[ Important Girl ]

Aldnoah Zero © Project A/Z, Olympus Knights, A-1 Pictures, Gen Urobuchi.

this fic © garekinclong

note/warning: AU. Hint InaSure. OOC? EYD idek. Plot mainstream.

Enjoy!

.

.

.


Chapter 1


"Slaine. Pulang sekolah nanti, aku mau pergi berbelanja bersama teman-teman. Jadi jangan tunggu aku, ya?"

Begitulah yang diterima Slaine Troyard, pemuda bersurai pirang yang mengakui dirinya sebagai penjaga dari Asseylum Vers Allusia, yang hendak mengambil sepatu ganti, ketika melihat sebuah kertas menempel di loker sepatunya.

"Asseylum-hime... Anda kurang menaruh memo ini di tempat yang lebih mencolok,"

Slaine menepuk jidatnya seiring menghela nafas penuh kecewa.

Setelah mengambil asal memo tersebut dan menyelipkannya di saku blazer, Slaine mengganti sepatu dan berjalan keluar sekolah; sendirian. Padahal, biasanya ia pulang bersama Asseylum atau paling ramai bersama Asseylum dan kawan-kawannya.

Pubertas.

Asseylum yang dulu belum begitu suka keluar rumah, sekarang sudah menaruh minat pada kegiatan 'belanja'. Entah membeli pakaian atau aksesoris yang feminim, intinya membeli suatu barang yang pada akhirnya dikumpulkan dan dipakai sesekali, untuk momen tertentu.

Slaine maklum. Mungkin sedikit bangga karena Asseylum sudah melangkahkan kakinya menuju dunia wanita yang sebenarnya. Tapi di samping kebanggaannya, dirinya malah takut jika Asseylum terjerumus terlalu dalam dan mendapat masalah serius.

"Sepertinya memang lebih baik mencegahnya sekarang daripada terlambat,"

Ayolah, Slaine. Terkadang kau harus memikirkan kembali dan jangan terlalu cepat untuk bersikap paranoid.

"Oh, Koumori."

Slaine berhenti sejenak untuk memproses panggilan yang ditujukan padanya.

.

.

.

Kilas balik cerita, karena orang tua Slaine sudah meninggal, ia diterima di keluarga Asseylum dan menjadi bagian keluarga tersebut. Namun Slaine tetap memilih menggunakan marga keluarganya daripada berganti marga.

Sebenarnya, Slaine pertama kali ditemukan oleh Asseylum. Dalam keadaan sekarat, yatim piatu, tuna wisma, Asseylum datang dan mengulurkan tangan. Kemudian membawa Slaine agar menjadi bagian keluargnya. Daripada sendirian, selamanya.

Slaine, sebagai bentuk terimakasih yang amat dalam, berjanji akan selalu berada di sisi Asseylum dan mengklaim dirinya sendiri sebagai 'penjaga'. Asseylum tertawa, ia ingat akan hal itu.

Begitulah, Slaine terlihat sangat menjaga 'Asseylum' sampai-sampai memanggilnya dengan sebutan 'hime'.

Dan kini, Slaine tengah berjalan pulang bersama orang yang digosipkan sebagai gebetan Asseylum—

—Kaizuka Inaho.

"Hentikan panggilan itu, Orenji-iro."

"Kau sendiri memanggilku seperti itu."

Slaine menarik nafas, "Apa. Salahkan kolormu yang tempo hari sempat tersembul dari celanamu dan kebetulan berwarna oranye."

"Kalau begitu salahkan kolormu juga yang tempo hari sempat tertarik ke atas dan memamerkan corak batman. Aku sempat berpikir kalau kau penggemar fanatik dari karakter fiktif itu,"

"Hei!" Slaine menyalak garang, mencoba menghentikan sahutan balasan dari Inaho yang menyakitkan. Tapi, Inaho Kaizuka—yang dikenal selalu berwajah datar, tetap memasang rupa seperti yang biasanya.

Datar, ya. Slaine geram dengannya. Apa salahnya tertawa kecil, marah, dan tersenyum? Seingatnya ia belum pernah melihat ekspresi lain dari berwajah datar dan—ehm, serius.

"Mana Seylum-san?"

"Asseylum-hime tengah berbelanja bersama teman-temannya. Jadi aku tidak bisa menemaninya."

"Oh. Sang Penjaga kesepian."

"Tuan Penjaga? Orenji-iro. Aku tidak sekesepian itu sampai-sampai kau harus berkomentar seperti itu."

Inaho mendengus pelan. Slaine yakin, respon normal manusia lainnya ialah; tertawa kecil—karena telah berhasil menggoda orang.

Oh, Slaine? Kau merasa digoda Inaho?

Slaine membuang jauh pikiran anehnya. Jauh. Jauh sekali. Sampai ia akan mengingatnya lagi nanti.

"Koumori. Sepertinya kau tipe orang yang protektif. Apalagi terhadap Seylum-san," Inaho memulai topik yang tak jauh dari sebelumnya. Slaine melirik.

"Protektif? Tidak. Ini bentuk terima kasihku kepadanya. Tanpanya, mana mungkin aku bisa berada di sini."

Inaho menghela nafas, "Oh."

"'Oh' apanya. Intinya, Asseylum-hime merupakan perempuan paling penting bagiku," Slaine menjeda sejenak dengan menarik nafas, "jadi aku—"

"Paling penting? Kau melupakan ibumu sendiri."

Karena Inaho memotong perkataan Slaine dan berkata sesuatu yang bersifat sensitif, Slaine menghentikan apa yang hendak ia utarakan.

"...Ibu, ya...? Benar juga..."

Inaho menoleh ke arah Slaine. Mendadak, raut wajah Slaine berubah menjadi sedih, dan nampak mengingat kembali kenangan yang pernah ia dapat ketika kecil, bersama orangtuanya.

"Benar juga... Bagiku, aku mempunyai tiga perempuan yang paling penting—walau prioritasku sekarang adalah Asseylum-hime."

"Tiga?"

Slaine mengangguk, "Ya. Pertama, Asseylum-hime. Kedua, ibuku sendiri. Dan yang ketiga—"

"—gadis cilik waktu itu."

.

.

.

6 tahun yang lalu, Slaine kecil berumur 10 tahun tengah bermain sendirian di taman.

Saat itu ia masih tinggal bersama orangtuanya. Tapi sesekali ia pergi bermain sendiri di taman ketika kedua orangtuanya pergi.

Kerjaan, katanya.

Slaine kecil menjungkirbalikkan tubuhnya dengan palang, menuruni perosotan beberapa kali, berayun di udara dengan ayunan, dan memanjat rangka pipa sampai paling atas.

Dari atas, ia mengawasi apakah ayah ibunya sudah pulang atau belum.

Jawabannya; belum.

Slaine kecil kecewa berat. Ia perlu menunggu beberapa saat lagi—entah lama atau sebentar, entah melewati waktu sore hari.

Merasa tak ada yang bisa ia perhatikan dari atas, dirinya pelan-pelan menurunkan diri dan menapak tanah dengan selamat.

Tidak, hampir selamat.

Karena ia hampir tergelincir ketika kaki kanannya mendarat di atas benda, dan, beruntunglah, dapat menyeimbangkan diri. Tubuhnya hampir saja telentang sambil bergesekkan dengan tanah.

"Hm? Sepatu? Siapa yang meninggalkan sepatu di sini?" Slaine kecil mengerjapkan mata beberapa kali dan memungut sepatu tersebut. Sepatu kecil berwarna oranye, lebih tepatnya.

Mendengar ada derapan kaki dari arah belakang, Slaine kecil menoleh dan melihat seseorang datang.

Seorang gadis cilik memakai gaun yang dijinjing, berambut cokelat sebahu, bermata merah anggur—dan tatapannya kosong.

Slaine melirik ke arah kaki kecil gadis cilik tersebut. Berjalan dengan sebelah sepatu.

"Sepatumu? Aku baru saja menemukannya," Slaine menyerahkan sepatu itu dan diterima dengan baik oleh si gadis cilik.

"Ya,"

Jawaban singkat itu membuat Slaine semakin penasaran dengannya—karena gaunnya kotor dan wajahnya terlalu datar.

"Gaunmu kotor."

"Memang sengaja."

"Eh?" Slaine kecil terkesiap. Ia nampak bingung. 'Sengaja?'

Menggelengkan kepala, Slaine mencoba membuka percakapan lagi sembari si gadis kecil mengenakan sepatunya.

"U-Uhm, siapa namamu...?"

Slaine berharap sang gadis cilik sudi untuk membalasnya, mengingat baru dua kali ia bertanya jawabannya singkat dan padat sekali.

Yah. Kalau jawaban untuk pertanyaan sebuah nama, sudah dipastikan sangat singkat, bukan?

"Ah. In—... Nao."

"Eh? Inao?"

"Tidak. Nao. Nao saja."

Slaine menarik kedua sudut pipinya; tersenyum antusias. "Nao, ya? Salam kenal! Kalau namaku—"

"—NAO! AYO PULANG!"

Si gadis cilik yang memperkenalkan dirinya dengan nama 'Nao' menoleh cepat, "Itu Yuki-nee. Aku pergi dulu. Dah,"

Slaine buru-buru menjulurkan tangannya untuk menghentikan 'Nao' yang hendak pulang. Namun, ia terlambat. 'Nao' sudah lebih dulu meninggalkan taman.

"Tapi... Aku bahkan belum memberitahukanku namaku..."

Tangannya mengepal, menggenggam angin, bukan tangan si gadis cilik. Perasaan kecewanya lebih berat daripada saat kedua orangtuanya belum pulang.

"... Nao, ya.."

Slaine kecil berdiri dengan senyum mengembang di wajahnya, serta semburat merah yang tak luput dari kedua pipi.

.

.

.

"Begitulah. Setiap hari aku selalu mengimpikan untuk bertemu lagi dengannya, bahkan sampai memimpikannya tiap malam. Tapi hari dimana kita bertemu kembali tidak datang. Dan—tunggu, mengapa aku menceritakannya padamu?" Slaine menghentikan ceritanya.

Salah pendengar, alasannya.

"Orenji-iro?"

Slaine bingung karena mendadak Inaho bungkam sejak ia menyebutkan kata 'gadis cilik' serta penggambaran fisiknya. Bisa dibilang, kini Inaho melamun dengan tatapan kosong.

Hei, bukankah Inaho selalu seperti ini setiap waktu?

Tidak. Bagi Slaine, Inaho terlihat seperti... kaget, mungkin?

"Orenji-iro?" Slaine mengulangi panggilannya, "Oi? Kenapa diam? Oke, kau menakutiku. Aku akan melanjutkan ceritaku tapi jangan diam seperti itu."

"Ehm, dan aku pernah menyimpulkan kalau rasa rinduku untuk bertemu dengannya dikarenakan aku menyukainya."

Inaho menghentikan langkahnya.

"Begitulah, jadi—Huh? Orenji-iro? Kenapa kau...?" Slaine semakin bingung dengan apa yang terjadi pada Inaho. Wajahnya semakin menakutkan daripada yang tadi.

"...Koumori,"

"Ya?"

Inaho menggelengkan kepalanya, mencubit sebelah pipi, dan kembali berjalan. "Maaf. Aku tadi hanya melamun," Dehaman sejenak, "jadi... kau menyukai... si 'Nao' itu?"

Slaine menepuk dada dan menghela nafas lega, "Kukira ada apa. Kau menakutiku, tahu. Hmm, ya. Walau sekarang aku tidak tahu apakah aku masih menyukainya atau tidak, tapi aku tetap ingin bertemu dengannya."

"Mungkin sekarang ia sudah tumbuh menjadi perempuan yang anggun—walau aku meragukannya karena sifatnya yang hemat kata." Lanjut si pirang.

Inaho menutup sebelah mata, mendengus. "... Hoo... Kau benar-benar bodoh, Koumori."

Alis Slaine menukik. "Hei, apa maksudmu mengataiku bodoh!?"

"Kau benar-benar bodoh sampai-sampai tidak menyadarinya."

"Menyadari apa?"

Inaho berjalan lebih cepat dari Slaine. "Lupakan."

Slaine semakin gemas dengan tingkah Inaho yang semakin abstrak. Apa salahnya hingga ia disebut sebagai 'bodoh'? Slaine tahu, Inaho memang pintar di bidang akademik, tapi—sebutan 'bodoh' ini memangnya ada hubungannya dengan akademik?

Hendak bertanya lagi, Slaine berjalan lebih cepat dan berniat mendahului Inaho untuk menghentikan langkah lelaki itu.

"Hei—"

Saat Inaho akan berbelok, Slaine mencegatnya sebelum ia sempat memasuki belokan. Namun, Slaine malah... menabrak seseorang yang seharusnya menjadi korban tabrakan Inaho.

"Aduh!"

Slaine terbelalak. Walau terpental sedikit, ia tidak jatuh tersungkur ke tanah. Melainkan yang ia tabrak dengan punggungnya.

"Ma-Maafkan aku," Slaine mendekati korban tabrakannya untuk membantunya berdiri. "Anda tidak apa-apa?"

"Ah, ya. Ini karena keteledoranku," si korban bangkit sendiri dan membereskan barang bawaannya yang terjatuh.

"—Yuki-nee?"

Si korban mendongak. Matanya berbinar seketika, "Nao! Baru pulang rupanya,"

"Hm,"

Kini Slaine yang terdiam setelah beberapa kali Inaho menutup mulut untuk mengeluarkan sepatah kata—tadi, sih. Otaknya memproses sesuatu yang ia dapat dari percakapan korban tabrakannya dengan Inaho.

Tunggu.

Yuki-nee? Nao?

Slaine menatap baik-baik penampilan Inaho.

Surai hitam. Rambut merah anggur. Tatapan datar. Tidak banyak bicara.

Sedikit demi sedikit, Slaine mulai memasukkan bahan observasi singkatnya ke dalam pemikirannya. Bersamaan dengan bahan yang tadi.

"Kebetulan sekali! Aku habis belanja. Tadinya, sih, mau mampir sebentar ke konbini—kulihat di rumah kosong tak ada orang—jadi aku sempat memutuskan memakan mie instant. Makan malam hari ini apa?" Ujar kakak Inaho—Kaizuka Yuki—tanpa henti. Inaho belum memberikan respon.

"Benar juga... Mungkin mie goreng."

"Mie goreng? Ahh, baiklah. Buat yang enak, oke?"

"Ya, ya,"

Inaho mengalihkan pandangannya ke Slaine yang—memberi tatapan syok. Iris matanya menciut dan kedua alisnya menajam.

"Ada apa?"

"—KENAPA KAU TIDAK BILANG KALAU KAU ITU 'NAO'?!"

Slaine membentak Inaho dengan sekali teriak. Wajahnya merah padam, bahkan sampai ke telinga pula. Entah malu atau...

"Kau yang tidak sadar. Bodoh."

"Apa!? Kalau kau tidak bilang mana aku tahu!?"

Inaho menggaruk tengkuk, "Jadi aku perlu memberitahumu? Siapa yang sudi memberitahu aib seperti itu."

"Dengar. Saat itu aku hanya korban dari kakakku, oke. Memakai gaun juga bukan hobiku." Lanjutnya.

"—K-Kau—dasar! Dari kecil sudah mesum! Menggunakan gaun segala! Kau juga saat itu mengenakan wig perempuan, bukan!?"

"Sudah kubilang, aku hanya korban dari kakakku. Tch," Inaho menatap kakaknya, "Yuki-nee, beritahu orang ini kalau kejadian enam tahun lalu hanya untuk kepuasanmu belaka."

"Enam tahun yang lalu? Yang mana?"

"Kau sering membeli gaun mini dan suka sekali memakaikannya kepadaku,"

Yuki hening sejenak. Setelah menggali ingatannya lebih dalam, wajahnya berseri.

"Oh! Yang itu! Hahaha, memang saat itu aku sedang suka-sukanya dengan gaun mini! Tapi karena aku terlalu besar untuk gaun itu—jadinya Nao yang kujadikan korban, ehe," ujar Yuki diselingi dengan lidah menjulur.

Slaine semakin tenggelam dalam malu.

Bodohnya ia menceritakan ketertarikannya pada orangnya. Bodohnya ia tidak menyadari lebih cepat bahwa 'Nao' itu Inaho!

"Kau dengar itu. Jadi," Inaho berjalan lebih dekat menuju Slaine, "masih merindukan dan menyukaiku, hm?"

Wajah Slaine semakin memerah.

"A-Apa!? Ya-Yang pasti ti—" Slaine menutup bibirnya untuk menghentikan ucapannya agar tidak semakin meracau, "—ukh, aku pulang!"

"Hati-hati."

Slaine menjauhkan diri dari kakak-beradik Kaizuka. Selama perjalanan, ditepuknya keras-keras dahi yang tertutupi poni rambutnya.

.

.

.

"Slaine? Kau baru pulang?" Asseylum menyambut kedatangan Slaine yang—seperti tergesa-gesa.

"Aku tadi tidak jadi pergi berbelanja dan langsung pulang. Kupikir kau sudah di rumah dari tadi. Dari mana?"

Slaine menggigit bibir, mencoba menutupi wajahnya. "S-Saya—ke kamar dahulu,"

Mengabaikan Asseylum yang seharusnya tidak ia hindari, Slaine berjalan secepat mungkin menuju kamarnya. Meninggalkan banyak pertanyaan pada Asseylum.

Asseylum mendekatkan diri ke pintu kamar Slaine, dan mencoba mendengar dari luar. Kemungkinan Slaine akan melepaskan apa yang membuatnya stres dengan berteriak di kamar.

Menurut Asseylum.

"Sialan! Orenji-iro sialan! INAHO BODOH! AKU JADI—AHH!"

Asseylum meninggalkan kamar Slaine dengan terkikik,

"Oh. Aku tahu masalahnya."


a/n: ...

Guys. 2-shot or 1-shot? Saya bimbang.

Oke maaf. Hidup InaSure!

Btw hari ini A/Z 2 bakal on-air kan? Waaa! X"D

Oh ya, besok Slaine ultah? HBD MZ! Lebih cepat sehari karena sepertinya saya tidak membuat birthday fic untuk mz slaine hehehikz.

Terima kasih sudah menyempatkan diri untuk membaca! Saran dan kritik di terima! :D

[ Sign, ffn user garekinclong ]