.

.

.

Kuroko's Basketball © Fujimaki Tadatoshi

Warning! Typo, OOC, bahasa tidak sesuai EYD, AU, bisu reader, dan lain-lain

Genre : Romance, Drama

Character : Akashi Seijuro

Note : Saya membuat fic ini atas pemikiran sendiri, kalau ada kesamaan dalam bentuk apapun, itu adalah ketidaksengajaan.

"Colorful World (美しい世界)" – Andrea Sky

.

.

.

Chapter 2 : "New Year"

.

.

.


"Ingin merayakan tahun baru sama-sama?"

Aku tersenyum tipis, Akashi men-translate-kan arti gerakan tanganku. Pupil scarlet belum bosan memandangi kertas berisi soal-soal, tangan kanan lihai menuliskan jawabannya dan otak gesit berpikir. Meski aku tahu mengerjakan soal semacam itu akan mudah bagi orang sepertinya.

"Mau–ssu!"

Kise yang pertama menyahut semangat, suaranya sedikit diredam saat penjaga perpustakaan mengingatkan untuk tidak berceloteh berisik. Yang lain ikut menjawab bahwa mereka tidak keberatan dan mau-mau saja. Aku puas. Setelah membicarakan hal itu, atensiku kembali pada soal dan mulai untuk mengerjakannya. Waktu tidak banyak, musim dingin akan segera berakhir dan di sanalah waktu untuk ujian akhir semester dua di kelas 2 SMA ini. Kemampuan belajarku sekarang tidak lebih baik dari seorang Aomine Daiki, tidak akan ada universitas yang mau menerimaku jika nilaiku bak sampah berceceran di jalan–kadang sampahnya bagus kadang tidak, dan kalaupun bagus, bagaimanapun itu tetap sampah.

Dan kurasa, daripada memikirkan tentang kampus, akan jauh lebih baik jika fokusku pada soal-soal ini. Kami semua ada di sini, perpustakaan sekolah, dan bergelut dengan tumpukan soal buatan wahai sang suhu; Midorima Shintaro–sungguh tak kira-kira level kesulitannya, ia mengklaim seenak jidatnya bahwa kemampuan orang lain setingkat dengannya. Tolong. Otakku ini jujur saja tidak mampu. Jangan sulitkan aku.

Bertanya keputusan terbaik. Midorima tidak menolak, menjelaskan apa yang ingin kutanyakan dan tidak kumengerti, hingga ia harus repot-repot berdiri dari kursinya dan menjabarkan jawabannya, sekaligus mengocehiku jika ada hitungan yang ceroboh, menghasilkan hasil akhir yang kubilang hanya melenceng setipis kertas–dan katanya yang setipis kertas itu bisa membuatku tidak lulus SMA. Tidak akan kuremehkan lagi setipis kertas.

Akashi dengan alis bertaut menyuruh Aomine dan Kise yang terus beargumen untuk diam, perihal remeh macam remah-remah roti–meributkan siapa yang paling benar di soal nomor 10. Dan Kuroko menjawab soal nomor 10 dengan tatapan datar, meruntuhkan kepercayaan diri–mereka harus menghapus dan mengerjapan ulang lagi karena kata si pemilik surai aquamarine jawaban mereka berdua itu salah.

Murasakibara tak berhenti mengoceh tentang makanan, membuat Satsuki harus menyumpal mulutnya dengan sepatu sekolah Aomine yang ia ambil dengan jijik di luar perpustakaan–karena tidak boleh memakai sepatu di dalam perpustakaan. Murasakibara seolah kapok untuk makan apapun lagi. Kami semua berduka atas kejadian naas yang dialami teman sepermainan.

Belajar memang perjuangan.

"Ini salah," Akashi menunjuk salah satu nomor, menghapus deretan jawaban tanpa belas kasihan yang kutoreh menggunakan pensil, memberitahukan cara dan jawaban yang benar. Aku tidak protes, pada faktanya aku memang salah–dan itu harus kuperbaiki sebelum aku menganggap caraku benar dan kubawa sampai ujian berlangsung. Itu yang akan jadi teramat salah. Akashi menyandarkan kepalanya di pundakku, menghela napas. Mungkin ia sendiri lelah, atau mungkin karena sudah pintar makanya soal-soal seperti ini begitu mudah seperti mengupas kulit kacang.

"Aomine dan Kise. Nilai kalian sama, 30. Jangan mengerjakannya cepat-cepat, kerjakan dengan benar. Nah, sana, kerjakan lagi–nodayo." Midorima membuat runtuh harapan mereka yang sering dijuluki seperti kopi-susu. Tahu rasanya jika kau sendiri yang hanya sering dikoreksi, kemudian tiba-tiba orang di sekitarmu ternyata juga sama bego-nya? Rasanya melegakan. Gomen, Aomine to Kise.

Kami benar-benar selesai belajar saat jarum pendek menuju angka 6. Itu pun karena waktu sudah berdetik tidak sabar, jika tidak, Midorima masih ingin mengoceh. Kami mampir sebentar ke Maji Burger, membeli beberapa cokelat panas untuk menghangatkan diri. Rupanya napsu makan Murasakibara masih tersisa apalagi saat membeli tumpukan camilan berbeda rasa seperti biasanya. Yah–lebih baik begitu dibanding ia benar-benar kapok untuk makan akibat perlakuan kejam Satsuki yang sebenarnya malah membuat Aomine sendiri tertawa terbahak. Wow, sungguh setia kawan sekali, kau, Aomine Daiki.

Aku berakhir diantar Akashi lagi, seperti biasanya. Rumah dengan satu arah menjadi alasannya, dan tidak masalah. Aku menguap sesaat, pemuda pemilik surai crimson bertitah agar aku segera mandi, makan malam, dan tidur tanpa menyentuh kuas lagi–mungkin ia jadi mengetahuinya karena pagi ini tanganku penuh bercak warna-warni cat minyak. Mungkin perintahnya tidak buruk. Aku bisa sakit kalau tertidur dalam waktu yang tidak stabil, plus aku sering tidur agak pagi karena melukis di ruang lukisku yang ada di bawah tanah di rumah.

Aku memasuki rumah, mengucapkan kata-kata semacam; "Aku pulang," melalui gerakan tanganku. Kaa-san mengangguk, memintaku mandi dan segera makan malam. Saat makan malam, Tou-san bertanya alasan kenapa wajahku sumringah. Aku menukas dan mengatakan biasa saja.

"Mungkin karena mau tahun baru-an dengan teman-temannya,"

Kekehan-ku mengudara, meski tidak terlalu jelas, kurasa kaa-san pun tahu bahwa aku memang sedang senang. Menutupinya tidak semudah itu. Yang jelas, sekarang … aku tidak sabar untuk menunggu tahun baru.

.

.

.

-oOo-

.

.

.

Aku berjengit kaget, begitu membuka pinntu, yang terlihat adalah sosok seoran gadis dengan surai magenta-nya tersenyum padaku. Aku menautkan alisnya, kuketik di layar ponselku dan menunjukannya pada Satsuki, "Bukankah kita akan kumpul di kuil untuk berdoa bersama malam ini?"

Satsuki terkekeh kecil, "Aduh, (Name)-chan! Kau harusnya lebih fashionable, apalagi ini tahun baru, loh! Sekali-kali repot mengurus diri, 'kan, tidak apa!"

Aku sebenarnya tidak mau begitu repot. Oh, dan jadi itu, tujuan ia datang ke sini? Tapi ia sudah terlanjur ke sini, dan tidak mungkin aku mengusirnya. Lagipula Satsuki yang katanya berjanji akan meriasku, jadi tak masalah.

"Permisi, baa-san to jii-san…"

Mereka mengangguk sambil tersenyum, menyuruh Satsuki langsung saja naik ke kamarku bahkan sebelum kuminta. Satsuki menutup pintu dengan tenaga yang agak berlebihan–sebenarnya, kemudian mulai mengeluarkan sesuatu dari dalam kantung plastik yang ia bawa. Sebuah dress putih selutut, sweater rajutan krem, dan sepatu boot panjang berwarna cokelat beserta stocking.

"Satsuki, kau repot sekali!"

Ia menggeleng semangat, "Hm-mnn, tidak, kok! Sekarang mulai ganti baju, ya! Nanti baru kurapihkan rambutmu dan, dan … hum … kurasa wajahmu harus dipoles sedikit bedak, dan … ah! Pokoknya, ganti baju dulu, deh!" ia mendorongku ke arah kamar mandi, aku menghela napas pasrah diatur oleh yang pro. Biarlah, kuserahkan diriku seutuhnya untuk dipermak oleh Satsuki. Lagipula melihat sikapnya dan orangnya sendiri, kurasa ia memang ahli di bidang seperti ini, jadi aku bisa percaya.

Tidak lama, aku benar-benar sudah berubah. Yeah, jadi terlihat lebih feminim dari diriku yang biasanya … dan, cantik? Aku tidak mau memuji diriku sendiri, itu bukan sifatku–tapi bahkan Satsuki juga mengatakan hal yang sama. Dress putih tanpa lengan melekat di tubuhku hingga sebatas lutut, dibalut sweater krem juga sepatu boot cokelat yang kira-kira 10 centimeter di bawah lutut. Ini cocok untukku, Satsuki bisa memilihkan sesuatu memang dengan sangat akurat.

"Sini, poni-mu kujepit," Satsuki menjepit poniku, menggunakan bobby pin, mengatur dengan sedemikian rupa hingga menyenangkan untuk dilihat. Wajahku benar-benar dibubuhi bedak secukupnya, sesuai apa yang ia katakan–kumohon, Satsuki. Aku sedang tidak menghadiri prom night atau semacamnya, aku ingin berdoa di kuil untuk tahun baru malam ini.

"Err … Satsuki, apa ini tak berlebihan, huh?"

Satsuki menggeleng, terus mematahkan protesanku sedari tadi tanpa lelah, masih sibuk dengan diriku yang ia karya-i sana-sini.

"Tentu saja tidak," senyum tipisnya yang dengan pasti selalu berhasil menarik perhatian orang lain, "Kau cantik, kok, (Name)-chan. Sayang, bukan, jika tidak ditunjukkan?"

"Aku tidak cantik, ini terlihat begitu karena kau yang membuatnya," aku lagi-lagi membantah, membiarkan pandanganku bergulir jatuh ke bawah.

"Itu tidak benar,"

Senyum Satsuki sekarang lebih dari yang tadi. Ia ucapkan kata "Sudah" singkat, menarik tanganku dan membantuku berdiri, mengingat posisiku sekarang adalah duduk. Aku dipeluknya sebentar–dan aku tersentak kaget. Kalimatnya tadi belum usai, karena itu ia melanjutkan, "Kau cantik. Semua orang cantik dengan caranya masing-masing, tak peduli bagaimanapun orang di sekelilingnya tidak menganggapnya seperti itu. Tapi … semua perempuan pasti ingin cantik dan dianggap cantik, 'kan? Padahal, tanpa sadar, mereka suka cantik dengan cara mereka sendiri. Itu hebat, kok. Percaya dirilah. Kali ini, kubantu untukmu menunjukkannya pada semua orang, (Name)-chan!"

Ia membuat langkahku terburu-buru, aku bahkan hanya sempat menyambar ponselku yang ada di atas meja belajar, ia berpamitan pada kaa-san dan otou-san, begitupun aku meski hanya sekadar anggukan kepala. Suara kagum kaa-san pada riasanku masih sempat kudengar sebelum pemilik surai sewarna sakura membuka pintu rumah, dan memperlihatkan beberapa orang di sana, yang helaian sebagai mahkota mereka seindah biasan cahaya sehabis hujan bernama pelagi.

"Uwaa! Utsukushissu…"

Aku mengerjap. Tidak pernah berhenti dibuat bingung oleh mereka. Kenapa mereka datang ke rumahku?

"Kali, kubantu kau menunjukkannya pada mereka, (Name)-chan," Satsuki berbisik hal yang sama, terkikik, kemudian berujar dengan suara minim kembali, "Lain hari, buktikan sendiri, oke."

Aku membiarkan bibirku mengukir senyum. Makasih, Satsuki. Mataku tertuju pada Akashi. Dia di sana, melihatku. Tanganku terangkat, bergerak, "Um … bagaimana penampilanku?"

"Yah," Akashi menunduk. Sekilas tadi … kulihat senyum lembutnya, meski tipis sekali dan sebentar sekali, "Tidak buruk. Cocok," katanya. Jangan tanyakan padaku. Alasan seperti ada sebuah bunga yang baru saja memekar di dalam diriku–kumohon jangan tanya. Baru kali ini aku dipuji. Yeah, menyedihkan memang.

"Momoi-san memang lihai merias orang,"

"Iya, dong, Tetsu-kun! Uwaa, makasih loh!" Satsuki menerjang Kuroko dengan pelukan andalan seperti biasa. Kulirik pemilik surai navy blue–dan oh. Dia mengalihkan pandangan. Wow, ini menarik. Midorima masih membawa barang tak lazim di tangannya–uh, katakan padaku kalau itu bukan sebuah figure Yuuki Asuka. Tolong. Kau maniak?

"Boleh aku bertanya di depan 7 orang yang ada di sini?"

Midorima menautkan alisnya saat membaca pesan yang kuketik di ponsel. Ia tak terlihat protes, itu artinya aku akan melanjutkan kalimatku.

"Di tanganmu itu. Apa?"

"Biasa. Barang-barang maniak milik Mido-chin,"

"Chigau! Ini lucky item!"

Aku terkekeh kecil.

"Hari ini (Name)-cchi memang cantik, ssu~!" Kise mendekatiku, memainkan ujung rambutku dengan jemarinya, "Bagai Tuan Putri!" aku hanya memasang senyum simpul. Tabiat macam pangeran yang memang sudah melekat dalam dirinya sejak dulu membuatku mahfum.

"Mulai deh, Kise nge-gombal."

Eh … ah. Aku tidak tahu. Kalau di puji oleh Kise sebegini biasa-nya. Kenapa tidak ada detak yang berlebihan … seperti saat ia yang memuji–oh. Mungkin karena Kise memang sudah bisa dilihat kalau sikapnya suka memuji fisik orang lain.

"Saa … karena masih terlalu pagi untuk berdoa ke kuil, bagaimana kalau kita–"

"Ke taman bermain!"

"Momocchi, malam tahun baru!"

"Yah …" Satsuki cengir, mengangkat bahu dan tidak terlihat peduli dengan fakta yang dikatakan Kise, "Apa hubungannya?"

Kise balik tersenyum, "Tidak ada, sih … oke, diputuskan! Kita ke taman bermain, ya–ssu!"

"Astaga, Kise, Satsuki …"

"Ehe. Tak apa, 'kan, Dai-chan?"

"Hmph. Kalian memang kekanakkan, nodayo," Midorima membetulkan kacamata dengan gestur khas-nya. Padahal mungkin dalam hatinya ia memang ingin ikut ke taman bermain di pusat kota, tapi tidak ingin mengakuinya.

"Naik apa ke sana, ya?"

"Hm-mnn, aku sih tadi ke sini naik motorku–ssu …"

"Dai-chan naik motornya, dan sisanya numpang di mobil Akashi-kun," Satsuki menyengir. Kesimpulannya hanya satu, berarti. Sejak Satsuki datang, mereka semua sudah ada di sini.

"Kalau begitu … kita naik mobil Akashi-kun lagi, 'kan."

Aku menoleh padanya. Kemudian mengulum senyum tipis, dan ia hanya menghela napas sambil berkata "Baiklah" kecil. Sesuai seperti yang sudah diperkirakan–tapi yang berbeda hanya karena si pemilik surai amber akan menawarkan tumpangan pada Satsuki tapi Aomine sudah menariknya terlebih dahulu, menyuruhnya duduk di motor milik pemuda itu. Menurutku. Jika sudah begitu, tak ada lagi yang pantas ditanyakan. Entah Satsuki tidak peka. Atau pura-pura tidak sadar. Aku tidak tahu yang mana, dan masih menunggu untuk mengerti yang sebenarnya Satsuki rasakan.

Waktu sebentar cukup untuk sampai di taman bermain. Jam 9 terbilang malam, tapi kurasa tidak untuk tahun baru–karena itulah taman bermain masih ramai. Mengingat taman bermain ini cukup dekat dengan kuil, 10 menit dengan naik mobil atau motor.

Kise benar-benar semangat, memang ia lah yang selalu menjadi sumber berisik-nya.

"Uwaa! Ramai sekali, ssu!"

"Namanya tahun baru, Ki-chan."

Kami sampai di sana. Membeli tiket, masuk ke dalam, dan Kise masih saja melompat-lompat seperti belalang di padang rumput. Tidak bisa kutemukan bedanya ia dan seekor kelinci. Kami benar-benar hanya membuang waktu di sini. Menunggu tahun baru yang akan berlangsung sekitar 3 jam lagi. Kise menarik-ku ke sini dan sana, Kuroko kadang terlihat tapi kadang menghilang, Midorima entah kemana, Murasakibara sibuk keliling melucuti semua camilan yang terlihat menarik di sepasang manik violet, Aomine sibuk bertengkar dengan Kise, dan Satsuki mengekor di sebelahku. Akashi–ia … tidak tahu ke mana. Kuharap kita tidak ditelantarkannya di sini.

Ah. Aku ingin Akashi ikut bersama kita dibanding sendirian.

.

.

.

"Ahhh … Momocchi dan Aominecchi ke mana, ssu!"

2 jam setelah kami datang. Jangan tebak arti kalimat Kise karena sebenarnya aku pun tidak mau mengakuinya. Aku tidak bisa percaya ponsel-ku kehabisan daya–tulis bahwa aku menolak kenyataan. Dan kenapa aku harus tersesat di tengah lautan manusia yang menyesakkan. Kise tidak membawa hand phone-nya–bagus, kita tunggulah di sini hingga seseorang menemukan kita bagai anak hilang, Kise Ryouta.

"Siapa suruh kaulari tidak jelas seperti tadi sambil menyeretku?"

"Mougomen, gomen, ssu yo! Aahh, bagaimana ini, (Name)-cchi?!"

"Kau saja tidak tahu. Apalagi aku."

"Ah!" Kise menengok padaku, ekspresinya seperti anak anjing yang ingin minta makanan–dalam arti kiasan, aku tidak akan mau memberinya makanan jika ia berbuat aneh-aneh, "Aku punya ide, ssu! Kita naik Kincir Ria saja!"

Aku yakin wajahku menunjukkan ekspresi "Hah?" dengan sebelah alis yang terangkat.

"Karena Kincir Ria tinggi, kita, 'kan bisa lihat semuanya!"

… Benar juga, sih. Saking simpel-nya cara berpikir, Kise bisa menyimpulkannya seperti itu. Tidak ada salahnya dicoba. Kami tidak susah mencari Kincir Ria, karena memang benda itu sendiri sudah tinggi. Kami berjalan ke arah sana. Di depan wahana, Kise berbicara dan menyerahkan tiket pada salah seorang penjaga.

"Eh? Tidak bisa berdua, ya–ssu…"

"Aku naik yang selanjutnya saja,"

"Baiklah," ia tersenyum, menaiki salah satu kapsul kincir. Saat kapsul lainnya berhenti tepat di depanku, sang penjaga menyuruhku masuk sambil mengulas senyum ramah. Aku baru saja menginjakkan sebelah kakiku sebelum ada yang menepuk pundakku, mengalihkan atensiku dan aku pun menoleh ke belakang.

A–Akashi?

"Kau sedang apa?"

"Eh, itu … tidak, maksudku–Kise sedang menaiki ini dengan alasan karena benda ini tinggi dan memungkinkan melihat kalian … jadi, aku–"

"Maaf, tidak jadi," Akashi menggeleng pada penjaga, dan ia hanya mengangguk maklum. Aku diseret pergi dari tempat itu, sejenak melupakan si matahari yang senang berceloteh–yang mungkin sekarang sudah berada di posisi paling atas Kincir Ria.

"Akashi, Kise ada di–"

"Hn."

"Apa maksudmu 'Hn', Akashi!"

"Nanti Kise juga turun sendiri," tanggapnya, tidak begitu peduli, "Yang lainnya sudah menunggu di pintu gerbang. Hanya kau dan dia yang seenaknya berkeliaran."

Aku mendecak kecil. Aku memang tahu bahwa cara penyampaian akan sesuatu dengan kata-kata silet begitu khas Akashi. Dan aku sendiri juga tidak ingin telat berdoa pada malam tahun baru. Jadi aku hanya menurut saja. Pergelangan tanganku rasanya hangat–mengacuhkan situasi bersalju dan suhu rendah. Tangan Akashi besar–mungkin aku tidak terlalu memperhatikannya karena memang tidak terlihat seperti itu, tidak terlihat sejelas Murasakibara yang memang besar. Ia menggenggam pergelangan tanganku, aku merasa seperti anak anjing yang baru melakukan kesalahan.

Semuanya memang sudah menunggu di pintu keluar taman bermain. Aku meminta maaf sambil terkikik kecil, dan Kise baru kembali 10 menit berikutnya. Semua mem-bully-nya, dan aku hanya diam, tidak membelanya–memperhatikannya saja tidak. Iris-ku hanya terpaku pada siluet pemuda bersurai scarlet yang berdiri di sampingku. Baru tersadar saat Satsuki mengguncang-kan tubuhku, dan mengajakku cepat beranjak dari sini.

Seperti tadi-lah setting-nya. Aomine dengan Satsuki, Kise sendiri, aku dan sisanya di mobil Akashi. Aku tidak tahu. Alasan … bisa begitu canggung hari ini. Entahlah. Mungkin ada yang salah denganku, atau mungkin yang salah adalah sekelilingku.

Harusnya kami bisa sampai di kuil dalam waktu 5 menit, terutama dengan cara mengemudi Akashi yang selalu membantah aturan lalu lintas, lampu merah pun diterobos-nya. Jika ada polisi kala itu, maka berdoa ke kuil hanya jadi bayangan saja. Memang. Kita sampai di kuil dalam waktu yang sedikit. Tapi itu cukup untuk membuatku sedikit tidak nyaman–dan what the heck dengan suasana hening seperti ini. Aku ingin tahu kemana suara Murasakibara dan Midorima yang meski tidak seribut Kise, setidaknya tidak setenang Kuroko ataupun Akashi sendiri.

Di kuil, sudah terkumpul banyak orang. Tidak jauh berbeda dengan taman bermain tadi. Kata Satsuki, selaku orang yang memakai jam tangan, sekarang jam 11 lewat 15. Empat puluh lima menit sebelum bergantinya tahun.

Aku tidak mengerti harus apa. Di samping tidak ada yang bisa kulakukan, aku juga tidak ingin melakukan apapun sekarang. Jadi kegiatanku saat ini hanyalah duduk di bench yang terletak di kuil, bersama dengan Akashi dan Kuroko yang sama-sama tidak berniat ke sana ke mari.

"Apa yang Midorima dan yang lainnya lakukan ya kira-kira …"

"Kenapa kautanya aku."

"Akashi, kau ini sungguh jutek sekali."

"… Masa? Ah, aku tidak tahu, omong-omong. Mungkin Midorima mencari lucky item-nya untuk besok yang katanya lonceng kuil. Kuharap biksu di sini tidak mendampratnya."

Aku terkikik-kikik, "Memangnya iya?"

"Tentang? Lucky item-nya atau biksu-nya?"

"Tentang anak itik yang sedang berenang–ya lucky item-nya, Akashi."

"…"

"… Jangan merajuk."

"Aku bukan anak umur 5 tahun."

"Aku hanya bercanda. Berhentilah untuk ngambek."

"Ya, ya. Terserah padamu."

Hebat. Ternyata konversasi ringan seperti orang tolol bisa jadi panjang dan membuang waktu, hingga sekitar jam 12 kurang kami semua sama-sama bersiap berdoa di depan kuil. Aku mengatupkan tanganku, berdoa. Lirikan sempat kuarahkan pada pemilik manik crimson, sebelum serius berdoa.

Aku ingin … tahun depan menjadi lebih baik lagi. Semua hal berjalan dan bisa kuhadapi. Aku ingin cepat-cepat lulus SMA dan masuk kuliah, lalu mengejar mimpi yang kuinginkan. Aku ingin membahagiakan Okaa-san to Otou-san, aku ingin bertemu lagi dengan Shu-kun, semoga aku bisa berteman dengan mereka seterusnya. Banyak yang kuinginkan. Tidak akan selesai sebelum pagi jika kusebutkan satu-satu. Aku ingin bisa menjalani apa yang ada, lalu, semoga SMA 3 nanti berjalan dengan baik, mengingat sebentar lagi akan kenaikan kelas. Lalu … aku ingin segera memahami apa yang tidak kupahami.

Amin!

Aku membuka mataku, senyuman kuukir. Koin kulempar hingga menimbulkan bunyi "Ting" kecil, lonceng kuil berdentang, salju yang meringkuh bumi semakin banyak saja. Ucapan "Selamat tahun baru" mengudara dari banyak orang. Tapi aku hanya menoleh ke kanan, menggerakan tanganku, membentuk sebuah arti. Akashi tersenyum, mengangguk, "Selamat tahun baru," usapan hadir di kepalaku–oke, aku positif dianggap anak anjing sepertinya. Padahal Kise lebih cocok di peran itu, 'kan?

"Selamat tahun baru, (Name)-chaaan!"

"Yo. Tahun baru."

"Happy new yearssu~"

"S–selamat tahun baru, nodayo."

"Selamat tahun baru, (Name)-san."

Aku mengangguk. Berterima kasih pada mereka yang sudah mengucapkannya. Kami makan ramen sesudah dari kuil, dan itu berakhir di jam 2 pagi. Akashi yang mengantarku lagi, aku heran kenapa ia bisa tak terlihat lelah setelah semua ini, dan untungnya ia bisa menyetir mobil dengan baik di jam-jam seperti ini.

"Mengasyikan … ya?"

"Kau sudah mengantuk. Lihat, kau menguap lagi."

Aku terkekeh, "Memang. Tapi tetap seru,"

"Tidur sana."

"Siap …"

Aku memberikan senyumku lagi. Salju tidak berhenti menjatuhkan diri di atas kepalaku. Jadi sebaiknya aku cepat masuk ke dalam rumah, dan tidur seperti apa kata Akashi.

"Nite,"

Aku mengerjap. Sebelum pintu rumah benar-benar kututup, aku masih melihat mobil Akashi yang menjauh. Aku … tidak tanggung jawab jika telingaku agak salah, Akashi. Aku tidak bisa bersuara. Tidak akan ada yang keluar dari bibirku, sekecil apapun suara itu. Tapi tanganku bergerak. Begitu sadar, tanganku sudah bergerak.

"Nite …"

Ada yang … aneh.

Dalam diriku.

Sungguh!

.

.

.

TBC

.

.

.


Review?

Tsukuro Reiko : Makasih udah mau review ... XD gak aneh kok, boleh dipanggil apa aja. Waduh ... sering di bully? Lawan saja! Tabok mereka! /plak/ Serius, loh XD tabok aja kalo udah enek wkkwkwkw

Syifa-sama : Makasiiih haduuh untungnya feel-nya berasa yakkk XD emang mau cepet-cepet di romance nih, wkkwkw XD