OUR FUTURE

All the characters belong to Kishimoto-san

Story by me

Warning

Adult content, ooc, typos

.

.


Karin melingkarkan lengannya dileher Sasuke, ia kemudian berbisik pelan, "Sakura ada dibelakangmu."

Sasuke membelalakkan matanya, pria berjubah itu mengibaskan lengan Karin dan buru-buru berbalik badan. Ternyata benar, Sakura entah sejak kapan sudah berdiri mematung disana. Matanya kemudian melirik Karin, ia tahu Karin sudah menyadari kehadiran Sakura sejak tadi.

"Kau tahu dia datang bukan?" ujar Sasuke.

Karin menggaruk kepalanya sambil terkekeh, "teehee—"

"Sasuke-kun!" pekik Sakura, pemuda itu kembali menoleh.

"Sa—" baru saja dirinya hendak menghampiri gadis dihadapannya, Sakura malah melemparkan cincin dan berlari pergi.

Sasuke memungut cincin pemberiannya, matanya kembali melirik kearah Karin dengan sinis. Dan baru saja ia mau berlari tiba-tiba Naruto datang dan membawanya pergi.

"Oi, dobe!" Sasuke mengibas-ngibaskan tangan yang ditarik Naruto. Sementara Naruto malah semakin erat menariknya. "Sekarang bukan saatnya!"

Naruto menoleh, dia mengernyitkan dahinya, "sudah tak ada waktu lagi! Kalau kau menundanya, kau tak akan mendapatkannya lagi!"

"Ck!"

.

.

.

Sakura menghentak-hentakkan kakinya. Ia baru saja ingin menangis kalau saja Sai tiba-tiba tidak datang atau lebih tepatnya berpapasan dengannya.

"Ohayou." Kata Sai.

"O—ohayou." Gumam gadis pink itu sembari bersungut-sungut.

"Hm? Apalagi yang terjadi?"

"Tidak ada apa-apa?" ujarnya kesal sambil melangkahkan kakinya melewati pemuda eboni yang sempat menghalanginya tadi.

Sai mengangkat sebelah alisnya bingung kemudian mensejajarkan langkahnya dengan teman setimnya itu, "kalian bertengkar?"

Bukannya menjawab, Sakura malah semakin menekuk wajahnya tak karuan. Sai mendengus geli melihat bentuk wajah Sakura, tangan besarnya lalu menarik lengan kurus gadis muda itu sebelum sebuah kalimat terlontar mereka menghilang.

"Jadi..." Sai melirik kearah Sakura yang sedang memeluk lututnya, tubuhnya bersandar pada pohon kokoh Konoha.

Sekarang mereka berada di tempat latihan, dimana tim 7 berlatih untuk pertama kalinya, dengan lonceng.

"Apa yang terjadi?" tanya Sai.

Sakura memajukan bibirnya, ia bahkan tak mau melihat kearah Sai. Pria tampan itu lalu mendekati Sakura dan duduk disebelahnya. Sai lalu merogoh sesuatu dari sakunya dan menunjukkannya pada Sakura. Gadis emerald itu mengerjapkan matanya saat Sai menunjukkan setangkai bunga dandelion.

"Kau tahu apa ini?" tanya Sai, mata kelamnya menatap lurus pada emerald di depannya.

Sakura mengangguk, "bunga dandelion."

"tiuplah." Ujar Sai sembari mendekatkan bunga itu.

"Eh?"

"Buat permintaan dan tiuplah."

Sakura menaikkan alisnya, ia masih tak mengerti apa yang dikatakan oleh pemuda didepannya. Lagipula apa yang bisa bunga rapuh ini lakukan?

"Tiuplah dan biarkan benih-benih dandelion ini terbang membawa keinginanmu." Ujar Sai, "kau tahu, meski bunga ini terlihat rapuh, tapi dia memiliki arti yang begitu besar."

Sakura memperhatikan raut wajah Sai, pemuda itu terlihat tersenyum tulus. Semua kata-katanya keluar terdengar begitu tenang.

"Dandelion tak pernah merasa dendam pada angin meski saat tertiup, benih-benih ini akan dengan mudah beterbangan meninggalkan tangkainya."

"Bukankah itu tak berarti apa-apa?"

Sai menggeleng, "kau tahu apa yang terjadi setelah angin meniupnya?"

Sakura menggeleng.

"Benih-benih itu terbang tak tentu arah, kesuatu tempat entah dimana. Dan ditempat itulah benih itu akan kembali tumbuh. Memberikan harapan baru." Kata Sai, "karena itulah, orang-orang percaya jika mereka menyebut permintaan dan meniup dandelion ini, permintaan akan terkabul. Karena setelah angin meniupnya, dandelion tak mati, mereka malah kembali tumbuh. Dan mereka percaya harapan-harapan mereka tetap hidup untuk suatu saat terwujud."

Sakura merasakan pipinya mulai memerah saat Sai tersenyum teramat manis padanya. Emeraldnya kemudian menoleh kearah dandelion digenggaman Sai. Perlahan tangan kurusnya meraih tangan Sai, mendekatkan bunga itu didepan bibirnya.

"Kau pikir, apa permintaanku akan terwujud?" tanya Sakura.

Sai tersenyum lalu mengatupkan tangannya pada tangan Sakura, "pasti."

Sakura menarik nafasnya, ia kembali melirik kearah Sai lalu menutup matanya. Perlahan ia meniup benih dandelion dihadapannya, mempercayakan segala keinginannya pada bunga putih itu.

Disisi lain Sai terperangah, saat Sakura meniup bunga tersebut, angin datang menerbangkan jauh benihnya, disaat itu pula angin meniup helaian pink gadis disampingnya, menyibaknya begitu manis.

"Lupakan tentang Sasuke dan menikahlah denganku."

.

.

.

Ino berlari pontang-panting, airmatanya terus saja meleleh meski berapa kali pun ia menyekanya. Semua orang yang mendekatinya tak ia gubris, yang ia inginkan saat ini hanyalah berlari dan terus berlari.

"Otou-san.." Ino terisak, dipandanginya batu nisan bertuliskan nama ayahnya.

Tangis Ino kembali memecah, ia memeluk nisan tempat peristirahatan terakhir otou-sannya. Untuk beberapa saat gadis itu mengerang dalam tangisannya, suaranya terdengar begitu serak dan sakit. Bukannya ia masih tidak rela ayahnya meninggal, bukan itu. Ada alasan lain yang membuat gadis pirang itu terus meringkuk memeluk nisan ayahnya.

"Apa aku begitu bodoh.. hiks.. hingga dia mempermainkanku..." ujar Ino entah pada siapa. Gadis itu lalu menatap cincin di jari manisnya. "kalau tidak cinta... kenapa melamarku..."

Ino rupanya mendengar setiap ucapan Sai, tak hanya itu. Sebenarnya gadis itu sudah membuntuti Sai sejak Sai keluar dari rumah. Awalnya dia hanya ingin mengejutkan pemuda tersebut, namun saat dia melihatnya menghilang bersama Sakura, ia merasa sedikit cemas. Ino diam-diam mencari mereka. Mendengar semua obrolan dan lamaran Sai pada Sakura. Sebenarnya saat itu Ino sangat ingin menampar Sai. Tapi ia kembali mengingat hari dimana Sai melamarnya. Saat itu dia terlihat begitu murung dan berjalan tak tentu arah. Dan jika diingat-ingat, pemuda itu juga bilang bahwa Sakura baru saja dilamar Sasuke. Mungkinkah sebenarnya sejak awal yang ia cintai adalah Sakura. Dan dirinya hanyalah sebuah pelarian saja.

Pipi yang belum mengering itu kembali basah, Ino menyesali betapa bodohnya dia. Namun tetap saja, itu tidak boleh. Sai tidak seharusnya melakukan semua ini padanya. Kini membayangkan hidup yang bahagia terasa begitu sesak dan menyakitkan. Bahkan lebih menyakitkan dari tusukan kunai. Ino menepuk-nepuk dadanya, ia pikir dengan begitu, rasa sakit dalam hatinya akan berpindah. Namun tidak, yang terjadi malah semakin keras ia menepuk dadanya ia terbatuk berulang kali. Ino kembali tertohok saat dia kembali menepuk-nepuk dadanya. Namun, ia tak ingin berhenti. Terus memukul semakin keras.

"Mendokusai."

Keluhan yang tak asing itu membuat Ino berhenti menyakiti dirinya. Ia perlahan menolehkan pandangannya, Shikamaru, teman satu timnya itu entah sejak kapan sudah berdiri disampingnya. Menatapnya dengan muka malas seperti yang selalu ia tampakkan. Lelaki berambut nanas itu menekuk kakinya dan mengatupkan kedua telapak tangannya. Untuk sesaat dia terdiam menutup matanya.

Sementara Ino perlahan mengusap air mata, sesekali ia masih terdengar terisak. Namun ia tak mau Shikamaru tahu semuanya.

"Kau pikir apa yang kau lakukan? Menyakiti dirimu sendiri didepan makam ayahmu?" Shikamaru perlahan membuka matanya. "Kau pikir ayahmu akan senang kau berbuat seperti itu?"

Ino terbelalak, gadis itu lalu menunduk. Ia kembali mengulang masa lalu saat ayahnya masih hidup. Sudah sangat lama sekali, saat dia masih kecil. Untuk pertama kalinya ia belajar tentang bunga. Saat itu, ia tak sengaja memegang bunga berduri dan menyebabkan tangannya berdarah. Ia ingat bagaimana ayahnya kaget dan segera menjatuhkan pot yang dia bawa, menghampiri putrinya yang sedang menangis dengan tangan berlumur darah. Saat itu ia ingat jelas, ayahnya terlihat begitu panik. Dan perkataannya tiba-tiba muncul.

Kelak, saat ayah sudah tidak ada. Kau harus melindungi dirimu sendiri. Ayah sayang padamu, ayah tidak mau kau terluka.

Ino kini merasa sangat menyesal. Ia tidak bisa menjaga janjinya, terlebih lagi seharusnya ia mengirimi ayahnya dengan untaian doa, namun yang ia lakukan malah menyakiti dirinya.

"Jika kau ada masalah, selesaikan." Ujar Shikamaru.

Belum sempat mengucapkan sesuatu, Shikamaru sudah menghilang dibalik kepulan asap.

.

.

.

"Apa ada yang mengganggumu, Sasuke?" ujar lelaki berambut perak yang sedang duduk di kursi kebesarannya.

Sasuke hanya melirik, "bisakah kita tunda? Aku ada sesuatu yang harus aku selesaikan."

"HAAA? Apa maksudmu, teme?" Naruto yang berdiri disampingnya terkaget. "Ini kesempatanmu!"

"Ck! Kau tak mengerti! Ini benar-benar gawat!" geram Sasuke.

"Kau tahu apa jadinya jika kau melewatkan ini?" ujar Kakashi.

"Ck!"

Tok! Tok!

"Masuk."

"Sasuke Uchiha?"

"Ya! Dia disini!" Naruto mendorong Sasuke yang terlihat sedang sangat dalam keadaan buruk itu.

"Ikutlah dengan saya. Semuanya sudah siap."

Sasuke sejenak diam, ia benar-benar tidak bisa tenang saat ini. Namun bagaimana pun juga, si Uchiha itu tetap mengikutinya pergi meninggalkan ruangan hokage.

Kakashi menghela nafasnya dan mengambil map-map untuk ia periksa. Namun ia batalkan karena Naruto masih berdiri di ruangannya.

"Apa yang kau lakukan disini?"

"Yah..." Naruto menggaruk rambut kuningnya.

"Pergilah."

"EEEEEEHHH?" Naruto sedikit sakit hati mendengar Kakashi mengusirnya, "kenapa?"

"Kau tidak lihat aku sedang sibuk? Lagipula seharusnya kau berkencan dengan Hinata membicarakan tentang pernikahan kalian."

"Yaaahh... Sebenarnya keluarga mereka tak mengijinkanku bertemu dengan Hinata-chan sampai hari pernikahan ." Naruto kembali menggaruk kepalanya sambil tersenyum kecut, " Jadi bolehkah aku tinggal disini membantumu?"

"Tidak."

"HEEEEEEEE?"

.

.

.

Seminggu kemudian.

"Nenek." Naruto berlari dilorong rumah Sakit, menghampiri cucu dari hokage pertama yang sedang berjalan dengan jubah putihnya.

"Naruto? Ada apa?"

"Jadi, kapan dia akan bisa keluar dari sini?"

"Yah, jika dilihat-lihat, paling lama satu bulan dia harus berada disini."

"Apa kau bercanda? Sebulan lagi aku menikah, kau tidak lupa kan?"

"Salahmu sendiri kan? Aku sudah memintamu membawanya jauh-jauh hari. Tapi kau terlalu repot mengeluh karena tidak bertemu dengan Hinata."

Naruto memajukan bibirnya sebal, "lalu bagaimana keadaannya sekarang?"

"Dia masih belum sadar, tapi itu wajar, kau tak perlu khawatir."

"Lalu bagaimana dengan Sakura-chan? Dia tidak akan kemari kan?"

"Ya, aku sudah melarangnya kemari."

.

.

.

Satu bulan kemudian berlalu. Hari ini tepat hari dimana Naruto akan menikah. Sakura mematung didepan cermin, ia tidak tahu bagaimana hubungannya dengan Sasuke sekarang, terlebih sampai saat ini Sasuke tidak menemuinya, disisi lain ia memikirkan tentang perkataan Sai sebulan yang lalu. Ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi pemuda itu nanti.

Tok! Tok!

"Sakura?"

"Hai? Ada apa okaa-san?"

"Ino menjemputmu."

"Ino?"

Benar juga, tiba-tiba perasaan bersalah langsung menusuk hatinya. Sebagai sahabat ia merasa tak berguna. Sakura menghela nafas panjang dan keluar kamarnya.

"Ino? Kenapa kau tidak bilang mau menjemputku? Lagipula seharusnya kau mengirimiku pesan, biar aku yang menjemputmu saja. Kalau begini kan kau harus berjalan memutar."

"Kau kenapa Sakura? Kau terlihat kebingungan." Ujar Ino.

"Ah, a—aku tidak apa-apa kok. Aku hanya merasa senang Naruto hari ini menikah."

"Aku juga tidak sabar bagaimana pernikahanku dengan Sai-kun nanti." Ujar Ino, wajahnya tak berekspresi, "ah, atau mungkin itu tak akan pernah terjadi."

Untuk sesaat Sakura tertohok, ia merasa Ino sedang menyindirnya. Namun tiba-tiba Ino tertawa dan menepuk bahunya.

"Kenapa wajahmu seperti itu, Sakura? Aku bercanda tahu." Kata Ino, "Lihat, aku masih memakai cincinnya."

"O—oh.. Hahaha, gomen aku hanya merasa kaget. Kau terlihat sangat serius tadi."

"Bagaimana jika itu benar-benar terjadi?" gumam Ino.

.

.

.

Beralih kekediaman Hyuga, semua penduduk desa khususnya para shinobi berkumpul bersama di halaman luas yang sudah dihiasi beberapa ornamen tradisional. Beberapa orang sedang sibuk mencicipi masakan yang dihidangkan dalam porsi yang begitu besar. Beberapa orang lainnya sibuk berfoto dengan pengantin yang sudah selesai dengan upacara pengesahannya. Termasuk Sakura, Ino, dan Tenten yang berfoto dengan Hinata. Disisi lain, Naruto sedang menemani teman-teman seperjuangannya.

"Aku ambil minum dulu ya." Ujar Ino.

"Mau aku temani?" tanya Sakura.

"Tidak perlu, aku akan segera kembali."

Ino mendekati meja tempat semua orang mengambil minum. Disana tersaji segala jenis minuman, mulai dari yang beralkohol sampai yang non alkohol. Ino meraih segelas sake, namun tangan besar menghalanginya.

"Jangan minum itu." Ujar Sai.

Ino terdiam, ia sebenarnya masih sakit hati dengan apa yang sudah Sai lakukan. Tapi disisi lain, ia masih menginginkan pemuda itu.

"Apa pedulimu?" Ino menyahut tangannya hingga sake didalam gelasnya sedikit tumpah.

"Karena kau calon istriku, aku peduli padamu."

"Oh, lalu bagaimana jika Sakura juga mengambil sake?" Ino menoleh, mata aquamarinenya menatap bulatan hitam milik Sai, "apa kau juga akan mencegahnya?"

"Tentu saja."

"Kenapa? Apa karena kau suka padanya?"

Untuk sesaat Sai terdiam, hanya terdengar suara –suara tamu undangan lain diantara mereka. Dijauh sana, Sakura menatap cemas, ia tak ingin hubungan sahabatnya berakhir karena dirinya.

"Kenapa kau tidak menjawab?" kata Ino, "apa aku benar?"

"Kenapa kau begitu aneh hari ini?"

"Aku aneh?" Ino terkekeh. "harusnya aku yang berkata seperti itu. Kenapa kau melamar seseorang yang tidak pernah kau cintai?"

Sai diam tak bergeming saat gadis didepannya mulai menitikkan air mata dan terisak, perlahan ia meraih tangan Ino, namun gadis itu menepisnya dan berlari pergi.

Ino berlari sembarang, menubruki para tamu undangan sampai keujung rumah Hyuga. Ino masih menggenggam gelas sakenya, saat ia melangkahkan kakinya kembali ia menabrak seseorang dan membasahi baju orang itu dengan sakenya.

"Arrgg! Apa yang kau lakukan?!" laki-laki yang terlihat sedang mabuk itu segera menarik kasar lengan Ino, mengangkatnya tingi-tinggi.

Teman-teman lelaki yang juga sedang mabuk ikut mendekat. Mereka yang semuanya bertotal 5orang itu mengitari Ino.

"Apa yang terjadi?" tanya salah satunya.

"Dia mengotori bajuku!"

"A—aku minta maaf."

"Hm. Dia lumayan manis, bagaimana jika kita bersenang-senang sebentar dengannya?"

Sai berlari kesana kemari mencari Ino. Sudah dari ujung sana sini dia mencari namun, gadis pirang itu belum terlihat.

"KYAAAAHHH!"

Sai berhenti, ia mengenali suara tadi, tak perlu menunggu lama pemuda itu berlari dan menemukan Ino terlihat tak berdaya saat empat orang pria mabuk tadi mengunci kaki dan tangannya. Salah satu orang itu menyibak rok Ino, namun belum sempat menyentuhnya, Sai melayangkan tendangannya, membuat orang tadi tersungkur.

"Ceh! Apa yang kau lakukan, dasar bocah bajingan!"

Sai tersenyum, "dia calon istriku. Jangan seenaknya memegangnya, apalagi dengan tangan kotor kalian."

Ke empat lelaki tadi melepaskan cengkramannya dan menyerang Sai berbarengan. Tentu saja, menghadapi orang mabuk itu tak perlu tenaga besar bagi Sai.

Sai mendekati Ino yang sedang meringkuk ketakutan, ia terlihat gemetar. Bahkan saat Sai menyentuh bahunya Ino histeris dan menepisnya. Sai tertegun, gadis yang selama ini selalu ceria kini terlihat begitu rapuh. Perlahan sesuatu yang aneh ia rasakan. Sai menarik tubuh Ino pelan dan memeluknya, terasa sedikit tubuh gadis itu tersentak saat Sai membawanya kedalam pelukan yang semakin lama-semakin mengerat. Ino menahan nafasnya, sedikit saja ia menggerakkan badannya, Sai semakin memeluknya erat.

"S—sai-kun...?"

"Mulai saat ini, aku akan selalu melindungimu, Ino."

"Ke—kenapa? Kenapa kau jahat begini padaku?" isak Ino, ia meronta namun kekuatannya tak cukup untuk membuat Sai melepaskan pelukannya.

Ino terus mengocehkan kekecewaannya, perlahan Sai melepaskan pelukannya dan menatap wajah Ino yang masih tidak berhenti mengoceh. Namun hal ini malah membuat Sai mendengus. Sai membelai kedua pipi Ino dan mendekatkan wajahnya, tak lama bibir mereka saling bersentuhan.

Mata Ino terbelalak lebar, tepat didepan matanya mata Sai menutup.

"Aku mencintaimu."

Belum sempat mengatakan sepatah kata pun, Sai kembali melumat bibir Ino, kembali mendekapnya dengan hangat.

.

.

.

"Ino! Sai!" Sakura berlari panik sambil mendekati kedua sahabatnya itu, "kalian dari mana saja. Aku cemas dari tadi."

"Ada sesuatu tadi. Tapi sekarang sudah selesai." Kata Sai.

"Benarkah itu?" Sakura bernafas lega, namun ia segera terkejut melihat ekspresi wajah Ino. "kau habis menangis? Kenapa?"

Ino tersenyum simpul, ia melirik kearah Sai.

"Hmm? Tak akan kami beritahu." Ujar Sai iseng, tangan besarnya lalu meraih tangan Ino dan menariknya pergi.

"Aaaah! Dasar kalian berdua." Rengek Sakura, namun gadis itu entah mengapa segera tersenyum lega.

Sesaat setelah itu Sakura ikut berlari berkumpul dengan sahabatnya.

"Ayo berkumpul, saatnya kita berfoto bersama dengan pengantin untuk penutupannya."

Para guru dan teman shinobi berkumpul dengan Naruto dan Hinata berada ditengahnya. Sai melirik kearah Ino lalu menggenggam tangannya.

"Sudah siap semuanya? Aku hitung mundur ya. 3 2 1!"

CKREK

.

.

.

"Oi, Sakura-chan? Kau baik-baik saja?" Naruto mendekati gadis pink yang sedang dalam pengaruh alkohol itu hati-hati. Sudah larut malam begini dan Sakura masih tidak mau diantar pulang.

"Biarkan saja Sakura-chan menginap semalam disini, besok bisa kau antar pulang." Ujar Hinata.

"Aku sih tidak apa-apa, tapi.."

Sakura meraih segelas sake dan berniat meminumnya kembali, namun Naruto segera menyahutnya.

"Apa yang kau lakukan haaa?" rengek Sakura, dia berusaha merebut sake ditangan Naruto. "Kembalikan... Naruuuuu."

Naruto menepuk dahinya, disampingnya Sakura sedang melompat terhuyung-huyung mencoba meraih gelas yang ia tangkat tinggi-tinggi.

"Sakura-chan.." Hinata yang mulai cemas meraih tubuh Sakura dan memeluknya. Lavender itu melirik kearah Naruto, ia tahu saat ini gadis itu sangat merindukan Sasuke. Apalagi sudah sebulan ini mereka tak saling bertemu.

"Aku siapkan kamarnya dulu kalau begitu, tenangkan dia." Kata Naruto disusul anggukan dari istrinya.

"Tidak perlu."

Suara khas itu mengintrupsi, membuat Naruto dan Hinata menoleh berbarengan.

"Sa—sasuke?"

"Sasuke-san?"

"Sasuke-?" gumam Sakura, gadis itu perlahan membuka matanya. Dalam pandangannya yang kabur ia mencoba memperjelas bayangan laki-laki yang sedang berdiri disana. "Sasuke—kun?"

Sakura melepaskan pelukan Hinata dan berjalan terhuyung-huyung mendekati Sasuke dengan wajah marahnya. Baru setengah jalan, karena begitu mabuk Sakura tersandung kakinya sendiri, Sasuke melangkahkan kakinya cepat dan menangkap tubuh kekasihnya itu.

"Jangan.. hik.. sentuh aku.." rengek Sakura sambil memukul sembarang tubuh Sasuke. "Kenapa.. hik.. kau disini hmm?"

Sasuke diam, sedangkan sakura terus meronta dalam dekapannya.

Rengekan sebal itu berubah menjadi isakan, Sakura terus memukuli Sasuke yang masih tak bergeming.

"Kau... hiks.. menyebalkan.. hiks." Isaknya, "aku merindukanmu.. hiks.. bodoh."

Semua orang tersenyum, tak terkecuali Sasuke.

"Hai.. hai." Ujar sang Uchiha sembari membenarkan tubuh Sakura yang semakin melorot turun. "gomen."

"Mau mampir sebentar, Sasuke-san?" ujar Hinata.

Sasuke melirik Sakura yang masih terus mengocehkan dirinya. Ia lalu menoleh kearah Naruto.

"Tunggulah disini sampai dia tertidur. Kau tidak mau dia mengoceh terus kan?" ujar Naruto.

"Baiklah. Maaf mengganggu malam-malam begini." Kata Sasuke sambil membungkukkan badannya.

"Jangan berkata begitu kau, teme. Aku malah yang merasa tak enak karena kau terlalu formal."

"Aku siapkan tehnya dulu." Kata Hinata.

"Nah, duduklah, teme."

Sasuke mengangkat tubuh Sakura dan meletakkannya pada sofa, namun Sakura tak mau begitu saja melepaskan pegangannya pada tubuh Sasuke. Pemuda itu mau tidak mau menuruti kekasihnya, hingga akhirnya Sakura tertidur di pangkuannya.

"Sakura-chan terlihat sangat merindukanmu. Ne, Naruto-kun?" kata Hinata.

Naruto mengangguk mengiyakan perkataan istrinya, "meski dia tidak pernah mengatakan apapun soal dirimu, dari raut wajahnya aku tahu dia sangat ingin bertemu denganmu."

Sasuke kembali menatap wajah tidur Sakura, sebenarnya, dirinya pun sudah sangat merindukannya. Maka dari itu dia disini sekarang.

"Ngomong-ngomong, selamat atas pernikahan kalian."

"Arigatou.."

"Terima kasih, teme. Ku kira kau tak akan datang. Lalu bagaimana dengan tanganmu?"

Sasuke menatap lengan kirinya yang masih dalam balutan perban. "tak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku memang belum terbiasa."

Ketiga orang itu kembali mengobrol hingga tengah malam dan akhirnya Sasuke memutuskan untuk pamit. Pemuda itu menggendong Sakura dipunggungnya, menyusuri jalanan setapak yang sudah sepi.

.

.

.

"Nngggh-" Sakura menggeliat, berguling-guling pada kasurnya seperti yang ia selalu lakukan.

Guling sana guling sini.

Grep

"Berhentilah bergerak dan kembali lah tidur." Gumam seseorang yang sangat ia kenal suaranya. Apalagi seseorang itu sedang memeluknya.

Entah mengapa, Sakura merasa sangat deg-degan dan gemetar. Ia perlahan membuka matanya.

"Sasuke—kun?" desisnya.

Seseorang yang telah lama tidak ia temui, sekarang sedang menatapnya datar.

"Ada apa?" ujar pemuda itu.

"Sasuke—kun? Ini kau-?"

"Memangnya siapa lagi, hm?"

"Sa—" Sakura menghentikan ucapannya, "lepaskan aku."

"Hn?"

"Aku marah padamu!"

"Hn?" Sasuke mengerutkan keningnya.

"Aku bilang aku marah padamu!" kata Sakura melepaskan dekapan Sasuke.

Sakura buru-buru bangkit dari tidurnya dan menatap dengan ekspresi kesal.

"Kenapa kau ada disini? Seharusnya kau bersama Karin. Mengurusnya yang sedang mengandung anakmu."

"Ha?"

"Kenapa? Kau tak perlu mengelak! Aku dengar semuanya!"

"Kau bicara apa?"

"Aku tahu semuanya! Dan kotak kecil waktu itu adalah cincin yang kau berikan kan?"

"Kotak? Cincin?" gumam Sasuke.

"Dan.. dan saat itu kau berciuman dengannya kan?!" teriak Sakura disusul amukannya dengan memukuli badan Sasuke. "dan selama ini kau tinggal dengannya kan?!"

"Ck. Berhentilah dan dengarkan aku."

Bukannya menuruti perkataan Sasuke untuk berhenti memukulinya, Sakura malah semakin cepat menyerang pemuda yang sedari tadi mati-matian melindungi dirinya. Hingga akhirnya dia berhasil memegang kedua tangan Sakura, membantingnya ke kasur dan menindihnya.

"A—apa yang kau lakukan?"

"Hn?"

Sakura merasa panik, apalagi kedua tangan Sasuke mengunci lengannya. Tunggu. Sakura menoleh kesana kemari dengan cepat, lalu menatap kearah pemuda diatasnya.

"Sasuke-kun, tanganmu?"

"Kau baru sadar?"

"Sejak kapan kau—"

"Sebulan ini, aku berada dirumah sakit."

"Kenapa kau tidak memberitahu aku?"

"Tak ada waktu. Jika terlambat, aku tidak akan pernah mendapatkannya lagi."

"Go—gomen."

"Hn?"

Sasuke tanpa basa basi langsung menyambar bibir Sakura saat gadis itu terlihat ingin menangis, melumatnya dengan lembut.

"Aitakatta—" desis Sasuke disela ciumannya, ia lalu mengalungkan lengan Sakura pada lehernya.

Sementara ia mengambil sesuatu dan mengalungkannya pada leher gadis itu tanpa sepengetahuannya.

"Sudah ku pasang." Kata Sasuke, pemuda itu lalu menyingkir dan membantu kekasihnya untuk bangun.

"Apa?"

"Kalung."

"Kalung?" Sakura menunduk, menatap kalung bersimbol Uchiha yang entah sejak kapan sudah bertengger disana. "Ini?"

"Aku yang membuatnya. Saat itu, yang berada didalam kotak adalah kalung itu."

"Lalu apa maksudnya saat dia bilang kau membuatnya begadang selama 2 tahun ini?"

"Ck. Dia hanya melebih-lebihkan. Aku menyuruhnya untuk mencari kotak tempat menaruh kalung ini, aku bilang kalau aku mau yang tidak terlalu mencolok. Tapi dia selalu ngotot memberiku warna yang mencolok."

"Lalu perbincangan tentang anak itu?"

"Hn?" Sasuke mengangkat sebelah alisnya, "oh, dia tahu kita akan menikah. Dan malah dia yang terlihat semangat menanyakan tentang bayi."

"Souka.." ujar Sakura, "ta—tapi cincinnya."

"Berikan tangan kananmu."

"Eh?"

"Berikan saja."

Sakura menjulurkan tangan kanannya, sementara Sasuke kembali merogoh isi kantongnya, mengambil sebuah cincin dan memasangnya pada jari manis Sakura.

"Sekali lagi, mau kah kau menikah denganku?"

"Kau ini menyebalkan." Ujar Sakura disusul kekehan dari Sasuke.

"Aishiteru, Sasuke-kun."

Sasuke tersenyum, seberapa banyak pun Sakura mengucapkannya, baginya itu masih belum cukup. Ia ingin selalu dan selamanya Sakura mengucapkan kata itu padanya.

"Aishiteru mo." Balas Sasuke disusul pelukan tiba-tiba dari kekasihnya. "mau membantuku sesuatu?"

"Apapun itu."

.

.

.

"Sa—ngghhh~ hentikan..."

"Hn? Kau bilang tadi mau membantuku."

"Ka—kau tidak bilang~ seperti ini..."

"Kau tahu, aku sebenarnya belum boleh keluar dari rumah sakit. Aku butuh sesuatu untuk melenturkan tangan baruku."

Sakura menggigit bibir bawahnya, tubuhnya sudah tidak terkontrol. Kedua tangan Sasuke sudah sedari tadi memainkan kedua payudaranya.

"Lalu~ nhhh~ kenapa—kau menggunakan.. kedua tanganmu—"

"Hn?"

Sasuke terus meremas lembut payudara Sakura yang masih terbungkus dress mininya, bibirnya perlahan mengecup ngecup leher jenjang Sakura, membuat gadis itu merinding. Sasuke lalu menggigit resleting dress Sakura dan menariknya turun.

"Sa—"

Belum sempat protes, Sakura kembali melenguh panjang saat Sasuke mengatupkan kembali tangannya dan memintir-mintir putingnya. Punggungnya semakin erat menempel pada dada Sasuke, kakinya pun tak henti hentinya bergerak, membuat sprei kamarnya berantakan.

Sasuke berhenti sejenak dan membaringkan tubuh Sakura, gadis itu masih terlihat terengah-engah akibat perbuatannya. Namun itu belum cukup, Sasuke kembali mencumbu bibir Sakura, kali ini terasa kasar, apalagi saat merasakan balasan dari Sakura, pemuda itu semakin brutal menciumnya seolah bilang 'aku tak akan pernah kalah'.

Sakura kembali melenguh saat Sasuke memainkan payudara kanannya, tubuhnya menggeliat kesana kemari, apalagi saat Sasuke mengecup-ngecup dadanya, desahan yang tertahan itu kini bebas keluar memenuhi ruangan yang tak terlalu besar miliknya, lebih-lebih saat Sasuke mulai menjilat dan menggigiti putingnya Sakura sempat memekik keras.

Kedua tangan besar itu terus meremas remas payudara Sakura, menjilatinya bergantian, menggigitinya dan menyedotnya. Ia melakukan itu terus menerus. Sakura sudah semakin tak berdaya, udara panas bahkan sudah memenuhi kamar tersebut, hal ini memaksa Sasuke menanggalkan kaos dan celananya, meninggalkan boxer yang sudah terasa sempit. Sementara itu, dia perlahan menarik lepas dress Sakura dan melemparnya sembarang. Ia sedikit tertegun melihat tubuh Sakura, pandangannya lalu berpusat pada pangkal pahanya yang sudah terlihat basah. Sasuke perlahan mendekatkan jarinya dan menyentuh sesuatu yang masih terbungkus celana dalam itu, dan yang terjadi Sakura mengerang begitu erotis, bahkan kakinya tanpa ia sadari terbuka lebar.

Sasuke tersenyum simpul, ia kembali mengulanginya, dan mendapat respon yang sama. Sasuke perlahan menarik celana dalam Sakura, dapat terlihat saat celana dalam itu meninggalkan tempatnya, lendir yang sudah begitu banyak terlihat seperti benang yang menempel. Pemuda itu kali ini mendekatkan wajahnya, ia menghirup aroma khasnya sebelum akhirnya menjilatinya perlahan.

"Ngghh~ ahh~ ssshhh~~"

Lagi-dan lagi Sakura menggelinjang tak karuan, namun Sasuke masih cukup kuat menahan pinggul itu untuk tak bergerak saat dirinya sedang menikmatinya. Sasuke terus menjilatinya dari bawah keatas, dari lubang sempit menuju klitoris yang semakin menegang. Entah sejak kapan lidah Sasuke begitu lincah, dia menggerakkan lidahnya begitu cepat pada klitoris Sakura. Lidahnya kembali turun dan dia paksakan memasuki lubang yang sudah mengeluarkan lendir begitu banyak. Menikmati daging yang sedari tadi berkedut-kedut, menjepit lidahnya saat ia mencoba menariknya keluar.

"Ahh~ sasuke—kun~ ngghh~"

Bunyi kecipak yang terdengar sedari tadi bertambah cepat, Sasuke pun merasakan kejantanannya sudah diambang batas. Ia harus segera mengeluarkannya, kalau tidak mungkin bisa meledak. Sasuke dengan cepat melepas boxernya, menampakkan kejantanan yang sudah berdiri tegak dengan urat-uratnya yang menonjol. Dan juga, sesuatu yang kental terlihat keluar dari lubang kecil miliknya.

"Sakura.." gumam Sasuke.

Gadis yang masih terbuai itu perlahan membuka matanya, ia sempat terkejut saat melihat Sasuke telanjang bulat dengan kejantanan yang menegak. Pemuda itu perlahan menarik tangan Sakura dan menyentuhkannya pada kejantanan miliknya, Sakura gemetar, ia bahkan tidak berani melihat kejantanan Sasuke di tangannya.

"Sssshhh~"

Namun rasa penasaran mengalahkan gadis itu, beberapa kali ia mendengar erangan pelan Sasuke, ia perlahan menoleh, menatap Sasuke yang sedang memejamkan matanya, sementara tangannya memegang tangannya untuk terus bergerak. Entah kenapa ekspresi dan erangan Sasuke membuatnya sangat terangsang. Tangan Sakura menggenggam kejantanan Sasuke dan menggerakkannya sedikit cepat, begitu keras dan panas, sperma Sasuke perlahan meleleh ke tangan Sakura, namun itu semua tak masalah, gadis itu semakin cepat mengocok kejantanan Sasuke, alhasil pemuda itu limbung berbaring di kasur, kedua tangannya sibuk mengacak rambut hitamnya sendiri, ia masih terus berusaha menahan sesuatu sedari tadi.

"Sssakurraa—hahh—hahh—"

Gadis pink itu akhirnya memberanikan diri mendekatkan kepalanya, ia menjulurkan lidahnya dan menjilati ujung kejantanan Sasuke, sementara matanya mengawasi bagaimana reaksi pemuda itu.

"Aaaahhhh~~~~"

Sedikit agak terkejut saat Sasuke mengerang begitu jelas. Sakura kembali mengulanginya, kali ini ia memutarkan lidahnya diujung kejantanan kekasihnya, dan reaksinya begitu mengejutkan. Kali ini ia memberanikan diri untuk menghisap lubang kecil diujung kejantanan Sasuke, dan tubuh pria itu bergetar hebat. Sakura mulai senang mempermainkan Sasuke, ia kembali menghisap lubang kecil tadi dibarengi dengan kocokan yang cepat. Sementara itu Sakura mulai terangsang, ia lalu menduduki kaki Sasuke dan mulai menggesek-gesekkan kemaluannya perlahan.

Sasuke mengumpulkan tenaganya dan bangkit, ia menatap Sakura yang sedang menghisapi kejantananya bak menjilati lolipop. Pinggulnya bergerak maju mundur, ia dapat merasakan lendirnya meleleh membasahi kakinya. Pemuda itu lalu menarik Sakura dan kembali mencium bibirnya, perlahan menuntunnya untuk berbaring.

"Boleh aku melakukannya?" desis Sasuke.

Sakura diam, dia terlihat ragu untuk menjawabnya.

"Boleh?" rajuk Sasuke, kali ini tangannya mulai menggesek gesek vaginanya.

"Ngghh~"

"Boleh?" tanya Sasuke lagi, Sakura mengangguk pelan.

Sasuke tersenyum dan segera memposisikan dirinya, kejantanannya ia arahkan kelubang Sakura. Gadis itu menahan nafasnya, ia menatap takut, namun Sasuke dengan cepat menenangkannya.

"Kalau sakit bilang padaku."

Sakura mengangguk, ia memejamkan matanya saat benda besar itu menerobos masuk miliknya. Sakura memekik saat ujung kejantanan Sasuke berhasil menerobos. Pemuda itu menghela nafas lalu kembali menekankan kejantanannya, kali ini Sakura terlihat kesakitan, Sasuke lantas kembali mencium bibirnya agar tenang.

"Sedikit lagi.." ujar Sasuke.

Ia kembali memaksa kejantanannya untuk masuk lebih dalam. Terus ia paksakan meski Sakura sudah bilang 'sakit, sasuke-kun'. Pemuda itu kembali mengambil nafas panjang, dan sekali hentakan kejantanannya tertanam sempurna.

"Sa—sakit—" gumam Sakura, namun Sasuke terus menghentakan pinggulnya maju mundur semakin cepat, gumaman Sakura tak bisa membuatnya berhenti.

Sepuluh menit berlalu kesakitan Sakura berubah menjadi erangan kenikmatan. Sementara itu Sasuke semakin cepat dan kuat menggerakkan pinggulnya. Deritan dari tempat tidurnya tak ia hiraukan. Ia lalu menarik Sakura untuk duduk. Kedua mulut itu kembali beradu, Sasuke masih terus menusukkan kejantanannya, sementara Sakura bergerak naik turun mengimbangi Sasuke.

"Ahh~ hahh~ haahh~ngghhh~"

Sasuke perlahan berbaring di kasur, membiarkan Sakura 'mengendarai' kejantanannya.

"i—ni—hahh—begitu dalam—ngghhh~~"

Sakura terus bergerak naik turun semakin cepat, mulutnya terus meracau tentang seberapa dalam kejantanan Sasuke menyentuhnya. Bahkan tekadang kata-kata yang jorok keluar dari mulutnya.

"Ssshhh—saku—"

Sasuke merasakan sesuatu sudah diujung tanduk, ia segera bangkit dan merebahkan Sakura. Dirinya kembali sibuk menggerakkan pinggulnya, kali ini sangat cepat dan dalam, kejantanannya bahkan menyentuh rahim Sakura.

"Sasuke—kun~ hahh—aku—aku~"

Sasuke mengerti, ia terus menggerakkan dan menekan kejantanannya semakin dalam, tak lama kedua tubuh mereka bergetar dibarengi erangan yang panjang. Sasuke menekan-nekankan kejantanannya, memasukkan semua sperma yang sedari tadi ia tahan. Saking banyaknya saat Sasuke mencabut penisnya, spermanya meleleh keluar. Sasuke lalu menempatkan dirinya disamping Sakura yang masih terlihat tersengal-sengal menikmati orgasme pertamanya.

.

.

.

Pagi hari dikediaman Hyuga.

"Naruto-kun~ ngghh~"

Hinata, gadis indigo itu melenguh saat suaminya kembali menghisapi puting payudaranya. Sebenarnya ia sangat mengantuk, namun apadaya, suaminya itu tiba-tiba kembali menelanjanginya setelah menelanjangi dirinya sendiri.

"Hina—"

Tok! Tok!

Naruto menoleh kesal, bagaimana bisa dia diganggu pada jam segini.

"Tuan Naruto. Ada yang mencari anda."

"i—"

"Bilang saja aku masih tidur."

"Eh? Naruto-kun?"

"Ck! Biarkan saja."

"Katanya penting, tuan. Nona Tsunade yang mengirimnya kemari."

Naruto menoleh, mau tidak mau ia harus menemuinya. Ia segera menyambar piyama dan memakainya.

.

.

.

"SASUKE MELARIKAN DIRI?!"

"Bisa kau pelankan suaramu itu, Naruto?" ujar Shizune.

"Kupikir dia sudah diijinkan pulang."

"Yah, sebenarnya dia masih harus dua mingguan tinggal dirumah sakit. Menjalankan terapinya. Tapi tadi malam dia kabur."

"Dasar si teme itu." Gerutu Naruto, "terakhir kali dia bersama Sakura-chan, coba cari dia disana."

"Souka, arigatou."

.

.

.

"Ck. Memangnya siapa yang menyuruhmu mandi duluan?"

"Habis Sasuke-kun tertidur pulas." Cibir Sakura.

"Mandi lagi bersamaku."

"Hah, tidak mau."

"Ck."

"Kembalikan handuk dan kunci almariku."

"Tidak mau."

Tok! Tok!

"Sakura-chan? Kau sudah bangun?"

Sakura gemetar, suara Shizune-senpai.

"Ah Shizune—" ujar Sasuke namun Sakura segera menutup mulutnya.

"Pssssttt!"

"Sakura? Apa itu tadi suara Sasuke?"

"Ah, itu kau ya , Shizune-senpai?"

"Iya, bisa bicara sebentar?"

"I—iya, tunggu."

Sakura menoleh kearah Sasuke dan memberi isyarat untuk memberikan setidaknya handuknya. Namun Sasuke menolak. Sementara didepan kamar Sakura, Shizune kembali mengetuk. Tak lama pintu terbuka sedikit dengan Sakura yang hanya memperlihatkan kepala dan sedikit bahunya.

"Ah, gomen, aku sedang mandi."

"Oh, maaf mengganggu pagi-pagi begini."

"Ada perlu apa ya, senpai?"

"Apa Sasuke masih berada disini?"

"Sa—sasuke-kun? O—ohh nghh~"

Sakura melirik, ia merasakan tangan Sasuke menggesek vaginanya.

'si bodoh ini, bagaimana kalau ketahuan?'

"Sakura? Kau baik-baik saja?"

"Ha-hai."

Tubuh Sakura bergetar, kali ini ia merasakan lidah Sasuke tengah menjelajahi lorongnya. Shizune mengerutkan alisnya, ia tak mengerti apa yang terjadi dengan Sakura hingga gadis itu berekspresi demikian. Dan seketika itu Shizune tersentak kaget saat matanya melihat sesuatu yang erotis terjadi. Di balik lipatan pintu, ia melihat Sasuke sedang menjilati milik Sakura, terlihat saat pemuda itu menjauhkan wajahnya dengan penuh cairan.

"Ja—jadi Sasuke-kun tidak disini ya?" tanya Shizune.

Sakura mengangguk lemas. Akhirnya Shizune buru-buru mohon pamit. Sakura segera mengunci pintunya dan ambruk menungging.

"Sasuke—kun baka~ hahh~hah."

Sasuke menyeringai, ia lalu menyandarkan Sakura di pintu. Tak lama Sakura kembali melenguh saat Sasuke memasukkan dua jarinya dan mulai menggerakkannya.

"Ahhh~~ hnnnn~~ hnnn~"

Sasuke terus menggerakkan jarinya hingga cairan muncrat mengenai tangannya, Sakura memekik dibarengi hentakan pinggulnya saat Sasuke berhasil menekan titik lemahnya dengan kuat. Tak hanya itu, cairan bening kembali menyembur berbarengan hentakan pinggulnya. Bahkan setelah Sasuke mencabut jarinya, pinggul Sakura masih terus menghentak tak karuan.

"Kau kotor, kita mandi lagi." Ujar Sasuke sambil membopong tubuh lemas Sakura.

Sasuke membaringkan tubuh gadis itu dalam bathtub yang masih kosong, alih-alih mandi Sasuke segera menanggalkan seluruh pakaiannya dan memposisikan kejantanannya pada lubang Sakura. Sementara Sakura hanya diam, ia terlalu lelah untuk menolaknya. Tak lama kedua pasangan tersebut mengerang bersamaan saat mereka kembali bersatu. Sang pemuda menghentak-hentakkan pinggulnya cepat, bibirnya turut sibuk mengulum puting kemerahan kekashnya yang sudah begitu keras.

Sakura kembali meracau, pinggulnya menggeliat saat menerima tusukan begitu cepatnya.

"Saku—aarrghh!"

Sasuke melenguh panjang, ia menghentak-hentakkan penisnya semakin dalam dan menyemburkan spermanya. Masih enggan mencabut kejantanannya, ia lalu mengangkat tubuh Sakura, membiarkan kaki kurus itu melingkar dipinggulnya dan kedua tangannya di leher kokohnya. Sasuke perlahan berdiri dan menggerakkan pinggulnya, kedua tangan besarnya menahan bokong Sakura membantunya bergerak naik turun agar kejantanannya mampu menjangkau lubangnya lebih dalam.

"Sa—hahh~~hahh~ mo~ngghh~" Sakura menggigit bibir bawahnya, didalam lorongnya ia terus merasakan kejantanan kekasihnya itu bergerak semakin cepat dan tak beraturan, "aku lelah~ nhhh~"

Sedetik setelah kalimatnya berakhir, Sasuke menciumnya, memasukkan lidahnya. Saliva menetes dari sudut bibir keduanya. Begitu pula cairan juga menetes dari bawah sana. Sasuke kembali mengerang bersamaan dengan spermanya yang muncrat, disaat itu pula Sakura orgasme. Tubuh keduanya gemetar, Sasuke hampir saja menjatuhkan tubuh Sakura, namun dengan cepat ia menguasai dirinya lagi.

Sasuke membaringkan Sakura di bathtub, kemudian mencabut penisnya perlahan diiringi lenguhan dari keduanya. Sakura tak bergeming saat Sasuke memutar tubuhnya, dalam posisinya yang menungging itu Sasuke kembali memasukkan kejantanannya, menggerakkannya dengan cepat. Entah mau sampai kapan pemuda itu akan terus melakukannya. Sementara Sakura memilih untuk diam dan menikmati kejantanan Sasuke di lorongnya. Seberapa kalipun ia orgasme, Sasuke masih bisa membuatnya merasa kenikmatan dan membuatnya merasakan orgasme untuk yang kesekian kalinya.

Tubuh putih Sakura tersebar beberapa bercak merah yang Sasuke buat, begitu pula ditubuh Sasuke, bahkan bercak ditubuhnya lebih banyak, tak lupa cakaran di beberapa tempat ditubuhnya.

"Sa-!" Sasuke kembali mengerang panjang saat daging panas itu kembali menjepit dan menyedot kejantanannya membuatnya kembali harus menyemburkan sperma.

.

.

.

Didalam dapur keluarga Haruno, Sakura sedang mencuci piring bekas makan siangnya. Sesekali gadis pink itu berhenti hanya untuk memijiat pinggangnya, sudah hampir 3minggu Sasuke selalu mencumbunya. Jika kalian tanya dimana dia sekarang, dia sedang bermalas-malasan sambil bermain dengan ponsel milik Sakura.

Gadis itu lalu beralih ke ruang tamu dan membersihkannya. Disana ayah dan ibunya terlihat sedang mengawasinya.

"Ada apa? Kaa-san? Tou-san?"

"Hmmm." Hanya itu yang keluar dari bibir ayahnya.

"Hmmm." Susul ibunya.

"Kalian ada masalah apa?"

Kening Sakura mengerut, ia memutuskan untuk melanjutkan menyapu. Baru sebentar gadis itu kembali memijit pinggangnya.

"Kalian terlalu bersemangat. Uhuk." Gumam Kizashi.

Sakura menoleh. "Ha?"

"Yah, saat kita dulu hanya melakukannya beberapa kali seminggu." Gumam Mebuki.

"A—" Sakura merasakan malu yang teramat sangat, gadis itu lalu melemparkan sapunya.

Brak

Sasuke yang sedari tadi memainkan ponsel lantas menoleh kearah Sakura yang sudah berdiri di pintu.

"Ada apa?" tanyanya.

Entah ekspresi apa yang gadis itu tengah buat, dia bersungut-sungut dan membanting bokongnya ke kasur.

"Mereka tahu." Gerutu Sakura.

"Mereka? Tahu apa?"

"Mereka tahu setiap malam kita..." Sakura menghentikan ucapannya dan malah memajukan bibir bawahnya.

"Lalu kenapa?"

"Aku malu Sasuke-kun!" rengek Sakura, gadis itu menarik selimut dan bersembunyi di dalamnya.

Sasuke mengangkat sebelah alisnya, ia bahkan tidak tahu mengapa Sakura merasa begitu malu. Toh, sebentar lagi mereka akan menikah. Lagipula, jika tidak yakin akan menikahinya, Sasuke juga tidak akan mau melakukan hal itu pada Sakura.

"Bagaimana ini.."rengek gadis itu, ia menyibakkan selimutnya dan menatap kearah Sasuke, dan berharap pemuda itu mengatakan sesuatu yang akan menenangkannya.

"Jadi mereka tahu?" tanya Sasuke, Sakura mengangguk. "Mereka tidak marah?"

Sakura diam sejenak, sedetik kemudian menggeleng.

"Berarti tidak masalah bukan? Karena mereka mempercayaiku."

Gadis pink itu kembali terdiam, tou-san dan kaa-san tidak menunjukkan ekspresi marah sedikit pun. Padahal dulu, saat menjalankan misi dengan beberapa shinobi laki-laki, sang ayah dan ibu selalu mewanti-wanti agar si anak menjaga dirinya dengan baik.

"Hari ini aku mau keluar." Ujar Sasuke sambil meletakkan ponsel kekasihnya tersebut di meja.

"Eh? Kau mau kemana?"

"Ada yang harus kupastikan."

"Kapan kau akan kembali?"

"Besok."

"Boleh ikut?"

"Hn? Tidak."

.

.

.

"Haaah~~"

Entah sudah yang keberapa kalinya gadis pink itu terdengar mengeluh. Ia keluar dari kamar mandinya dan mengambil pakaian dalam serta pakaian ganti untuknya. Tapi ini aneh, semuanya baik-baik saja sampai dia mencoba memakai bra-nya.

"Lho?" Sakura mencoba mengaitkan bra-nya da rasanya payudaranya seperti terhimpit dan terasa sesak. "Ada apa sih?"

Gadis itu mencobanya lagi, saat bra-nya berhasil terkait, ia malah kesulitan bernafas.

"Kenapa dengan bra ini? Baru saja aku membelinya?" gumamnya sembari menatap bra barunya, "apa mengerut ya?"

Akhirnya dia memutuskan untuk mencoba semua bra di almarinya, semuanya sama saja. Kekecilan.

"Astaga, kalau seperti ini aku harus memborong pakaian dalam namanya." Gerutu Sakura.

Drrt~ drrt~

Sakura menyahut ponselnya, dan membuka SMS yang rupanya dari Naruto.

From: Naruto

Subject: Kejutan

SAKURA-CHAN! HINATA HAMIL! DATANG KEMARI YA SEKARANG, AJAK SI TEME, KAMI SEDANG MENGADAKAN PESTA.

"He?" sakura mengulangi membaca pesan, "yo—yokatta."

Sakura langsung menyahut kaos dan mantel merahnya, tak memedulikan lagi bra yang membuatnya sesak, dia lalu keluar kamar dan berlari buru-buru ke rumah Hinata.

.

.

.

Di kediaman Hyuga, para rookie berkumpul bersama. Bersulang untuk memberi selamat pada pengantin baru itu. Naruto menggaruk kepalanya dan tersenyum lebar saat semua orang memuji kesuburannya. Sementara itu Hinata hanya tersenyum malu-malu disamping suaminya.

"Tak kusangka belum ada sebulan kau bisa membuat Hinata bunting, Naruto. Ya kan, Sakura." Ujar Ino sambil menyiku lengan Sakura, namun gadis pink yang sedari tadi sibuk makan tak menggubrisnya.

"Sakura?" ujar Ino lagi, kali ini Sakura menoleh linglung.

"Eh? Kau ngomong apa Ino?" tanyannya.

Gadis pirang itu mendengus, "kau kuperhatikan sedari tadi makan saja. Kau bahkan lebih banyak makan ketimbang Chouji."

Sakura melirik, melihat kearah Chouji yang rakus sepertinya.

"Sepertinya ada yang berubah darimu." Susul Shikamaru.

Sakura cengo, sementara teman-temannya menatapnya begitu intens.

"Sakura-chan, jangan-jangan kau—" ujar Rocklee sambil menatap horor, Sakura menelan ludah.

'jangan bilang mereka tahu.'

"KAU GENDUTAN!" jerit Rocklee disusul pukulan dikepalanya oleh Tenten.

"Jangan ngomong yang tidak berguna." Tukas gadis bercepol dua itu, sementara lainnya tertawa.

"Tapi jika diperhatikan ada yang berbeda darimu." Ujar Kiba membuat lainnya ikut berfikir.

"Ah, hentikan! Ada masalah apa sih? Aku hanya kelaparan, itu saja." Gerutu Sakura.

"Minna, sudah lah. Sakura-chan sepertinya memang sedang lapar." Kata Hinata.

"Ngomong-ngomong, dimana si teme?" tanya Naruto.

"Dia sedang pergi, besok baru kembali."

"Apakah ada masalah?" tanya Sai.

"Kurasa tidak, katanya dia mau memastikan sesuatu."

.

.

.

"H—hoekk!"

"Sa—sakura-chan, kau baik-baik saja?" tanya gadis indigo itu panik, bagaimana tidak, sesaat setelah mengobrol banyak tadi tiba-tiba Sakura mual karena kekenyangan.

Hinata terus menepuk-nepuk punggung Sakura agar gadis itu dengan mudah mengeluarkan isi perutnya.

"Itu karena kau terlalu banyak makan, Sakura." Ujar Ino, gadis itu turut memijat leher temannya.

"Sakura-chan, apa baik-baik saja?" gumam Rocklee yang ikutan panik.

"A—aku baik-baik saja." Baru selesai mengakhiri kalimatnya, Sakura kembali mual, namun sedari tadi tak ada sedikit pun isi perutnya yang keluar.

Sementara Shikamaru memutuskan diam dan memperhatikan, entah apa yang sekarang ada dalam pikiran si jenius pemalas itu.

"Biar kuantar pulang."

Semua rookie menoleh saat suara dari Shikamaru akhirnya mengintrupsi. Para wanita menatap horor padanya, lelaki yang notabene akan lebih memilih tidur itu benarkah tadi berbicara seperti itu? Apakah sang jenius kehilangan secuil kewarasannya? Otaknya? Atau dia sedang terangsang?

"Aku masih waras dan tidak terangsang." Ujar Shikamaru yang kontan membuat orang-orang yang melihatnya tersentak merinding, berfikir seolah dia bisa membaca pikirannya, "lagipula ada sesuatu yang harus aku tanyakan padanya."

Sakura menoleh, namun rasa mualnya belum juga berkurang.

"Ayo, Sakura."

Sakura mengangguk, dia kemudian meminta maaf pada Hinata karena membuat keonaran lagi sebelum akhirnya melangkah mengikuti Shikamaru.

"Jadi, apa yang mau kau tanyakan?" tanya Sakura sembari mengelusi perutnya.

Shikamaru menoleh, memperhatikannya dari atas kebawah.

"Tidak apa-apa." Ujarnya, kakinya berhenti berjalan ketika berada di depan rumah Haruno.

"Oh, kalau begitu terima kasih sudah mau mengantarku."

"Selamat ya." Tiba-tiba lelaki nanas itu mengulurkan tangannya.

"Eh? Oh, kenapa buru-buru? Kami belum mau menikah." Kata Sakura.

Shikamaru tersenyum simpul sebelum memutuskan untuk pergi.

.

.

.

Gadis pink itu bernafas lega saat ia berhasil membebaskan payudaranya dari bra kecil itu. Ia segera membaringkan tubuhnya perlahan, sungguh dia sedang merasa tidak baik setelah makan terlalu banyak tadi. Ah, rasanya ada sesuatu yang memberontak keluar tapi tak kunjung keluar.

"Aku tak akan makan banyak lagi." Gumamnya.

Sakura terdiam dalam heningnya kamar sore itu, tak lama terdengar dengkuran halusnya. Waktu beranjak dari sore ke tengah malam. Sasuke yang sudah menyelesaikan tugasnya memutuskan untuk kembali, kemana lagi kalau tidak ke kamar Sakura.

Sasuke memicingkan matanya, kepalanya mendongak ke jendela kamar Sakura yang masih terbuka, sedang apa gadis itu sampai membiarkan angin malam masuk ke kamarnya. Hanya dengan beberapa lompatan, Sasuke sudah berdiri di depan jendela kekasihnya. Dirinya lantas masuk perlahan kedalam kamar gelap dengan cahaya bulan yang meneranginya. Ia berjalan berjingkat, tidak mau membangunkan kekasihnya yang sudah terlalu nyenyak tersebut. Tapi, Sasuke memicingkan matanya, ada yang aneh. Pemuda itu lalu merangkak mendekati Sakura, memperhatikan tubuhnya.

Sesuatu yang kecil mencuat dibalik sweater hijaunya.

"Ck. Apa dia merindukanku sampai rela tidak memakai bra seperti ini." Ujar Sasuke kepedean.

Namun memang pada dasarnya mesum, Sasuke mulai menarik sweater Sakura keatas, memperhatikan payudaranya yang naik turun.

"Hn?" saat kedua tangannya mengatup pada payudara Sakura, wajah panik mulai terpampang. Pemuda itu segera menurunkan sweater Sakura, menyahut selimut dan membungkus badan panas gadis itu.

Sasuke beranjak dan menyalakan lampu hingga wajah pucat Sakura mampu ia lihat. Sasuke mengatupkan tangannya pada kening Sakura.

"Sa—suke-kun-?"

"Sakura?"

"Sasuke-kun, sudah kembali?"

Sasuke mengangguk, pemuda itu kemudian menarik tubuh Sakura dan menyandarkannya pada tubuhnya.

"Seharusnya aku tidak meninggalkanmu tadi."

"Hm? Aku hanya kebanyakan makan tadi dirumah Hinata. Hehehe." Kekeh Sakura, "ne, Hinata hamil. Sebentar lagi mereka akan menjadi—"

Sakura mengatupkan kedua tangannya dimulutnya, ia segera menyibak selimutnya dan berlari ke kamar mandi. Lagi-lagi gadis itu merasa sangat mual, padahal ia sudah tidak merasa kekenyangan lagi.

"Kau baik-baik saja, Sakura?" Sasuke menepuk-nepuk punggung kekasihnya, sementara Sakura terlihat mengangguk.

Namun suara 'hoek' itu terus keluar dari mulutnya.

"Apa kau salah makan?" tanya Sasuke.

"Aku hanya makan seperti biasanya hari ini."

Sasuke menggandeng Sakura dan memapahnya menuju kasur.

"Ah, padahal pagi ini aku berencana membeli pakaian dalam baru." Sungut Sakura.

"Yang lain masih ada kan?"

"Semuanya mengerut, aku tidak bisa memakainya."

"Ha?"

.

.

.

"Itu bukan disana, Suigetsu sialan!"

Karin menaikkan frame kacamatanya, ia sedari tadi terus berteriak memarahi Suigetsu. Bahkan wanita berambut merah itu tak segan melempar bangku kearah Suigetsu, lelaki bergigi runcing yang selalu membuatnya merasa kesal.

"Lalu berhentilah mengoceh, dasar mata empat!"

Sementara disisi lain, Juugo, lebih bisa diandalkan. Ia hanya melirik dua sejoli yang tak pernah akur selama di teamnya.

"Oh, Sasuke." Ujar Juugo saat melihat pemilik rumah yang sedang mereka hias itu datang.

"Ka—kami akan segera menyelesaikannya kok." Kata Suigetsu, dirinya segera memasang ornamen-ornamen yang menjadi tugasnya.

"Ada apa?" tanya Karin, wanita itu kembali mengecat rumah Sasuke, "Kau terlihat terlalu tenang."

"Dia hamil."

Tik

Tik

Tik

"HAAAAAAAAAAAAAA?"

Ketiga rekan team Sasuke itu segera mendekati pemuda anteng itu, namun jika diperhatikan dengan jelas, ada guratan pink yang tipis dipipi Sasuke.

"Ja—jadi berapa kali kau melakukannya?"

"Kau yang memaksa atau dia yang menggodamu?"

Plak! Plak!

Tamparan Karin langsung melayang dikepala Juugo dan Suigetsu.

"Jangan ngomong yang bukan-bukan! Dasar!" teriaknya garang, "lalu kau kesini mau meminta kami mempercepat dekorasinya?"

"Maaf merepotkan. Bisakah?"

"Tentu saja, serahkan pada kami!" kata Suigetsu sambil menepuk dadanya bangga.

"KAU BAHKAN DARITADI TIDAK ADA BECUSNYA!"

BYUR

"APA YANG KAU LAKUKAN, UCHIHA?!" jerit Karin saat Sasuke tiba-tiba menyiram dinding rumahnya dengan sekaleng besar cat.

"Woooh!" Suigetsu bergidik, padahal dinding itu baru saja Karin cat, "lebih baik kau cepat lari, Sasuke."

Sementara Sasuke hanya menatap linglung, ia tak mengerti kesalahan apa yang telah dia perbuat.

"KAU!" dengan nada geramnya, Karin menarik sweater hitam Sasuke, dengan wajah yang merah antara marah dan malu karena sebenarnya Karin masih menyukai Sasuke, gadis itu berkata, "KAU TIDAK TAHU BETAPA LELAHNYA AKU, HM!"

Mata Karin melirik, tepatnya pada kaleng cat ditangan Sasuke, pemuda itu terlihat anteng, namun berbeda dengan kaleng cat yang terlihat gemetar di tangannya. Perlahan Karin meloloskan sweater Sasuke dan tersenyum sinis.

"Apa ini? Kupikir kau tidak bisa merasa gugup." Ujar Karin memaksa dua rekannya itu ikut menoleh.

"Oh, tangan Sasuke bergetar." Kata Juugo.

"Benarkah?" kata suigetsu, "ah, benar."

"Hm..." Karin menggumam, namun senyum sinisnya semakin mengembang, "apa karena kau begitu senang tahu kekasihmu hamil, hmm?"

Sasuke yang terus menerus digoda hanya diam. Ia lalu meletakkan kaleng catnya dengan gemetaran.

"Aku harus apa?" ujarnya polos.

.

.

.

"Tadaima." Sasuke membuka pintu kediaman Haruno.

"Oh, okaeri, Sasuke." Kata Mebuki sembari mengelap tangannya dengan serbet yang ia gunakan, "bagaimana persiapannya?"

"Semuanya baik-baik saja, teman-temanku akan segera menyelesaikannya."

"Syukurlah, kalau kau butuh bantuan bilang saja pada kami."

"Iie, aku yakin mereka bisa mengatasinya sendiri." Ujar Sasuke, pemuda itu lalu membanting bokongnya disofa, disusul Mebuki. "gomen."

"He?" Mebuki terbengong, "mengapa kau meminta maaf?"

"Karena aku tidak bisa memberikan pesta pernikahan yang meriah."

Pat

Sasuke menoleh saat tangan Mebuki mengelus rambutnya.

"Sakura mendapatkan laki-laki sepertimu saja kami sudah sangat bersyukur. Kau tak perlu melakukan apapun lagi, karena kau sudah banyak memberikan kebahagiaan dirumah ini."

Sasuke mengangguk, bibirnya melengkung membentuk senyuman.

"Lalu dimana Sakura?"

"Dia sedang tidur."

"Kaa-san belum memberitahu dia kan?"

"Tentu saja."

"Apa dia tadi mengatakan sesuatu? Apa dia bilang mau makan sesuatu?"

Mebuki memutar bolamatanya, "sepertinya dia bilang yakiniku. Dia tidur karena tidak ada yang membawanya pergi makan yakiniku."

"Souka."

"Sasuke, selama hamil jangan biarkan dia minum sake atau minuman bersoda. Jangan beri dia nanas..."

Sasuke mengangguk memperhatikan segala larangan yang harus dia ingat.

"Aku mengerti."

.

.

.

"Sakura." Sasuke menepuk pelan bahu kekasihnya.

"Hm?"

"Mau yakiniku?"

Mata Sakura terbuka perlahan, "yakiniku?"

Sasuke membantu Sakura untuk bangkit dan memakaikan sweaternya, keduanya lalu melangkah dan mengunjungi sebuah warung langganan team Asuma yang terkenal menjual yakiniku terenak. Saat didalam mereka bertemu dengan SaIno beserta Shikamaru dan Chouji dan memutuskan ntuk bergabung.

"Tumben kemari kalian." Kata Ino.

"Yah, sebenarnya kau sedari tadi sangat ingin makan yakiniku. Hehe."

"Kalau begitu kau ada ditempat yang tepat." Chouji mengacungkan jempolnya, "disini yakinikunya sangat lezat."

"Aku juga pernah dengar soal itu." Sakura mengangguk-angguk.

"Aku mau kebelakang dulu." Kata Sasuke disusul anggukan Sakura.

"Nah, kau mau pesan apa?".

.

.

.

Sasuke berjalan anteng menuju tempatnya, terlihat disana sang pelayan sudah datang membawa beberapa gelas minuman. Sasuke mempercepat langkahnya, menyahut gelas ditangan sakura dan mengendusnya, sake.

"Maaf, bisa kau bawakan segelas teh saja?" tanya Sasuke sambil menaruh gelas sake itu di nampan.

"Baik, tunggu sebentar."

"Kenapa?" rengek Sakura, tangannya meraih ujung sweater Sasuke, "aku ingin ikut merayakannya dengan minum sake..."

"Merayakan apa?" tanya Sasuke.

"Pernikahan Ino."

Sasuke menoleh, "kalian sudah menikah?"

Sai mengangguk, "tak ada pesta seperti Naruto. Hanya keluarga saja yang diundang."

"Ne.." Sakura kembali merengek, "biarkan aku minum sakenya."

"Ck!"

"Biarkan dia minum segelas saja." Kata Ino.

"Tidak bisa."

"Eeeeeh? Tapi aku mau Sasuke-kun. Biarkan aku minum! Biarkan aku minum!"

"Ck! Kau sedang hamil! Jangan minum sake!"

"Eh?"

"HAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHH?!"

"Sudah kuduga." Gumam Shikamaru.

Sasuke menghela nafasnya dan duduk disamping Sakura, sementara gadis itu melongo setelah mendengar ucapan kekasihnya.

"Ka—kau tadi ngomong apa?" tanyanya.

"Sakura hamil?" tanya Ino.

"Sudah kelihatan kan?" kata Shikamaru.

"Ho? Jangan-jangan waktu itu kau tahu Sakura sedang hamil." Kata Ino, Shikamaru mengangguk.

"Eh?" masih dengan kelinglungannya, Sakura menoleh kesana kemari.

.

.

.

Sakura duduk diranjangnya, tangannya mengelus perutnya yang masih rata itu. Ia lalu menatap Sasuke yang sedang berganti baju.

"Sasuke-kun."

"Hn?"

"Apa aku hamil?"

"Ya."

"Anakmu?"

Sasuke menoleh, "memangnya siapa lagi? Kau pernah melakukannya dengan orang lain?"

"Anakku dan anak Sasuke-kun?" gumam Sakura, gadis itu mengembangkan senyum lebarnya dan tiba-tiba melompat kesana kemari. Sasuke yang kaget segera menenangkannya.

"Ck! Jangan bertingkah yang macam-macam!" ketusnya.

"Hai hai, papa." Cengir Sakura.

"Sudah. Tidur dan bersiap-siap untuk besok."

"Besok? Memangnya ada apa?"

"Kita akan menikah. Dirumahku."

"Eh?"

"Tapi aku tidak bisa memberimu pesta pernikahan yang meria—"

Grep

Mata Sasuke bergetar saat Sakura memeluknya dengan sangat erat.

"Arigatou, Sasuke-kun."

Sasuke mendengus, tangannya membelai helaian pink Sakura, "Hai."

.

.

.

Dikediaman Uchiha. Semua rookie dan guru-guru berkumpul. Apalagi kalau bukan menghadiri pesta pernikahan dari si Uchiha dengan si ninja medis Haruno. Dibalut dengan kimono putih Sakura tampil begitu cantik. Sasuke menyunggingkan senyumnya, tidak sia-sia setelah pembantaian klannya dia menyimpan kimono pernikahan orangtuanya, tentu saja kimono yang ia gunakan sendiri adalah milik ayahnya.

Sakura menggandeng lengan Sasuke dan keduanya saling pandang, melempar senyum masing-masing. Pesta yang tak terlalu meriah, tapi sangat cukup untuk membuat keduanya tersenyum bahagia. Diantara teriakan undangan terdengar tangisan keras Naruto.

Tak lama setelah pernikahan Uchiha ini, Shikamaru menyusul menikah dengan Temari. Kemudian dilanjutkan oleh pasangan Chouji dan Karui. Sementara Kiba sedang menjalin hubungan dekat dengan Tamaki, cucu dari Nekobaa yang memutuskan untuk menetap di Konoha, bahkan keduanya tinggal serumah dan telah memiliki banyak anjing dan kucing. Setahun berlalu, Gaara akhirnya menyusul dengan meminang Matsuri. Rocklee yang tidak diketahui siapa istrinya, menghabiskan waktu sepanjang hari dengan berlatih bersama putranya. Sementara Tenten membuka toko dimana dia menjual senjata yang dia buat sendiri. Shino sendiri memilih menjadi seorang instruktur di akademi.

OWARI

Jeng jerenjenjeng! Hutang sudah lunas! Terima kasih untuk semuanya yang bersedia membaca sampai akhir. Maaf jika membuat kalian menunggu begitu lama #hiks. terimakasih, untuk siapa saja yang menyempatkan memberikan review pada chap terakhir. Terima kasih untuk pereview sebelumnya. Mohon maaf jika lemonnya nggak hot. Hehe.