Matanya terbelalak dengan mulut setengah menganga. Tidak mempercayai apa yang terpampang jelas dan nyata tepat di depannya. Secarik kertas dengan logo merah di ujung kiri atasnya perlahan dengan pasti mulai bergoyang-goyang. Jari-jemarinya bergetar dalam kengerian yang begitu kentara.

Daerah dalam sekujur tubuhnya mendadak membeku. Begitu sulit untuk bergerak. Bahkan untuk bernapas pun serasa bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami. "Ini tidak mungkin," dia bergumam lirih. Serasa apa yang dilihatnya adalah hal paling mustahil. Ironisnya, apa yang sedang dilihatnya adalah fakta. Begitu aktual. Tidak dapat diragukan lagi.

Kedua matanya berkaca, pandangannya serasa agak kabur dan pada detik berikutnya aliran anak sungai mulai membasahi kedua pipinya. Air matanya jatuh dengan hatinya yang telah remuk redam.

Mencengkeram dadanya dengan secarik kertas di tangannya yang telah diremasnya tanpa sadar. Pertahanannya runtuh seketika. Rasa sakit, sedih dan kecewa memenuhi rongga dadanya. Nyatanya, lelaki yang dikenal begitu wibawa oleh semua orang kini mulai jatuh tersungkur di lorong rumah sakit yang telah sepi dengan raungan tertahan penuh kesakitan yang keluar dari mulutnya.

"Katakan padaku, semua ini pasti kesalahan. Pasti kebohongan 'kan, Sakura?" tersedak dalam isak tangisnya, dia terus bergumam penuh kesakitan dalam suaranya.

Tubuhnya semakin bergetar. Napasnya mulai tidak beraturan dengan rasa sesak yang serasa begitu ketat menghimpit dadanya. Dia mulai merasakan hatinya berdenyut pedih begitu cepat, terasa retak dan sejurus kemudian dapat dia rasakan begitu jelas bahwa hatinya telah hancur berkeping-keping. Tidak sanggup menerima kenyataan terpahit dalam hidupnya. Kenyataan yang menghancurkan harapannya selama ini dengan begitu kejamnya.


Naruto © Masashi Kishimoto

New Life, Give Me a Chance

Sequel of Regret In Winter

A Naruto FanFiction by UchiHaruno Misaki

.

Warn : AU, Typo, Bad feel, Boring, Pedofil Sasuke.

Rate : T+

SasuSaku with others~


Bagian 9…


Konoha Senior High School adalah sekolah elit pertama yang mengadakan bakti sosial di daerah pedesaan jauh dari kehidupan perkotaan. Menjelang ujian kelulusan untuk kelas 12 yang akan dilaksanakan tiga bulan lagi, para guru sepakat untuk mengadakan bakti sosial sebagai tugas pelengkap untuk menambah nilai kelulusan para murid dalam tahun ini. Kegiatan yang akan dilaksanakan selama 3 minggu ini ditunjukkan untuk semua siswa kelas 12 wajib ikut serta dan tidak hanya pada satu titik, kegiatan dipencar 1 desa terdiri dari 10- 12 siswa yang dipilih secara acak.

Otsutsuki Sakura, salah satu siswi yang ikut dalam kegiatan itu masuk dalam 1 kelompok terdiri dari 10 orang. Dengan desa Konoha sebagai desa tujuan untuk melaksanakan tugas. Sakura beruntung bisa satu kelompok dengan orang-orang yang cukup dekat dengannya. Namun, dia juga merasa sangat dongkol ketika mengetahui fakta jika Uchiha Sai dan Uzumaki Menma termasuk dalam kelompoknya. Dua bandit nakal yang sangat suka menjahilinya.

Selain mempunyai wajah tampan, Sai dan Menma semakin populer dengan fakta bahwa mereka terlahir dari keluarga darah biru. Sai dengan darah Uchiha yang telah dikenal dengan keluarga kaya yang hartanya tidak akan pernah habis sampai tujuh turunan, dan Menma yang merupakan putra tunggal pemilik yayasan sekolah elit ini. Uzumaki Naruto. Yang faktanya adalah seorang duda.

Ya, walau Sakura akui jika kedua bandit nakal itu memiliki wajah tampan yang menjadi dambaan setiap siswi di sekolahnya, dia tetap mencap jika kedua pemuda itu tidak lebih dari perkumpulan anak-anak broken yang tidak tahu aturan dan menjijikan.

"Kita beruntung berada dalam kelompok ini!" pekik Shizuka—salah satu siswi yang bergabung dalam kelompok ini, dengan girang sambil sesekali melirik kedua pemuda yang sedang berjalan tenang dengan bibir tersemat batang rokok di depan sana.

"Iya! Kau benar!" Koyuki Hana mengangguk semangat, menyetujui apa yang dikatakan Shizuka. Mereka adalah dua sahabat sejak lahir, bahkan mereka sering memakai barang yang serupa sehingga tak jarang para murid sekolah selalu menggoda mereka jika mereka adalah saudara kembar, tapi beda.

"Ya ampun, selera kalian rendah sekali." Mendecih sebal, gadis cepol yang sedari tadi memainkan bola basket mulai membuka suaranya, "laki-laki seperti mereka hanya bisa menghabiskan uang orangtua mereka. Laki-laki seperti itu aku yakin hanya bisa merengek kalau menginginkan apa yang mereka mau. Tidak keren sama sekali." Lanjut Tenten—gadis berperawakan seperti lelaki alias tomboy ini dengan sinis. Dia terlihat tidak tertarik dengan lelaki tampan karena dia merasa lebih tampan dari lelaki tampan mana pun.

Mendengar perkataan Tenten, sontak saja Shizuka dan Hana mendelik tidak suka. Namun kedua gadis itu tidak berani menyahut. Tentu saja mereka masih sayang nyawa dan untuk menerima serangan bola basket milik gadis China itu ... tidak terima kasih. Mereka tidak mau bernasib seperti Inuzuka Kiba yang pernah menjadi korban kemarahan Tenten. Pemuda itu harus dirawat intensif di rumah sakit selama satu minggu akibat lemparan bola basket dan tinju mentah dari Tenten. Mengingatnya saja telah membuat kedua gadis itu bergidig ngeri. Mereka berdua pun kembali memerhatikan Sai dan Menma sambil cekikikan tidak jelas. Mengabaikan Tenten.

"Tenten, kau jangan berkata begitulah," ucap Ino, gadis tercantik dan terseksi di sini. Dia merupakan putri tunggal keluarga kaya, Yamanaka Inoichi. Siapa yang tidak mengenalnya? Semua orang mengenalnya. Bisa dibilang Ino adalah gadis tercantik di sekolah.

Tenten menyeringai sinis sambil memutar bola basket di jari jempolnya. "Hey, Yamanaka. Kau membela Uchiha Sai dan Menma? Ada apa denganmu? Bukankah kau tidak suka lelaki manja yang suka seenaknya seperti mereka?"

Ino tertawa ringan sambil menyampirkan lengan seksinya di pundak Sakura yang sedang berjalan santai di sampingnya dengan kedua headset yang terpasang di kedua telinganya. "Siapa bilang Sai laki-laki manja? Tenten, jangan memandang remeh padanya." Kata Ino sambil tersenyum penuh arti. Tenten menatap Ino tidak percaya. Sejak kapan sahabat dari duo Otsutsuki yang nyatanya musuh besar dari Sai dan Menma itu malah membela Sai? Aneh.

Tenten dan Ino serta Sakura terperanjat ketika mendadak mereka merasakan seseorang memeluk bahu mereka bertiga dari belakang. "Kalian sedang menggosipkan aku, ya?" Tanya Sasori—lelaki imut dan lucu bahkan keimutannya melebihi perempuan itu dengan nada penuh percaya diri. Sakura memutar kedua matanya dan mengabaikan Sasori, begitu pula Ino yang hanya tertawa kecil dan Tenten yang mendengus tidak habis pikir. Sedetik kemudian Sasori mengerang tertahan ketika Shikamaru dengan seenak jidatnya memukul kepala Sasori. "Sakit, Brengsek ah!" ringis Sasori sambil mengelus kepalanya.

Shikamaru terkekeh malas, lalu merangkul bahu Sasori akrab. Kemudian menyeret Sasori agar berjalan lebih cepat melintasi jalan setapak di tengah hutan lebat ini menuju desa Konoha yang sudah di depan mata. "Sudahlah, ayo kita jalan lagi." Kata Shikamaru selaku ketua dalam kelompok ini. Dia bertanggung jawab penuh atas semua anggotanya.

"Tunggu, mana Sai, Menma dan Shino?" tanya Tenten ketika ketiga anggota kelompok itu tak terlihat di sekitar mereka.

Shikamaru menoleh malas sambil menguap. "Mereka sudah duluan, mungkin sudah sampai. Tidak seperti kalian yang sangat lambat, Mendokusei."

Serentak Tenten, Ino dan Sasori mendelik, namun tak diacuhkan oleh Shikamaru. Berbeda dengan Sakura yang asik dengan dunianya sendiri. Gadis itu hanya diam dengan headset serta lagu-lagu yang mengalun indah di kedua telinganya. Pun dengan cuaca cerah dan angin musim panas yang mendukung kedamaiannya.

Menghirup udara dengan khidmat sambil menutup kedua matanya, Sakura tersenyum manis menatap langit cerah yang terhalangi daun pepohonan hutan sesaat setelah kembali menampakkan iris klorofilnya. Perasaannya sedikit membaik sekarang. Walau dia masih merasa tidak nyaman atas sikap adiknya yang sangat aneh sejak dua hari kemarin. Hinata terlihat banyak diam. Pada dasarnya memang pendiam, namun kali ini berbeda. Hinata terkesan menghindar darinya. Memberi jarak tak kasat mata dengannya. Bahkan saat di dalam bus yang membawa mereka menuju Konoha tadi pagi, Hinata menolak duduk berdampingan dengannya secara terang-terangan.

Khusus tadi pagi Toneri mengantar mereka berdua ke sekolah, bahkan Tobirama ikut mengantar dan memberi petuah panjang lebar yang berisi apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat di Konoha nanti, jangan lupa makan, mandi dan sebagainya. Dengan diakhiri pelukan hangat yang diberikan pada Sakura dan Hinata. Sesaat setelah mereka sampai di pelataran sekolah yang dipenuhi bus mini, mendadak Hinata berjalan cepat menuju bus mini dan duduk tepat di samping Tenten. Mengabaikan Sakura yang menatapnya bingung.

Biasanya Hinata selalu menempel padanya. Tapi sejak dua hari yang lalu, semuanya berubah. Tidak ada lagi adik yang manis, yang ada hanyalah sosok Otsutsuki Hinata yang asing bagi Sakura. Dia begitu merasa asing dengan adiknya yang sekarang. Dan tanpa Hinata sadari, dia telah menyakiti hati Sakura dengan sikap egoisnya.

Sakura melirik Hinata yang berjalan di belakang Tenten. Sedari tadi Sakura tidak pernah lepas mengawasi Hinata. Adiknya terlihat begitu muram. Dan demi apa pun, Sakura benci dengan raut wajah datar nan dingin yang Hinata pasang di wajahnya. Pandangan iris kelabunya terlihat kosong. Ingin rasanya Sakura merangkul Hinata dengan rangkulan hangatnya dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, Sakura meringis miris. Jangankan dirangkul, baru didekati saja Hinata sudah menghindar tegas seakan dia adalah hama yang patut dijauhi.

Menghela napas berat, Sakura menyandarkan kepalanya di pundak Ino dengan mata tertutup. Ino menatap khawatir sahabatnya, ingin bertanya namun dia cukup peka jika ini bukan waktu yang tepat untuk berbicara dari hati ke hati dengan sahabat merah mudanya ini. Sedikit banyak Ino mulai menyadari ada yang tidak beres dengan Otsutsuki bersaudara. Dan dia bersumpah akan mencari tahu apa yang telah terjadi.

Kelompok ANBU—nama konyol yang Menma usulkan menjadi nama kelompok tim desa Konoha itu pun kembali berjalan dengan seru menuju desa Konoha. Dengan diramaikan oleh canda tawa. Shizuka dan Hana masih bergosip tidak jelas, Shikamaru—sang ketua, berjalan paling depan dengan wajah malas sambil sesekali menguap, di belakang Ino dan Sakura serta Sasori yang berusaha mencuri kesempatan untuk mendekati Sakura yang nyatanya tidak mempan.

Gadis musim semi dengan topi rakun merah berbulu yang menghiasi kepalanya itu nyatanya masih asik bergelayut manja di pundak Ino. Mengabaikan Sasori yang memainkan rambut merah mudanya yang tergerai indah di balik topinya. Tenten yang masih asik dengan bola basketnya, dan Hinata yang berjalan paling belakang terlihat memandang punggung kakaknya dengan sendu namun sedetik kemudian tatapannya kembali kosong.

Setelah hampir 30 menit berjalan kaki dari terminal bus yang berjarak cukup jauh, kini sampailah mereka di sebuah desa yang kecil dengan tanaman kebun yang terhampar luas.

Sakura melepaskan tangannya yang sedari tadi bergelayut di tangan Ino, lalu dia melangkahkan kakinya lebih mendekat ke arah desa itu. Perlahan senyumnya merekah ruah, perasaan senang dan kagum bercampur menjadi satu. Dalam hidupnya, dia tidak pernah melihat desa seindah ini. Memejamkan matanya, dia menghirup udara dalam-dalam dengan perasaan puas.

"Ini menyenangkan," gumamnya pelan. Sakura tak sadar jika teman-temannya telah berjalan jauh memasuki desa.

"Hey, sampai kapan kau akan terus di sana? Ayo kita menuju rumah tuan Sarutobi salah satu penduduk di sini yang bersedia menampung kita." Kata Shikamaru membuyarkan khayalan indah Sakura.

Sakura terkekeh dan berlari kecil menghampiri Shikamaru, lalu dia merangkul pemuda itu sambil berjalan santai. "Santailah sedikit, Shika. Kau terlalu terburu-buru. Hari 'kan masih siang."

Shikamaru tersenyum malas sambil melingkarkan lengan kirinya di pinggang Sakura. "Itu 'kah alasan kau memutuskanku dulu, Sakura?"

"Oh, ayolah!" Sakura tertawa keras. "Bagaimana aku tidak langsung memutuskanmu saat kau dengan seenak jidatmu mengajakku kawin lari? Ya ampun." Sakura masih terkekeh geli saat Shikamaru mendelik malas.

Shikamaru menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. Lalu menghela napas panjang. "Sudahlah. Lupakan kejadian memalukan itu."

Sakura menoleh, menatap Shikamaru lembut. "Kau terlalu terburu-buru dalam segala hal. Kau terlalu takut apa yang kauinginkan diambil orang lain. Tanpa kausadari, sikapmu itu akan membuat apa yang kaumiliki pergi darimu dan semua itu akan membuatmu lupa jika semua yang ada di dunia ini telah diatur Tuhan. Kita sebagai manusia hanya bisa merencanakan, tapi tetap Tuhan 'lah yang mengatur apa yang terbaik untuk kita."

Shikamaru tertegun. Menghentikan langkahnya, lelaki ikat nanas itu melepaskan rangkulannya dari tubuh Sakura dan berdiri tegak tepat di depan mantan kekasihnya. Mengelus kedua telinga Sakura, Shikamaru tersenyum penuh kasih dan mengatakan sesuatu dengan nada lirih yang membuat Sakura tersenyum hangat. Shikamaru berbalik, berjalan mendahului Sakura yang masih asik tersenyum sendiri.

"Hey, ayo cepat! Kita sudah tertinggal jauh." Kata Shikamaru. Sakura berlari mengikuti Shikamaru dengan senyum lebarnya yang menawan.

"Itulah yang membuatku dulu jatuh cinta dan begitu menyayangimu. Kau spesial dengan apa adanya dirimu, Sakura. Asal kau tahu, aku akan selalu menyayangimu dan kau adalah mantan kekasih yang paling tidak merepotkan."



Akhirnya. Semua siswa-siswi itu mendesah lega. Mereka telah sampai di rumah yang terbuat dari kayu membentuk hurup U. Setelah disambut baik oleh para warga dan sang tuan rumah, mereka langsung berbondong-bondong menuju rumah yang akan menjadi tempat tinggal mereka selama tiga pekan. Rumah yang cukup luas dan nyaman. Kamar para lelaki berada di bangunan sebelah kanan dan untuk para perempuan di sebelah kiri di tengah-tengah tepat keluarga tuan Sarutobi.

Di tempat para perempuan. Mereka tengah beristirahat dengan berbagai posisi berbeda. Adalah Shizuka. Gadis itu terlihat sedang mengangkat tinggi-tinggi dan menggoyangkan ponsel pintarnya beberapa kali. Menekuk bibirnya sebal ia mendengus keras-keras. "Tidak ada sinyal?! Oh, yang benar saja!" Omelnya. Memelototi ponselnya yang tak bersalah.

"Apa? Yang benar?" sahut Hana. Segera mengeluarkan tabletnya dan detik berikutnya kedua gadis bak anak kembar itu ribut bak cacing kepanasan. Menjerit tidak karuan. Seperti ... bagaimana bisa aku tanpa signal selama tiga minggu. Atau ... Aku bisa gila. Dan ... bagaimana dengan sosmed milikku? Instagram. Facebook. Bbm. Twitter. Dan terus seperti itu sampai mereka berbaring di tempat tidur dan tertidur dengan sendirinya. Kelelahan.

Sementara Ino menatap ngeri sarang laba-laba yang berada di pojok ruangan. "Seharusnya aku tidak menyetujui ide gila ini. Tinggal di desa kumuh dan jorok." Gerutunya.

"Berhentilah menggerutu seperti itu tuan putri," Tenten duduk nyaman di bangku kayu ruangan itu sambil memainkan bola basketnya. Menatap Ino bosan. "Dasar manja." Ino mendelik sebal dan pergi keluar tanpa mengucapkan apa-apa. "Mau kemana kau princess?"

"Bukan urusanmu!" itulah kata terakhir sebelum Ino hilang di balik pintu.

Sakura yang duduk santai di samping Tenten hanya tersenyum geli melihat tingkah teman satu kelompoknya. Ia berharap mereka bisa akur selama berada di sini. Seakan ingat sesuatu, ia segera melirik ke sisi kanan ruangan itu. Hinata. Adiknya. Terlihat sedang membereskan baju-bajunya dan menatanya di lemari kayu besar. Sakura menatapnya muram. Ia juga sangat berharap semoga saja hubungannya dengan adiknya akan membaik.

"Hinata," panggilnya. Membuat Hinata yang sedang sibuk tertegun dan menoleh ke arah Sakura. Menatap kakaknya kaku. Sakura tersenyum lirih. "Istirahatlah. Biar aku yang membereskan pakaianmu. Sekalian milikku juga." Menatap kakaknya ragu sejenak, Hinata menghela napas dan tersenyum letih pada Sakura. Ia memang sangat lelah dan ingin segera istirahat. Mengangguk tanpa kata, Hinata segera merebahkan dirinya di tempat tidur. Membelakangi Sakura yang mulai membereskan barang mereka.

Sakura sejenak menatap pugung adiknya sendu, sesaat setelahnya ia kembali membereskan barangnya. Tenten yang ada di sana hanya menatap kedua kakak beradik itu tidak mengerti. Memilih tidak ingin ambil pusing, ia menyimpan bola basketnya dan mulai memainkan game di gadget miliknya.

Ya, hari pertama mereka habiskan untuk istirahat dan makan malam setelahnya. Berdiskusi untuk kegiatan hari esok dan setelah itu mereka kembali ke kamar masing-masing. Kembali terlelap menunggu hari esok.

.

oOo

.

[Tuan Uchiha, saya mohon maafkan saya. Jangan lakukan ini, saya hanya–]

"Harusnya kau berpikir dua kali sebelum menghina perusahaanku. Kini kau merasakan apa akibat dari perkataanmu. Aku akan tetap menarik semua sahamku dan jangan pernah menunjukkan batang hidungmu lagi."

[Tidak, Tuan ... Saya mohon–]

Menatap ponselnya datar tanpa emosi. Menggelikan. Sasuke tersenyum singkat sesaat setelah mengingat apa yang terjadi di pertemuan para kolega bisnisnya tadi. Apa katanya? Oprasional perusahaannya kurang efektif? Cih, jangan membuat dia tertawa. Hari buruk ke tujuh setelah hari di mana dia harus terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa gadis kecil Otsutsuki itu bukanlah Haruno. Wanitanya yang telah lama dirindukannya.

Uchiha Sasuke yang dingin dan datar berubah menjadi jahat dan kejam. Beringas. Jangan ingatkan Sasuke apa yang telah dilakukannya tadi di ruang meeting. Mendengar ada yang memandang perusahaannya rendah tidak segan lelaki beranak satu itu nyaris saja menghabisi orang itu, ya jika saja Uchiha Itachi tidak menghentikannya. Tanpa mengucapkan maaf atas apa yang dilakukannya, Sasuke pergi meninggalkan ruangan meeting. Seakan belum cukup puas, lelaki itu bahkan memutuskan tali kerjasamanya dengan orang itu.

Itachi menatap adiknya letih. Sedari tadi dia menatap dalam diam apa saja yang dilakukan Sasuke di depannya. Seakan sadar selalu diperhatikan, Sasuke tersenyum kecil tanpa arti. "Sampai kapan kau akan terus menatapku dengan tatapan aneh itu?" tanyanya tanpa mengalihkan tatapan tajamnya dari langit cerah di balik jendela ruang kantornya.

"Pergilah Sasuke. Kau perlu menenangkan hatimu," Itachi beranjak menghampiri Sasuke. Menatap pantulan dirinya di depan cermin jendela ruangan Sasuke. "Sial," tersenyum kecil mengingat apa yg terjadi seminggu yang lalu, Itachi menepuk bahu Sasuke agak keras. "Lihat apa yang sudah kaulakukan pada wajah tampan kakakmu ini."

Sementara Sasuke justru termenung. Kakaknya kembali mengingatkannya pada kejadian itu lagi. Mendadak bayangan Haruno Sakura terlihat jelas di benaknya. Menjadi alasan kuat dadanya kini kembali berdenyut menyakitkan. Kedua alisnya mengkerut dalam. Ini tidak baik, dia harus melakukan sesuatu. Sampai kapan dia akan seperti ini? Semua ini tidak akan berhenti jika dirinya tidak berusaha merelakan semuanya. Benar kata Itachi, dia perlu waktu untuk menenangkan diri. "Kak,"

Itachi yang sedari tadi ikut termenung segera menoleh. Menatap adiknya sedikit terkejut saat melihat kedua mata Sasuke begitu merah. Menatapnya penuh kesakitan. "Sasuke..."

"Sepertinya kau benar. Aku perlu waktu untuk sedikit menjauh dari semua ini," mengedipkan matanya yang perih, Sasuke tersenyum muram. "Aku titipkan semuanya padamu, Kak. Dan maaf untuk luka di wajahmu." Sasuke berjalan melewati tubuh Itachi dan bergumam sesuatu yang membuat Itachi tercengang.

Aku masih mengharapkannya kembali, Kak...


...


Cantik. Sangat cantik. Dia tersenyum begitu lembut. Matanya yang indah begitu meneduhkan. Andai saja Tuhan memeberikan sedikit lagi umur panjang padanya, bukan hanya dia tapi semua orang pasti akan bahagia. Dan tidak akan menyia-nyiakan hidupnya lagi. Akan 'kah ada kesempatan kedua? Entahlah. Toneri meragukannya. Selamanya Haruno Sakura tidak akan pernah kembali. Cukup disayangkan, padahal Toneri bisa membahagiakannya. Jika saja Tuhan mengijinkannya. Tetapi Tuhan berkehendak lain. Tuhan lebih menyayangi Haruno Sakura hingga Dia mengambilnya.

Menghela napas cukup berat, lelaki rupawan itu tersenyum sendu. "Aku merindukanmu, Sakura." Tangannya yang pucat mengelus foto besar Sakura yang terpajang di ruang tamu rumahnya.

"Dia mengingatkanku pada mendiang istriku."

Toneri tersentak kaget dan melihat ke samping. Sejurus kemudian dia tersenyum kecil. "Ya, dia sangat mirip dengannya bukan?"

Lelaki di sampingnya menatap Toneri tulus. "Jagalah dia, sampai waktunya tiba. Aku akan mengambilnya kembali dan akan aku bawa ke tempatku. Aku percaya kau bisa melindunginya dari orang itu."

Toneri menghela napas panjang. "Kau tahu? Jujur saja aku sedikit tidak rela, tapi ..." terkekeh kecil, Toneri menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal sama sekali. Kedua matanya menyipit dan tersenyum lembut. "Mau bagaimana lagi? Kau lebih berhak atas dirinya, 'kan?"

.

oOo

.

Tidak terasa sudah hampir seminggu mereka di sana. Membantu para warga desa memanen buah-buahan. Ikut membersihkan lingkungan. Mewawancarai kehidupan di desa. Dan masih banyak hal lain lagi. Hari ini mereka membantu warga desa mengurus perkebunan. Mereka semua mendapat masing-masing tugas. Contohnya Hinata, gadis itu mendapat bagian membawa pupuk dari gudang persediaan. Tidak terpikirkan olehnya pupuk itu akan seberat berat badannya sendiri. Dengan napas tidak beraturan, Hinata menjatuhkan karung pupuk dan dirinya pun ikut jatuh terduduk di pohon besar tidak jauh dari perkebunan.

"Butuh bantuan?" Suara berat sampingnya membuat Hinata kaget. Dan itu ... Sai.

"S-Sai?"

"Kau bawakan ini untukku ya?" Sai memberikan sebuah plastik hitam. Ragu-ragu Hinata hanya menatapnya, namun sejurus kemudian dia menerimanya. Ternyata plastik itu berisi biji-bijian. "Itu biji tanaman obat. Barusan aku membelinya di pasar. Mungkin akan berguna untuk warga di sini." Sai tersenyum. Dan mengangkat karung pupuk milik Hinata.

Kedua pipi Hinata mulai memerah. Ini pertama kalinya Sai bersikap baik padanya. Mungkin 'kah tulus? Tersenyum malu, Hinata yakin pasti Sai memang tulus membantunya. Sedikit bersyukur, belakangan ini Hinata perhatikan Sai tidak berbuat ulah dengan kakaknya. Justru Sai terlihat menghindari Sakura. Jahat 'kah dia jika dia senang melihat itu semua? Ya, karena sudah sejak lama Hinata mencintai Uchiha Sai. Terlepas dari fakta kalau bocah Uchiha itu benar-benar nakal. Hinata mencintai dia karena dia Sai. Bukan karena sikap baik atau buruknya.

"Jalanlah lebih dulu, biar aku mengikutimu di belakang." Ucapan Sai membuat Hinata tersenyum gugup dan mengangguk.

"Um, te-terima kasih Sai," katanya sambil berjalan pelan di depan Sai.

"Tidak masalah," Sai tersenyum aneh menatap punggung Hinata. "Otsutsuki Hinata," Sai memanggilnya. Dan membuat Hinata menoleh. Sapuan angin lembut menerpa helaian indigo Hinata yang mengkilap lembut terkena sinar terik matahari. Kedua pipinya merona. Sepasang mata bulan yang indah. Dan satu kata ... cantik. "Kau pacarku mulai sekarang ya."

Kau pacarku mulai sekarang ya.

Hinata membeku. Menatap Sai tidak percaya. Apakah dia salah dengar? Ya Tuhan. Sai menatapnya serius. Tidak ada senyuman anehnya. Yang ada tatapan meyakinkan. Mereka saling bertatapan dalam diam. Angin berhembus menerpa tubuh mereka. Perlahan tangan kanan Hinata meremas bajunya. "S-Sai ...,"

Sai melangkah mendekatinya. Hingga mereka berhadapan, Sai menjatuhkan karung pupuknya. Kedua tangannya merangkum pipi Hinata dan kejadian selanjutnya membuat Hinata menjatuhkan plastik yang digenggamnya. Sai ... menciumnya.


...


"Oh, ayolah ... dari sekian banyak anggota tim–"

"Hanya sepuluh orang, kalau kau lupa."

Menma memutar kedua matanya bosan, "ya, ya ... sepuluh anggota tim. Kenapa aku harus satu tugas denganmu? Otsutsuki Sakura," lelaki muda itu mengunyah permen karetnya bosan. Mengikuti langkah gadis berkuncir kuda di depannya kesal. "Mencari kayu bakar. Kan tidak seru. Kau ini hanya perempuan. Dan lemah. Kau akan menyusahkanku kalo terjadi apa-apa. Tidak seru, ah. Aku ingin memanjat tebing–"

"Berhentilah berceloteh, Anak manja. Bantu aku cari kayu yang kering." Sakura melempar batang kayu basah dan kembali berjalan mencari batang kayu yang kering.

Mendecih kesal dan mau tidak mau akhirnya dia ikut mencari kayu. Karena kesal dengan Sakura yang sok memerintah itu, Menma mengambil arah bertentangan dengan Sakura. "Aku akan mencarinya di sebelah sini." Dan hanya dijawab terserah kau saja., oleh Sakura. Jika saja ayahnya tidak mengancam akan mencabut semua fasilitas mewahnya, Menma tidak sudi ikut serta dalam bakti sosial ini. Apalagi sialnya dia mendapat tugas mencari kayu di hutan ini. Menghela napas kesal, Menma mendongak. Menatap langit yang mulai gelap.

Melihat petunjuk arah di depannya, Menma termenung. Sejurus kemudian dia menoleh ke belakang dan menyeringai sinis. "Rasakan kau Otsutsuki Sakura. Inilah hukuman karena sudah memerintah anak kepala sekolah." Menma segera berlari meninggalkan petunjuk arah yang telah dia rubah. Ini akan menyenangkan.

Baiklah, sepertinya sudah cukup. Sakura tersenyum senang. Akhirnya tugasnya selesai juga. Kayu bakar yang dia dapatkan sudah cukup banyak dan dia baru menyadari hari sudah mulai gelap. Ya, sepertinya dia harus bergegas kembali.

"Menma aku–" Sakura tertegun saat berbalik tidak ada siapa pun di belakangnya. Hanya hutan dan binatang kecil yang berterbangan. "Dimana anak itu? Dia meninggalkanku di sini?" memijat pelipisnya, Sakura mendadak merasa pening. "Ya ampun. Bagaimana aku bisa membawa kayu bakar ini?" setelah berpikir, akhirnya Sakura hanya mampu membawa sedikit kayu bakar di kedua tangannya. Berjalan agak cepat menuju pentunjuk arah, Sakura tersenyum dan berjalan ke arah kiri jalan. Dia merasa jalannya agak berbeda, namun dia mengabaikannya dan terus berjalan menyusuri jalan itu. Jalan yang cukup besar, mobil pun sepertinya bisa melewati jalan ini. Tetapi, aneh juga. Mengapa ada jalan sebesar itu di hutan? Setelah cukup lama Sakura terus berjalan, dirinya tertegun menatap ke depan.

"Ini ..."

"Wah, indah sekali. Aku tidak percaya Sasuke-kun punya villa seindah ini di tengah hutan," gadis itu berputar-putar memandang seluruh bangunan indah yang berdiri kokoh di tengah hutan. Lapangannya yang hijau begitu luas bak lapangan golf. "Indah sekali."

Sasuke tersenyum setengah dan memperhatikan kekasihnya yang sedang asik berlarian lincah itu dari jauh. Mengacak surai raven miliknya sesaat sebelum menghampiri kekasihnya dan memeluk tubuh gadis itu. "Kita akan menghabiskan banyak waktu di sini, Sakura."

Apa itu tadi? Mengapa bayangan-bayangan itu muncul lagi di benaknya? Dan mengapa dia juga merasa tidak asing dengan tempat ini. Sebuah villa indah di tengah hutan dengan halaman hijau yang luas bak lapangan golf. Kedua iris klorofilnya mulai berkaca. Setumpuk kayu bakar di kedua tangannya jatuh berhamburan ketika seseorang yang sedari tadi berdiri tidak jauh di depannya menoleh dan menatapnya dengan tatapan sendu. "Sakura..."

Entah apa yang terjadi. Yang Sakura ingat, bibirnya telah ditawan manis oleh mulut lelaki itu. Uchiha Sasuke.


...


Hari mulai gelap, namun mereka masih membantu warga memberikan pupuk pada tanaman. Hinata mengusap keringat di dahinya. Seharian ini Hinata tidak melihat kakaknya. Tumben sekali, biasanya Sakura selalu ada bersama mereka dan tidak jauh darinya. Sai juga entah kemana lelaki itu. Setelah mengklaimnya sebagai kekasihnya, lelaki itu menghilang. Mengabaikan semuanya untuk sesaat, Hinata fokus memberi tanaman-tanaman itu pupuk. Bersama yang lainnya. Hingga Sai tiba-tiba saja entah sejak kapan sudah berjongkok di depannya. Menatapnya. Menyentuh tangan Hinata yang berlumuran pupuk. Tentu saja membuat Hinata terkejut.

"Hinata, kau pasti lelah. Ini aku membawakan minuman untukmu." Sai memberikan sebotol minuman. Hinata terbengong, Sai yang menyadari tingkah Hinata lantas saja dia tersenyum kecil. "Ah, bagaimana bisa aku sebodoh ini? Tanganmu kotor," membuka tutup minumannya, Sai menatap Hinata. "Buka mulutmu." Dan Hinata hanya mampu menurut. Setelah merasa cukup, Sai meminum sisa minuman itu. Sontak saja membuat Hinata menyemburkan sisa minuman di mulutnya. Bukan 'kah itu ciuman tidak langsung? Ya ampun. Hinata jadi teringat ciuman pertamanya tadi dengan Sai.

Sai tertawa kecil. "Kau manis sekali, Hinata-chan." Mengelus rambut Hinata lembut.

Ino yang melihat kejadian itu segera menghampiri Sai dan menjitaknya. "Hey! Kau jangan berani menggoda Hinata, atau akan kuadukan kau pada Sakura!"

Sai berdiri sambil mengusap kepalanya. Menatap Ino penuh arti. "Apa yang kaubicarakan, Jelek? Aku tidak menggodanya, aku pacarnya."

Semua mata sontak tertuju pada Hinata. Ino menatap adik sahabatnya itu ragu. "Apa itu benar, Hinata?" Kedua pipi Hinata memerah. Menunduk dalam, gadis berkulit pucat itu menganggukan kepalanya malu-malu. Sontak saja Hana dan Shizuka yang sedari tadi diam memerhatikan mengangakan mulut mereka tidak percaya. Tenten menyaksikan dalam diam, cukup terkejut juga. Sementara Ino menatapnya tajam. Para lelaki yang lain memilih tidak mau ambil pusing.

"Yo! Teman-teman!" semua perhatian serentak berpindah menuju Uzumaki Menma yang berlari dan jatuh terduduk dengan napas terengah-engah. "S-Sakura... dia menghilang!"

Semua mata terbeliak menatap Menma terkejut. "APA?!"


...to be continue...


Author's note : Akhirnya bisa juga meneruskan cerita ini. Setelah sekian lama. Aku harap semuanya masih setia menunggu cerita ini. Dan memaklumiku yang selama ini menghilang. Percayalah, banyak yang terjadi di hidupku. Kuharap kalian memgerti. Dan bagaimana pun keadaanku selama ini, kalian harus tau. Serasa ada beban berat di kedua pudakku saat mengingat mungkin kalian selalu menanti kepulanganku ke rumah. Rumah penaku. Mungkin ga selamanya aku akan selalu ada. Tapi aku selalu berusaha melanjutkan semua tulisanku. Semoga kalian menikmatinya. Terima kasih teman...

Salam hangat,

UchiHaruno Misaki.