Musim telah berganti menjadi musim dimana warna coklat kemerahan lebih mendominasi. Gradasi warna musim gugur adalah hal yang Jongin pertimbangkan sebagai urutan sesuatu yang ia suka. Urutan berapa? Mungkin 2. Lalu, yang pertama? Tentu saja ayahnya, yang sudah almarhum.

Angin musim gugur memang lumayan dingin. Walau sebenarnya ia tak suka dengan hawa dingin, tapi jika bukan winter, Jongin masih mentolerir. Karna dinginnya masih wajar, dan Jongin juga masih tahan.

Sore ini Jongin memutuskan untuk keluar rumah. Berjalan-jalan pelan menyusuri sungai Han dengan berbalut sweater putih dan syal merah. Mencari ketenangan untuk dirinya sendiri. Ia sudah terlalu lelah dengan berbagai pikiran berat yang semenjak hampir 3 minggu ini terus menggerayangi benaknya.

Entah kenapa, ia tak bisa menemukan titik terang dari semua permasalahannya. Terkadang hingga membuat kepalanya terasa sakit mendadak karna terlalu banyak berpikir. Selama itu pula Jongin hanya sendiri. Ia selalu menghindar dari Sehun yang berusaha meraihnya. Atau bahkan dari ibu dan adiknya yang terus mencoba untuk menemuinya.

Entah... tapi ia mendadak menjadi pribadi yang lebih pendiam dari biasanya. Ia tak mau diajak bicara oleh siapapun entah itu teman-teman sekolah ataupun hyungdeul dari Emperor. Ia sekarang menjadi orang yang lebih introvert.

Omong-omong tentang Emperor, bagaimana dengan audisinya? Waktunya tinggal 1 bulan lagi. Dan Jongin belum tahu mengenai keputusan dari masing-masing anggota. Serta, seharusnya mereka sudah mulai berlatih bersama-sama jika mereka ingin melangkah bersama.

Hah... aku tak tahu.

Jongin mendesah berat sambil memegang kepalanya. Rasanya, ia benar-benar ingin lepas dari beban hidupnya yang terasa berat ini. Tapi, ia tak tahu bagaimana caranya.

Jongin sering membaca berita tentang orang yang bunuh diri karna tidak kuat dengan hidup yang dijalani. Dan ia ingat insiden dimana Oh Sehun menggedor brutal pintu rumahnya karna mengira dirinya bunuh diri.

What the... Jongin bahkan tak berpikiran sampai kesana. Memikirkan tentang kematian saja ia takut. Apalagi menjemputnya sendiri.

Tapi tunggu... bunuh diri?

Langkah Jongin berhenti. Ia menatap kosong pada aliran air sungai yang jernih. Memperhatikan bagaimana bayangan dirinya terpantul dan bergoyang di atas air.

Bunuh diri?

Ya, jika dia mau dia hanya tinggal lompat 'kan? Jika beruntung, ya acara bunuh dirinya sukses. Jika tidak, ya tinggal merasakan saja bagaimana berada di dalam masa kritis. Atau mungkin menelan bayak air. Tapi, sia-sia, bodoh! Dia bisa berenang!

Kalau begitu, jangan menggunakan media air. Bagaimana dengan tali tambang yang diikat pada dahan pohon tomat, gantung diri begitulah.

Tapi, tidak... tidak! Sekalipun gantung diri di pohon tomat, yang namanya bunuh diri, tetaplah sesuatu yang tidak benar.

Bunuh diri bukan jalan keluar terbaik. Meski semua ini berat bagi Jongin, ia tetap masih punya pemikiran waras untuk melakukan bunuh diri. Walau seberat apapun hidup, tetap tidak boleh bunuh diri. Karna, jika sudah sampai di dunia kekal itu kita tak bisa walau untuk menyesal. Tak akan pernah bisa kembali. Iya jika dirinya masuk ke surga, kalau masuk neraka bagaimana? Karna Jongin sadar bahwa dirinya bukanlah orang yang memiliki semua kebaikan, tetapi dia hanyalah manusia yang juga memiliki dosa. Ia tidak tahu perbandingan antara kebaikan dan keburukan yang pernah ia buat selama 17 tahun hidupnya. Ia tidak tahu Tuhan akan menempatkannya dimana. Makanya, dia tak sampai berpikir untuk bunuh diri.

Jujur saja, walau kematian tetap akan datang kapanpun kepadanya, tetap saja ia takut menghadapinya. Rasanya, ia belum siap sama sekali. Hanya orang bodoh yang memutuskan untuk mengakhiri hidup apapun alasannya.

Jongin tidak mau mati sekarang. Ia belum mencapai cita-citanya. Ia belum meraih kebahagiaannya. Ia belum menjadi apa yang ia inginkan. Ia belum bersatu... dengan ibunya.

Ibu?

.

.

.

Baby, U are Lonely... [sequel] THE LIGHT BEHIND YOUR EYES

SEQUEL CHAP 8...

Hurts-Romance-Drama-Slice of Live

YAOI!

Sehun, Jongin, with other support cast.

Typo menyebar, bahasa berantakan, ejaan tidak sesuai EYD, tidak sesuai karakter.

HunKai Present! With UKE!Kai

.

.

.

Setiap melihat gereja, Jongin selalu ingat peristiwa itu. Dimana ia bertemu ibu dan adiknya dengan perasaan bahagia yang membuncah, tetapi mendadak berbalik 180 derajat menjadi sesak ketika fakta itu terungkap. Yah, itu menyakitkan dan sampai sekarang masih betah bermain-main dalam otaknya. Seperti memberi benturan keras pada pikirannya.

Seperti saat ini, putra sulung Kim itu hanya berdiri di depan gereja dekat sungai Han dengan tatapan sendu, ditemani semilir angin yang membelai anak rambutnya.

Setelah menghela nafas pelan, kakinya melangkah menuju gerbang utama gereja yang telah terbuka lebar sedari tadi.

Hal pertama yang ia lihat adalah sepi. Tidak ada orang yang beribadah. Mungkin belum waktunya? Biasanya gereja penuh kalau pagi. Yang sekarang Jongin lihat adalah bayangan orang duduk di dalam sebuah kotak seperti penjara, hanya jerujinya terlihat terpahat dengan rumit. Jongin tak dapat melihat wajah orang itu dengan jelas.

Jongin lantas menghampirinya dan duduk di lantai sambil menyandarkan sisi tubuhnya pada salah satu sisi kotak besar itu. Ia kembali menghela nafas panjang, menerawang pada benda salib yang terletak di bagian paling depan gereja.

"Ada apa, Nak?" Seseorang dari dalam kotak itu membuka suara dengan nada yang lembut.

"Aku memiliki masalah yang cukup sulit," Jawab Jongin dengan raut lelahnya.

"Kau bisa menceritakannya padaku jika kau mau,"

"Aku tidak tahu harus memulai darimana. Aku bingung,"

"Pelan-pelan saja. Terbukalah padaku. Kau boleh menumpahkan bebanmu padaku,"

"Ayahku meninggal karna kecelakaan sebulan yang lalu. Aku sangat kehilangan. Aku sangat sedih. Karna ayah adalah satu-satunya yang kumiliki. Sekarang aku sendirian,"

"Kau tidak sendiri. Tuhan selalu bersamamu. Hidup dan mati sudah ditentukan. Tidak peduli kau sudah siap atau belum, kematian akan tetap datang kapanpun. Walau meninggalkan kesedihan, orang yang ditinggalkan tetap harus melanjutkan hidupnya,"

"Aku tahu itu. Dan aku sudah rela dengan kepergian ayahku. Yang tidak bisa aku terima adalah ibuku,"

.

.

.

Beberapa kali helaan nafas panjang terdengar dari bibir tipis Oh Sehun. Kepalanya mendongak menatap langit-langit ruang tamu apartemennya yang gelap gulita, karna ia tidak menyalakan lampunya. Pikirannya melayang pada kekasihnya yang berperilaku seolah tak menganggapnya ada setelah kejadian di gereja itu. Sehun sudah melakukan banyak cara untuk mendekati Jongin dan menjelaskan semuanya pada pemuda tan itu. Namun, kehadiran dirinya seolah ditolak oleh Jongin.

Sehun kira Jongin hanya membutuhkan waktu sendiri untuk beberapa hari saja. Tak disangkanya, justru berminggu-minggu. Sehun tak tahu pergulatan apa yang tengah terjadi dalam benak pemuda yang masih menyandang status sebagai kekasihnya itu. Yang Sehun tahu, hanya dirinya merasa bersalah karna tak jujur pada Jongin mengenai perkara itu.

Tolonglah, Jong, jangan begini.

Sehun tak tahu harus menyerah atau bertahan dengan situasi ini. Dalam hatinya, ia tidak mau menyerah. Karna itu artinya, ia harus meninggalkan pemuda yang ia cintai bersama kesalah pahaman yang menggantung. Ia tak mau pergi dari Kim Jongin disaat seperti ini. Sama saja ia tidak gentleman!

Sehun masih ingat dengan tekadnya untuk melindungi Kim Jongin. Ia juga masih ingat petuah dari ibunya untuk tetap berada disisi Jongin apapun yang terjadi. Tapi, masalahnya Jongin sendiri yang mendorong dirinya menjauh. Sehun harus apa sekarang? Sehun tidak ingin berpisah dari orang yang ia cintai.

Pada detik setelah ingatan tentang tekadnya menyapa, Sehun telah mengambil keputusan. Dia tak akan menyerah. Ia tidak mau menyia-nyiakan perjuangannya selama ini untuk mendapatkan Kim Jongin. Ia tidak akan membuang begitu saja kepercayaan almarhum Paman Kim atas Kim Jongin. Ia juga tak akan menyia-nyiakan lampu hijau dari keluarganya mengenai hubungannya dengan Kim Jongin.

Sehun belum sempat memperkenalkan pemuda tan itu pada orang tuanya. Jadi, Sehun tak akan mundur begitu saja. Walau Jongin menghindarinya sekarang, Sehun bertekad akan membuat Jongin kembali padanya.

Sehun sangat berharap, Kim Jongin tidak terlalu lama menghindarinya lebih dari ini.

Bel yang berbunyi secara tiba-tiba membuat Sehun terlonjak kaget. Lamunannya buyar seketika. Shit! Siapa yang bertamu pukul 8 malam?

Dengan enggan, ia bangkit dari sofa dan berjalan menuju layar monitor. Ketika matanya menangkap sosok yang menjadi pikirannya beberapa saat lalu terpampang pada layar monitor, matanya membelalak. Dengan cepat ia menekan tombol dan berlari untuk membuka pintu.

"J-Jongin?" Sehun mematung. Tidak menyangka kekasihnya akan datang sendiri kepadanya.

.

.

.

"Nak, tidakkah kau juga memikirkan adikmu? Kau masih lebih baik karna kau dapat tinggal dengan ayahmu. Sedangkan adikmu? Ia hanya bersama kakek dan neneknya, bukan orang tuanya. Tidakkah kau berpikir bahwa adikmu sebenarnya menjalani hidup yang lebih sulit? Dia tak memiliki sandaran apapun dari orang tua kandungnya. Nak, jangan berpikir bahwa kehidupanmu adalah yang terburuk. Tanpa kau ketahui, hidupmu itu lebih baik dari siapapun. Karna kau, belajar. Belajar untuk lapang dada, ketulusan, dan kau diajarkan untuk mengerti tentang penderitaan. Hidupmu... adalah guru yang tepat untuk mendidikmu menjadi pemuda yang lebih baik lagi,"

Iya, benar! Mengapa ia tak memikirkan tentang adiknya yang bahkan tak bersama orang tuanya. Pada kenyataannya, Jong Hee juga baru saja bertemu dengan ibunya. Benar, setidaknya Jongin hidup bersama ayah. Sedangkan Jong Hee? Pasti gadis kecil itu kesepian.

Kakek dan nenek tak bisa dibandingkan dengan ayah dan ibu 'kan? Walau mereka pasti memberikan kasih sayang, tetapi rasanya akan tetap berbeda bila dibandingkan dengan kasih sayang orang tua. Dan Jongin masih lebih baik karna ada ayah. Sedangkan Jong Hee bahkan tak dekat dengan ayahnya sendiri. Sang ayah lebih menyanyangi si sulung.

Selama ini, hubungan kakak beradik antara Jongin dan Jong Hee tidak dekat. Tidak seakrab kakak-adik pada umumnya. Hubungan mereka kaku. Mereka jarang mengobrol bahkan bertemu. Jongin tak pernah ada untuk Jong Hee sebagai seorang kakak. Jong Hee masih SMP, pasti dia kesepian. Dia butuh perlindungan seorang kakak.

Seketika itu juga, Jongin merasa telah menjadi kakak laki-laki terburuk bagi adik perempuannya.

Ya Tuhan, mengapa aku egois. Aku tidak memikirkan dari sudut pandang adikku.

"Ini takdir, Nak. Kau tak bisa menyalahkan ibumu jika dia memang tak bersalah atas kecelakaan ayahmu. Cobalah berpikir dari sudut pandang ibumu juga. Ambil sisi positifnya. Lihatlah lebih dalam pada ibumu. Dia juga memiliki ketakutan. Takut untuk menemuimu yang telah ia sakiti. Dia takut kau menolak kehadirannya. Dan kau mewujudkan ketakutan ibumu. Nak, disini tidak hanya kau yang menderita. Pikirkanlah ibumu yang selama ini dirundung rasa sesal karna telah menyakitimu. Dia telah memberanikan diri untuk bertemu denganmu. Dia juga telah berjuang,"

Dada Jongin terasa sulit memasok udara ketika perkataan pastur di gereja tadi kembali terngiang. Dan sekali lagi, mengapa aku egois?

Ia tak berpikir bagaimana sakitnya seorang ibu yang ditolak secara terang-terangan oleh anaknya sendiri. Ia tak mencoba memahami ibunya yang telah menekan egonya, untuk menikah dengan pria yang tak dicintainya demi menyenangkan orang tuanya. Jongin lupa bahwa dia dapat melihat dunia ini karna seorang ibu.

Sekarang, ibunya telah nampak di depan mata, ingin memperbaiki semuanya. Tapi Jongin malah menolaknya dengan menghempaskan tangannya kasar lalu lari menjauh darinya. Ia lupa dengan harapannya untuk bertemu ibunya. Dan kesempatan seperti ini hanya akan datang satu kali, bukan? Jika ia tetap menolak ibunya, mungkin ibunya malah akan pergi dan tak akan kembali.

Mengapa, semua ego ini malah membuat dirinya lupa bagaimana memahami perasaan orang lain. Sekarang, ia merasa menjadi seorang pendosa karna telah menyakiti hati ibunya.

Begitu pintu terbuka, Jongin hanya mampu terdiam. Menatap wajah terkejut Sehun atas kedatangannya. Jongin sebenarnya mendengar pekikan tak percaya Sehun yang memanggil namanya. Tetapi, rasanya untuk membalas panggilan kekasihnya, Jongin tak mampu.

Bahkan tanpa dirinya sadari, pelupuk matanya mulai terasa panas hanya dengan memandang wajah porselen kekasihnya dan segala pemikiran logika yang membuat hatinya terguncang. Ibu, adik, Oh Sehun, semua berbaur menjadi satu. Melebur dalam sebuah emosi yang butuh untuk dilampiaskan agar sesak didadanya tak semakin menjadi.

"Kau tidak semata-mata menderita, kau bahkan memiliki kekasih yang sangat peduli padamu. Tidakkah kau menyadari betapa besar cintanya kepadamu? Nak, dia adalah keberuntungan terbesar yang kau dapat ditengah keterpurukanmu. Ibarat sebuah oasis yang kau temukan saat kau tersesat di padang pasir sendirian. Ibarat lentera yang akan menerangi jalanmu dalam gulita. Tuhan menyayangimu, sehingga Ia mengirimkan seseorang yang terbaik untukmu. Agar kau bertahan dengan hidup ini. Agar kau tidak sendirian menjalani cobaan ini,"

Pada detik itu juga, memori mengenai peristiwa-peristiwa tentang Oh Sehun berputar dalam otaknya. Mulai dari pertemuan pertama kita dimana Sehun datang menawarkan sebuah hubungan pertemanan, tetapi dirinya malah sangka dan akhirnya menolak. Lalu, saat-saat dimana mereka saling mengejek dan bersaing. Sehun yang memperhatikannya tanpa ia ketahui. Sehun yang membelanya dari teman-teman palsu. Sehun yang memindahkan jaket kulitnya pada tubuh Jongin. Sehun yang membantunya menyelesaikan dokumen keluarganya. Sehun yang memperkenalkannya pada Emperor. Dan Sehun yang... entah apa lagi. Terlalu banyak.

Membuat Jongin sadar, betapa ia merasa menjadi pacar terkejam bagi Sehun. Mengapa ia baru sadar betapa penting arti Oh Sehun baginya. Betapa berharganya kehadiran Oh Sehun dalam hidupnya yang monoton. Betapa bodoh ia menghindari Oh Sehun yang menjajikannya cinta. Betapa bodoh ia menolak uluran tangan seorang Oh Sehun.

Selama ini, orang lain yang bukan keluarga, yang selalu ada untuknya, yang tak absen mengisi hari-harinya hanyalah Oh Sehun. Mengapa ia baru sadar sekarang!

"Hiks..."

Sehun membeku ketika ia mendengar sebuah isakan kecil diikuti tubuh kekasihnya yang bergetar dan kepala yang menunduk dalam. Mengapa Jongin datang-datang menangis?

"Hiks... m-maaf... hiks... Sehun, maafkan aku..."

Kali ini hati Sehun mencelos. Ia terpaku dengan jantung yang berdebar cepat. Ia merasa sakit mendengar suara Jongin yang tercekat-cekat. Ia merasa sakit melihat titik-titik air mata Jongin membasahi lantai.

Sehun telah berjanji untuk tak membiarkan pemuda ini menangis karna dirinya. Sehun tidak suka air mata itu keluar dari pelupuk mata Jongin dan membuat mata kekasihnya merah dan membengkak. Ia tak suka!

"Hiks..."

Sehun melangkah mendekat dengan pelan. Berdiri di depan Jongin dengan jarak yang dekat, bahkan kepala Jongin yang menunduk sampai menyentuh dadanya.

Rasanya bibir Sehun seperti diolesi lem super. Dirinya hanya bisa bungkam ketika tangan Jongin terasa meremat bagian depan kaosnya disertai isakan yang semakin terdengar lebih banyak.

"Maafkan aku, Sehun,"

Dan sekali lagi hati Sehun berdenyut mendengarnya. Bahkan seharusnya dirinya yang meminta maaf.

Tangan Sehun bergerak, melingkari bahu Jongin demi merengkuhnya. Merengkuh tubuh yang semakin bergetar itu dalam sebuah dekapan erat menjanjikan kehangatan dan ketenangan, bersamaan dengan pecahnya tangisan Jongin dan eratnya cengkraman pada dada Sehun.

"Sstt... tidak apa-apa," Sehun melayangkan banyak kecupan pada puncak kepala Jongin, mencoba membuat Jongin lebih tenang. Ia telah mengerti bahwasanya Jongin tengah melampiaskan emosinya melalui tangisan. Entah apa yang terjadi pada Jongin sebelum datang kemari, Sehun tak tahu. Yang ia sadari adalah, permohonannya beberapa saat lalu telah terkabul.

Dan yang tidak Sehun sadari adalah... air matanya ikut menetes hanya karna mendengar guguan Jongin yang memilukan. Menuntut hatinya untuk ikut merasakan berbagai emosi yang terkandung dalam tangisan kekasihnya. Mencerminkan betapa berat kenyataan yang telah dihadapinya.

Tanpa perlu penjelasan lagi, Sehun tahu bahwa kekasihnya telah mencapai puncak dari emosinya. Pemuda dalam dekapannya ini sudah terlalu lelah menahan semuanya.

"Aku disini... semua akan baik-baik saja,"

Sehun menumpukan sebelah pipinya pada puncak kepala Jongin dan semakin mendekap erat kekasihnya. Betapa rapuh Kim Jongin sekarang. Seolah jika menyentuhnya sedikit saja maka akan langsung pecah.

.

.

.

Sehun melarang dirinya untuk langsung bertemu dengan ibunya semalam, dengan alasan bahwa dirinya sedang amat kacau. Meski Jongin mengatakan siap, tapi adik dari Oh Luhan itu tetap tak mengijinkannya untuk menemui ibunya. Sehun memang tahu mental Jongin telah siap untuk berhadapan dengan Ji Hye tanpa perlu menghindar lagi. Tapi, kondisi Jongin amat kacau setelah menangis keras dalam waktu lama di apartement Sehun semalam. Terbukti ketika kekasihnya jatuh tertidur dalam pelukannya di atas sofa setelah Sehun berjanji akan membawa Jongin ke tempat Ji Hye setelah bengkak dimata Jongin sudah lebih baik.

Dan ya, disinilah Jongin. Baru saja turun dari mobil Sehun yang berhenti disebuah taman yang sepi dalam suasana malam. Taman yang dekat dengan rumah Jongin. Tempat yang pernah menjadi saksi dirinya dan Sehun berkencan di bawah naungan payung jingga, lalu Sehun mengucapkan sesuatu mengenai cahaya dimatanya. Taman yang menjadi saksi bagaimana terkejutnya Jongin ketika mendapat berita mengenai kecelakaan ayahnya.

Walau taman ini meninggalkan ingatan luka, tapi Jongin saat ini mampu menekan egonya. Yang ia pikirkan sekarang adalah bertemu ibu. Kali ini Jongin tak akan lari lagi.

Walau, pertemuan kali ini adalah pertemuan untuk kesekian kali, tetapi jantung Jongin tetap terasa tak bersahabat. Berdebar seperti genderang. Karna kali ini, Jongin akan membawa pulang ibunya. Atau mungkin bisa dibilang, sepasang ibu dan anak itu sebenarnya sama-sama pulang? Jongin pulang kepada ibunya, dan sang ibu pulang kepadanya.

"Ibu, itu Oppa," Jongin dapat mendengar adik perempuannya bercicit sambil memandangnya dan menarik-narik lengan mantel sang ibu.

Dua perempuan yang menyandang sebagai ibu dan adik Jongin itu reflek berdiri dari bangku kayu yang semula mereka duduki. Memandang Jongin dengan terpaku. Dalam jarak 3 meter, Jongin dapat melihat mata ibunya yang memerah. Detik berikutnya, mata cantik sang ibu mengalir melewati pipi tirusnya.

Entah mengapa, hati Jongin mencelos. Itukah ekspresi pilu ibunya. Sorot mata itu seolah menceritakan tentang penderitaannya selama itu sekaligus menyiratkan bahwa wanita itu telah menanti saat ini.

Jongin melepaskan gandengan tangan Sehun. Menatap lurus ibunya dan mulai melangkah. Ketika ia sampai di depan ibunya, tangan Jongin terangkat dengan ragu. Menghapus air mata ibunya dengan lembut.

Ji Hye tersentak. Menatap putranya dengan tak percaya. Anak yang pernah ia siksa, sedang menghapus air matanya dengan sorot mata penuh pengertian. Bukan lagi ketakutan.

Tubuh Ji Hye bergetar samar. Ini adalah pertama kali Jongin menyentuhnya, tidak lagi berlari menjauh. Maka dengan bergetar, Ji Hye menggenggam tangan besar putranya dan semakin menempelkannya pada pipinya. Memejamkan matanya, meresapi betapa lembut sentuhan putra yang pernah ia sakiti. Ji Hye bersumpah, hatinya menjadi lebih tenang.

"Ibu..."

Ji Hye membuka matanya cepat mendengar putranya memangginya dengan sebutan yang ia nantikan. Pada detik yang sama, ada bunga yang mekar dalam hati Ji Hye. Rasanya bahagia dan hangat.

"Iya... aku ibumu... panggil aku seperti itu..." Entah, Ji Hye tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia terharu hingga matanya kembali berkaca-kaca.

"Ibu..." Jongin kembali memanggil Ji Hye. Sementara sang ibu mengangguk-angguk karna terlalu bahagia.

"Maafkan aku, Bu. Karna egoku, aku tidak memahami dirimu. Karna egoku, aku juga telah menyakitimu. Karna egoku, aku lupa mengatakan padamu..."

Hening... ketiga orang yang berada disana, terdiam mendengarkan kalimat yang akan Jongin lanjutkan.

"...Ibu, syukurlah kau masih hidup dan kembali untukku,"

Dan seketika itu tangis Ji Hye pecah. Air matanya deras mengalir. Ia menggeleng, menyanggah bahwa Jongin tidak egois. Dirinyalah yang egois. Tapi, bibirnya seolah tak mampu berkata. Ia hanya dapat menangkup pipi putranya lalu memeluknya dengan erat.

Jongin membalas pelukannya tak kalah erat. Ia menenggelamkan wajahnya pada bahu sempit ibunya dan menangis disana tanpa suara.

Sementara Jong Hee hanya dapat terdiam dengan air matanya yang juga ikut menetes. Ketika Jongin melihatnya, ia melepas pelan pelukan ibunya lalu menghampiri Jong Hee.

"Maafkan aku karna tak menjadi kakak yang baik untukmu. Kita tak pernah memiliki waktu bersama. Maaf karna aku tak pernah membuatmu merasakan ikatan persaudaraan,"

Begitu kalimat itu terucap, "Hiks..." Jong Hee menangis keras dan berhambur memeluk kakaknya, "Aku merindukanmu, Kak. Sangat merindukanmu..."

Betapa bodoh Kim Jongin tak pernah tahu bagaimana perasaan adik kandungnya sendiri. Kali ini Jongin berjanji, akan menjaga dua perempuan ini.

Pada akhirnya Jongin merengkuh dua perempuan itu dalam pelukannya. Dengan rasa haru yang membuncah. Dan hari ini adalah hari terbaik bagi mereka. Hari dimana rasa lega itu akhirnya tiba. Hari ini akan menjadi awal bagi keluarga kecil itu untuk memulai kembali ikatan yang sempat tersandung batu.

Sehun yang sedari tadi menjadi penonton tunggal adegan comfort di depannya, hanya mampu tersenyum haru sambil titik air dimatanya sebelum jatuh. Well, laki-laki boleh terharu 'kan? Apalagi yang disana adalah kekasihnya sendiri. Sehun ikut bahagia, akhirnya Kim Jongin menjemput happy endingnya.

.

.

.

The Light Behind Your Eyes chapter 9

.

.

Musuh kita adalah sikap, yang hadir dalam kepuraan. Disini aku perjuangkan cita-cita ini, yang lama terpendam kekuatan. Ini adalah anugrah keabadian. Begitu sulit kutemukan jalan untuk mendapat sesuatu yang baik. Banyak tragedi. Aku selalu melihat kebelakang setiap aku melangkah maju. Kenangan-kenangan yang pernah tercipta, entah buruk atau baik akan menjadi abadi dalam ingatan. Dan semua air mata ini akan hilang di bawah hujan. Aku telah menemukan jalan untuk kembali ke dalam hangatnya pelukan.

Aku tidak tahu mana hari yang lebih baik dari hari ini. Yang kutahu, hari ini adalah hari terindah. Hari terbaik yang Tuhan berikan untukku. Asa yang selama ini menumpuk, kini sudah menemukan sebuah ujung. Meski keluargaku kurang 1 anggota, tapi aku bersyukur mereka kembali.

Ayah, jika kebanyakan orang berkata bahwa ibu adalah nomor satu, tapi bagiku... kaulah yang nomor satu. Waktu yang kita habiskan berdua hanya sebentar. Walau kita jarang berbagi cerita, kita mengekspresikannya melalui tatapan mata. Tanpa perlu kata, kau dan aku mengerti bagaimana cara memahami satu sama lain. Lelaki tak memerlukan kata untuk menyampaikan maksud.

Ayah, sampai kapanpun, kau akan menjadi ayah terbaik bagiku. Perjuanganmu dan kasih sayangmu tidak akan pernah bisa diibaratkan oleh apapun. Tidak terhitung berapa pengorbanan yang telah kau lakukan semata-mata untukku tanpa imbalan apapun. Diakhir hayatmupun matamu masih menyimpan selaksa peristiwa. Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari, sampai kurus. Walau keringat mengucur deras, tapi kau tetap tabah. Meski nafasmu kadang tersengal, memikul beban yang makin sara, tapi kau tetap setia.

Ayah, dalam hening sepi aku merindukanmu. Untuk menuai hasil dari jerih payah kita. Tapi kerinduan hanya tinggal kerinduan. Anakmu sekarang hanya dapat menatapi sosokmu dari potret.

Ayah, sampai kapanpun aku tidak akan bisa membalas setiap tetes keringat yang telah kau korbankan. Ayah, kau adalah perwujudan sosok malaikat yang sesungguhnya bagiku. Guardian angel terbaik yang aku miliki.

Ayah, maafkan aku karna tidak sempat memperlihatkanmu bagaimana aku menjadi orang yang berguna. Maafkan aku karna belum membuatmu bahagia, menyaksikan aku dengan binar bangga. Maafkan aku karna tidak bisa membalas semua kebaikanmu. Maafkan aku ayah. Aku tidak sempat membuktikan semua itu padamu.

Disaat ini, aku teruskan hidup tanpa bersamamu, Ayah.

Tuhan, ampuni dosa ayah. Tempatkan ia diantara kekasih-kekasih-Mu. Ayah, ampunilah dosaku sejak aku dilahirkan hingga akhir hayatmu.

Ayah, aku mencintaimu. Kutaburi doa mewangi, hadiah dari putramu ini.

.

.

.

Pagi ini masih pagi dengan suasana musim gugur. Sekitar pukul 6, Ji Hye telah bangun dari tidur dan kini ia tengah menuruni tangga sambil menggelung rambut panjangnya. Terlihat tergesa berjalan menuju pintu utama rumahnya setelah sebelumnya terdengar bel yang berbunyi. Siapa pagi-pagi begini sudah bertamu?

"Permisi, ada kiriman untuk Nyonya Lee Ji Hye,"

Dahi Ji Hye mengerut heran. Seorang kurir dengan topi bertuliskan nama sebuah toko bunga tersenyum kepadanya dengan sopan, menyodorkan sebuket bunga mawar merah pada Ji Hye dengan ramah.

"Terima kasih,"

Kurir laki-laki itu lantas undur diri.

Ji Hye menatap buket bunga sederhana itu dengan raut bingung. Siapa yang mengirimkan ini?

Mata Ji Hye melirik pada sepucuk surat beramplop biru yang terlihat terselip diantara bunga-bunga cantik itu. Wanita yang merupakan aktris senior itu mengambilnya tanpa membuang waktu. Membukanya lalu membacanya.

Ibu...

Ji Hye mendadak tersenyum ketika membaca tulisan tangan pertama itu. Dan ia langsung tahu jika pengirimnya adalah putra tercintanya. Tidak mungkin Jong Hee. Karna gadis itu masih tidur di kamarnya. Well, Kim Jongin memang tak tinggal bersamanya. Putranya sendiri yang memutuskannya. Katanya, sudah terlalu nyaman dengan rumah lamanya. Dan katanya juga, dia sudah besar. Ji Hye jadi ingin tertawa kalau ingat bagaimana Jongin ngotot waktu itu. Dan ya, Ji Hye tak bisa memaksa 'kan?

Perjalanan yang kita lalui berat dan panjang. Kita telah berjuang melawan rasa sakit yang seperti tiada akhir. Tapi, dibalik itu semua kita telah menemukan hal terbaik. Kita telah menemukan cara untuk saling memahami.

Ibu, hubungan ibu dan anak diantara kita berbeda dengan hubungan pada umumnya. Hubungan kita lebih istimewa karna perjuangan berat kita untuk mencapainya. Maafkan aku karna tak pernah berusaha mencarimu, aku hanya bisa menunggu.

Terima kasih kau telah pulang. Terima kasih kau telah memperhatikan aku secara diam-diam. Terima kasih, Bu.

Aku tidak tahu harus menulis apa lagi. Rasanya begitu sulit merangkai kata-kata yang manis untuk mengibaratkan betapa bahagianya aku dapat bertemu denganmu, Bu. Dulu, aku selalu memimpikan bagaimana rasanya dipeluk olehmu walau hanya sebentar. Aku selalu berharap untuk dapat melihatmu secara langsung. Aku selalu iri pada teman-teman yang masih memiliki ibu.

Dan sekarang, aku benar-benar bahagia dan bersyukur. Aku tak perlu lagi terjebak dalam angan menggambarkan sosokmu. Ibu, sekarang aku dapat memelukmu sepuasmu. Aku dapat merasakan kenyamanan pelukanmu yang aku inginkan selama ini. Aku juga dapat menatap wajahmu sepanjang waktu yang aku mau. Aku dapat memamerkan dirimu pada semua orang, inilah ibuku, cantik 'kan? Aku tidak akan iri lagi.

Ibu tidak keberatan 'kan jika aku melakukan semua itu? Hehe...

Ibu... terima kasih telah melahirkan aku ke dunia yang indah ini. Aku mencintaimu, Ibuku.

Air mata dari mata yang masih terlihat cantiknya menetes tanpa persetujuannya. Rasa haru menyeruak dalam perjalanan membaca sepucuk surat dari putra yang sangat ia sayangi.

Dalam hati ia mengucapkan rasa syukur karna telah diberikan seorang putra yang begitu luar biasa. Putra yang dapat memahami dirinya tanpa perlu penjabaran kata.

Ternyata benar, Kim Jongin adalah sosok yang mengerti bagaimana membaca hati orang lain. Dan Ji Hye berjanji, tak akan meninggalkan Kim Jongin untuk kedua kalinya. Ia akan memberikan kasih sayangnya secara penuh untuk kedua anak yang pernah ia tinggalkan. Ia berjanji akan merawat mereka dengan baik.

P.S: bilang pada Jong Hee, aku ingin bermain dengannya besok. Boleh 'kan, Bu? Hehe...

.

.

.

"Terima kasih,"

Sehun hanya mengangguk dan tersenyum sebagai balasan untuk Jongin yang kini sedang menyesap kopi yang baru saja dia berikan. Ia lalu menumpukan lengannya pada pagar pembatas sambil memandang hiruk pikuk kota Seoul dengan hening. Cahaya-cahaya lampu di bawah sana seperti bintang-bintang di langit. Indah. Dan mampu menyedot perhatian seorang Oh Sehun.

Sementara Jongin entah kenapa mendadak terpaku pada wajah Sehun yang terlihat menawan dari samping. Anak rambut yang bergerak-gerak karna sapuan semilir angin, membuatnya nampak indah. Lebih indah daripada pemandangan kota yang terbentang dari atas Menara Namsan ini. Jongin merasa bodoh karna baru menyadari jika kekasihnya ternyata sangat menakjupkan.

Oh Sehun... tanpa dirimu, aku tak akan bisa mencapai titik ini, titik dimana aku berdiri saat ini. Memandangi dirimu yang ternyata sangat mempesona. Apakah kau tahu, aku merasa menjadi orang paling beruntung karna dapat menjalin kasih denganmu. Dicintai olehmu.

Sehun, terima kasih telah datang dalam kehidupanku dan menjadi penunjuk jalanku. Kau tahu, Hun? Kurasa, kau adalah tour guide terbaik, guide of my life. Aku bersyukur aku dapat bertemu denganmu. Seorang pastur pernah berkata padaku bahwa kau laksana oasis di gurun pasir. Dan kurasa itu benar. Tanpamu aku tak akan bertahan dalam fananya hidup. Tanpamu aku bukanlah apa-apa, hanya akan menjadi Kim Jongin yang depresi. Aku pasti akan menjadi sangat bodoh jika waktu itu aku tak datang ke rumahmu.

Sehun, terima kasih telah menjadi semangatku selama ini. Terima kasih karna telah mengisi hari-hariku dengan menyenangkan. Terima kasih telah membawakan aku teman-teman yang baik. Terima kasih telah mencintaiku dengan hatimu.

Maafkan aku karna pernah mengabaikanmu.

Oh Sehun... Kim Jongin mencintaimu. Dan aku harap, kita terus bersama seperti ini.

Oh Sehun... jangan pernah lepaskan tanganku.

Oh Sehun... kau adalah kekasih yang luar biasa.

"Hei, kau menatapku seperti kita tak pernah bertemu,"

"Che!" Jongin mendecih sambil menyesap kopinya kembali, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain dengan wajah sok cuek. Padahal, ia tengah tersenyum dibalik cangkir kertas miliknya. Sementara Sehun nampaknya sudah menghabiskan kopi miliknya dan membuang cangkirnya ke tempat sampah yang tersedia. Setelahnya, ia memeluk kekasihnya dari belakang dengan hangat. Karna sepertinya, Jongin kedinginan.

Jongin melebarkan senyumnya, menenggak habis kopinya dan melempar cangkirnya ke tempat sampah. Seperti yang Sehun lakukan tadi. Ia lalu menyamankan posisinya dalam pelukan Sehun dan menggenggam tangan Sehun yang melingkar di dadanya. Rasanya nyaman, dan Jongin tak ingin ini cepat-cepat berakhir.

"Sehun, terima kasih untuk semuanya,"

"..."

Pelukan Sehun hanya mengerat dengan sebuah kecupan sayang pada kepala Jongin. Pernyataan Jongin barusan tak dapat dijawab dengan kata.

Jongin menoleh kesamping, menatap manik Sehun lekat. Sementara sebelah tangannya mengelus pipi putih Sehun dengan lembut, alih-alih mendekatkan wajah Sehun padanya. Sementara Sehun menunduk.

"Aku mencintaimu, Sehun," Jongin berucap lirih tepat di depan bibir Sehun yang hampir bersentuhan dengan bibirnya, tanpa melepas tatapannya dari mata Sehun. Ketika Sehun menempelkan bibir keduanya, mata Jongin menutup dengan pelan.

"Aku lebih mencintaimu, Kim Jongin,"

Ciuman itu berlanjut dengan saling melumat dengan irama lembut. Menyalurkan perasaan masing-masing yang rasanya semakin membuncah malam ini. Sehun dan Jongin sama-sama meyakini, ciuman kali ini adalah ciuman terbaik yang pernah mereka lakukan. Karna dicampuri oleh perasaan lega dan bahagia.

"Ayo kita berjuang besama-sama dengan Emperor,"

Dahi mereka saling beradu.

"Ya!"

.

.

.

"H-hallo,"

"Hallo, siapa namamu?"

Pemuda dengan sweater merah marun bergaris hitam dan putih itu tersenyum ramah. Menyampaikan bahwa gadis yang baru saja tiba pada antrian terdepan itu untuk tidak gugup.

"Namaku Yuurama Hisashi,"

"Wah, dari Jepang?"

"I-iya,"

"Bagaimana kau sampai kesini?"

"Aku pindah ke Korea beberapa bulan yang lalu,"

"Wah, kau anak yang pintar. Bahasa Koreamu lancar," Pemuda dengan rambut softbrown itu berujar dengan semangat.

"Terima kasih," gadis bernama Yuurama itu nampak tersipu malu.

Pemuda yang diidolakannya itu nampak kembali memamerkan senyum menawannya, sembari menuliskan sesuatu pada cover album yang di atas mejanya menggunakan spidolnya.

"Berapa umurmu?"

"E-enam belas,"

"Kau masih sangat muda. Belajarlah dengan giat dan banggakan orang tuamu sebelum kau tak sempat. Seberapapun kau suka pada Emperor, jangan pernah menyusahkan orang tuamu untuk membelikanmu album kami,"

"Baik, Kai oppa. Aku mengerti,"

Pemuda yang dipanggil Kai itu kembali menampilkan senyumnya yang bahkan mampu membuat para Crowns menjerit heboh. Sungguh, pesona dari sang dance machine Emperor mampu membuat Crowns meleleh. Apalagi jika tersenyum begini. Kadar ketampanannya meningkat berkali lipat. Ahah!

"Oppa, tolong terima ini!"

"Huh?"

Pemuda dengan marga Kim itu menautkan alisnya, menatap dengan bingung pada gadis muda antrian selanjutnya, yang membungkuk di depannya sambil menyodorkan sebuah mahkota bunga padanya.

"Untukku?" Pemuda pemilik nick name Kai itu menerimanya dengan berbinar. Terlihat imut dengan senyum lebarnya. Membuat gadis yang merupakan salah satu Crowns itu menjerit kesenangan sambil mengangguk mengiyakan.

"Ini sangat indah. Maukah kau memakaikannya di kepalaku?"

Gadis itu kembali menggangguk. Kai segera mencondongkan badannya ke arah sang gadis. Gadis itu nampak sangat senang dapat memaikan mahkota bunga itu pada idolanya.

"Terima kasih," Pemuda dengan nama asli Kim Jongin itu tersenyum ramah.

"Tidak, terima kasih oppa. Kau telah berjuang selama ini dan bertemu dengan kami, para Crowns,"

"Kau juga telah berjuang sampai kemari,"

"Hehehe,"

"Siapa namamu?"

"Ji Hyo. Lee Ji Hyo,"

Kai nampak tercenung sebentar menatap sang gadis. "Namamu mengingatkan aku pada ibuku," Lalu tersenyum lembut yang membuat gadis itu merona.

"Ini, special untuk gadis manis sepertimu,"

"Terima kasih, Oppa!"

Gadis itu membungkuk sambil menerima sodoran album yang sudah dibubuhi tanda tangan bersama sebuah photocard dirinya yang dibubuhi emoticon 2 hati dengan nama sang gadis. "Semoga Kai oppa dan Sehun oppa tetap langgeng!"

Jongin tersenyum lebar dan mengucapkan terima kasih dengan riang sebelum gadis itu berlari pergi.

Baru saja ia akan mulai menyapa antrian selanjutnya, Jongin harus terkejut dengan security di belakang Sehun yang tiba-tiba menegur seorang fans pada antrian bagian kekasihnya itu.

Seorang Crowns memaksa Sehun untuk menanda tangani sebuah kertas. Kertas yang Jongin ketahui sebagai surat pernikahan. Jongin dapat melihat raut tak nyaman di wajah porselen Sehun. Ketika mereka beradu pandang, Jongin tersenyum menenangkan. Mencoba menyampaikan, 'tidak apa-apa. Tolak dengan cara baik-baik' dan Sehun mengangguk paham, lalu mulai berbicara pada fans yang tengah dipaksa pergi oleh security.

"Oi, Jong, masih ada saja fans yang melakukan hal gila. Walau surat itu ditanda tangani tetap saja tidak sah. Fans itu bisa kena hukuman dengan tuduhan sabotase," Baekhyun yang duduk disebelahnya tiba-tiba mendengus sebal.

"Hei, bukan hanya kau yang kena," Jongin mencibir rekan satu grupnya itu dengan bibir manyun.

Yah, ternyata menjadi publik figur tidak semudah yang Jongin bayangkan. Terkadang ada saja tingkah fans yang diluar nalar. Dan membuat para member hanya mampu memijit kepala.

Tapi, bagaimanapun juga, ini adalah jalan yang telah ia pilih bersama teman-temannya. Apapun yang terjadi, ia akan berusaha bertahan. Karna, perjuangannya untuk dapat mencapai keberhasilan seperti ini sangat sulit. Audisi, training, latihan keras, dan bla bla bla. Membuat Jongin merasa eman jika apa yang telah ia dapatkan disia-siakan begitu saja.

Lagipula, dia mendapat banyak suport dari orang-orang terdekat. Ibu, adik, kekasih, dan hyungdeul Emperor, serta para Crowns. Apalagi kekasihnya satu grup. Ahaha...

Ya, perjalanannya sebagai seorang anggota Boyband bernama Emperor telah dimulai sejak 2 tahun lalu.

"Hei, kata manager, hari ini kita hanya menghadiri fansign. Bagaimana jika setelah ini kita ke cafenya Jongin?" Sang Leader, Luhan yang duduk di sebelah Baekhyun tiba-tiba nimbrung.

"Hei, kau ingin membuat Kamong hancur, ha?" Minseok menimpali.

"Oi, itu ide bagus!" Chanyeol bersorak menyetujui ide Leader-nya.

"Baby bear, kita kencan ya!" Oke, ini Sehun.

Jongin menghela nafas jengah, "Terserah kalian saja. Bersiap-siap saja jika Jong Hee marah-marah karna cafenya mendadak ricuh,"

.

.

.

Hidup memang sulit. Lebih sering tidak sesuai dengan keinginan kita. Tapi, itulah hidup. Ada susah, ada senang. Entah seberat apa, selama masih memiliki orang yang menyayangi kita, walau hanya satu orang, kita harus tetap bertahan. Karna, tidak selamanya hidup akan menderita. Pasti akan datang happy ending untuk kita. Tuhan tidak akan sekejam itu. Syaratnya, jadilah orang baik.

Hal terpenting dalam hidup ini adalah keluarga dan teman. Keluarga, sesering apapun orang tua memarahi, melarang ini dan itu, yakinlah bukan karna kau tidak boleh, tetapi orang tua khawatir padamu. Khawatir tanda sayang. Tidak masalah dimarahi atau apa, yang namanya ikatan antara orang tua dan anak tidak akan terputus. Kau akan tetap kembali pada mereka. Dan mereka akan tetap kembali padamu.

Ibu. Meski orang sering menggambarkan kalau ibu marah itu paling menyeramkan ketimbang hantu. Tapi, bagiku dibalik itu semua terselip kasih sayang besar. Ibu adalah orang yang akan selalu menangkap dirimu ketika kau terjatuh. Ibu adalah orang yang bersedia mengorbankan nyawanya untukmu. Darah yang telah ia teteskan untuk melahirkan kita, tidak akan pernah bisa kita bayar meski kita memberikan seluruh isi bumi kepadanya. Ibu, tidak pernah bertindak tanpa alasan. Berbahagialah kamu yang dapat merasakan perhatian dan kehangatan seorang ibu sejak kamu dilahirkan. Anak lain belum tentu seberuntung dirimu. Jangan pernah sakiti ibumu walau bagaimanapun juga. Karna, ketika dia sakit hati, maka durhakalah kamu.

Ayah. Dia yang telah berjuang menghidupimu tanpa peduli keadaan panas atau hujan. Tanpa peduli tubuhnya yang kurus kering, kulit yang terbakar matahari, adalah perwujudan sosok superhero yang sesungguhnya. Tidak peduli ayahmu bekerja di kantor besar atau hanya sebatas buruh bangunan ataupun yang menarik gerobak sampah, dia adalah pahlawan yang tak pernah mengharapkan imbalan. Imbalan baginya hanyalah tawamu. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaannya juga. Padahal jika dipikirkan, memang siapa kita? Kita hanya bocah yang kebetulan keluar dari rahim istrinya. Kenapa ayah mau repot-repot menghidupi kita? Kita 'kan hanya numpang hidup di rumahnya. Jika kita mencari jawabannya, sepertinya tidak akan ketemu. Karna, ketulusan seorang ayah tidak bisa diibaratkan dengan apapun. Ikatan antara orang tua dengan anaknya adalah ikatan yang paling istimewa. Beruntunglah kamu yang masih memiliki ayah yang masih sehat dan masih mampu bekerja. Karna kamu tidak akan diminta untuk ikut memikirkan bagaimana mendapatkan sepeser uang diusia dini. Tidak, ayah akan mengajarkanmu itu jika sudah saatnya.

Saudara. Pada umumnya, sepasang saudara akan saling mengejek, beradu argumen, dan berebut apapun itu. Walau begitu, tidak akan menimbulkan permusuhan. Tapi, justru itu keseruannya. Bahagialah kamu yang dapat sedekat itu dengan saudaramu. Karna, tidak semua orang dapat dekat dengan saudara.

Teman. Ya, walau teman hanya sedikit, tidak apa-apa, setidaknya mereka setia. Untuk masalah pacar... um, kurasa pacar yang benar adalah dia yang berjuang bersamamu, bukan yang menunggumu sampai ke atas. Ah, aku juga memiliki para Crowns!

Banyak orang berkata bahwa umur menentukan bagaimana pemikiran kita. Tapi, kurasa tidak semuanya begitu. Terkadang, yang lebih muda lebih mengerti tentang hidup. Karna, hidup orang berbeda-beda. Tidak peduli umurmu berapa, jika pilu ingin hinggap padamu, ya hinggaplah dia. Kehidupan memilukan, adalah guru terbaik untuk membentuk karakter dan pemikiranmu. Dia adalah guru yang dapat membuatmu dewasa tak peduli kamu yang masih belia. Dan dia yang akan mengajarimu bagaimana memahami orang lain.

Dari hidupku yang berkelok-kelok ini, aku menyadari satu hal yang aku pelajari dari pernikahan orang tuaku.

Kuatkanlah kapal cinta yang kita persiapkan sebelum mengarungi samudra rumah tangga, sebelum ombak mengaramkan segala asa.

Ya, terima kasih Ayah, Ibu, Jong Hee, teman-teman, dan Crowns yang setia.

Aku adalah Kim Jongin, yang bukan siapa-siapa tanpa kalian.

.

.

.

BAGUS! AKHIRNYA TAMAT! /sujud syukur T_T

Makasih buat para reader yang udah setia baca, ngefav, ngereview ff ini sampek END T_T

Aku gak tau endingnya bagus atau gak. Asli, saya ngeblank dan putus asa sama ff ini. Kemarin udah niat mau discontinue ini /digebuk

Kalok endingnya maksa, maafkan saya ya, guys /sungkeman

Thanks to:

Choi Handa HunKai shiper | Guest | rofi mvpshawol | youngimongi | cute | Yessi94esy | Wiwitdyas1 | stbaeri | sejin kimkai | utsukushii02 | yuvikimm97 | GYUSATAN | AprilianyArdeta | LoveHyunFamily | saphire always for onyx | BabyWolf Jonginnie'Kim | jjong86 | ohkim9488 | dwinur halifah 9 | Lia964 | geash | SILENT READER | jonginisa | Permenkaret | Xinger XXI | nadia jees | outcaaast | novisaputri09 | hunkaiship14 | htyoung | yesaya mei | ariska | EXO 12-XLKSLBCCDTKS | salhunkai | blissfulxo | jumee | Miss Wuhan | Kamong Jjong | k1mut | typo's hickeys | Nami | Hun94Kai88 | ling-ling pandabear | Jiji Park | jjong86 | dhantieee | VampireDPS | enchris 727 | SeKai99 | kaihun70 | LM90 | nadia | kimm bi | asmayae | liaoktaviani joaseo | Tikha Semuel RyeoLhyun | lustkai | ulfah cuittybeams | HunKai94 | kimihyun211 | Jongin48 | saya orchestra | csyoungie | ytrisdia | angel sparkyu | aliyya | steffifebri | Pinguin1999 | melizwufan | KaiNieris | Nini-nya mas Seno | ismi ryeosomnia | Mizukami Sakura-chan | jungdongah | HyunshiELF | sunyeong | eviaquariusgirl | Hadisya aghenia | M Aldianor Alvon Kpopers II238 | Exofanfic'rae | gummysmiled | black coffe | Jun kie | askasufa | Kim Kai Jong | meifaharuka haruka | sayakanoicinoe | thedolphinduck | ucinaze | babydontworry

Yang gak kesebut, maafkan yaa /bow

fiuhh... /hela nafas

sekali lagi maaf ya~

dan terima kasih.

kalau boleh jujur, saya nangis ngetik ending ini, ahahaha mana lagu2 yang keputer mellow semua. kan kampret -_-

Winter AL Yuurama