Disclaimer : Kurobas © Fujimaki Tadatoshi , Funtastic Tune © Ono Kensho, Neiro © KAT-TUN, Promise Song © KAT-TUN

Pair : Akashi Seijuuro x Kuroko Tetsuya (Akakuro)

Warning : BoyxBoy, AU, OOC, typo, 3rd person POV.


.

.

.

Senja baru saja mengurai warna orange di penghujung langit. Malam mulai naik, mengetuk pintu pergantian hari. Kelabu serupa mendung menggantung di atas rumah mungil itu sedari tadi.

Penghuninya, dua orang pemuda sebaya belasan tahun, masih saling menyangkal kata. Perdebatan sering terjadi lantaran beda tubuh maka beda pula isi kepala. Sepanjang selisih paham datang, kali inilah yang paling panjang. Sepertinya buah dari tumpukan isi hati yang terpendam.

"Lupakan soal aku. Kau harus fokus memikirkan masa depanmu."

"Tidak, sampai niatku ini tercapai."

"Ini tidak akan berhasil."

"Bagi sahabat yang kukenal, berputus asa adalah hal yang mustahil."

"Aku—Tapi, kau buang-buang waktu."

"Katakan itu setelah kita benar-benar gagal."

"Aku tidak bermaksud mengatakan kita gagal."

"Aku juga tidak berpikir kita gagal."

Hembusan penat terdengar. Sepasang mata coklat mencari jalan untuk memahami isi kepala yang—barangkali—terpantul dari manik polos lazuardi.

"Hentikan, Tetsuya."

Hening.

"Ada saatnya kita tidak bisa egois dan memaksakan kehendak demi kepentingan pribadi."

"Kenapa? Kenapa tidak bisa?"

"Karena semua yang telah kau lakukan bersama dengan biola itu adalah hakmu."

"Kalau begitu, aku bebas memberikannya pada siapa saja, kan?"

"Tapi, tidak untukku."

"Etto, Kuroko-kun, Ogiwara-kun—bisakah kalian berhenti berdebat sebentar?"

Dua pasang mata yang semula saling memaku, kini bergulir. Fokus bergeser pada individu ketiga yang berperan sebagai penengah sengketa.

Himuro Tatsuya, pemuda berusia setahun lebih tua yang telah dianggap sebagai kakak bagi kelompok kecil mereka, menggeleng maklum atas polah dua remaja di depannya. Dua tahun tinggal bersebelahan membuat ia hapal tentang mereka di luar kepala.

"Ada yang mengetuk pintu. Sepertinya kita kedatangan tamu," Tatsuya melanjutkan sambil tersenyum.

Manik yang teralih kembali beradu selama beberapa detik. Salah satu memutuskan untuk mengalah diiringi desah napas lelah. Sepasang tangan meraba jalaran karet bundar di samping tubuh, membawanya melaju ke arah pintu. Ada tatapan nanar menguar tiap kali mata yang satu menyaksikan bagaimana sosok lain berpindah.

Handle berputar. Cahaya keemasan menyeruak jatuh di atas wajah bersalur orange cerah. Manik coklat berbinar.

"Akashi... Seijuuro?"

Kilat ekspresi melintas di permukaan safir muda saat siluet merah menyapa. Telapak tangan di samping tubuh mungilnya mengepal kuat.

Kenapa dia bisa berada di sini ?

.

.

.

Thirty Days

by

Relya Schiffer

Chapter 4 : The Twentieth Until The Thirtieth (Part II)

.

.

.

Hari keduapuluh enam

Hari ini mungkin menjadi hari paling melelahkan bagi Akashi Seijuuro.

Bagaimana tidak?

Adalah sesuatu yang wajar jika pemuda belasan tahun itu mendambakan waktu istirahat yang efektif di rumah setelah ia didera berbagai kegiatan penguras pikiran dan stamina di sekolah. Alih-alih ketenangan kamar yang ia dapat, justru sosok brandalan datang mencegat. Seijuuro sampai berniat akan menyembelih Nijimura Shuuzou kalau asistennya hanya sekedar iseng mengganggu .

Namun, niat buruk Tuan Muda tidak berlaku.

Hamparan copy data serta bundel file berstempel Nijimura Central Hospital menyebabkan mata Sang Akashi terperanjat seketika. Tanpa pikir panjang, dicampakkan saja kehadiran Haizaki Shougo yang masih mematung di samping intercom.

Demi apapun, Seijuuro ingin bisa menghilang sekarang. Koordinasi syaraf otak dan alat gerak tubuhnya telah sinkron seratus persen. Perawakannya yang cenderung tak terlalu tunggi namun well-built langsung saja melesat gesit, meninggalkan pelataran mansion tanpa bisa dicegah. Kendati memiliki tempat tujuan yang pasti, Seijuuro gagal paham bahwa perjalanan dengan mobil pribadi akan lebih cepat daripada berjalan kaki.

Fokusnya terlanjur tercemar oleh satu nama.

Tetsuya... Tetsuya... Tetsuya...

Waktu terasa dipangkas. Hanya dalam sekian menit Seijuuro telah menjatuhkan eksistensi di depan pintu rumah yang baru semalam ia kunjungi. Kelereng delima menyipit penuh analisa pada pemilik rumah yang menyambut kedatangannya dengan senyum hangat dan aura bersahabat.

"Akashi... Seijuuro?"

Perhatian Sang Tunggal Akashi terkunci bukan karena sosok ini mampu mengucap namanya. Bukan pula pada sebuah nama kecil yang terlontar dari bibirnya. kursi roda penopang sosok inilah yang membuat informasi dari Haizaki Shougo semakin dapat dimengerti.

"Kau harus tahu, Akashi. Kuroko Tetsuya bukan penderita osteosarkoma."

.

.

.

.

Rantai ayunan menjerit kekurangan pelumas. Berat tubuh Tetsuya membebani potongan kayu sebagai alas. Disampingnya, Seijuuro bersandar punggung pada tiang besi penyangga.

Keheningan telah cukup lama menyergap. Belum ada yang berminat untuk mendonorkan suara usai deskripsi biografi dituturkan. Tepatnya sejak Tetsuya mengurai cerita mengenai dirinya dan Ogiwara Shigehiro sahabatnya.

Mereka telah saling mengenal sejak lama. Berdua mengenyam pahit manis hidup membuat persahabatan mereka lebih kental dari hubungan darah. Bisa dibilang, keduanya telah memasuki zona di mana Shigehiro tak akan meninggalkan Tetsuya meski harus bertaruh nyawa, begitu pun sebaliknya.

Ketika Shigehiro divonis mengidap osteosarkoma, Tetsuya bersumpah akan menjadi penopang sahabatnya. Keterbatasan pilihan kerja adalah dalih efektif baginya untuk minta diajari biola dan berujung sebagai seniman jalanan. Ia rela mengais kepingan yen dari pejalan kaki murah hati demi pengobatan.

Dari bibir Tetsuya pula mengalir alasannya ingkar janji tempo hari. Saat Seijuuro menanti seorang diri tanpa kepastian, Tetsuya tengah kalut menemani Shigehiro di rumah sakit akibat karena masalah kesehatan.

Hembusan udara lolos untuk ke sekian kali. Tak mau keheningan semakin congkak meraja, Seijuuro tersulut untuk mendahului bicara.

"Selain dirimu, siapa yang menjadi sumber biaya bagi Ogiwara ?" tanyanya menyelidik. "Si Alis Bercabang dan temannya itu ?"

Kepala biru mengangguk. Persetujuan sunyi dalam diam.

"Kagami-kun, Furihata-kun dan Himuro-san. Mereka menyisihkan penghasilan mereka demi kesembuhan Ogiwara-kun. Mereka juga sering membantuku menjaga Ogiwara-kun di rumah sakit."

"Lantas, tindakan apa yang sudah dilakukan?"

"Hanya kemoterapi ringan. Itu sebelum stadiumnya meningkat. Sekarang—malah disarankan untuk..."

Hening lagi.

Sang Crimson terlalu paham isi kepala pemuda kurus bertekad sekuat baja. Dan ia benci pada gurat resah yang memenuhi pancaran mata Tetsuya.

Seijuuro ingin langit biru selalu ceria, apapun caranya.

"Tetsuya."

Aqua marine terangkat. Sambutan rubi diterima saat pemiliknya mendekat. Satu lutut mencium tanah. Seijuuro menyejajarkan diri dengan Tetsuya dalam posisi duduk rendah.

"Kau sangat menyayangi temanmu, aku mengerti. Kau bahkan rela waktu dan tenagamu terkuras demi biaya pengobatannya. Tapi, aku tidak suka melihatmu murung, Tetsuya."

Bibir mungil digigit risau. Kabut mata hampir pecah oleh tajamnya lensa darah.

"Akashi-kun... Maaf..."

"Kalau aku bisa menyelamatkan Ogiwara Shigehiro untukmu, maukah kau selalu tersenyum untukku?"

Seorang Akashi diajarkan untuk frontal bertindak hanya dalam kondisi terdesak. Dan saat ini, Seijuuro merasa dirinya terdesak sampai ke tahap kritis, di mana ia mampu melakukan hal paling mustahil sedunia demi seorang Kuroko Tetsuya.

.

.

.

.

Deringan nyaring telepon mengusik Nijimura Shuuzou. Dokter muda yang tengah sibuk di depan komputer itu nyaris menghadiahi ancaman bagi satu-satunya terdakwa yang bernyali mengusiknya.

Nantikanlah hukumanmu besok, Haizaki Shougo.

Namun, kali ini Shuuzou salah menduga. Perintah absolut dari horn telepon membuatnya bungkam. Fokus terpusat pada segala penjelasan hingga beberapa menit kemudian.

Ketika tak ada lagi suara dari seberang sambungan, dokter muda yang digadang-gadang sebagai calon pemegang kuasa Nijimura Central Hospital memejamkan mata erat-erat. Seiring dengan obsidian yang kembali menatap dunia, ia mendesah penat.

"Kau yakin dengan tindakanmu?"

"Kupikir kau tipe dokter yang akan berjuang demi pasien."

"Aku memang memiliki agenda untuk berbicara dengan Shigehiro. Tapi, aku sama sekali tak menyangka kau sampai bertindak sejauh ini. "

"Semua sudah beres. Aku telah memainkan peranku. Sisanya kuserahkan padamu."

"Baiklah. Aku mengerti."

"Dan ingat, jangan sampai Tetsuya tahu."

Belum sempat menjawab, sambungan telah diputus sepihak. Shuuzou ditelantarkan sendiri bersama segunung pemikiran.

Para pujangga sering bersabda, bahwa cinta mampu menembus segala macam pengorbanan. Haruskah Shuuzou berbangga hati lantaran telah diberi kesempatan untuk membuktikan adanya pengorbanan itu?

Terlebih jika subjek yang melakukan adalah seorang Akashi. Dan objek yang dikorbankan adalah dirinya sendiri.

*#*#*#*

Hari keduapuluh tujuh

Sepulang sekolah, Seijuuro kembali datang ke rumah violinis amatir favoritnya. Kali ini ditemani Nijimura Shuuzou sebagai sutradara. Terik siang hari itu menjadi saksi bagaimana anguish menghapus keceriaan di wajah Shigehiro atas prolog Shuuzou mengenai penyakitnya. Terlebih ketika limb salvage terus berulang dan menjadi akar pembicaraan.

Tetsuya membisu. Sendu bergemuruh dalam tenangnya samudera biru. Seijuuro meletakkan tangan di pundak Si Biru—gesture sederhana—pengingat bahwa ia selalu ada. Sang Akashi tak bisa tinggal diam melihat mendung gelap merayapi langitnya.

Beruntung semua tak berlangsung lama. Secercah harapan terbit saat Shuuzou menyebut nama sebuah rumah sakit di Belanda, yang disinyalir sanggup menyelamatkan Shigehiro tanpa amputasi.

Secara cuma-cuma. Bebas biaya.

"Kasus Shigehiro tergolong cukup sulit. Jaringan kankernya terletak tepat dibawah lutut. Stadiumnya juga sudah lanjut. Dan untuk menjalani operasi dibutuhkan tim beranggotakan ahli medis terbaik."

Binar pada aqua marine kembali berpijar. Seijuuro menyukainya. Tak putus senyuman lega menghias wajah tampan pujaan kaum hawa. Butiran permata merah menyorotkan afeksi yang tak terbendung sama sekali.

Akan tetapi—

"Selama setahun penuh setelah operasi, pasien harus terus berada dalam pantauan tim medis. Ini berarti, kau harus tinggal di Belanda, Shigehiro."

—sekalipun telah membesarkan hati—

"Dan sebagai pihak keluarga, apa kau bersedia mendampinginya, Kuroko Tetsuya?"

"Aku bersedia, Nijimura-san."

—Seijuuro tetap merasa jantungnya seolah berhenti.

Tak ada alasan bagi Kuroko Tetsuya untuk berpikir dua kali terkait kesempatan emas ini, bukan?

"Kalau begitu tiga hari lagi kita berangkat. Lebih cepat lebih baik. Kesembuhan Shigehiro menjadi prioritas utama. Semua berkas yang diperlukan sudah kusiapkan."

Himuro Tatsuya tak sanggup menyembunyikan ekspresi bahagia. Senang bukan kepalang lantaran berhasil membuktikan kekuatan doa. Selaput sebening kaca hampir meleleh dari pelupuk matanya.

"Selamat, Ogiwara-kun. Akhirnya kau bisa main basket lagi."

"Iya. Aku senang sekali, Himuro-san. Terimakasih... Terimakasih..."

Sementara ucapan syukur belum berhenti mengalir dari lisan, gejolak emosi positif membuat Shigehiro tak berniat menahan diri. Diraihnya sosok sahabat dalam pelukan yang dibalas sama erat.

"Ogiwara-kun..."

"Tidak. Jangan katakan apapun. Kau tak tahu betapa beruntungnya aku memiliki sahabat sepertimu, Kuroko Tetsuya.

Suka cita melarutkan ketiga individu dalam suasana haru. Hanya Nijimura Shuuzou saksi tunggal yang menangkap keganjilan pada satu senyuman. Namun, ia tidak berminat membongkarnya. Tidak di sini. Mungkin juga tidak sama sekali.

Entahlah. Shuuzou hanya merasa sedikit kecewa. Jauh di sudut hati, ia memendam ekspektasi yang lebih dari ini. Bukan sekedar keberhasilan yang berbalut pahitnya kontradiksi.

Jika memang sebuah keputusan harus berakhir getir, mengapa manusia dilahirkan untuk selalu terjebak di antara pilihan?

.

.

.

.

Himuro Tatsuya tinggal persis di sebelah rumah mungil—yang dihuni Tetsuya dan Shigehiro—bersama dua orang sepupunya, Kagami Taiga dan Furihata Kouki. Tatsuya menyayangi mereka semua seperti keluarga sendiri. Oleh karena itu, tak jarang ia mendarmakan diri sebagai koki bagi adik-adiknya.

Seperti sekarang.

"Jadi, pemuda itu yang sering kau ceritakan, Kuroko-kun?"

Gerakan tangan Tetsuya berhenti sejenak. Pemiliknya menoleh pada sosok bersurai hitam yang tengah membantu menyiapkan makan malam.

"Akashi Seijuuro. Benar, kan?"

Tatapan mata yang meminta kepastian membuat targetnya kembali pada potongan tofu di atas wadah.

"Benar, Himuro-san."

Tatsuya tersenyum lagi.

"Sosok baik hati yang selalu menghargai permainan biola sumbang; kapten dari tim basket Teiko yang hebat; dan ternyata, dia sangat tampan. Pantas kau dibuat terpesona olehnya."

"Eh?"

Tawa kecil dilepaskan Tatsuya. Sebelah tangannya menepuk bahu pemuda manis bersurai langit yang kembali menguarkan aura polos tiada tara.

"Katakanlah ini insting. Jangan pikirkan salah atau benar soal perasaan. Kita juga tidak meminta dilahirkan seperti ini, kan?"

Berorientasi menyimpang.

"Lagipula Ogiwara-kun tampaknya tidak keberatan. Lihat, dia begitu welcome pada temanmu itu, Kuroko-kun."

Dari tempatnya berdiri, Tetsuya dapat menyaksikan dengan jelas bagaimana obrolan diantara Akashi Seijuuro dan Ogiwara Shigehiro terbangun natural. Sikap friendly Shigehiro mampu diimbangi dengan elegan oleh Seijuuro. Kedewasaan Nijimura Shuuzo juga turut andil membangun arah obrolan mereka.

Sebagai kakak, Himuro Tatsuya telah mengetahui perihal pertemuan mereka, langsung dari nara sumber sendiri. Ia mengerti—bagi orang seperti Kuroko Tetsuya, Seijuuro merupakan visualisasi maha karya. Sebuah bukti kesempurnaan mutlak yang tak pernah ia temui selama 17 tahun hidupnya.

Akashi Seijuuro tampan, sangat tampan. Aura wibawa yang nyata adalah bukti ia berasal dari keluarga terpandang. Mental kepemimpinan membuatnya dihormati banyak orang. Taktik jeniusnya selalu membawa tim basket Teiko meraih kemenangan. Jangan lupa pada rubi merah yang tajam namun tetap menyimpan kelembutan, itu merupakan poin yang tak luput dari penilaian.

Jadi, dapat dipercaya jika sederet gadis bermartabat rela diseleksi demi menjadi pendampingnya.

Lalu, apa lagi yang kurang? Apa yang salah?

Mengapa sang pangeran justru mengucapkan kalimat sakral kepada seorang rakyat jelata?

"Kalau aku mengatakan, aku mencintaimu, apa kau percaya?"

Abaikan soal status ekonomi dan sosial, mereka memang jelas berbeda kasta. Yang jadi perhatian di sini adalah soal gender. Apakah Seijuuro menolak mengakui bahwa Tetsuya adalah laki-laki?

Bukan itu saja. Takdir pun seolah tak mau kalah menjarah peran, dengan menyambung benang merah kasat mata di antara aspek kehidupan mereka.

Akashi Seijuuro ternyata sepupu dari Nijimura Shuuzou—dokter yang menjadi tempat berkonsultasi tentang penyakit Shigehiro. Dan Seijuuro sempat mengira Tetsuya mengidap osteosarkoma akibat kelalaian oknum rumah sakit—Haizaki Shougo—yang salah melabeli kartu status pasien. Pemuda kelabu itu justru melekatkan nama Kuroko Tetsuya (pihak keluarga pasien) pada kartu status Ogiwara Shigehiro (pasien sebenarnya).

"Kau harus memberinya jawaban, Kuroko-kun."

Suara halus Tatsuya mengembalikan Sang Lazuardi dari renungan. Tetsuya menghela napas berat yang tanpa sadar telah ditahan.

"Aku tidak tahu harus menjawab apa, Himuro-san."

"Kalau kau merasakan hal yang sama dengannya, kurasa kau akan mendapat jawaban dari pertanyaanmu itu."

Kalimat ambigu Tatsuya tidak sepenuhnya membantu. Fakta bahwa dalam hitungan hari ia harus meninggalkan Jepang membuat Tetsuya kian didera ragu. Ia tak mau mengikat Seijuuro dengan status hubungan jarak jauh. Di sisi lain, getaran yang muncul tiap kali bertemu membuat Tetsuya yakin penuh. Kehadiran Seijuuro membawa emosi lain di tiap malam mereka berjumpa.

Ekapresinya, senyumannya, tawa kecilnya, seringainya, tangis samarnya, hingga pelukan kuatnya yang hangat—Tetsuya masih mengingat semua itu dengan jelas.

Inikah bukti bahwa lafaz cinta telah memastikan tempat di hati manusia?

"Masih ada waktu dua hari bagimu, Kuroko-kun."

Kalimat penutup dari Tatsuya dijawab anggukan pelan. Pikiran remaja penggemar vanila kini semakin terpaku pada satu siluet warna delima. Sosok yang telah rutin menulis nama di atas perkamen waktunya selama hampir tiga puluh hari.

.

.

.

.

Usai makan malam, Shuuzou kembali membahas mengenai berkas yang harus disiapkan menjelang kepindahan ke Belanda. Tatsuya dan Tetsuya mendengarkan dengan seksama. Selagi semua orang tenggelam dalam pembicaraan, Seijuuro menyelinap ke luar. Dari teras rumah mungil itu ditatapnya hamparan permadani kelam, megah dan tak berbintang.

Sepasang mata terpejam, sengaja membiarkan dunianya diambil-alih. Untuk sejenak, Seijuuro ingin terserat ke dalam dunia pengandaian.

Seandainya saja...

Ia bayangkan dirinya adalah langit. Tak pernah putus di mana pun manusia tercipta.

Tak terbatas.

Ia bayangkan dirinya adalah angin. Tak pernah habis ke mana pun manusia berkelana.

Tak terbatas.

Ia bayangkan dirinya adalah waktu. Tak pernah berakhir sebelum dunia hancur di bawah kuasa Sang Pencipta.

Tak terbatas.

Genggaman Seijuuro menguat. Rela dan tak rela bergumul hebat menyesakkan kepala.

"Akashi-kun, kenapa sendirian di sini?"

Bahkan suara lembut malaikat surga tak serta merta membuat Akashi muda membuka mata. Kukuh memunggungi kehadiran pihak kedua di belakangnya. Pemuda merah itu hanya tersenyum dan mengucap satu permintaan.

"Satu saja—mainkan sebuah lagu untukku, Tetsuya."

Di tempatnya berdiri, kening pemuda biru berkerut heran. Ia tak mengerti, bagaimana bisa Seijuuro mengetahui ada biola di genggaman tangannya?

Tak berniat menolak, Tetsuya menuruni titian menuju pekarangan. Mungkin ini adalah kesempatan. Berbekal petuah Shigehiro tentang nada dan rasa, ia berdiri di sebelah putra tunggal Akashi.

"Bermain biola sama seperti bermain basket, Tetsuya. Jika tidak ada rasa yang ingin kau sampaikan di dalamnya, permainanmu tidak akan menarik."

Setiap nada menyimpan kisah. Setiap sonata mengandung sejarah. Tetsuya berharap melodi pilihannya dapat meraih sosok yang terasa begitu jauh, padahal jelas-jelas tengah berdampingan dengannya.

Lower bout telah bertengger di bahu. Hair bow siap menggilas senar demi mengiringi tarian jari di atas finger rest. Tetsuya menarik napas panjang dan melepasnya perlahan. Degupan jantungnya liar, suaranya sedikit bergetar. Tapi, ia sama sekali tak gentar.

"Lagu sederhana ini untukmu, Akashi-kun..."

Detik berikutnya, alunan biola berkumandang—berniat menyampaikan pesan terpendam.

I try to look good out of fear

Mengisi udara kosong dengan melodi sumbang sarat keunikan.

I wasn't able to speak here

Dan Seijuuro meresapinya sepenuh hati.

I could because you were here

Demi membalut frase yang begitu ingin diucapkan oleh lisan—

Ikutlah denganku, Tetsuya.

—namun tak bisa.

Karena dalam hitungan hari, biola ini dan pemainnya akan berhenti melukiskan warna nada.

Sadar bawa ia harus siap menerima kehilangan kedua, Seijuuro berbisik pada satu sosok yang tengah menangis di sudut hatinya.

Sayonara.

*#*#*#

Hari keduapuluh sembilan.

Kise Ryota tak habis pikir, bisa-bisanya mata seorang Midorima Shintaro menyorot penuh tuduhan. Model andalan majalah remaja itu tidak suka melihat cara shooter andalan tim basket berjuluk Kiseki no Sedai mencermati Sang Kapten sejak menginjakkan kaki di kelas pagi ini. Tatapan Si Hijau serupa paparazi yang berusaha mengungkap rahasia seorang selebriti.

"Midorimacchi, tidak ada yang aneh dengan Akashicchi. Jadi, berhentilah menyatroni kapten kita dengan tatapan seperti itu-ssu."

Sekilas, manik madu Ryota menyambangi Sang Kapten yang tengah menginspeksi loker Atsushi. Entah apa yang dipikirkan center berkemampuan defense sebesar tubuhnya itu, hingga Seijuuro harus menyita tumpukan kotak snack kadaluarsa dari lokernya.

"Hmph. Kau tidak tahu apa-apa, Kise," bingkai kacamata mendapat gaya dorong ke atas. "Memangnya siapa yang bilang Akashi aneh? Aku hanya ingin menegaskan, auranya hari ini lebih kelabu-nanodayo."

Ryota berjengit. Bukankah Midorima Shintaro yang dikenalnya fanatik benda antik? Lalu, sejak kapan pemuda hijau itu beralih fetis menjadi pengamat aura?

Untunglah kecurigaan Shintarou tidak menghasilkan insiden yang berarti. Latihan rutin berakhir damai tanpa masalah.

Saat keempat warna pelangi pembangun tim inti bersiap meninggalkan gym, kapten mereka memberikan kejutan.

"Hari ini kita kedatangan tamu istimewa," ucapnya. Bersamaan dengan itu, seorang pemuda manis bertubuh relatif pendek muncul di pintu masuk sambil memberi salam dan membungkuk dalam.

"Doumo, minna-san. O genki desu ka?"

Jerit antusias Kise Ryota pun menggelegar. Langsung saja diterjangnya Tetsuya dengan pelukan erat ala bocah hiperaktif kelebihan protein. Setidaknya sampai tangan berkulit tan memberi satu jitakan keras. Ryota menyumpah-serapahi pelaku dengan omelan panjang.

"Aominecchi! Sakit-ssu! Aku tahu kau juga rindu pada Kurokocchi. Tapi, bersabarlah dan tunggu giliranmu untuk ikutan peluk-peluk-ssu."

"Berisik, Kise! Kau nyaris membunuh Tetsu dengan pelukan sumo milikmu."

"Apa? Sumo?" Ryota positif histeris. "Badanku ini ideal dan atletis. Aominecchi hidoi-ssu!"

Selagi pasangan warna primer terlibat cek-cok harian, Atsushi merebut kesempatan. Dihampirinya sosok mungil Tetsuya, dan ditengadahkan telapak tangannya di depan remaja turqouise itu.

"Eh? Ada apa, Murasakibara-kun?"

"Maiubo," Atsushi menjawab santai. "Kurochin sudah berjanji akan memberiku maiubo kalau kita bertemu lagi," jelasnya.

"Ah, sumimasen. Aku lupa, Murasakibara-kun."

Ekspresi kecewa Atsushi membuat Tetsuya tak enak hati. Seijuuro yang melihatnya pun turun tangan menengahi. Disentuhnya lengan rekan timnya, cara ampuh mengalihkan perhatian dari pemilik surai campuran merah dan biru itu.

"Tetsuya kebetulan lewat. Akulah yang mengajaknya mampir sejenak. Kuharap kau bisa mengerti, Atsushi."

"Ehh, benarkah? Lalu maiubo-ku bagaimana?"

"Aku yang akan membelikan untukmu."

"Akashi, kau terlalu memanjakan Murasakibara-nanodayo."

Protes pemuda zamrud dibungkam oleh senyuman berarti ganda dari Si Merah. Mata rubi menundukkan segala gejolak radikal yang ada. Shintaro didesaknya untuk memilih keputusan paling bijaksana, yaitu diam seribu bahasa.

"Bagaimana, Atsushi? Kau bersedia memaafkan Tetsuya, kan?"

"Hmm. Baiklah kalau begitu. Aku tidak akan menagih Kurochin lagi."

Bukan tanpa alasan Murasakibara Atsushi dijuluki Bocah Ajaib (oleh Ryota) atau Bayi Besar (oleh Daiki). Buktinya, ia langsung menuruti perkataan Seijuuro yang dijuluki Orang Tua Asuh (oleh Shintarou).

Keenam warna pelangi bermain 3 on 3 sebanyak dua kali. Tim Seijuuro-Tetsuya-Atsushi melawan tim Daiki-Ryota-Shintarou. Skor kedua tim selalu imbang di akhir permainan.

Sebelum pulang, Tetsuya menggelar pertunjukkan kecil di hadapan anggota Kiseki no Sedai atas permintaan Seijuuro. Funtastic Tune sukses ia sajikan dalam versi biola. Ia juga membagikan key chain berbandul bola basket. Sebagai ucapan terimakasih, katanya.

Tetntu saja, Ryota menyambut senang pemberian Tetsuya dengan bola mata berkaca-kaca. Daiki tersenyum lebar, lalu melayangkan fist bump. Atsushi hampir menggigit bola basket mini dari busa lantaran warnanya mirip cookies vanilla . Shintarou—seperti biasa—menerima pemberian dengan dalih terpaksa.

Mereka sama sekali tak paham, bahwa pemberian Tetsuya adalah caranya mengucap perpisahan.

Di depan gerbang SMA TEiko mereka saling melambaikan tangan. Atsushi dan Shintarou pulang bersama lantaran searah. Sedangkan Daiki dan Ryota pulang bersama karena mereka tetangga. Tinggal Tetsuya dan Seijuuro yang tersisa.

"Ini jam kerjaku, Akashi-kun."

"Aku temani."

"Tidak apa-apakah?"

"Mm. Kau mau menggelar pertunjukan di mana?"

Nada ringan dan aksen meledek dalam pertanyaan Seijuuro membuat Tetsuya merasa gelembung nyaman bergeletar di dalam dada. Tanpa ragu, ia pun mengangkat tangan. Telunjuk ramping menentukan arah jalan.

"Ke tempat biasa, Akashi-kun."

Dua pasang kaki menghibur tanah dengan jejak langkah. Di sepanjang jalan, Seujuuro dan Tetsuya tak pernah berhenti bercengkrama. Seolah keduanya benar-benar ingin memanfaatkan menit dan detik yang tersisa.

.

.

.

.

"Dia belum pulang! Dia belum pulang! Dia belum pulang!"

Mibuchi Reo berhenti mengulangi langkahnya yang meniru gerak setrika. Pemuda berambut malam itu menoleh pada sosok yang tengah berdiri di hadapan meja besar.

"Demi Tuhan, Shuu-chan! Sepupu kita tercinta belum pulang! Kemana dia?"

"Tenanglah, Reo. Ini baru jam 8 malam. Kau sendiri harusnya sudah tahu ada di mana Si Merah itu sekarang."

Reo hendak protes. Tapi keseriusan dari obsidian Shuuzou menghentikannya. Fokus Reo tertuju pada benda yang sedang dicermati.

Selembar kertas, bentuk penyerahan diri seorang manusia pada ketentuan.

"Apa kau menyesal sudah membantunya, Shuuzou?"

"Tidak. Dia sudah memilih jalan ini. Berarti dia punya perhitungan."

"Aku tetap tak habis pikir. Bisa-bisanya dia menempuh cara sejauh ini demi membantu Kuroko Tetsuya serta sahabatnya."

"Itu berarti, Kuroko Tetsuya memiliki nilai hingga Seijuuro mau menggadaikan kebebasan."

"Dan selama lima tahun ke depan, dia akan tunduk pada Paman."

Tawa Shuuzou meledak sesaat.

"Jangan bercanda, Reo! Kau kira siapa Seijuuro? Dia itu seorang Akashi. Dia adalah benih calon pemimpin yang berikutnya. Kusarankan kau tidak meremehkannya."

"Tapi..."

"Aku bersumpah. Akan kujaga mereka baik-baik di sana. Akan kupersiapkan anak itu, hingga tiba saatnya kepersembahkan kepadanya."

"Kata-katamu nembuatku merinding, Nijimura Shuuzou. Terkesan seperti ritual menyembah iblis saja."

Cengiran tipis terlukis.

"Aku hanya ingin dia bahagia. Sudah saatnya dia memikirkan kebahagiaannya, kan?"

"Hei, kau baik juga. Bagaimana kalau kutraktir ramen istimewa?"

Belum sempat Shuuzo menyahut, Reo sudah melanjutkan.

"Kudengar ramen di kedai warisan turun-temurun keluarga Haizaki sangat enak. Kau tertarik?"

Sebuah bantal sofa melayang, tepat jatuh di atas kepala putra sulung Mibuchi. Gelak tawa pecah lagi.

"Penawaran yang terlambat, Mibuchi Reo. Aku sudah mencobanya lebih dulu."

Reo tak berniat menyelidiki arti penekanan nada pada satu kata dalam kalimat Shuuzou. Itu urusan pribadi yang bisa menyangkut hukum privasi jika dicampuri.

Dua pemuda bermahkota sewarna pun meninggalkan ruangan sambil melempar canda. Mereka berusaha melupakan eksistensi surat perjanjian yang tergeletak di meja, lengkap dengan tanda tangan Akashi Seijuuro dan Akashi Masaomi di dalamnya.

.

.

.

.

Kebiasaan Seijuuro tampaknya bertambah. Tidak hanya menjadi langganan di pertunjukkan Tetsuya, tapi juga mengantarnya pulang. Tetsuya tiba di rumah saat jam dinding menunjukkan pukul 10 malam. Taksi yang disewa masih bertahan, supirnya sudah dibayar untuk menunggu tanpa batas waktu.

"Ano, Akashi-kun..."

Keraguan pada kubangan warna samudera membuat Seijuuro mengerti apa yang hendak disampaikan Tetsuya.

Pasti soal itu.

"Tentang pertanyaanmu tempo hari, aku belum menjawabnya."

Benar, kan?

Belum ada sahutan dari Si Merah. Seijuuro masih menunggu kelanjutan kata-kata pujaan hatinya.

"Aku tidak tahu apa yang kau lihat dari diriku. Aku hanya ingin Akashi-kun memikirkannya sekali lagi. Karena, aku... "

Bibir tipis digigit kecil.

"Aku ini... laki-laki."—pengakuan implisit.

"Apa yang salah dengan laki-laki?"

Butiran safir membulat. Terlalu takjub dengan betapa santainya Akashi Seijuuro membicarakan hal yang dianggap tabu oleh masyarakat.

"Aku selalu benar. Keputusanku tak pernah salah. Termasuk soal siapa orang yang aku cintai. Tak peduli perempuan atau laki-laki."—kepercayaan diri tingkat tinggi.

"Aku tak peduli siapa yang menentang. Sekalipun harus menjadi bagian yang dianggap kotor oleh norma sosial, pantang bagiku untuk mengalah."—aroganitas tak kenal batas.

Segaris senyuman terbit. Sorot teduh butiran rubi menimpa lazuardi dengan pancaran afeksi tak bertepi.

"Aku mencintaimu, Kuroko Tetsuya."

Kaki ramping diajak melangkah.

"Dan itu kenyataan yang tidak akan berubah."

Satu kecupan menjadi penutup pertemuan. Jatuh di atas kening porselen dari sosok yang terpaku diam. Detik berikutnya, siluet Seijuuro hilang ditelan malam.

Sebagai pihak yang ditinggalkan, Kuroko Tetsuya berduel dengan emosi. Wajahnya merona, tangan mencengkeram erat jaket tipis pada tubuh—tepat di depan dada. Gemuruh tabuhan jantung berdifusi ke seluruh sel darah. Getarannya menjalar dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

Ketika Tetsuya berbalik, cengiran lebar Ogiwara Shigehiro menyambut. Kursi roda dibawa melaju perlahan. Rumah biola diraih. Penutupnya dibelai penuh kasih. Shigehiro menatap berlian jernih Tetsuya

"Aku tidak keberatan jika kau ingin tetap tinggal di sini, Kuroko."

Tak ada ekspresi di wajah datar Tetsuya. Namun, safir birunya menyorot tidak suka.

"Sepertinya Ogiwara-kun salah minum obat."

Shigehiro terkikik geli. Reaksi langganan saat sahabatnya memberi respon seperti sekarang.

"Aku tidak berhak meminta apapun darimu. Karena sudah terlalu banyak yang kau korbankan untukku, Kuroko."

"Tapi tetap tidak sebanding dengan pertolonganmu 5 tahun lalu. Kalau tidak ada Ogiwara-kun, mungkin aku tidak akan ada di sini sekarang."

"Hidup dan mati bukan urusan manusia," Shigehiro tersenyum kecil. "Lagipula, yang lebih berpotensi mati duluan adalah aku, kan?" lanjutnya enteng.

"Ada yang salah dengan mulut Ogiwara-kun. Atau ada sekrup kepalamu yang kendur? Sini, biar kukencangkan dulu."

Shigehiro berteriak-teriak melarang ketika Tetsuya hampir meraih obeng—tentunya dengan tertawa kegirangan. Seorang kuudere seperti sahabatnya kadang bisa bereaksi ekstrim saat diajak bercanda.

Puas menggoda Tetsuya, Shigehiro kembali fokus pada topik semula. Diraihnya jemari tangan yang telah menari diatas biolanya cukup lama. Digenggamnya erat bersama dua pasang mata yang saling menyapa.

"Baru kali ini aku melihat emosi itu di matamu, Kuroko. Emosi yang hanya muncul saat kau menatap Akashi Seijuuro. Kau tak pernah meminta apapun, aku juga tak bisa memberikan apapun. Tapi, paling tidak, kau harus berjuang demi sesuatu yang kau inginkan."

Detik seperti tak berlalu. Keheningan seolah hendak membekukan waktu. Hingga—

"Apa perlu aku membungkusnya lalu kubawa ke Belanda sebagai hadiah untukmu?"

—Tetsuya nyaris meraih benda terdekat dan melemparnya ke arah Shigehiro yang sedang terpingkal. Baginya, merusak suasana dengan lelucon garing adalah suatu tindakan kriminal.

Sadar Sang Sahabat mulai kesal, Shigehiro pun menghentikan tawa kecilnya. Ia kembali menatap Tetsuya dan melanjutkan kata-katanya yang sempat tertunda.

"Kuroko, dengar. Aku tak ingin kau menanggung penyesalan di kemudian hari. Saat ini, kau hanya perlu melakukan sesuatu agar dia tahu. Apapun itu."

Kesungguhan di mata coklat Shigehiro terpancar jelas. Semua kalimat tanpa jeda yang lahir dari belah bibir itu membuat Tetsuya bertambah yakin, bahwa Tuhan amat menyayanginya dengan mengirimkan seorang malaikat berwujud manusia.

*#*#*#*

Hari ketigapuluh.

Pukul 6 pagi, halaman utama mansion Akashi.

Mibuchi Reo bersiul-siul kecil menanti di dalam mobil. Dari tempatnya kini, kediaman sepupunya terlihat begitu megah dan anggun. Hamparan anggrek bulan putih dan biru memenuhi halaman depan. Dan di antara warna langit itulah seleret merah tersembul lima menit kemudian.

Bibir Reo membentuk senyum. Entah sudah berapa kali ia memuji ketampanan sosok itu dalam hati. Pakaian informal macam kaus dan cotton pants saja tak sanggup menyembunyikan paras sempurna seorang Akashi. Apalagi sekarang, saat Si Objek Pujian tengah berseragam SMA Teiko—yang terdiri dari celana panjang hitam berpadu jas putih di atas kemeja biru.

"Kau datang tepat waktu, Reo."

"Tentu saja. Kau bisa mengandalkanku di saat genting, Sei-chan."

"Pesawatnya berangkat pukul 8. Mereka sudah tiba di bandara sepuluh menit lalu. Kita berangkat sekarang."

Reo tak banyak bicara kali ini. Hanya mengangguk dan membiarkan Seijuuro sibuk dengan dunianya. Meskipun begitu, Reo tetap menyadari ada sesuatu yang tersembunyi pada crimson Sang Akashi Muda. Terlebih saat mereka melintasi areal luas penuh rimbunan tanaman dan pepohonan rindang.

Taman kota—tempat di mana dua anak manusia bertemu dalam ribaan takdir, hingga mampu menulis sebuah kisah sederhana tentang cinta.

.

.

.

.

"Kau harus makan yang banyak. Jangan sampai kau sakit, Kuroko."

"Baik, Kagami-kun."

"Sering-seringlah mengabari kami, Kuroko. Beritahu kami soal keadaan kalian di sana, ya."

"Pasti, Furihata-kun."

"Kami akan selalu mendoakanmu dan Shigehiro."

"Iya. Terimakasih, Himuro-san."

Pelukan kuat Himuro Tatsuya terasa berat untuk dilepaskan. Mungkin, inilah bukti bahwa salah satu hal menyakitkan bagi manusia adalah perpisahan.

Tetsuya sudah siap mendorong kursi roda Shigehiro ketika dokter sekaligus pendamping di Belanda menyentuh bahunya. Tetsuya pun menoleh.

"Dia sudah datang."

Seolah memperjelas kata-kata Nijimura Shuuzo, helaian merah seakan menyala di antara hiruk-pikuk bandara Narita. Stu nama meluncur dari bibir Tetsuya.

"Akashi-kun."

Shuuzou segera mengambil alih kendali kursi roda. Sementara Shigehiro tersenyum penuh arti dan menganggukan kepala.

Tatsuya menyelipkan benda kecil di tangan Tetsuya. "Dia datang untukmu. Jadi, berikan ini langsung padanya," ucapnya sambil menyentuh lengan Taiga dan Kouki. Isyarat agar mengikuti Shuuzo dan Shigehiro yang telah lebih dulu berlalu. Pemuda itu tahu pasti, bahwa mereka berdua butuh waktu. Karena dalam sebuah drama perpisahan, tak ada untungnya menjadi pihak yang meninggalkan dan yang ditinggalkan. Kedua peran itu sama-sama perih jika harus diperbandingkan.

Dunia seperti berhenti berotasi ketika Seijuuro telah berada tepat di hadapan Tetsuya. Poros dua warna kini saling menyatu : merah dan biru muda. Tak ada tangis berlebihan seperti dalam drama percintaan. Mereka sudah terlalu besar untuk percaya bahwa air mata dapat menebus keajaiban.

"Jaga dirimu baik-baik, Tetsuya. Jangan menyembunyikan apapun dari Shuuzou."

"Iya. Akashi-kun juga jaga kesehatanmu. Jangan sering keluar malam lagi."

Hanya sebuah pelukan hangat yang menyampaikan keinginan tersirat.

"Nanti malam kutunggu di tempat biasa."

"Itu—bohong, kan?"

"Tentu saja."

Berhias tawa kecil pelipur lara.

"Terimakasih banyak, Akashi-kun."

Mungkin juga harapan.

"Senang bertemu denganmu, Kuroko Tetsuya."

Dalam satu bisikan doa.

"Sampai jumpa lagi."

Dan sebuah pagutan bibir.

"Aku juga mencintaimu, Akashi-kun."

Lalu, semuanya berakhir.

Akashi Seijuuro terdiam di tengah keramaian, menatap tanpa jeda pada jejak hampa yang terekam di lantai bandara.

Langitnya telah menghilang.

.

.

.

.

"Sudah, sudah, jangan sedih, Hai-chan! Shuu-chan pergi tak akan lama, kok."

"Diam! Memangnya siapa yang sedih? Lebih baik kau khawatirkan sepupu merahmu itu. Dia baru saja kehilangan calon pacarnya. Cih, pasti dia nyaris bunuh diri sekarang."

"Hehehe, kurasa dia lebih berterimakasih kalau kutawarkan untuk membunuhmu."

"Berisik! Pergi saja kau! Jangan datang ke kedai orang kalau hanya membuat keributan."

"Buuu. Seperti kau tidak pernah membuat keributan saja. Hai-chan jahat."

"Matilah kau, Mibuchi!"

Tawa Mibuchi Reo berderai menanggapi gerutuan yang disemburkan Haizaki Shougo. Malam ini, ia memutuskan untuk menggeser target godaan pada Si Surai Abu. Reo sedang enggan mengacau di mansion Akashi. Ia yakin, Seijuuro tak selemah yang Shougo duga. Jarak antara Tokyo dan Amsterdam pun bukannya mustahil ditempuh oleh seorang Akashi. Karena itulah Reo berhak lega dan tak harus dirundung kekhawatiran yang menjadi-jadi.

Lagipula, objek yang sempat menyita tempat di kepalanya saat ini pasti tidak sedang menggalau resah. Untuk keakuratannya dalam menduga, Reo boleh mengharap hadiah. Sebab ia sama sekali tak salah.

Lengan waktu hampir menunjuk angka delapan. Pengunjung taman yang melintas—terutama perempuan—dipaksa menoleh dua kali pada sosok yang tengah duduk manis di kursi besi. Mereka berbisik-bisik riuh, sibuk mengomentari pesona pemuda merah itu. Sayangnya, rubi indah objek tampan yang menarik perhatian mereka hanya terfokus pada gadget berukuran sebesar buku tulis di tangan. Wajahnya tak berhenti menciptakan senyuman. Tertuju pada penampilan seorang violinis bersurai langit dan biolanya—

—di sini, di tempat ini, tempat mereka bertemu pertama kali.

Let's gather the fragments of memory,

gently, carefully, so that it wouldn't break

Sepasang manik delima terpejam, menikmati alunan nada biola yang membuai sadar bibirnya menggumamkan kata yang menjadi lirik lagu yang seolah mewakili isi hati Sang Violinis.

I wish that someday we will be able to put a complete memory inside our heart

Faraway, in a place without you,

I am still singing, with strength, with gentleness

this tiny endless melody that has stayed unchanged ever since that day

Sejujurnya, Seijuuro tak bisa melupakan kejadian di bandara tadi pagi. Ia sama sekali tak mengira, sosok yang cenderung pasif mampu berubahaktif dan bertindak di luar perkiraan.

Dusta besar jika Seijuuro tak mendengar pengakuan cinta dari Tetsuya. Dosa tak terampuni jika ia mengaku lupa akan sensasi memabukkan kala sepasang bibir Sang violinis menyentuh bibirnya.

Tipis. Lembut. Dan manis.

Seijuuro bahkan tak sadar ketika tangan mungil Tetsuya menyelipkan memory card ke dalam genggamannya. Ciuman pertama mereka memang hanya sesaat, tapi rasanya luar biasa dahsyat. Membayangkan saja sudah membuat Seijuuro out of character lantaran terlalu sering berganti mimik wajah. Sebentar tersenyum, lalu tertawa, kemudian berseringai, dan tersenyum lagi.

Seperti orang tak waras saja.

Layar touch screen di tangan belum berganti tampilan. Jemari Sang Akashi membelai wajah pemain biola di dalam sana. Pancaran lembut manik safir muda tengah menatap ke arahnya. Berusaha sebisa mungkin menyampaikan kata hati dengan melodi.

Farewell, this promise song will forever resound deep in my heart

And so I start walking, until the day we meet again

Seijuuro tahu, masih terlalu dini untuk bicara soal rindu. Video rekaman pada selembar kartu memori telah cukup menjadi bukti. Bahwa jatuh cinta dalam tiga puluh hari yang dialaminya bukanlah mimpi.

.

.

Until the day we meet again

.

.

"Aku menunggumu, Tetsuya."

.

.

.

*FIN*


Osteosarkoma : sejenis kanker tulang.

Limb salvage : tindakan operasi yang dilakukan pada penderita ostesarkoma, lebih tenar dengan sebutan amputasi.

Lower bout : bagian badan biola yang diletakkan di pundak violinis.

Finger rest : tempat violinis meletakkan jari saat bermain biola.

Hair bow : bagian penggesek biola, bagian yang menghasilkan suara jika digesekkan dengan senar biola, biasanya terbuat dari sintetis.

Kuudere : karakter yang pendiam, agak kaku dan formal, tapi ada saatnya bisa terlihat sangat manis.


Akhirnya, tuntas juga hutang saya. *sujud syukur*

Maafkan ketidak-konsistenan saya perihal waktu update. Semoga chapter tarakhir ini bisa menghibur semua readers yang telah menanti dengan sabar. *deep bows*

Oh iya, lagu yang dimainkan Tetsuya di rumahnya itu berjudul Neiro, sedangkan yang dimainkan Tetsuya di video berjudul Promise Song. Keduanya dibawakan oleh band favorit saya : KAT-TUN. Ada yang kenal ? :-D

Saya ucapkan terimakasih pada seluruh ripyu-er yang telah memberikan saya semangat untuk terus melanjutkan fic ini sampai selesai.

Tetsuya Ran : Orzz : Freyja Lawliet : Rei no zero :IchiTen-ku :KazukiNatsu :ReiKira :Fallencia :Saya :Bona Nano :Kujo Kasuza : :Kurotori Rei :TheOtherYou :Shourauchi Rein : : ReiKira: Noo na Tatsu:

Ripyu-er dengan akun, saya balas lewat PM ya.

Rei no zero : halo, salam kenal juga..terimakasih sudah brsedia membaca dan meripyu fic ini.. semua pertanyaan sudah terjawab, kan? semoga terhibur dengan chapter ini ya.. :-)

IchiTen-ku : holaaaa... hihihi, sudah kebongkar ya semuanya.. makasih udah meluangkan waktu membaca fic ini.. :-)

Saya : haloo... puri desu.. ah, sedihnya menjadi dirimu ya.. saya juga ngerasain seperti dikau.. yuk, kita berdoa bersama buat dia di sana... terimakasih sudah membaca dan meripyu fic saya... :-)

TheOtherYOU : EEEHHHH? Ternyata itu dirimu? PM facebook-ku aja ya..hehehe... makasih sudah membaca fic ini, meskipun kamu bukan fujoshi... :-)

Ada sebuah pertanyaan yang ingin saya tanyakan pada readers semua. Saya berniat bikin akakuro lagi, kira-kira mana yang harus saya kerjakan dulu, ya? Sequel Butterfly (ini bagi yang sudah baca, yang belum silakan baca..:-D *promosi*), sequel Thirty Days, atau bukan keduanya (fic dengan ide lain).

Silakan lemparkan saran, kritik, omelan (kalo ada) di kotak ripyu.

Sampai jumpa di fic selanjutnya...

~Purikazu~