"Suntuk sekali, ya."

"Ya, hoammm…"

"Ayo kita bermain sebentar."

"Ide bagus. Sungmin punya papan Ouija dibawah kasurnya."

"Lalu kalian akan pulang dan aku tinggal disini sendirian? Lupakan! Aku harus tidur nyenyak setelah mengerjakan tugas-tugas sialan ini."

"Jangan, jangan main-main dengan kawanan setan. Mmm, bagaimana kalau permainan truth or dare?"

"Hoam, basi sekali, sih."

"Tidak basi jika kita bumbui permainan ini dengan caraku."

"Ayo libatkan soal bedroom fantasy dan sex."

.

Truth or Dare

.

KyuhyunXSungmin

.

Donghae, Eunhyuk, Henry

.

BoyXBoy, Mature Content, Typo, Newbie

.

Oneshoot

.

Ini konyol! Mereke berbicara terlalu vulgar dihadapanku—aku seorang anak pendeta—, tidakkah mereka seharusnya malu bermain-main dengan kata-kata jorok begitu dirumah suciku ini? Aku yakin, Ayahku akan mendepak ketiga cowo mesum itu dari rumah ini lalu ia takkan membiarkan aku berbicara lagi pada ketiganya—Lupakan, Ayah dan Ibuku tengah mengurus pernikahan kakakku di Jermany—. Oh ayolah lukisan raksasa bunda maria yang menggantung di dinding kamarku ini apakah tak mampu membuat mereka tersadar. Begitu juga lukisan-lukisan tuhanku yesus beserta lafal-lafal suci di setiap sudut kamarku ini, bahkan dimeja nakas—disamping Donghae, Eunhyuk dan Henry— ada kitab suci yang tergeletak terbuka. Tapi bukannya sadar… Mereka malah menertawai lukisan malaikat-malaikat yang hanya menggunakan –ehem—sehelai kain dipinggul, membayangkan jika sosok itu menjadi si seksi Megan Fox. Aduh, Dasar pemuda tak taat kepada agama. Mereka seharusnya menganggungkan para malaikat itu yang merupakan symbol roh baik dan roh jahat didalam ajaran seluruh agama.

"Truth atau Dare?!" Suara Eunhyuk yang melengking mengacaukan konsentrasiku. Kulihat ia menggeplak kepala Henry dengan jengkel, si mochai itu terus-menerus mengeluh karena ia kalah sedari tadi. Hmfft, rasakan itu.. Eunhyuk dan Donghae selalu curang di dalam permainan apapun. Hatiku tergelak menertawai siluet yang menggaruk-garuk pipinya—bingung. Sudahlah, nly, kau pilih saja truth. Tanpa sadar aku pun memperhatikan mereka yang tengah bermain di atas ranjang. Buku sudah ku abaikan. Entah sejak kapan aku mengubah posisi kursi putar ini menjadi membelakangi meja belajarku.

"Aish, hyung, okelah. Aku pilih truth." Akhirnya si mochi menjawab.

"Jujur ya, apa kau pernah orgasme disaat bajumu masih terpasang lengkap dibadanmu?" Tanya Eunhyuk dengan seringai jahilnya.

Donghae mulai menggebuk-gebuk kasur menahan gelitikan diperutnya—memangnya selucu ituya? Biasa saja. "Hyuk, hahaha, kau jahat sekali bertanya soal itu padanya."

"Ya! Hyung akukan sudah menceritakan soal itu kepadamu… kenapa harus bertanya begitu? Ganti pertanyaan!" Henry merengek. Wajahnya kelihatan kalut dan memerah menahan malu. Haha. Wajar sih, jika aku diposisinya aku akan bertingkah sama. Hih. Lagipula, menjijikan sekali pertanyaan itu.

"Tidak bisa. Ayo jujur. Mumpung disini ada Sungmin hyung…"

"Apa kau menyebut-nyebut namaku?" Tanyaku sengit. Salahkan kepekaan telingaku ketika mendengar namaku disebut-sebut oleh si blonde bergummy smile itu.

"Kau penasaran juga, hyung? Lihat, nly, Sungmin hyung mau mendengar jawabanmu." Godaan itu ia lancarkan sambil menoel-noel pipi putih milik cowo yang paling muda diantara kami berempat disini.

Setelah tampak berpikir-pikir dan didesak oleh Eunhyuk dan Donghae, akhirnya Henry menjawab dengan tersendat-sendat seperti orang sakit yang tengah menelan pil, "Pe-pernah, sewaktu aku ganti baju olahraga bersama Sungmin hyung."

Apa?

"Hmfffft! Hahahahahahahaha."

Impuls, wajahku memerah padam sampai ke telinga. Apa? He-henry terangsang karena melihatku buka baju? Lama-lama aku menjadi kesal mendengar derai tawa tak henti-hentinya dari Eunhyuk dan Donghae. Hawa panas menyelubungiku karena rasa kesalku membumbung membentuk kepulan asap yang keluar dari masing-masing telingaku.

"Ya!" Bentakku namun satupun tak menghiraukannya. Henry masih tertunduk malu, sa-sama sepertiku.

"HAHAHAHAHA." –Cukup. Aku ingin balas dendam!

"Kalian! Biarkan aku ikut bermain!"

.

~oOo~

.

Sial! Sial! Sial! Aku mulai merutuki keputusanku untuk bergabung dalam permainan bodoh itu. Sedari tadi, aku selalu menjadi sasaran kejahilan dan kemesuman ketiganya, mereka bertanya soal 'siapa yang kau bayangkan saat masturbasi?', 'jelaskan bagaimana first kissmu secara terperinci!', 'jika kau homoseksual kau mau memasuki atau dimasuki?' atau, 'seberapa ukuranmu?'. Gila! Mereka sudah gila! Itukan privasiku. Mana bisa aku membeberkan aibku—apa ini terhitung di dalam aib?—sendiri. Sudah begitu, mereka menjadikanku bulan-bulanan setelah menjawabnya. Meremas-remas kesepuluh jariku sendiri, aku mulai tak bisa menahan diri untuk mencekik leher teman-temanku itu. Atau… siapa sih yang menciptakan permainan bodoh semacam ini? Biar kupereteli orangnya.

Setelah mereka puas menertawaiku, Eunhyuk mulai memposisikan bolpoin hitam itu diatas laptop. Sebelum ia memutar bolpoin itu, aku mencekal tangannya dan mengambil bolpoin itu dari tangannya. Aku curiga. Sejak aku memutuskan untuk mengambil tempat di dalam permainan ini, aku selalu menjadi orang sasaran, aku merasa ditargetkan. Ya, Eunhyuk pasti memakai jimat di tangannya. Ia memandangku dengan pandangan 'ya sudah' miliknya. Baiklah, akan kubuat keberuntungan berpihak kepadaku. Eunhyuk dan Donghae harus ditumbangkan. Lalu aku memutarnya perlahan-lahan—seperti dengan pertimbangan yang akurat. Bolpoin itu berputar lama-lama melambat dan tutupnya…

Menunjuk…

kearahku…

lagi.

YA TUHAN!

"Kita sedang beruntung malam ini. Kapan lagi kita bisa membuat orang sekaku dia menjadi gila." Donghae dan Eunhyuk saling melempar tawa. Menyebalkan.

"Sudah cepat! Jangan tertawa terus!" Aku memotong dengan sentakkan marah. Aku kesal sekali. Aku kesal kepada teman-temanku. Aku kesal kepada permainan ini. Aku kesal kepada diriku—keberuntungan jelekku.

"Oke, truth or dare, hyung?"

Pikirkan Sungmin, pikirkan. Otak mesum ketiga orang didepanmu ini tak pernah kehabisan kata-kata porno. Mereka akan bertanya lebih jauh mengenai privasi hidupmu di dalam mimpi basah di hormone remaja. Lebih baik, hentikan ini, pilihlah 'dare', min.

"Aku pilih dare!"

"Wooooooww!"

"Apa?"

"Kau serius, hyung?" –Inikan sebuah permainan, aku hanya main-main, tetapi—benar-benar—seseorang yang menciptakan permainan ini sungguhan orang yang tolol. Bagaimana bisa ia memaksa seseorang berlaku jujur dan berani? Kata Eunhyuk dan Donghae, pada dasarnya aturan permainannya begitu. Konsekuensi jika seseorang yang ditantang malahan menolaknya, ia akan mendapat kesialan selama bertahun-tahun—entah aku merasa ini hanyalan bualan keduanya belaka tetapi aku yang lebih bodoh pasalnya aku menaruh percaya—. Hey, siapa yang mau sial selama bertahun-tahun?

"Aku serius."

"Baiklah, kau harus…"

.

~oOo~

.

From : Henry

Hyung, kau tidak usah menjemputku ke alamat itu, aku menumpang di mobil temanku saja.

Aku tersenyum simpul. Adik yang pengertian. Baguslah. Aku tak perlu meninggalkan tugas pentingku disini. Itu merupakan tugas yang sangat penting bagiku… bagi organisasiku. Aku punya sebuah organisasi yang beranggotakan mahasiswa jurusan hacking yang mahir, diantaranya Cho Kyuhyun—itu namaku. Namun, aku bukanlah pemegang kendali di dalam organisasi pembobol uang di ATM maupun bank-bank yang beroperasi di Seoul. Aku punya ketua. Cho Kyuhyun hanyalah seorang programmer yang diandalkan jika operasi dilapangan tengah dilakukan. Aku hanya duduk didepan layar komputer serta memangku telepon tanpa kabel. Sembari mengamati titik-titik dimana para polisi buncit berjaga, akupun sibuk mengangkat telepon-telepon yang mendial nomor 112—itu nomor emergency police di Korea Selatan. Bagaimana bisa? Tentu saja. Aku menggunakan trik untuk membuat panggilan yang masuk ke nomor itu ke nomor telepon rumahku. Serta melacak titik koordinasi dimana keberadaan si pemilik ponsel. Takut-takut, mereka berniat menghampiri pos jaga di daerah terdekatnya untuk melaporkan perkara. Jadi, aku bisa mengantisipasinya dengan menghubungi agenku yang sudah ditempatkan di titik-titik tertentu—mereka bisa langsung menembak kepala orang itu.

Menurut informasi yang kuterima, para agen tengah membobol sebuah ATM di dekat sebuah mall yang sudah ditutup—tentu saja, bahkan ini hampir jam sebelas malam. Masih ada beberapa panggilan yang masuk ke nomor teleponku—aku yakin, orang-orang itu orang yang memergoki kerja tim.

KRING!

"Halo? Dengan kantor kepolisian Seoul, Korea Selatan, apakah ada yang bisa saya bantu tuan atau nyonya?" –Ini salah satu bagian yang paling menyenangkan.

Sambil menunggu seseorang diseberang menyahut, aku mengamati layar komputerku. Nomor ponsel yang masih tersambung dengan teleponku di dalam line telepon titik koordinatornya berhasil kulacak. Ia berada di..

"Aku me-mengalami kesuli-tanh disinih."

"Ya?"

"Akuh ti-dak bisah… engh! mengata-si-nya denganh jari-kuh. Ohh!"

A-apa apaan ini? Mengapa ada seseorang yang mendesah ketika ia tahu ia menelepon seorang polisi?

"O-ahh! Ahh! Engh.. akuh butuh- ka.. u.. uhh. Ahh!"

Mataku semakin membelalak. Tak bergerak. Mentapa kepada satu objek saja—komputerku. Dengan satu kaki yang menjuntai ke bawah dan satunya mengangkang diatas kursi putarku, aku dapat merasakan pusat tubuhku agak bergetar mendengar desahan-desahan itu. Pelampiasannya, ku genggam gagang teleponku semakin kuat saja.

"Sshh… Ayolah, ahh, ahh, aku ti-dak tahanh! Tigah jariku-uhh tak cukuph."

Tololnya dirimu, Kyuhyun. Aku benar-benar membayang sosok diseberang sana sedang terbaring dan mengangkang lebar, tangannya merogoh-rogoh lubangnya sendiri. Memasukkan tiga jarinya, memaju mundurkannya cepat. Kemudian, ia mengejang saat sesuatu didalam tubuhnya tersentuh tak sengaja. Impuls tubuhnya melengkung dan kakinya semakin mengangkak menampakkan pemandangan menggairahkan. Ketika tubuhnya terhempas ke ranjang lagi, aku memejamkan mataku membayangkan aku berada diatasnya, menyaksikan wajahnya yang berpeluh dan… seksi. Ah sialan.

Mana? Mana suara cantik itu?

"Ahh. Hah. Hah. Beri-kanh akuh sebuah tan-da, oh! Jangan keras-kerash. Engh!"

Gila. Ia memainkan imajinasiku. Mataku yang masih terpejam engga membuka lagi. Otakku memutar sebuah potongan adegan dimana aku tengah mengecupi leher jenjang seseorang diseberang sana… menjilatnya. Tak sadar lidahku menjilat kedua belah bibirku sendiri.

"Mmh. Ahh. Ahh. Oh! Jangan disanah, nipplekuh, uhh!"

Kemudian membayangkan bahwa aku menyusuri tulang selangkanya kemudian semakin turun ke dadanya. Mengecupi, menjilat, melumat, menghisap seluruhnya—sampai ke puncak dadanya. Di dalam benakku, ia menggelinjang ketika aku menggigit nipplenya dan memberikan rangsangan kepada nipplenya yang lain—menjepitnya diantara ibu jari dan telunjuk.

"Ohh.. Ahh.. Ahh.. Engh! Jangan ber-hentih! Ahh! Yah.. shhh.. terushkanh, ahh."

Kemudian semakin turun ke daerah vitalnya. Mengangkangi kakinya lalu menyusupkan kepalaku diselangkannya. Mengecup pertama kalinya, kemudian mulai menghisap dan melahapnya secara keseluruhan. Kubantu ia mencapai klimaksnya dengan memanjakan titik kenikmatan yang lain diselangkannya. Menekan-nekannya dengan jari-jariku.

"Engh! Ahh, ahh, ahh, a-akuh… uhh… aku- Ahh! Hhh."

Diotakku terbayang-bayang wajahnya yang cantik setelah didera oleh ombak biru pantai yang menyeretnya menuju surge duniawi. Banyak peluh, memejam, menggigit bibir…

"Sayang, giliranmu, maukah?" –Aku masih memejam. Perlahan, kukeluarkan kejantananku dari celana dalamku—oh menegang maksimal, ternyata.

"Mmh. Biarkan milikmu memenuhi mulutku."

Aku tersenyum. Tanganku yang menggenggam kejantananku mulai menaik turunkannya. Membayangkan jika mulut berongga mungil itu memanjakanku dengan kehangatan goanya. Membelitku dengan lidahnya serta menusuk-nusuk lubang diujungnya. Membuatku ngilu. Sehingga aku mengeluarkan geraman serta desahan kecil, sangat kecil.

Kemudian, didalam benakku, kepala cantik itu semakin bringas bergerak maju mundur dan menyempitkan rongga mulutnya sehingga aku merasa terjepit. "Ahh." Desahku. Spermaku layaknya diperas. "Sayang, percepath." Tak sadar, aku memajukan pinggul ke depan dan ke belakang di atas kursi putar ini. Kocokanku semakin kuat dan cepat. Dan ketika klimaksku terasa dekat, aku melangkungkan punggungku dan pinggulku maju sehingga cairanku menyemprot ke layar komputerku.

"Hah. Hah. Hah." Deru nafasku masih tak terkontrol setelah aku merasakan euphoria saat-saat orgasme yang menyenangkan. Setelah nafasku telah normal, aku membersihkan layar komputerku dengan tisu dimeja,

"Halo?"

Tut Tut Tut

Apa?

Sial?

Kenapa terburu-buru?

Aish!

Aku segera melihat ke layar komputerku—mengecek keberadaan si misterius yang menggodaku tadi.

"Huh? Bukankah ini alamat yang sama seperti alamat yang diberitahukan adikku?"

Jangan bilang… dia adalah temannya Henry?

.

~oOo~

.

Previous…

"Aku pilih dare!"

"Wooooooww!"

"Apa?"

"Kau serius, hyung."

"Aku serius."

"Baiklah, kau harus…"

"Hubungi nomor emergency police lalu ajaklah seseorang yang mengangkat teleponmu untuk… phone sex."

"Apa?"

"Direkam ya, hyung."

"Aish!"

.

~o TBC / END o~

.

Yah, saya lagi saya lagi haha. Maafya. Saya Cuma mau minta pendapatnya aja. Ini TBC atau END? END kayanya mah wkwk. Ini noedit ya jadi dimaklumi kalau typonya bertebaran .. My Step Fathernya banyak typo bangetya TuT Samaaa TuT Itu juga noedit jadinya yahhhh… maafya TuT

Yaudahlah. Bagaimana tanggapan kalian untuk fic yang ini? Dimohon reviewnya ya^^