Salam sejahtera kawan semua :D. . . Author kembali dengan cerita pendek sebagai hiburan karena harus merelakan liburan author tertunda (T_T) padahal author sudah benar-benar kebelet pengen travel dan udah nabung sejak enam bulan yang lalu. Beh! Oke lupakan sejenak tentang curhatan author.

Disini author mencoba membuat suatu cerita klasik namun asyik, ya hitung-hitung menuangkan ide author yang entah kenapa menjadi liar. Hehehe. Ini fanfic pertama author ratedm lho, jadi mungkin penggambarannya tidak akan kecut-kecut amat. Ya sekedar lime dengan bahasa yang sebisa mungkin author halusin. Untuk selanjutnya author kembalikan kepada readers semua, kalau minat silahkan baca kalau kagak silahkan tekan tombol 'back'

.

.

.

Disclamer : om Masashi Kisimoto (Author hanya pinjem chara doang)

Pairing : Sasuke-Hinata

Warning : typos, AU, abal, geje, OOC, dll

.

.

Ada yang aneh. Semua yang berada di sekitarnya seolah menguarkan bau yang dapat ia cium dengan mudah. Ia bahkan bisa mengetahui bahan apa saja yang ada di dalam roti kukus yang ia beli semalam hanya dengan mencium baunya saja. Bukan hanya hidungnya yang akhir-akhir ini mengalami keanehan, telinganya pun juga demikian. Ia sama sekali tak ada niatan untuk menguping pembicaraan teman satu siftnya di sebuah cafe tempatnya bekerja. Hanya saja dengan jarak yang cukup jauh dan terhalang dinding ia masih bisa mendengar bagaimana mereka selalu menggunjingnya-mata putihnya yang seperti sadako.

Dan Hinata sudah cukup susah dengan ini semua. Lalu apa lagi sekarang? Ia merasa tergoda karena melihat darah yang keluar dari jari temannya yang ceroboh memotong sayuran hingga jarinya terkena pisau. Cepat-cepat Hinata menutupi roman mukanya yang mendadak menegang. Ia mengambil masker yang selalu ia bawa di saku. Menutup hidungnya dan bertingkah seolah ia baik-baik saja meski ia merasa tersiksa dengan aroma darah yang memabukkan.

"Hinata kau sakit?" Matsuri, salah satu pegawai pramusaji seperti dirinya terlihat khawatir dengan keadaan Hinata. Mungkin hanya Matsuri saja yang benar-benar peduli dengannya dan menganggapnya teman. Selebihnya orang-orang lain akan menjauhinya seperti ia adalah orang yang terkena kutukan. Mereka selalu menertawakan dan mengejek bola matanya yang aneh. Putih, tidak ada warna lain.

"Hinata?"

Sekali lagi Matsuri memanggil Hinata yang sepertinya melamun. Hinata sedikit gelagapan lalu tersenyum ke arah Matsuri.

"Hai, aku baik-baik saja. Tapi, memang sekarang terasa agak panas." Keringat di dahi Hinata meluncur ke pelipisnya. Ia mengibas-ngibaskan tangannya untuk mengurangi efek panas yang melanda tubuhnya.

"Umm, mungkin kau bisa pulang cepat dan istirahat. Aku akan mengijinkanmu ke Tsunade-sama." Tawar Matsuri begitu melihat raut pucat Hinata yang semakin menjadi-jadi. Merasa tak punya pilihan lain, Hinata mengangguk setuju. Ia pamit ke loker untuk ganti baju.

.

.

Hari masih sore. Hinata memutuskan tak langsung pulang lebih dulu. Ia duduk seorang diri di taman, tempat kerumunan orang-orang banyak. Ditangannya sudah ada air mineral yang tadi ia beli saat di supermarket. Hinata mencoba mengetes sesuatu, dan ia cepat-cepat meminum air mineral tersebut saat semua aroma orang-orang disini berbaur menjadi satu dan tercium dengan jelas.

"Ughh. . ." Ia sudah tak tahan bila banyak bau darah yang tercium. Ada aroma yang menusuk, segar, bau, dan harum. Bisa-bisa ia dianggap gila karena keadaannya sekarang. "Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" Dengan menutup mulutnya menggunakan tangan, Hinata mencoba menahan rasa mualnya yang melilit di lambungnya. Ia benar-benar harus pulang sekarang.

Karena arah taman dan apartemennya terletak berlawanan arah, Hinata harus memutar agak jauh untuk sampai di apartemen kecilnya. Dirinya tak akan naik kereta karena ia takut akan mual begitu mencium bau para manusia yang berada di dekatnya. Meskipun itu berarti ia harus mengandalkan kakinya untuk berjalan jauh.

Hinata tak menutupi rasa lelah yang melingkupi kedua kakinya. Ini sudah malam dan kakinya sudah pegal karena berjalan hampir empat jam. Tiba-tiba angin di sekitanya mendadak bertiup memberikan hawa dingin di tengkuknya. Perasaan aneh menyergap dirinya yang menyadari bahwa ia hanya sendiri di jalan ini. Dengan sedikit dipaksa, Hinata mempercepat kakinya untuk melangkah. Mengabaikan sebuah prasangka akan ada yang mengawasinya di belakang.

Mengambil jalan memotong, ia melewati sebuah gang yang gelap. Dan betapa terkejutnya ia saat ada tiga pria besar menghadang jalannya. Hinata mencengkram erat tasnya dan berjalan mundur.

"Hoho, lihat. Ada nona cantik sendirian disini."

"Aku yakin tubuhnya sangat indah meski menggunakan pakaian kedodoran seperti itu." Lelaki yang rambutnya berpotongan cepak mamandang dada Hinata dengan tatapan liar. Sedangkan dua pria lainnya juga menatapnya dengan tatapan yang menjijikkan.

Bau alkohol, anyir, dan obat-obatan langsung menyentak indra penciuman Hinata. satu hal yang ada dipikiran Hinata. 'Mereka berbahaya.'

"Eits, mau kemana manis." Pria dengan tubuh gempal berhasil menangkap pergelangan Hinata saat dirinya hendak kabur.

"Lepaskan! Aku akan berteriak." Ancam Hinata. Meski dengan nada mengancam toh tubuhnya malah bergetar sangking takutnya. Melihat mangsanya yang ketakutan jelas membuat ketiga pria tersebut saling terkekeh.

"Ckckck, kau tahu, ini gang sepi dan kemungkinan ada orang lewat sini juga sangat sedikit. Jadi jangan berontak dan ikut bersama kami." Ia menyerat Hinata dengan paksa. Menarik rambut panjangnya dan menjatuhkan tubuh kecil Hinata di sebuah gudang sepi. Tenggorokan Hinata tercekat. Ia tak punya siapapun di dunia ini. Keluarga saja ia tak tahu, ia hanya orang dari panti asuhan yang nekat melarikan diri untuk memulai hidup baru.

Ketiga pria di depannya ini semakin mendekat, bahkan dengan beraninya membuka baju mereka satu persatu hingga menyisakan kaos oblong dan boxer. Hinata semakin ketakutan dan kalang kabung. Menelpon Matsuri rasanya mustahil mengingat ketiga pria ini selalu menatapnya.

"Tolong. . ." Suaranya yang lemah berusaha meminta tolong.

"Siapapun, tolong aku. . ." Apa yang salah? Kenapa kehidupannya selalu menjadikannya korban. Dulu ia selalu menjadi tukang suru-suru ketika di panti asuhan. Menerima banyak pukulan karena berusaha mengucapkan kata keadilan untuk dirinya sendiri. Lalu, ia dikucilkan oleh sekitarnya. Menjauhinya karena takut akan mata yang ia punya. Sungguh, andai ia bisa memilih ia akan senang hati memilih untuk tidak dilahirkan di dunia ini.

"Guh. . ." Geraman menjijikan membuat Hinata memejamkan matanya erat-erat saat lidah dari salah satu pria tersebut mencoba menjilat pipinya. Andaikan ia bisa kuat ia akan melawan, hanya saja kenapa ia harus sendirian.

'SEEETTT'

'BRAKKK'

Sebuah tangan dengan cepat menarik ketiga pria yang sedang asyiknya menikmati buruan mereka terlempar. Ketiganya dihantam ke dinding gudang hingga menciptakan retakan disana. Hinata membelalakkan matanya terkejut dengan aksi yang begitu cepat.

Seorang lelaki muncul dari balik bayangan lampu yang temaram. Lelaki dengan mantel hitam yang membuat siapapun yang melihatnya akan ketakutan. Rambut hitamnya yang melawan gravitasi serta tatapan marah yang terpancar dari sorot merah darah di kedua manik matanya semakin mempertegas bahwa ia sedang murka.

"Berani-beraninya kalian menyentuh apa yang sudah menjadi milikku. Dasar manusia rendah, enyah kalian dari hadapanku!" Sesaat setelah mengucapkan hal itu tiba-tiba ketiga pria yang terlempar ke dinding kini terbakar dengan api hitam yang mengerikan. Mereka berteriak meminta tolong dan ampun. Mengelinjang seperti cacing yang kepanasan, dan hangus bagai debu saat api hitam telah melenyapkan mereka.

Hinata masih syok. Ia tak bisa bergerak seinci pun dari tempatnya. Pakaian yang terdapat sedikit koyakan dibagian bahu tak ia hiraukan lagi. Telinganya seolah menuli untuk mendengar bahwa lelaki yang barusan menolongnya semakin mendekat. Dan kesadaran Hinata kembali pulih saat ia merasakan tubuhnya menghangat karena sebuah mantel yang menyelubunginya.

"Tak ada yang boleh menyentuh apa yang sudah menjadi milikku." Lelaki berambut hitam itu menjulurkan tangannya untuk mengelus luka di pipi Hinata akibat terbetur dinding. Ajaibnya luka itu langsung sembuh. Matanya menjadi hitam saat merasa tak ada yang menjadi ancamannya.

"Ano. . ." Bingung melanda Hinata. ia tak tahu apa yang harus ia ucapkan. Terima kasih karena telah menolongnya apa sebuah makian karena secara tak langsung menyeretnya untuk berurusan dengan pihak keamanan.

Sang lelaki memaksa dagu Hinata untuk menghadapnya, saling bertukar pandang iris yang berbeda warna. "Kau pengantinku." Suara bariton yang datar itu seperti sambaran halilintar di kepala Hinata.

Apa? Seumur-umur Hinata tak pernah menjalin hubungan asmara dengan seorang lelaki. Ia bahkan berani mengakui bahwa selama ini tak pernah dekat dengan kaum adam. Jadi sebuah pernyataan sepihak dari lelaki dihapannya ini sukses membuatnya membelalakkan matanya horor. Ia bahkan masih dalam keadaan tak berdaya dan lelaki di depannya ini mendeklarasikan sebuah kata yang menurutnya seperti lamaran? Ayolah, ia sudah merasa benar-benar tak bisa berpikir lagi. Masalahnya sudah menggunung dan ia siap meletus kapan saja.

"Maaf, sepertinya aku harus pergi." Bergerak lemah karena kainya masih lemas, Hinata berusaha sebisa mungkin menjauh. Atau lebih tepatnya melarikan diri. Mana bisa ia keluar dari mulut singa dan masuk ke mulut buaya.

"Ck, kau ini masih belum mengerti juga ya." Sebuah seringai terbentuk di bibir tipis sang lelaki. Ia mendekap Hinata dengan sekali gerakan. Mengurung tubuh sang gadis dengan kedua lengan kokohnya. "Kau Hyuuga, umm. . . atau lebih tepatnya Uchiha Hinata, pengantinku yang terlahir di dunia ini." Lidahnya ikut bermain untuk menghapus segala bau asing yang tadi sempat diberikan oleh ketiga pria brengsek.

Menjerit tertahan dan kaki yang lemas seperti jelly, Hinata sudah tak punya pengendalian atas tubuhnya sendiri. ia jatuh, jatuh kedalam pelukan orang asing yang anehnya terasa familiar untuk dirinya. Hidungnya kembali mencium aroma aneh. Bedanya kali ini bukan aroma menyengat seperti sebelum-sebelumnya. Sebuah aroma menggiurkan yang terasa membakar dirinya. Ini aroma mind, aroma yang dengan sengaja di sebar untuk menggodanya. Mata bulan Hinata bergerak gelisa merasakan sensasi aneh yang menjalar dari ujung kaki sampai ubun-ubun.

"Kau siapa?"

"Aku suamimu. Uchiha Sasuke." Dengan sekali sentakan. Sasuke sudah berhasil menggendong Hinata dan membawanya pergi. Bulan purnama yang mentereng menjadi backround bagi keduanya. Seolah menjadi pesan bahwa takdir sesungguhnya Hinata baru dimulai.

.

.

.

Hinata terbangun dengan napas yang tersenggal. Matanya menatap pada sekeliling. Dinding dengan cat lavender dan pernak pernik sebuah bulan dan bintang membuatnya yakin bahwa ia tengah di kamarnya.

"Hah, jadi hanya mimpi." Menyibakkan selimut. Hinata membuka gorden jendelanya untuk menyambut mentari pagi. Bau dari lelaki itu masih dapat Hinata cium di tubuhnya sendiri. Hinata jadi ragu, apa yang semalam itu mimpi atau nyata.

'Cklek'

"Ohaiyou."

Tubuh Hinata menegang mendengar suara seorang lelaki yang masih ia ingat meskipun ia bersikeras bahwa semuanya hanya mimpi. Sasuke berjalan mendekat, membawa sebuah nampan berisi sarapan yang mengepulkan asapnya. Dirinya tersenyum mendapati wanitanya sudah bangun. Eh, apa tadi ia menyebut –wanitanya? Salah. Hinata masih seorang gadis dan ia harus cepat menguasai Hinata agar semuanya dapat kembali normal.

"Ada apa? Kau tak suka melihat penolongmu disini?"

Tentu saja Hinata tak suka. Bagaimana mungkin seorang lelaki asing ada di kamarnya. Oke mungkin benar jika dia telah menolongnya waktu itu, tapi tetap saja. Tinggal seatap tanpa adanya ijin dan ikatan itu benar-benar membuat masyarakat sekitanya akan beranggapan buruk. Semakin bertambah saja nilai negatif orang-orang yang menilainya.

"Apa aku mengundangmu untuk kesini?" Suara Hinata terdengar mengusir di telinga Sasuke.

"Apa ini balasan terima kasihmu?" Pertanyaan balasan yang sukses membuat Hinata bungkam. "Kemarilah. Aku sudah membuatkan sarapan."

Kaki Hinata masih enggan untuk melangkah. Perasaannya mengantung tak menentu antara menuruti lelaki di depannya ini atau tetap di tempat. Instingnya mulai berjalan, menyuruh dirinya mendekat karena ia tak merasakan bahaya jika dekat dengan Sasuke.

"Kau ini lama sekali." Sasuke yang tak tahan dengan sifat pasif Hinata langsung menyeret gadis ini duduk di panguannya. Mengabaikan pekikan kaget karena tiba-tiba ia sudah berada di pangkuan seseorang. Wajah Hinata merona. Ini adalah kali pertama selama hidupnya begitu intim dengan lelaki. Bisa dibilang cukup aneh mengetahui kau yang biasanya hidup sendiri kini harus terbiasa dengan kehadiaran seseorang dalam waktu yang singkat.

Aroma Sasuke kembali tercium ole hidungnya. Ia mengumpat kecil menyadari aroma Sasuke yang seperti candu bila terus-terusan dihirup. Aroma yang membuatnya tenang sekaligus mengendurkan ototnya yang kaku. Yang paling tidak dimengerti Hinata adalah reaksi tubuhnya yang menerima lelaki asing ini begitu saja. Hatinya sudah menolak, tapi semua saraf motoriknya sama sekali tak beranjak pergi dari pangkuan Sasuke.

"Te-terima kasih Uchiha-san." Bergerak kikuk, Hinata menyumpitkan nasi ke dalam mulutnya. Sasuke yang di belakangnya hanya terdiam sebelum terkikik geli dengan sebutan Hinata berusan.

"Tsk, kau juga Uchiha. Jadi panggil aku Sasuke-kun."

"Kau tak punya bukti Uchiha-san."

Hah. Berdebat dengan Hinata yang keras kepala memang akan menghabiskan banyak waktu. Daripada ia terus meladeni Hinata, ia lebih memlih memainkan helai indigo Hinata dengan cara memilinya. Sasuke dapat mencium harum lavender yang memang identik dengan Hinata, meski ia terlahir kembali di dunia ini. Itu sudah seperti tanda kepemilikan yang absolut.

Andai bisa mengucapkan kalimat verbal yang menjunjung keromantisan tentu Sasuke akan mengatakan bagaimana rindunya ia akan diri Hinata. Bayangkan saja. Raja vampir seperti dirinya sudah menunggu lama untuk mencari keberadaan soulmate-nya yang terpisah darinya. Kekuatannya seolah terbagi saat belahan jiwanya harus lenyap akibat serangan monster tak tahu diri yang menginginkan memori dari soulmate-nya. Ia terluka juga sedih menyadari separuh dari nyawanya telah hilang. Tapi, apapun yang terjadi ia harus membawa kembali belahan jiwanya meski harus memaksanya meninggalkan dunia manusia. Keh, memang dari awal dunia ini bukanlah dunia bagi mereka yang punya darah vampire.

Pegangan sumpit Hinata menguat begitu menyadari tenguknya mendapat sentuhan bibir dari orang di belakangnya. Wajah merah yang gugup semakin membuat Sasuke yang melihatnya gencar untuk menciumi tengkuk manis yang ia sesap. Sasuke tak menampik jika tubuhnya dan Hinata sama-sama saling bergetar, tanda yang wajar jika kau bersentuhan dengan soulmate-mu.

'PLAKK'

Tamparan panas mendarat sempurna di pipi kiri Sasuke. Hinata menggeram kesal saat dirinya diperlakukan rendah seperti wanita murahan. "Kau sudah kelewat batas! Sebenarnya apa maumu?" Raung Hinata murka.

Sasuke menatap datar pada Hinata. Ia mengelus pipinya yang lecet akibat temparan keras yang barusan ia terima. Sasuke berdiri, menulang tinggi daripada tubuh Hinata. Tangannya mencengkram kuat pergelangan tangan Hinata. Meninggalkan ruam merah disana.

"Sudah cukup aku bersabar. Kau pikir selama ini aku tidak tersiksa apa!" Lengkingan suara Sasuke membuat nyali Hinata menciut.

"Apa kau tidak menyadari bahwa dirimu berbeda dengan para manusia? Apa kau benar-benar bodoh hingga tak tahu bahwa panca indramu lebih peka dari manusia normal. Heh?" Berondongan pertanyaan Sasuke seolah mendobrak pintu kesadaran Hinata. Hinata tahu itu, tapi ia berusaha menyangkalnya. Ia sudah lelah untuk menghadapi rasa terasingnya di dunia ini.

Tubuh Hinata merosot jatuh. Bulir-bulir air mata keluar dari manik bulannya yang mengabur. "Lalu siapa aku sebenarnya? Kenapa hanya aku yang berbeda?"

Hinata membiarkan tubuhnya terengkuh oleh Sasuke. "Sudah kubilangkan kan. Kau adalah pengantinku. Kau adalah vampire yang sama sepertiku." Napas Sasuke menderuh menahan gejolak jika sudah dekat dengan soulmate-nya. Ia tidak bisa gegabah, pemaksaan akan menghancurkan apa yang selama ini ia jaga.

"Tapi, kenapa aku tak mengingatmu?"

Sasuke menggeleng keras. "Sebenarnya kau sudah mengenaliku, hanya saja kau masih ragu." Menatap sendu pada mata Hinata, Sasuke kembali melanjutkan perkataannya. "Ingatanmu terhalang karena memorimu memang telah dicuri."

"Itu sangat konyol. Ini seperti cerita menyeramkan yang sering aku dengar dari pendongeng ulung di tepi jalan." Masih keukuh mempertahankan rasionalnya, Hinata menolak semua penjelasan Sasuke.

"Lalu jika memang benar seperti itu, maka dimana memoriku yang tercuri itu?"

.

.

.

"Aku telah memakannya."

Bibir Hinata terbuka dengan mata yang membeliak liar. Jawaban apa itu. Sasuke bilang tadi bahwa ia telah diserang, lalu sekarang ia mengakui bahwa memorinya telah ia makan? Heck. Ia menertawakan sendiri dirinya karena sempat percaya pada Sasuke.

"Lebih baik kau pergi Uchiha-san." Hinata mendorong dada bidang yang menghimpitnya. "Kau bukan siapa-siapa bagiku." Lanjutnya lagi.

"Tidak Hinata. kau harus percaya padaku." Sasuke tak mau jika harus pergi dengan tangan hampa. Hidupnya sudah hampa sejak kepergian Hinata dan kini setelah bertemu ia tidak akan melepaskan Hinata lagi. Ia sedang berpacu dengan waktu. Jika ia gagal menanamkan kembali memori Hinata ke tubuh aslinya, maka Hinata akan menjadi vampire haus darah yang tak punya perasaan.

Tanda-tanda kebangkitan jiwa vampire Hinata sudah mengalami peningkatan. Sasuke memperhatikan itu. Itulah alasanya untuk menemui Hinata secara langsung, ia tidak akan membiarkan Hinata menjadi monster penghisap darah yang keji. Satu-satunya cara adalah mengembalikan kembali memori Hinata yang tersimpan ditubuhnya.

Seperti yang Sasuke bilang. Hinata adalah vampire keturunan satu-satunya darah Hyuuga. Vampire yang mempunyai kekuatan untuk membuka dan menutup pintu dimensi. Kekuatannya menjadi incaran bagi monster lain yang ingin pergi ke dunia lain seperti dunia manusia untuk mengacau. Sialnya saat itu sedang gerhana bulan. Hinata yang tengah berada di hutan kematian untuk berburu menjadi lemah jika secara langsung melihat gerhana bulan. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh kelompok Akatsuki yang ingin menguasai kekuatan Hinata. Jika mereka bisa memakan memori Hinata, mereka bisa berubah menyerupai sosok Hinata baik itu fisik atau kekuatan. Hal itu yang menjadi sumber dari segala kekacauan yang terjadi sekarang.

Sasuke tahu bahwa ada ancaman yang mendekat ke arah istrinya. Matanya berubah merah dengan pentagram yang tercetak jelas di pupilnya. Hatinya seperti tercabik saat merasakan istrinya tengah terluka. Sasuke mengaum marah, menggoyahkan istana besar tempat kediamannya. Membuat beberapa menteri dan pengawal yang berada di dekatnya terlonjak menjauh.

"Brengsek!" Dengan sekejab mata Sasuke telah berubah wujud menjadi gagak hitam yang dikawal oleh pasukan kelelawarnya. "Hinata-Hinata. . ." Ia terus mengucapkan nama istrinya saat tahu bahwa hawa kehidupan Hinata sudah menipis. Dan perasaanya semakin terluka dan marah begitu melihat para bajingan itu telah berhasil membunuh raga istrinya.

"Hoh, kami tak takut lagi padamu Sasuke. Kami sudah mendapatkan hal yang berharga bagimu." Deidara, seorang anggota Akatsuki memamerkan sebuah gumpalan cahaya yang berada di tangannya. "Jika kau berani menyerang maka aku pastikan bahwa memori istrimu ini akan kumakan."

Sasuke tak bergeming. Ia masih menatap pada jasad yang berlahan sudah mengabur lenyap. Kemarahannya sudah memuncak dan ia akan menghabisi siapapun yang berani-beraninya membunuh istrinya. Aura hitam ke unguan menyelimuti seluruh tubuh Sasuke. Seorang monster besar telah bangkit untuk menghukum para penjahat yang bersalah.

"Sussano!" Tebasan pedang milik Sussano membelah tanah di sekitar mereka. Pertarungan sengit sudah tak terelakkan lagi dimana raja vampire bertarung dengan kumpulan monster yang mempunyai kekuatan level tinggi.

Singkat cerita Sasuke berhasil membunuh semua anggota Akatsuki. Tubuhnya bermandikan darah hitam yang menguap ketika bersentuhan dengan kulitnya yang seputih berlian. Gumpalan cahaya milik Hinata ia genggam. Meloloskan air mata karena kelalaiannya dalam menjaga istrinya.

Itachi sang kakak yang juga berperan sebagai perdana menteri datang bersama Kakashi dan beberapa pengawal. Itachi tahu dirinya telah terlambat. Separuh dari tubuh adiknya yang menjadi monster sudah memberi jawaban bahwa sang belahan jiwa adiknya telah tiada. Melihat gumpalan warna putih yang berada di genggaman Sasuke, Itachi mendekat. Ia menepuk bahu adiknya yang rapuh. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan."

Dengan rasa sakit yang masih menderah hatinya, Sasuke tak punya pilihan lain selain memakan memori Hinata.

Saat memori seorang vampire termakan, maka hidupnya sudah tidak lagi bebas. Jiwanya akan tergantung oleh kehendak si pemakan. Antara melenyapkannya atau membangkitkan kembali. Dan Sasuke memilih untuk membangkitkan kembali Hinata. Membangkitkan raga tanpa jiwa di dunia asing yang berbeda dengan dunianya. Ia tahu resiko yang ia ambil. Bila sampai batas waktu ia tidak berhasil mengembalikan memori Hinata, maka wanita yang dicintainya akan berubah menjadi sosok vampire yang tak terkendali. Jiwa vampire yang baru akan terbentuk dan mengambil alih seluruh kesadarannya.

"Tunggu aku, Hinata." Ucapnya lirih. Kini yang bisa ia lakukan adalah bersabar sampai Hinata kembali terlahir di dunia yang berbeda.

.

.

.

Hinata menatap ruang tamu di apartemen kecilnya ini dengan tatapan nanar. Ia sudah mengusir Sasuke sejak berjam-jam yang lalu dan kini ia merasa sendiri lagi. Ia menekuk lututnya dan menyembunyikan wajahnya di sana. Rasa dingin kembali menyerangnya. Padahal tadi ia merasa hangat. Apa karena sosok Sasuke telah pergi?

Menggeleng keras Hinata berusaha menyangkal apa yang hatinya ucapkan. Tubuhnya bergetar, matanya menajam dengan sendirinya. Kuku-kukunya menjadi runcing tanpa sebab. Kebingungan dengan apa yang ia rasakan membuat Hinata takut pada dirinya sendiri. Sebuah rasa haus membelengguh kerongkongannya. Giginya saling bergemelatuk menahan perubahan yang signifikan pada tubuhnya.

"Apa ini? Perasaan apa ini?" Ketakutan Hinata semakin menjadi-jadi saat ia punya perasaan haus akan darah. Tubuhnya sempoyongan tanpa kendali. "Sakit." Hinata merintih merasakan tenggorokannya yang terbakar oleh rasa haus yang tak biasa.

Hidungnya semakin jeli untuk mencium darah di sekitarnya. Hinata sedang bertarung dengan dirinya yang lain. Ia menggelinding di lantai dengan rintihan kesakitan. Air matanya bercucuran mengingat apa yang Sasuke katakan adalah kenyataan. Bahwa dirinya adalah seorang vampire.

"Sasuke. . . Sasuke-kun."

.

.

.

TBC

RnR

Yap sekian dulu ya ceritanya. Ini cerita yang twoshot aja kok, gag panjang-panjang amat. Oh ya untuk fic author yang Driving Love, mohon maaf karena belum bisa update. Maaf juga gg bisa balas review karena itu murni kesalahan author yang lupa. Sebenarnya sudah bikin sampai chap 5 tapi setelah dibaca-baca kok ceritanya jadi advanture ya? Padahal gag ada genre advanture yang author cantumkan, jadi ya dengan terpaksa harus author rombak lagi.

Dan untuk update-an cerita ini mungkin gag sampai seminggu udah author update. Soalnya fic ini sudah selesai author buat jadi tinggal update aja.

Untuk keritik dan saran silahkan para readers isikan di kolom review dibawah ini. Sekian dari author semoga ceritanya bisa jadi hiburan disela-sela kesibukan kalian menghadapi real word (Sama kayak author).

See u in next chap ^^

Atharu_u