One Shoot by Winter AL...

Baby, U are Lonely...

Hurts-Romance

Sehun, Jongin, and other support cast.

Typo menyebar. bahasa aneh. tidak sesuai karakter. dlll

HunKai Present!

.

.

"Jongin, antarkan aku ke mini market,"

"Baiklah,"

"Jongin, ponselku rusak. Aku harus mengurus sesuatu yang mendesak. Apa kau tahu merk ponsel yang bagus?"

"Pakai saja ponselku dulu jika memang mendesak,"

"Jongin, dingin, ya,"

"Ini pakai jaketku,"

"Jongin, rumahku sepi, temani aku. Aku bosan,"

"Baiklah, aku akan kesana."

Jongin ini. Jongin itu. Seperti tak ada henti.

Kim Jongin, dia ramah. Punya banyak teman karna ia memang mudah bergaul. Dia akan selalu ada ketika teman-temannya membutuhkan. Ia akan menolong dengan perasaan apa adanya. Maksudnya, dia tidak pamrih. Ia akan mengalah jika teman-teman menginginkan miliknya. Ia seperti malaikat pelindung. Yang akan mementingkan orang lain terlebih dahulu ketimbang dirinya sendiri. Bukankah ia baik hati?

Hanya saja, mereka salah mengambil pandangan. Mereka menyebut Jongin... naif.

Kemana para teman ketika Jongin membutuhkan?

Tidak ada bedanya dengan kesendirian. Mereka tidak pernah ada ketika Jongin butuh pertolongan meski hanya lingkup yang ringan. Seperti tidak punya telinga ketika Jongin merajuk. Mereka tidak peduli pada Jongin seperti Jongin peduli pada mereka.

Iya. Terkadang Jongin merutuk mengapa mereka seperti itu. Ia bertanya, mengapa mereka tak peduli? Apakah tidak mau repot seperti Jongin repot untuk mereka?

Namun, sejengkel-jengkelnya Jongin, entah mengapa ia tak bisa mengacuhkan begitu saja. Ketika mereka meminta tolong, maka Jongin akan menolong lagi.

Apakah Jongin bodoh?

Kebaikan yang tak berbalas

Bukan maksud mengharap balas

Mereka seperti tak berperikemanusiaan

Hanya bisa bersabar

Tak mengharap timbul luka di hatinya

Sehun melihat Jongin merajuk pada Junhong, meminta ditemani ketempat neneknya di Jinan. Untuk mengambil dokumen status keluarga dari adik perempuan Jongin.

Namun Sehun sudah menduga. Junhong akan menolak. Terbukti dari ekspresi Jongin yang berubah masam. Lantas berlalu pergi sembari merogoh sakunya mengambil ponsel, menuju taman belakang sekolah.

Sehun mengikuti tanpa suara, mengamati apa yang tengah Jongin lakukan pada ponselnya.

Jongin menghela nafas frustasi. Menghempas tubuhnya untuk duduk dibangku taman yang berada dibawah pohon mapel rimbun.

Menengadah sembari memejamkan matanya. Memikirkan semuanya. Tentang keacuhan. Tidak ada yang mau membantu. Berkali-kali ia telah mengirimkan pesan untuk minta diantar ke Jinan. Karna urusannya sangat penting. Untuk memperbaharui kartu anggota keluarga, ia membutuhkan dokumen dari tempat neneknya. Dan ini mendesak. Ayahnya benar-benar sedang sibuk dengan pekerjaan. Jongin yang harus mengurus sendiri.

Namun balasan yang Jongin terima bukanlah keantusiasan berupa jawaban 'ya'. Melainkan berbagai penolakan dengan embel-embel alasan. Ada juga yang mengacuhkan pesannya.

"Yah... tidak apa-apa," ia berujar lirih dengan pasrah.

Padahal dalam hati ia tengah mengadu pada langit betapa lemah ia.

Sehun masih disana, bersandar dibalik pohon. Memperhatikan Jongin yang frustasi. Mendengarkan nada pasrah Jongin yang dikawal helaan nafas berat.

Sehun paham.

Sungguh ia lebih paham daripada siapapun. Tentang Jongin.

*** Winter AL ***

Ada alasan mengapa Jongin minta ditemani ke rumah neneknya.

Karna ia tak begitu dekat dengan nenek maupun kakeknya. Bahkan tidak dekat dengan adiknya. Adiknya tinggal bersama nenek.

Dulu, ketika Jongin berusia 3 tahun, menjadi rebutan antara ibu dan ayahnya -nenek di Jinan adalah ibu dari ibunya-. Padahal sudah sepakat Jongin ikut ayahnya, dan adiknya ikut ibu. Tapi tetap saja, ibunya ingin membawanya juga.

Tapi pada akhirnya Jongin lebih memilih ikut ayah. Karna, Jongin kecil sudah terlanjur takut dengan sang ibu. Lalu ia dibawa ke Seoul oleh sang ayah.

Ada banyak alasan mengapa ia memilih ayah. Yang tidak bisa diceritakan secara detail. Jongin pasti menangis membayangkan betapa buruk masa kecilnya. Ia akan terlihat depresi jika masa lalunya dikuak kembali.

Pada kenyataannya, sang ibu malah pergi. Meninggalkan adik Jongin bersama nenek. Pergi tanpa pamit. Tidak tahu kemana. Tidak pernah ada kabar. Bahkan sudah 14 tahun lewat ibu pergi.

Jongin... tidak tahu wajah ibunya. Tidak ada foto. Dan diumur semuda itu -3 tahun- belum bisa mengingat dengan baik.

Sebenarnya, dari pihak nenek di Jinan, ia diterima dengan baik. Bahkan oleh saudara-saudara ibunya. Hanya saja, Jongin merasa tidak enak dan canggung. Karna faktanya ia jarang sekali berkunjung. Bahkan setelah insiden ibunya pergi tanpa pamit, ayahnya tak pernah sekalipun mau menginjak Jinan.

Sebab itulah dia butuh seseorang yang menemani.

Apa kalian juga paham perasaan Jongin?

Sehun melepas helm sportnya, mengamati Jongin yang baru saja turun dari bus yang ia tumpangi.

Sehun sedari sepulang sekolah mengikuti Jongin, menggunakan motor sportnya. Dari Seoul ke Jinan. Sehun sudah menduga Jongin akan berangkat sendiri.

Sehun tak habis pikir, seorang pelajar yang masih berseragam lengkap berani sampai ke Jinan yang jauh dengan naik bus, sendirian pula.

*** Winter AL ***

Jongin baru saja keluar dari rumah neneknya setelah 10 menit. Menenteng beberapa lembar dokumen ditangannya. Salah satunya adalah dokumen keluarga yang ia butuhkan.

Sehun mengira Jongin akan langsung ke halte dan menunggu bus tujuan Seoul karna hari sudah sore. Nyatanya tidak.

Jongin berbelok ke arah lain. Menuju sebuah taman berkolam air mancur. Kemudian duduk di salah satu bangku yang dekat dengan kolam tersebut.

Tangannya merogoh saku jas almamater yang ia kenakan, mengeluarkan sebuah kertas yang terlipat rapi namun terlihat usang. Mulai membaca sepucuk surat usang bertinta biru tersebut dalam keheningan sore.

Ia terpaku. Tiba-tiba setetes air mata menitik dari pelupuk sayu Jongin. Hatinya terasa berdesir, nyeri. Dengan berbagai pemikiran logika dalam benak diperjalanan ia membaca surat itu.

Rasanya tangan menjadi lemah hingga terhempas turun begitu saja. Matanya telah memerah karna air mata yang semakin deras mengalir, terjun bebas membasahi seragamnya.

Tangis yang ia keluarkan setelah mengetahui kenyataan pahit yang telah tertimbun 14 tahun lamanya.

Sehun tersentak, melihat Jongin yang menangis dalam diam. Yang kini mengambil sebuah ijazah kelulusan yang terbungkus mika laminating. Jemari Jongin bergerak perlahan, mengelus ijazah itu dalam tangisnya.

"Ibu, mengapa ibu tega melakukan itu? Apa- aku anak yang tidak diinginkan?" Suaranya terdengar serak dan frustasi.

Dahi Sehun mengernyit mendengar penuturan Jongin yang kentara sekali bahwa ia terluka.

"Kenyataan apa lagi ini, bu? Setelah dulu ibu berulang kali mencoba membunuhku, sekarang aku harus mengetahui kenyataan pahit lainnya. Mengapa ibu begitu tega?"

Sehun tercekat.

Apa Jongin bilang?

Ibu mencoba membunuhnya?!

.

.

"Jangan menangis, Kim Jongin,"

Jongin mendongak, menatap orang yang berujar kepadanya. Yang tengah berdiri dengan menyaku tangan. Yang tengah memberikan tatapan yang sulit diartikan. Melihat bagaimana kacaunya Jongin saat ini.

Sang ketua OSIS-

"S-sehun,"

-Oh Sehun.

Sehun mendekat, lantas membereskan berkas-berkas Jongin yang tergeletak disamping Jongin. Memasukkannya kedalam tas punggungnya. Melepas jaket kulitnya. Kemudian memakaikan jaket itu pada tubuh Jongin dengan perhatian. Lantas mengulurkan sebelah tangannya pada Jongin. "Pulanglah ke rumahku. Kau tidak mungkin pulang ke rumahmu sendiri dengan keadaan seperti ini,"

Jongin bergeming, hanya menatap Sehun tanpa respon.

Ia hanya bingung, bagaimana Sehun yang notabene tidak dekat dengan Jongin bisa sampai disini -bisa dibilang rival-. Bahkan menawarkan bantuan.

"Aku tidak akan melakukan hal buruk," ujar Sehun lagi.

Jongin nampak ragu, namun akhirnya ia mengulurkan tangannya. Membiarkan Sehun menggenggamnya dengan erat. Membiarkan hatinya mempercayai Sehun.

Bagaimanapun juga ia memang sedang butuh bantuan. Dan entah bagaimana Sehun bisa kebetulan ada disini.

*** Winter AL ***

"Annyeong haseo, Kim ahjushi. Aku hanya ingin meminta ijin agar Jongin menginap di rumahku. Kami ada kerja kelompok dan belum selesai,"

"Ne. Terima kasih, ahjushi. Annyeong."

Pipp...

Setelah mematikan telefonnya, Sehun memasuki kamarnya dimana Jongin sedang tertidur. Kemudian meletakkan berkas-berkas milik Jongin di nakas samping tempat tidur. Lantas duduk di tepi ranjang. Menatap miris pada wajah Jongin yang memerah dengan mata bengkak. Efek menangis tadi.

Tangannya bergerak mengelus surai Jongin dengan lembut dan sayang seolah pemuda tan yang tengah terlelap ini adalah benda rapuh hingga tidak bisa diperlakukan kasar. Sudah kesekian kalinya ia mendapati Jongin berwajah sendu, secara diam-diam tentu saja. Dan Sehun bersumpah kali ini yang paling parah.

Biasanya Sehun hanya akan memperhatikan dari jauh. Tapi kali ini ia tidak bisa tinggal diam.

Rasanya hati Sehun berdenyut sakit tiap kali memergoki Jongin yang tengah bersedih.

Kim Jongin, pemuda tampan yang ceria. Murah senyum, dan celotehan cerewet mengundang tawa. Disukai teman-temannya. Maksudnya, bukan disukai dalam taraf tinggi, hanya dia disebut sebagai anak baik hati yang naif. Orang-orang akan melihat ia sempurna. Fisik manly dengan tinggi semampai.

Namun sejujurnya, ia hanya pemuda tampan... kesepian. Yang sebenarnya dicemooh oleh teman-temannya dibelakangnya.

Bersembunyi dibalik senyum cerah ceria, adalah Kim Jongin yang sepi meraung ingin ditemani. Seperti terluka batin, namun tak seperti kelihatannya juga. Ia memang memiliki banyak teman, namun kesepian yang dialaminya bukan dalam konteks sesederhana itu.

Ia sosok yang terbuka, namun tidak memiliki teman yang benar-benar dekat dan tulus berteman. Mereka hanya memanfaatkan Jongin yang baik hati dan cerdas.

Jongin mudah memahami orang lain, tapi orang sulit memahaminya. Sering ia merasa ini tidak imbang. Namun apa daya, ia tak wewenang memaksa orang balas mengerti dirinya. Yang bisa ia desahkan hanya kata 'ya sudahlah' atau 'tidak apa-apa' dengan pasrah.

Semuanya tertutup... dibalik tirai tawa jenaka.

Sulit dipahami. Namun ia tahu bagaimana membaca hati.

Tawanya terbahak. Namun ia tak mengerti bagaimana tertawa dengan sederhana.

Hatinya tulus. Namun menyimpan duka.

Ia disukai banyak orang. Namun ia... kesepian.

Itulah serentetan argumen yang ada dalam benak Sehun mengenai Jongin. Pemuda berkulit tan yang rapuh namun sok tegar. Yang suka sekali beradu ejekan dengan Sehun.

Yang sebenarnya Sehun perhatikan secara diam-diam. Yang sebenarnya Sehun mengerti secara diam-diam. Yang Sehun... cintai secara diam-diam.

*** Winter AL ***

Sehun meletakkan makanan yang dibawanya di atas nakas, kemudian duduk di tepi ranjang. Menatap Jongin yang diam dengan posisi duduk dan menyandar pada kepala ranjang. Terfokus pada selembar kertas berlapis mika, dengan tatapan sendu.

"Aku pasti terlihat menyedihkan dimatamu. Jika ingin menertawakanku, tertawalah sepuasmu," ujar Jongin dengan nada yang entah apa artinya. Antara frustasi dan tidak peduli.

"Orang sepertimu tidak akan mengerti," Jongin membuang mukanya asal, "Bagaimana rasanya diambang antara fana dan fakta,"

Sehun hanya diam. Tidak berniat merespon. Membiarkan Jongin melanjutkan ceritanya.

"Ternyata aku memang sangat menyedihkan,"

"Bukan hanya tidak dipedulikan oleh teman, tapi juga ibuku sendiri. Begitu menyedihkan mengetahui aku bukan anak yang diinginkan,"

"Selama ini yang kutahu hanyalah orang tuaku saling mencintai tapi ibu mengalami gangguan jiwa hingga berulang kali mencoba membunuhku,"

"Aku baru tahu bahwa ibu ternyata dalam keadaan sadar melakukannya,"

"Ibu mana yang tega mengacungkan pisau pada anaknya sendiri?"

"Ibu mana yang tega meninggalkan anaknya yang masih berusia satu tahun di tepian sungai berarus deras?"

"Ditenggelamkan di kolam renang dan hampir mati,"

"Anaknya yang masih bayi dibawanya berhujan-hujan dan berpanas-panasan,"

"Tangisan kedinginan dan kepanasan tidak dipedulikan oleh ibunya,"

"Tidak pernah merasakan asi dari ibu kandungnya sendiri,"

"Kau bisa membayangkannya, Sehun?"

Sehun tetap diam mendengar kalimat retoris Jongin. Miris. Jongin ternyata begitu menderita.

"Ketika pertama kali aku mendengar masa laluku dari ayah, hal yang pertama aku pikirkan adalah, aku bukanlah putra ibu,"

Jongin menangis. Air mata yang sudah menggenang, akhirnya jatuh juga. Membasahi pipi pualamnya.

"Aku frustasi setiap kali mencoba membayangkan hal-hal itu. Depresi yang tidak terlihat dimata orang-orang, namun sebenarnya ada dalam diriku,"

"Berbagai pemikiran mulai bermain dibenakku, mengapa aku tidak benar-benar mati ditangan ibu saja,"

"Namun, semakin aku dewasa, aku mulai berpikir lain,"

"Jika ibu memang tak menginginkanku, mengapa ia mencoba merebutku dari ayah,"

"Aku berpikir sebenarnya ibu menyayangiku. Hanya, caranya salah. Saat itulah aku mulai merasakan rindu,"

"Kupikir dengan ayah saja sudah cukup, tapi melihat anak-anak lain yang masih ber-ibu, aku mulai menginginkan ibuku,"

"Berharap agar ia pulang, memelukku. Meski hanya satu detik yang bisa kudapat,"

"Aku berdoa agar Tuhan mengabulkan. Meminta-Nya untuk mengingatkan ibu tentang aku dan adikku. Bahwa ia punya dua anak yang merindukannya,"

"Selama ini aku menunggu dan mengalihkan kerinduanku dengan mencari teman. Tapi, teman-temanku tidak sepertiku,"

"Aku tidak tahu bagaimana mencari ibu. Tidak ada petunjuk, bahkan foto pun tak ada. Akhirnya hanya bisa berharap. Pengharapan itu tetap berlanjut hingga usiaku tujuh belas tahun ini. Tapi ibu tak kunjung pulang,"

"Iya. Aku harus sabar,"

"Tapi, surat ini menghancurkan semuanya,"

Jongin menunjuk surat usangnya.

"Ternyata benar, aku adalah anak yang tidak diinginkan,"

"Ternyata orang tuaku tidak saling mencintai. Hanya cinta sepihak ayahku,"

"Aku bingung. Aku diombang-ambing oleh fakta dan fana. Harus percaya atau tidak. Aku telah dipermainkan takdir dan logika,"

"Hahaha," Jongin tertawa hambar menahan isakan. Tawa yang sebenarnya menyiratkan luka.

"Kukira hidup seperti ini hanya ada dalam drama, ternyata malah aku sendiri yang mengalaminya,"

"Dan konyolnya, aku membeberkan rahasiaku ini pada rivalku sendiri."

Sehun menangkapnya. Menangkap depresi Jongin yang tersirat.

"Aku selalu menikmati ketika kita saling mengejek dan ingin menang. Itu... menyenangkan,"

Sehun bergerak, bergeser lebih dekat pada Jongin. Menarik dagu Jongin dengan perlahan, agar mata mereka bertatapan.

Sehun melihatnya. Kefrustasian dan keputus asaan dalam mata hitam Jongin yang telah sembab, juga kesepian.

Sungguh Sehun tidak suka melihat Jongin menangis.

Maka ia menghapus air mata di pipi Jongin dengan lembut. Menatap Jongin dengan penuh perasaan.

Jongin seperti terhipnotis dalam tatapan teduh Sehun, hingga pandangannya tak teralihkan.

Sehun perlahan mendekat, menempelkan bibirnya pada bibir Jongin. Menciumnya. Melumatnya dengan lembut. Tidak ada nafsu. Hanya bermaksud menyalurkan perasaannya, dan menenangkan Jongin.

Jongin awalnya kaget, namun lama kelamaan ia merasa ciuman Sehun menyalurkan ketenangan. Dengan ragu ia mulai membalas lumatan Sehun, mencengkeram baju Sehun erat-erat.

Entah mengapa hatinya menuntunnya untuk membalas ciuman Sehun yang begitu lembut.

Ciuman pertama Jongin. Rivalnya sendiri yang mengambilnya.

"Jadilah kekasihku, Kim Jongin. Aku mencintaimu," ucap Sehun ketika ia mundur melepas pagutan, menatap Jongin tulus, "Aku mengetahui semua tentangmu. Aku selalu memperhatikanmu dari jauh,"

Jadi ini, mengapa Sehun juga berada di Jinan. Ternyata bukan kebetulan.

"Aku akan menjagamu, Jongin. Aku tidak akan membiarkanmu kesepian lagi. Percayalah padaku. Mungkin kau hanya menganggapku rival. Tapi, aku akan membuatmu cinta kepadaku,"

*** Winter AL ***

Sehun dan Jongin baru saja tiba di sekolah dengan Jongin yang membonceng Sehun. Dari lapangan parkir, mereka berjalan berdampingan. Menuju ruang kelas.

Kelopak mata Jongin masih sedikit bengkak akibat menangis semalam. Tapi tidak terlalu terlihat. Sehun sudah menyuruh Jongin untuk membolos saja dan berjanji mengantar Jongin mengurus dokumen keluarga di kantor pemerintah daerah sepulang sekolah. Tapi Jongin kekeuh untuk tetap berangkat sekolah.

Yang nyatanya membuat para murid terheran mendapati dua rival itu berangkat bersama. Biasanya akan beradu mulut jika bertemu, tapi sekarang? Mereka akrab.

Bahkan Sehun tersenyum pada Jongin dan terlihat akrab mengobrol.

"Wahh dunia berputar lebih cepat!" Komentar seorang siswi melihat keakraban Sehun dan Jongin.

Sehun menahan Jongin untuk masuk ke dalam kelas mereka ketika Sehun mendengar cemoohan dari dalam kelas. Keduanya lantas berdiri disamping pintu dengan Jongin yang kebingungan.

"Dengarlah apa yang mereka bicarakan," perintah Sehun.

"Eoh?" Jongin mengernyit.

"Jongin itu sebenarnya bodoh,"

"Kemarin dia memintaku untuk menemaninya ke Jinan,"

"Kau juga dihubungi olehnya?"

"Iya. Yang benar saja! Jinan itu jauh. Aku tidak mau repot dengan motorku."

"Dia naif!"

"Tapi lumayan bisa kita manfaatkan."

Jongin hafal suara-suara itu. Mereka adalah orang-orang yang Jongin anggap teman. Tapi tidak sebaliknya.

Jongin diam. Ada yang sakit di dadanya. Dan Sehun tahu itu.

Tidak hanya sekali ini, bahkan Sehun sering mendapati mereka membicarakan Jongin dibelakang. Kalau bisa, Sehun ingin menghajar mereka. Sayang, ini sekolah dan dia adalah ketua OSIS.

"Masuklah setelah tiga menit," kemudian Sehun melenggang dengan menyaku tangan, memasuki kelas dengan angkuh. Melewati sekumpulan teman palsu Jongin itu untuk menuju ke bangkunya dideretan belakang. "Jongin sedang menuju kemari. Diamlah jika tidak ingin ketahuan." Ujar Sehun dingin pada mereka.

Duduk dengan tenang pada bangkunya. Tidak peduli dengan tatapan aneh mereka.

Tak lama, Jongin memasuki kelas. Tapi wajahnya tidak seperti biasanya. Sekarang datar.

"Oh, Jongin," salah satu temannya terkejut. Ternyata benar apa yang dikatakan Sehun. Jongin sudah datang.

"Jongin, bisakah aku pinjam ponselmu? Aku kehabisan kuota untuk menelfon," ujar salah satu dari mereka.

Jongin berhenti. Menatapnya. Lantas merogoh sakunya untuk mengambil ponsel putih miliknya. Berniat membantu.

"Jongin," tapi suara Sehun menginterupsi, membuat niat Jongin terpending, "duduk disini," ujarnya terdengar memerintah mutlak.

Jongin dan yang lain sama-sama terkejut mendengar perintah Sehun yang mengintimidasi, dengan pandangan menusuk pada teman-teman Jongin.

"Lupa dengan apa yang kukatakan semalam?" Sehun bangkit. Menghampiri Jongin, "Perlu aku ulangi?"

"Jongin, aku terburu-buru, kemarikan ponselmu,"

"Acuhkan mereka, Jongin," Sehun menyahut, "untuk apa peduli pada orang-orang yang hanya memanfaatkanmu?"

"Sehun, apa maksudmu?!"

"Tidak usah pura-pura. Jongin sudah tahu semua kebusukan kalian,"

"Kau tidak percaya 'kan, Jong?"

Suasana jadi tegang. Para murid hanya diam memperhatikan dalam keheningan masing-masing. Tidak ada yang mau mengganggu.

Sementara Jongin diam.

"Pegang tanganku dan acuhkan mereka. Jangan pernah menolong mereka lagi. Mereka tidak pernah melihatmu sebagai teman,"

"Jong, kita teman!"

"Kim Jongin,"

"Sehun itu rivalmu!"

Jongin tetap diam, ia menatap Sehun. Mengontrol perasaannya. Untuk menentukan pilihan.

Lama ia terpaku dalam ragu. Namun akhirnya memberikan tangannya. Dan Sehun menggenggamnya dengan senyum.

"Kalian, jangan pernah mengganggu Jongin lagi. Atau kalian berurusan denganku!"

"Tapi, kalian seharusnya musuh."

"Memang benar. Aku akan melindungi musuhku. Kim Jongin, kekasihku." Setelahnya Sehun menarik Jongin menjauh.

"A-apa?!"

*** Winter AL ***

"Ini dimana, Sehun?" Tanya Jongin bingung setelah turun dari motor Sehun dan melepas helmnya. Baru saja selesai mengurus dokumen keluarga milik Jongin. Sehun mengajaknya ke suatu bangunan.

"Studio milikku dan hyungku," jawab Sehun seraya menarik Jongin masuk.

"Yo! Sehun!" Sapa seseorang begitu mereka masuk ke dalam.

"Hei, Chanyeol hyung!" Sapa Sehun balik.

"Wah, ini pasti Kim Jongin?" Luhan -kakak Sehun- terlihat exited.

"B-bagaimana kau tahu?" Jongin bertanya dengan gugup.

"Sehun sering membicarakanmu. Lihat disana," ujar seseorang lain, namanya Minseok, pacar Luhan. Menunjuk dinding dekat white board.

Mata Jongin membulat lucu. Terkejut mendapati foto-foto dirinya terpajang begitu banyak, bersama foto-foto lain.

"Sehun yang menempelkan semua itu. Kau tahu, dia stalkermu," Luhan terkekeh sembari merangkul Jongin dengan seenaknya.

"Hentikan itu, hyung!" Sehun mendengus. "Jongin, dia Luhan, hyungku. Yang ini Minseok, pacar Luhan. Yang paling tinggi ini Chanyeol. Dan pacarnya Baekhyun yang berada di pantry itu,"

"Kau lebih manis daripada di foto," ujar Chanyeol.

"Jangan macam-macam ya, Chan!" Nah ini Baekhyun.

"Hehe.. peace, babe," Chanyeol nyengir kepergok pacarnya yang baru saja muncul dari dapur dengan membawa snack dan minuman. Sementara Jongin terkekeh kecil.

"Ayo duduk," Minseok menarik Jongin.

"Jangan sungkan, Jongin. Pacar Sehun, berarti teman kami. Jika ada apa-apa hubungi kami. Okay?" Ujar Baekhyun.

"Dan jangan sungkan kepadaku, adik ipar," ini Luhan yang berucap sambil terkekeh.

"Kudengar kau jago menari dan bisa rapp," Chanyeol antusias, "Datanglah sering-sering, kau bisa berlatih disini. Aku juga suka rapp,"

"Kau akan mengikuti lomba dance bukan?"

"Hei! Ayo mengambil beberapa foto untuk menyambut kedatangan beruang manis Kim Jongin,"

Mereka berceloteh akrab. Tidak peduli meski baru saja bertemu. Tawa mereka memenuhi ruangan.

Jongin senang. Sangat senang. Mereka tak seperti teman-teman di sekolah. Jongin percaya mereka berbeda.

.

.

"Terima kasih, Sehun," ujar Jongin pada Sehun yang tengah membuka kulkas.

"Untuk?" Sehun menuang air putih ke dalam gelasnya. Meminumnya.

"Semuanya. Kau memperkenalkanku pada kakak dan teman-temanmu. Mereka sangat baik, tidak seperti teman-temanku yang palsu,"

"Kau ini bicara apa, hm?" Sehun meletakkan gelas minumannya, lantas membelai kepala Jongin dengan sayang, "Aku sudah berjanji kepadamu akan membawakan orang-orang baik untukmu. Temanku, adalah temanmu. Luhan hyung, hyungmu juga. Kau tidak akan kesepian,"

"Aku... tidak tahu harus bagaimana,"

"Tidak perlu melakukan apapun. Cukup berada di sampingku dan mulai mencintaiku,"

"Sehun, sebenarnya... aku- aku- sudah menyukaimu,"

"Mwo? Sejak kapan?"

"Entahlah... aku tidak tahu ini dimulai sejak kapan,"

Sehun tersenyum menawan. Lantas mendekatkan wajahnya, mengecup lama kening Jongin.

Jongin memejamkan matanya. Meresapi ciuman Sehun yang begitu lembut di keningnya. Begitu tulus.

.

.

"Luhan," Minseok menyikut Luhan yang sibuk mengotak-atik kamera klasik miliknya.

"Apa?" Tanya Luhan bingung. Sementara Minseok menunjuk Sehun yang mencium kening Jongin di pantry. Dengan dagunya.

"Wah..." Luhan tersenyum, kemudian mengarahkan kameranya pada sepasang kekasih itu. Membidiknya.

Itu adalah kamera yang hasil bidikannya dapat langsung tercetak. Luhan meniup-niup hasil foto hasil bidikannya.

"Manis sekali~" ujar Minseok.

Luhan beranjak, mengambil jarum, menempelkan foto itu pada papan steroform diantara foto-foto yang lain. Lantas menuliskan nama Sehun dan Jongin di bagian bawah dengan icon hati.

"Mereka serasi."

.

.

.
.

THE END

.

.

Epilog...

Jongin baru saja turun dari panggung, tapi langsung berlari semangat menuju segerombol orang yang telah menunggunya. Sehun dan yang lain. Tidak peduli medalinya yang begoyang tidak aturan menggantung di lehernya.

"Aku berhasil juara satu!" Jongin berujar semangat sembari menunjukkan medali dan trophy yang ia tenteng sedari tadi.

"Kau sangat mengagumkan saat menari tadi!" Baekhyun berujar antusias.

"Kau memang yang terhebat!" Luhan menepuk bahu Jongin.

Jongin menitipkan trophynya pada Minseok. Kemudian melepas medalinya. Memakaikannya pada Sehun. "Untukmu, Sehun,"

"Manisnya~" Chanyeol exited.

"Thanks, baby," Sehun pun memeluk kekasihnya dengan hangat. Mereka berenam terkekeh bersama.

Tanpa menyadari bahwa seorang wanita bergaya elegan tengah menatap mereka dengan setetes air mata. Tepatnya menatap Jongin yang tengah tertawa lepas.

Dadanya sesak melihat wajah Jongin. Rasa bersalah yang telah menggelayutinya selama bertahun-tahun seakan memaksa air matanya semakin deras mengalir.

"Ibu tidak ingin menemui Jongin oppa?" Tanya seorang wanita muda bermasker pada wanita paruh baya itu.

"Ibu belum siap menemui kakakmu,"

.

.

"Sehun, kau tahu siapa wanita itu? Sedari tadi melihat kearahku,"

"Dia 'kan Lee Ji Hye. Aktris senior yang terkenal itu."

"Untuk apa datang kemari,"

"Mungkin mencari orang berbakat. Kudengar dia membangun agensi sendiri. Berdoalah, mungkin kau sedang dilirik?"

"Aku seperti pernah melihatnya. Tapi dimana ya?"

"Tentu saja di televisi,"

"Ah, iya ya,"

"Sudah, ayo kita rayakan," Minseok dan Baekhyun menyeret Jongin cepat-cepat.

Jongin menurut. Namun ia sempat menoleh pada wanita paruh baya itu. Jongin sempat terkejut, ia yakin wanita itu menangis.

.

.

BENERAN END

Maap, datang-datang bawa FF ga gaje begini. -v

Gimana menurut kalian?

Apa kalian paham dengan perasaan Jongin?

Thanks yang udah baca...

With Love, Winter AL... 3