolahnya juga.

"Teh? Kopi?" tanyanya, mencari-cari sumber kafein yang harus dia konsumsi di pagi hari.

"Nggak sempet," jawab Taufan singkat, ia harus sarapan, kemudian mandi dan siap-siap berangkat sekolah. Tidak sempat membuatkan kakaknya itu minuman berkafein.

Halilintar melotot pada adik keduanya, sementara Taufan tersenyum lebar sambil makan.

"Aku ada kopi kaleng Kak Halilintar, ambil aja di kulkas," jawab Gempa, menyantap sarapan di sebelah Taufan. Ia berhenti mengunyah sebentar. Omeletenya asin! Ia menoleh ke Taufan yang hanya tersenyum lebar sambil makan dengan santai, seakan tidak ada apa-apa.

Gempa hanya mendesah, salah dia juga sih yang bangun kesiangan. Untung kalau dimakan sama nasi, jadi tidak terlalu asin.

Halilintar mengambil sekaleng kopi dari kulkas. Ia sedikit kecewa karena harus minum kopi dingin di pagi hari, semoga tidak sakit perut. Ia kemudian kembali ke meja makan sambil membuka kopi kalengnya.

"Kamu minum kopi juga sekarang?" tanya Taufan, baru sadar kalau adiknya itu mulai mengikuti kebiasaan buruk kakak tertua mereka.

"Yah, aku cuma ngincer kafeinnya aja sih, supaya nggak tidur," jawab Gempa, jujur dia tidak bisa menikmati rasa kopi yang pahit. Persediaan kopi di rumah Boboiboy bersaudara hanya untuk Halilintar saja biasanya.

"Pantes...," gumam Halilintar, menggoyang sedikit kopi kaleng yang ia pegang. Rasa latte, ia lebih suka kopi hitam, tapi sang kakak tidak protes.

"Jangan kebanyakan begadang, ntar makin kurus lho," komentar Taufan, mencubit sedikit pinggang Gempa di sebelahnya.

"Aduh! Kak Taufan sendiri juga suka begadang main game...," balas Gempa tidak mau kalah.

"Kalau aku kan main gamenya sambil ngemill..., kalau kamu kan, tipe orang yang ngurusin makan orang lain tapi sendirinya belum makan," kilah Taufan.

Gempa hanya mampu diam dan meneruskan menyantap sarapannya. Itu tepat sasaran sekali.

"Nanti sakit, hati-hati," timpal Halilintar, wajahnya mengkerut sedikit saat menyantap omelete di piringnya dan menatap tajam pada Taufan. Sang adik hanya membentuk tanda 'peace' dengan dua jarinya.

"Iya, makasih," jawab Gempa, sedikit malu tapi senang dengan perhatian kedua kakaknya.

IoI

Akhir-akhir ini, kegiatan Taufan bukan sibuk membantu klub olahraga atau bermain skateboard, tapi berlatih menari break dance untuk Pensi.

Sebenarnya ia juga ingin bermain band untuk acara tersebut, namun sayangnya mencari personil band dan latihannya itu jauh lebih berat dibandingkan menari break dance yang bisa dilakukan seorang diri.

"Aduh!"

Taufan berhenti menari dan mengurut pergelangan tangannya yang agak ngilu.

Kalau Taufan yang menari break dance, maka bisa dipastikan berbagai macam gerakan dance yang sulit dan ekstrim akan dia lakukan. Dan jelas, kalau itu tidak selamanya berlangsung mulus tanpa luka.

Tapi memang dasar kembaran kedua ini keras kepala, ia tidak akan mundur begitu saja dan terus berlatih menggerakkan tubuh sesuai alunan musik.

"Itu tanganmu kenapa?"

Taufan yang sudah selesai berlatih menari, penuh peluh dan keringat, bertatapan dengan kakaknya yang sepertinya baru pulang dari kegiatan klub karate.

"Biasa, tadi narinya salah," kata Taufan sambil tertawa cengengesan.

Halilintar langsung menarik pergelangan tangannya yang sakit, membuat adiknya memekik kesakitan.

"Aduh! Kak Hali sakit!" gerutu Taufan, mencoba menari tangannya dari genggaman keras kakaknya namun Halilintar tidak mau melepaskannya.

"Makanya hati-hati," omel Halilintar. Taufan cemberut padanya.

Tapi sang adik diam saat perlahan, Halilintar mulai mengurut pergelangan tangannya yang sakit.

"Aw! Aduh! Pelan-pelan!" Taufan ingin menangis saat rasanya Halilintar mengurut pergelangan tangannya dengan tenaga besar yang ia punya.

"Diam sebentar," omel Halilintar, tidak mempedulikan protes Taufan yang kesakitan.

Taufan hanya bisa terus protes, sementara kakaknya membetulkan pergelangan tangannya.

"Lain kali hati-hati," omel Halilintar lagi, melepaskan tangan Taufan ketika dia selesai mengurutnya. Sang adik segera menarik tangannya cepat dan mengelus-ngelusnya.

"Uuuh... iya-iya," balasnya masih kesal karena kesakitan.

Halilintar membalasnya dengan menempeleng kepalanya kemudian segera berlalu ke kamarnya.

Taufan hanya memeletkan lidahnya pada kakaknya itu, meski sang kakak tidak bisa melihatnya. Ia sedikit malu juga, meski sudah tersenyum dan berusaha menutupinya, kenapa Halilintar bisa tahu kalau tangannya luka?

Karena mereka saudara kembar? Taufan tidak mengerti.

"Kak Taufan kok tangannya bengkak?"

Taufan tidak sanggup protes ketika sang adik, yang terlihat 3x lipat lebih kusut dan lelah dari dirinya, bahkan sadar dengan kondisi pergelangan tangannya. Padahal ia pulang malam hari dengan tubuhnya yang kelihatan hampir ambruk.

"Iya, tadi salah nari. Udah diurut Kak Hali sih, nggak begitu sakit kok," kilah Taufan. Iya sih, tidak sakit, cuma sakit kalau digerakkan saja, itu lanjutannya.

"Dikompres aja, sebentar ya," kata Gempa, menaruh tas di sofa dan berlalu ke dapur.

"Eh, nggak usah Gempa, kamu capek kan? Ada nasi bungkus tuh, tadi Kak Hali yang beli," sahut Taufan balik. Namun, sang adik tidak menanggapinya, ia sudah mengisi sebuah kantong plastik dengan es batu dan air.

"Kompres pakai ini supaya bengkaknya cepat hilang, aku juga ada plester kompres di kotak obat, nanti pakai itu aja sebelum tidur," kata Gempa, menyodorkan kompres buatannya. Taufan tidak bisa menolak dan menaruh kompres itu di atas pergelangan tangannya. Rasa dingin membuat rasa sakitnya menjadi memudar.

"Iya makasih, kamu makan dulu sana," balas Taufan. Gempa mengangguk dengan wajah lelah, ia meregangkan badan dan berlalu ke meja makan.

Taufan sebenarnya agak kaku saat menerima perhatian baik dari kedua saudaranya, tapi mungkin ia memang tak perlu memaksakan diri untuk selalu tersenyum di hadapan keduanya.

IoI

"Aku butuh bantuan Kak Halilintar."

Halilintar hampir menyangka, ia tidak akan ikut andil dalam Pensi. Ia tidak suka acara yang melibatkan banyak orang, ia juga tidak suka tampir dihadapan banyak orang (kecuali kompetisi karate). Ia merasa hanya akan jadi pengamat saja dari kejauhan, tapi ternyata takdir berkata lain.

Atau, ternyata Gempa punya rencana lain untuknya.

"Apa?" tanya Halilintar, jarang Gempa meminta bantuan padanya.

"Gini kak... setiap kelas itu ada iuran buat Pensi kan...," Gempa mulai menjelaskan. Halilintar menyeruput es kopi yang ada di tangannya.

"Nah, banyak kelas tiga yang susah banget ditagihnya. Udah coba ditagih Yaya, cuma mereka malah marah balik gitu...," keluh Gempa. Halilintar mengangguk paham, ia mengerti permasalahannya sekarang.

"Kamu mau aku bantu nagih?" tanya Halilintar. Gempa mengangguk penuh senyum.

"Asal Kak Halilintar janji jangan berantem sama mereka," tambah Gempa, Halilintar memutar matanya. Adiknya yang meminta bantuan, kenapa pakai syarat segala? Namun sang kakak tidak protes, ia juga tidak mau membuat Gempa yang selalu kelihatan sibuk belakangan ini bertambah kerjaannya.

"Ya udah," terima Halilintar.

"Ok, tapi aku ada rapat lagi ketua klub ekskul buat isi acara, Kak Halilintar bisa nagih bareng Yaya?" tanya Gempa lagi.

Halilintar sudah terbiasa dengan sosok gadis berkerudung pink yang merupakan teman sekelasnya itu, jadi ia tidak protes.

Tapi, mungkin seharusnya ia menyesalinya...

"Kamu ternyata memang baik ya?"

Halilintar sebenarnya juga tidak mengerti, kenapa ia tak suka dipuji baik. Mungkin karena ia merasa ia bukan orang baik, jadi ketika dipuji baik oleh orang lain, ia merasa aneh.

"Maksudmu?" tanya Halilintar, mulai kesal. Di tangan Yaya terdapat segepok uang yang berhasil ia tagih dari murid-murid kelas tiga.

Di luar dugaan, ternyata tidak terlalu sulit. Cukup menebar hawa membunuh di depan kelas, mereka langsung mengumpulkan uang dalam sekejap dan menyerahkannya padanya.

"Iya, kamu kakak yang baik...," puji Yaya tersenyum sendiri. Halilintar menggeretakkan giginya.

"Sok tahu," balasnya.

"Rasanya, aku pernah dengar istilah seperti ini. Orang yang berpura-pura jahat itu, sebenarnya orang yang sangat baik," tambah Yaya. Halilintar memandang tajam gadis itu, namun tampaknya sekertaris OSIS itu mulai kebal terhadap tatapan tajam matanya.

"Terserah," Halilintar membuang muka.

"Aku kan juga punya adik Halilintar. Aku mengerti perasaanmu. Adikku lagi lucu-lucunya sekarang, cuma memang sih ngurusnya susah," Yaya sepertinya tak peduli dengan sikap dingin teman sekelasnya itu.

"Siapa yang nanya?" balas Halilintar lagi. Yaya hanya memutar matanya.

"Kak Hali!"

Mereka berdua menoleh pada saudara Boboiboy yang lain, Taufan. Mereka memang masih ada di wilayah anak kelas tiga.

"Kamu sendiri?" balas Halilintar.

"Habis nanya ke kakak kelas, bantu minta editin musik buat break dance, Kak Hali sendiri ngapain?" tanya Taufan.

"Halilintar baru bantuin nagih iuran anak kelas tiga, diminta sama Ketua OSIS tadi," jawab Yaya.

Taufan mengerjapkan mata kemudian tertawa membuat Halilintar mendelik dan Yaya kebingungan.

"Aku udah nebak itu dari dulu! Kak Hali pantes deh jadi debt collector!" Taufan tertawa terpingkal-pingkal.

Yaya mengerjapkan mata, kemudian mengulum senyum menahan tawa. Sementara Halilintar aura membunuhnya semakin pekat.

"Apa maksudmu!?" seru Halilintar.

"AH! ADUH! SAKIT KAK HALI!"

Yaya memandang kebingungan kedua saudara yang tengah bergulat ini. Ia kemudian melihat Gempa datang dari kejauhan karena mendengar keributan.

"Mereka tidak apa-apa?" tanya Yaya pada Ketua OSIS.

Kembaran termuda dari Boboiboy bersaudara itu hanya mendengus dan tersenyum. "Tenang aja, udah biasa kok," jawabnya santai.

"Oh ya, ini uangnya," kata Yaya, menyerahkan uang yang berhasil ditagih oleh Halilintar.

"Oh, makasih. Kak Hali, makasih ya!" seru Gempa, Halilintar melepas pelintiran lengan Taufan. Ia mengangguk, sementara Taufan buru-buru mundur dan mengelus lengannya yang masih terasa ngilu.

"Kak Hali jahat deh, aku kan cuma bercanda!"

Namun Halilintar tidak mempedulikannya. Sementara Gempa tidak menanggapi sikap konyol kedua kakaknya, ia segera berlalu diikuti oleh Yaya.

Sang sekertaris OSIS sempat menoleh pada kedua kembaran Gempa yang lain, yang kini terlibat adu mulut hebat, hubungan mereka terlihat sangat aneh.

Tapi, dalam hati ia yakin, Halilintar kakak yang baik, mungkin sebagai kakak, ia bisa belajar sesuatu darinya.

IoI

Gempa melihat ke panggung Pensi yang berdiri megah, mendengarkan alunan musik beat yang cepat berirama, dan memperhatikan kakak keduanya menari break dance di atas panggung dengan apik. Ia memang masih kagum, berapa kali pun ia menontonnya.

Dari seluruh kembaran Boboiboy, memang Taufan yang punya bakat jadi entertainer seperti itu.

Gempa hanya mengulum senyum melihat banyak teman, juga siswi-siswi, yang meneriakkan nama kakak keduanya.

"Kupikir kau akan tampil."

Gempa menoleh pada Wakil Ketua OSIS, Fang, yang tiba-tiba ada di sebelahnya.

"Aku tidak bisa apa-apa," jawab Gempa. "Lagian aku nggak narsis kayak kau," sindirnya. Fang tidak mempedulikan sindiran sang Ketua OSIS, memang beberapa menit yang lalu ia baru saja selesai bermain gitar akustik sambil menyanyi solo di atas panggung.

"Kalian bersaudara memang aneh," komentar Fang. Gempa hanya tersenyum mendengarnya.

"Mungkin...," jawab Gempa lirih. Sang adik segera bertepuk tangan saat Taufan selesai menari. Meski banyak yang berteriak "LAGI! LAGI!" tapi sang kakak kedua hanya memberikan tanda peace ke udara dan berlari kecil turun dari panggung. Yang pertama dilihat adalah Gempa, ia langsung menghampirinya dan memeluk adiknya, masih agak sulit diam karena masih dipenuhi adrenalin.

"Iyei! Aku keren kan!? Kan?!" serunya dengan riang.

Gempa tidak protes meski sang kakak penuh peluh dan membuat seragam panitia yang ia kenakan jadi basah dan berbau asam.

"Iya, tadi Kak Taufan keren banget," puji Gempa.

Taufan melepaskan pelukannya dan melihat kesana kemari. Agak masam saat bertemu pandang dengan Fang, namun memutuskan untuk tidak mempedulikan Wakil Ketua OSIS tersebut. Fang sebenarnya agak sakit hati diacuhkan terang-terangan seperti itu, jadi ia akhirnya pergi berlalu.

"Kak Hali mana?" tanya Taufan.

"Tebakanku sih, dia pasti menyendiri di salah satu kelas di lantai dua, cuma pas Kak Taufan dance tadi, pasti liat kok," kata Gempa.

"Harusnya kita tuh tampil bertiga tahu, pasti bakal bikin fans Boboiboy kembar jadi makin banyaaak," seru Taufan.

Gempa hanya menurunkan satu alisnya. Fans? Memangnya mereka selebritis?

"Kak Halilintar yang anti sosial gitu mana mau disuruh naik ke atas panggung, aku juga sama. Nggak bakalan bisa tenang sampai Pensi beres tanpa masalah," komentar Gempa. Taufan hanya mendengus dan melemparkan pandangannya ke kelas-kelas yang ada di lantai dua.

"Ya udah aku ke Kak Hali dulu ya," sahut Taufan, mulai berlari meninggalkan adiknya.

"Kak Taufan, pulang duluan aja ya nanti, aku bakal di sini sampe malam!" seru Gempa sebelum kakaknya terlalu jauh.

"Ngapain, bantuin bongkar panggung?" canda Taufan, berhenti sejenak.

"Iya," jawab Gempa lugas, melebihi candaan Taufan.

Taufan tidak sanggup berkomentar lagi, ia hanya menggeleng-gelengkan kepala dan melanjutkan berlari. Tapi ia tidak bermaksud mengikuti perkataan adiknya.

IoI

Pensi adalah hasil upaya, keringat dan darah dari anggota OSIS. Bukan hanya bekerja keras untuk mengadakan Pensi, tapi juga memastikan Pensi berlangsung dengan aman tanpa masalah.

Memang sudah dibentuk panitia Pensi yang terdiri bukan hanya dari OSIS, tapi perwakilan kelas serta klub, tapi tetap saja yang bekerja paling banyak adalah OSIS.

"Udah makan?"

Dan tugas Ketua OSIS salah satunya memastikan kalau semua panitia Pensi sudah makan.

"Kamu sendiri pasti belum," sindir Yaya, namun tak dipedulikan Gempa.

Sang Ketua OSIS terus mengecek semua panitianya, berharap setidaknya tidak akan ada panitia yang pingsan karena belum makan. Beberapa dari mereka, termasuk dirinya sendiri, sudah berada di sekolah sejak dini hari.

Gempa berhenti berjalan saat sebuah nasi bungkus disodorkan padanya. Ia menatap kakaknya, Halilintar, yang tampaknya tidak menerima kata 'tidak'.

"Kak, habis ini ada-"

"Makan dulu," kata Halilintar tegas.

"Tapi-"

"Makan."

Gempa mendesah dan akhirnya mengambil nasi bungkus dari tangan Halilintar. Darimana nasi bungkus ini berasal, Gempa juga tida tahu, tapi yang jelas ini bukan makanan yang disiapkan oleh panitia.

"Kak Taufan mana?" tanya Gempa.

Halilintar menunjuk ke arah depan panggung, dimana kakaknya sedang jingkrak-jingkrak menari mengikuti musik band sekolah yang sedang tampil.

Gempa hanya tersenyum. Kadang ia tidak mengerti, kenapa semua saudara-saudaranya memiliki sifat yang begitu jauh berbeda satu sama lain. Ia tahu, Halilintar mulai jengah dengan semua keramaian ini. Sedari tadi, kaka tertuanya itu tak mau mendekati panggung.

"Kak Halilintar mau pulang?" tanya Gempa, melahap nasi bungkus di pangkuannya.

"Nunggu kamu," jawab Halilintar singkat.

"Jangan kak, aku bisa sampe malem banget baru pulang," cegah Gempa, namun kakaknya itu tampaknya tidak mendengarkan perkataannya.

Gempa mendesah dan melahap nasi bungkusnya sampai habis. Ia baru sadar ia belum makan siang tadi dan ternyata ia memang lapar sekali. Karena terlalu merisaukan Pensi, ia sampai lupa makan.

"Nanti kita pulang bareng," Halilintar tampak puas melihat adiknya selesai makan. Gempa hanya mengangguk, tak bisa protes.

"Iya, makasih ya," balas Gempa.

"GEMPAAA!" seorang panitia Pensi berteriak memanggil nama sang adik.

"Kak, aku pergi dulu ya," kata Gempa cepat. Halilintar hanya mengangguk. Ia melihat adiknya pergi kemudian memandang ke arah panggung, dimana musik mengalun keras dari speaker raksasa.

Ia benar-benar sangat menantikan kapan acara menyebalkan seperti ini selesai, jadi Gempa tidak akan sibuk lagi, Taufan tidak akan terluka karena berlatih break dance lagi dan semua keramaian ini akan bubar.

IoI

"Aduh, capek banget sumpah..."

Halilintar hanya memutarkan matanya, tidak mau mendengar keluhan kembaran kedua. Tentu saja, sepanjang waktu Taufan terus bersuka ria di depan panggung dari pagi hingga sore. Siapa yang tidak bakal capek seperti itu?

Sementara Gempa di sebelahnya sudah tidak bisa bicara, wajanya lega namun sangat-sangat kelelahan. Ketiga kembaran Boboiboy berjalan pulang larut malam, setelah Pensi kelar, setelah panggung sudah setengah dibongkar dan semuanya beres tanpa masalah.

Yah mungkin ada insiden kecil, seperti beberapa murid merokok di pojokan, yang langsung diusir OSIS dengan bantuan Halilintar secara mengejutkan dan ternyata konsumsi yang disediakan untuk panitia tidak mencukupi. Tapi, itu semua bisa ditangani dan telah berlalu.

Ketiganya sampai ke rumah dengan keadaan sangat kelelahan.

Halilintar lelah dengan keramaian, Taufan lelah karena heboh sepanjang waktu dan Gempa lelah jadi panitia.

Sang adik termuda menjatuhkan diri di sofa dan dalam sekejap tertidur.

Kedua kakaknya sudah tidak ada tenaga untuk sekedua memindahkannya. Bahkan Taufan mengambil bantal sofa dan ikut menjatuhkan diri di karpet sebelah sofa.

Halilintar pun memilih untuk tidur dalam posisi duduk di sofa yang lain. Ia tahu mungkin di pagi hari ia akan berpindah tempat, tapi sekarang ia tidak peduli.

Yang penting, semuanya sudah selesai dan tak ada masalah lagi.

IoI

"Gempa, Taufan, Halilintar, ibu pulang!"

"Ayah juga!"

Kedua orang tua Boboiboy kembar, yang tidak sengaja bertemu di stasiun saat keduanya pulang, berhenti menyahut dan memandang ketiga anak mereka, yang entah kenapa, semuanya tertidur di karpet depan televisi dengan keadaan yang sangat berantakan.

Suami istri tersebut hanya saling pandang dan tersenyum. Mereka kemudian mengendap-ngendap di sekeliling mereka.

"Aih, anak ibu manis sekali...," sang ibu mengecup kening Gempa dan Taufan. Keduanya segera tersenyum dalam tidur.

Sementara sang ayah membelai rambut Halilintar, yang segera menuai keluhan setengah tidur dari sang kembaran tertua.

Orang tua kembaran Boboiboy tidak tahu apa saja yang terjadi selama ini, tapi yang jelas mereka bahagia melihat ketiganya kembali akrab seperti dulu.

Dan mereka berharap keakraban ini akan berlangsung selamanya.

END


Kenapa mendadak kedua orang tua Boboiboy muncul? Gak tau, mereka muncul sendiri *plak

Kok pensinya kayak gitu?

Iya ya... soalnya aku tahu banget jadi panitia itu gimana. Bukannya asik nikmati acara, tapi jadi yang heboh di belakang panggung! Hahahahaha! Itu nyiksa banget! Aih...

Akhirnya epilog kuisi dengan character development pada kembar Boboiboy. Gempa yang akhirnya mulai bisa ngandelin kedua kakaknya, Taufan yang mulai mau berhenti senyum terus dan Halilintar yang mungkin akhirnya nerima kenyataan kalau dia kakak yang baik.

Sebenarnya tadinya sempet mau nulis si kembar liburan... tapi sudahlah, nggak ada ide yang bagus.

Oh ya, makasih buat semua idenya. Bagus-bagus, cuma uph, ada sebagian yang rasanya bakal nggak bisa kutulis. Jadi, intinya, nggak ada yang 'klik' buat cerita ini. Cerita ini kubuat sedekat mungkin dengan kehidupan nyata, banyak diantaranya terinspirasi dari ke hidupanku sendiri. Kecuali chapter 7 mungkin, hahahaha...

Taufan itu terinspirasi dari temenku, yang dia hampir bisa apa aja. Ganteng, pinter banget, supel, jago olahraga, bisa break dance, bisa ngeband, suka main game, suka anime/manga, bisa 5 bahasa, dan... oh udahlah... lupakan saja

Gempa terinspirasi dari temenku juga, yang merupakan ketua organisasi sekolah. Orang yang baiiiik banget dan sedihnya jadi sering dimanfaatin orang, cuma lucunya dia tahu dia dimanfaatin orang dan ngebiarin hal itu. Tapi, dia adalah sosok ketua berkharisma yang dipuja banyak orang.

Halilintar? Hahaha... entah ya dia nggak terinspirasi dari siapa-siapa. Sifat anti sosialnya dari diriku sendiri, sisanya? Dia bagai karakternya yang terbentuk sendiri tanpa direncanakan.

Mungkin suatu saat bisa kutulis side story dari fanfic ini. Kalau sekuel aku nggak janji.

Oh ya, ada yang tanya, gimana para kembar Boboiboy pakai topi. Ya kayak di kartunnya.

Ada juga yang bingung, mereka kan pake jaket, tapi juga pake seragam. Ya emang pake dua-duanya, jadi seragam dulu, terus pakai jaket kayak perubahan kedua mereka, gimana, paham?

Ada yang minta cinta Halilintar dan Taufan, itu maksudnya apa aku nggak ngerti. Halilintar dan Taufan itu hampir mirip aku dan kakakku. Aku kasar dan cuek sama kakakku, kakakku jahilnya minta ampun. Tapi, kalau ditanya sayang? Aku sayang kok sama kakakku, meski nggak bakal mau kuakui langsung. Kupikir banyak deh hubungan saudara kayak gitu.

Ok, beres kan? BERES! YEEEEIII!

Hah... akhirnya.

Akhi kata, terima kasih untuk semuanya! Terima kasih untuk para reader, reviewer, semuanya yang ngedukung fanfic ini sampe tuntas-tas! Fanfic ini banyak kekurangannya, banyaaak banget. Jadi, maaf ya selama ini, dan juga terima kasih.

Sampai jumpa di fanfic yang lain ^^

Byeee!