Warning: Oneshoot, Boys Love, western, sedikit kata-kata kasar, no edit, typo(s), dan eNCeh/implisit lemon.

Vans' cuap:

iHola~ Vans kembali membawakan wansyut(?). Vans harap tidak ada yang mual-mual setelah membaca epep ini =.=

Oke tanpa cuap-cuap yang berkepanjangan. Silahkan dibaca dan jangan lupa ripiu ne? ^^

Happy Reading!

.

Menjadi seorang yang kesulitan ekonomi bukanlah keinginan. Semua orang pasti berharap dirinya berkecukupan. Entah itu menjadi seorang keturunan bangsawan, kerabat kerajaan maupun saudagar kaya.

Ya, disini aku adalah seorang miskin ditengah kerajaan West yang begitu mengagumkan, konon katanya. Yang semua orang lihat adalah begitu megahnya kerajaan yang diagung-agungkan oleh semua petinggi didalamnya. Namun satu hal yang mereka tidak ketahui dari kerajaan ini.

Prostitusi.

.

.

.::::::::::::::::::::::::::::::::::.

YOURS

.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

.

.

CTAK

"Kau pikir siapa dirimu, slut?!"

CTAK

Cemeti itu terus menyambar bagaikan halilitar ditengah badai yang tak kunjung reda. Tubuh-tubuh bergelimpangan diatas lantai, menggeliat karena sakit yang mendera. Isak tangis yang bergema lirih dalam ruang bawah tanah yang lembab ini terdengar riuh rendah. Sangat memilukan.

Aku hanya dapat meneteskan air mata dari balik jeruji besi ini. Rasanya sudah berabad-abad aku dikurung disini. Tapi nyatanya barulah semalam aku dijebloskan ke tempat mengerikan ini karena kesalahan kecil yang tak sengaja kuperbuat—menumpahkan teh bunga krisan sang Puteri.

Sungguh malang nasibku. Namun nasibku ini dapat dibilang sangat beruntung. Karena nasibku tak semalang pelayan lain yang dijadikan alat pemuas nafsu para Pangeran.

Ya, benar. Selain menjadi pelayan di kerajaan ini yang bertugas membersihkan kastil, mencuci pakaian dan sebagainya, mereka pun dituntut melayani nafsu para Pangeran dan para tamu kerajaan—itu pun jika ada dan meminta.

Mungkin kalian bertanya-tanya. Siapakah aku?

Baiklah. Aku adalah Jaejoong, begitu seorang pria tua memanggilku. Aku tumbuh dan besar dijalanan. Bahkan aku tidak tahu siapa orang tuaku dan dari mana aku berasal. Karena bagaimanapun penampilanku sangat berbeda dari penduduk kerajaan ini. Sampai pada suatu saat Permaisuri menemukanku yang kala itu sedang meringkuk disudut pagar yang ternyata sangat dekat dengan kastil bagian timur kerajaan West.

Fisikku yang lebih kecil dari pemuda kebanyakan membuatku kerap kali mendapat cemoohan dan ejekan. Rambutku pun berwarna hitam legam, hal yang sangat langka di negeri ini. Sedangkan rambut orang-orang sekitarku berwarna pirang, coklat dan merah. Kulitku pun berbeda dari mereka yang putih pucat dan berbintik-bintik. Kulitku bertekstur lebih lembut dan putih mulus. Itu juga salah satu alasan mengapa aku kerap kali dijauhi oleh anak perempuan seumuranku.

Dan yang paling mencolok adalah mataku. Mataku yang beriris hitam legam, bukan biru, hijau maupun kemerahan.

Mata yang membuatku sempat diincar oleh Pangeran Edmund dari kerajaan North.

BRAK

Aku tersentak saat mendengar suara gebrakan yang lumayan kencang. Ternyata Kepala Pelayan Kerajaan, Theodore, yang baru saja memasuki ruang bawah tanah yang pengap ini.

"Mohon maaf sudah mengganggu Anda, Pangeran. Permaisuri memerintahkanku untuk membawa semua pelayan tanpa terkecuali ke Great Hall," ujarnya seraya membungkuk Pangeran Davith, pria yang tadi mencambuki para pelayan wanita.

Pangeran Davith adalah putra Raja dari Selir Pertama yang terkadang membuatnya menjadi besar kepala, menurutku. Terlebih lagi, selama aku bekerja satu tahun disini Pangeran Davith 'lah yang paling 'memperhatikan' para pelayan. Namun satu hal yang patut aku syukuri darinya: dia tidak menyukai sesama jenis! Serupawan apapun ia.

Aku masih memperhatikan dialog antara Theodore dan Pangeran Davith. Semenit kemudian sang Pangeran itu pun beranjak dari tempatnya. Tapi tiba-tiba ia menolehkan wajahnya saat melewati selku dengan seringaiannya yang menyebalkan.

Ya Tuhan, tolong lindungi aku…

.

.

.

.

.

Aku menghela nafas berat. Aku berharap kelak aku dapat keluar dari istana ini dengan selamat.

Permaisuri mengumpulkan para pelayan guna mengumumkan hal yang menurutnya sangat penting. Empat hari lagi kerajaan akan mengadakan sebuah acara besar—entah apa itu aku tak tahu—yang pastinya akan mengundang para Raja dan Pangeran dari kerajaan tetangga dan negeri seberang.

Aku harap Pangeran Edmund tidak hadir. Semoga…

Kurenggangkan tubuhku yang terasa amat pegal. Baru saja aku selesai membersihkan kandang kuda bersama Phill dan Ired. Aku melepas rompi lusuh yang kukenakan dan meletakkannya kedalam ember disamping sumur. Kulirik Phill yang sedang menggosok punggung seekor kuda yang kuketahui milik Pangeran Nathan, putra Raja dari Selir Ketiga. Pemuda berambut pirang itu—Phill bersenandung ria sembari menyiramkan air pada kuda berwarna coklat tersebut.

Sedangkan rekanku yang satunya, Ired tengah mengangkut kantung-kantung berisi rumput segar ke kandang kuda. Ired, seorang pemuda berperawakan tinggi kurus berambut merah.

"Jae, apa kau sudah selesai?"

Aku menolehkan kepalaku kearah Phill yang masih berkutat dengan aktivitasnya. Aku menganggukan kepalaku, "Tentu saja. Tapi aku harus mencuci pakaianku dulu sebelum masuk ke dapur," jawabku.

Phill ikut mengangguk pelan. "Sebagai laki-laki, kau terbilang sangat rajin, Jae. Yang kutahu para pria disini sangat jarang yang rajin sepertimu. Bahkan kau tidak punya bulu kaki dan bulu dada sedikitpun. Aku jadi ragu kalau kau itu laki-laki-"

Aku menggerutu mendengar kelakar Phill yang menurutku sangat tidak lucu. Kuraih ember kecil disampingku yang terisi air dan kemudian melemparkannya kearah pemuda itu. "Dasar gila!"

"Ouch! Ini sakit, Jae!" racaunya saat lemparanku tepat mengenai punggungnya yang kini basah oleh air. Aku memeletkan lidahku pada pemuda pirang itu, "Makanya jangan asal bicara. Rasakan!"

Tak mau peduli lagi, aku pun melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda. Salah satu hal yang menurutku lumayan berat adalah saat menimba air. Entah siapa yang sudah merancang timba sumur ini. Ember yang digunakan untuk menimba sangat besar menurutku. Terasa sangat berat saat aku menarik tali tambang guna mengangkat ember yang kini terisi penuh oleh air.

"Kesulitan, Jae?"

Suara Ired mengejutkanku. Masih dalam posisi menarik tambang timba, aku menjawab pemuda jangkung itu, "Iya. Bisa kau bantu aku sebentar, 'Red?" tanyaku. Berselang beberapa detik, dapat kurasakan kehadirannya disampingku. Tangannya yang terbilang kekar dalam tubuhnya yang kurus itu memegang erat tambang yang sedang kupegang. "Sekarang lepaskan saja, Jae. Aku saja yang menariknya."

"Baiklah. Terima kasih, 'Red," ucapku sambil tersenyum simpul. Kulepaskan genggamanku pada tambang itu dan beranjak perlahan—membiarkan Ired untuk menarik timbanya. Setelah beberapa saat, akhirnya ember timba yang besar itu keluar juga dari sumur. Dengan hati-hati Ired meletakkan ember tersebut didekat kakiku.

"Ini dia, Jae-"

Aku tersenyum sumringah saat melihat bahwa ember itu benar-benar terisi penuh. Dengan begini aku bisa mencuci sampai bersih.

"Ah, Ired, sebagai gantinya kemarikan bajumu. Sekalian aku cucikan sampai bersih-" tawarku padanya. Ired tersenyum senang saat mendengar tawaranku yang sepertinya sangat menggiurkan. Namun tiba-tiba Phill memekik keras pada kami, "Jae, kenapa kau tidak tawari aku juga?!"

Aku dan Ired balas tertawa melihat Phill yang kekanakan, "Asalkan kau mau memijat punggungku, tak masalah-…" Ired terkikik geli sembari melepaskan pakaiannya.

Kami bisa sesantai ini karena memang hari sudah beranjak sore. Santai seperti ini pun dikarenakan setiap sore hari para anggota kerajaan akan berjalan-jalan ke kastil utara atau timur. Jadi kami bisa sedikit beristirahat di sore hari.

Hah… Aku harap dapat tidur di tempat yang nyaman malam ini.

"Apa yang sedang kalian lakukan?"

Aku, Ired dan Phill seketika menghentikan tawa kami saat mendengar suara yang cukup familiar ditelinga. Dapat kulihat Pangeran Nathan dan Pangeran Cloud—putra Raja dari Selir Kedua—berjalan menghampiri kami.

Kami pun segera merapat dan menundukkan kepala sejenak. Kedua Pangeran itu kini berdiri tepat dihadapan kami. Bahkan Ired tadi langsung memungut pakaiannya yang baru saja ia lepas dari ember.

TAP TAP

"Apa Gig sudah dimandikan?" tanya Pangeran Nathan. Serempak kami mengalihkan pandangan kearah sang Pangeran yang tengah mengelus leher kuda miliknya. "Sudah, Pangeran-" jawab Phill tegas.

Sekedar informasi saja. Raja West kali ini memiliki seorang Permaisuri dan empat orang Selir. Dengan Permaisuri, Raja memiliki seorang putra yang menjadi Putera Mahkota bernama Edward. Selir Pertama, Pangeran Davith dan Puteri Azele. Selir Kedua, Pangeran Cloud. Selir Ketiga, Pangeran Nathan dan Puteri Helena. Dan dengan Selir Keempat, Pangeran Alan dan Pangeran Frederick—kembar.

Semua putra dan putri raja ini tinggal dalam istana utama. Kecuali bagi para selir yang ditempatkan disetiap kastil yang ada: barat, utara, timur dan selatan. Sedangkan Permaisuri tinggal di istana utama bersama para keturunan Raja.

Raja? Tentu saja tinggal secara 'bergilir'. Karena bagaimanapun ia harus adil pada semua selirnya. Tetapi kastil seberang istana utama 'lah tempat di mana sang Raja dan para petingginya berdiskusi. Aku tidak tahu secara pasti seperti apa kastil itu, karena aku belum ke tempat itu sama sekali.

Aku sedikit bergridik saat menyadari tatapan Pangeran Cloud yang diam-diam menghanyutkan. Dari semua Pangeran yang ada, hanya Pangeran Cloud yang menurutku sangat pendiam. Dengan perawakannya yang hampir sama dengan Putera Mahkota Edward—tinggi, kekar, berambut coklat dan bermata hijau juga tampan—membuatnya menjadi Pangeran paling disegani setelah Putera Mahkota Edward. Sangat berbanding terbalik dengan Pangeran Davith yang notabene pangeran satu.

Namun siapa yang tahu kalau pangeran yang satu ini adalah seorang player. Bisa kalian bayangkan 'kan, ayahnya saja sudah seperti itu—mempunyai lima orang istri yang semuanya 'terbuahi'—apalagi anak-anaknya?

Aku yakin pasti mereka mempunyai hasrat seks yang sangat tinggi. Sungguh mengerikan.

"Apa ada yang salah dari penampilanku?"

Aku tersentak saat Pangeran Cloud menghampiriku dan berkata seperti itu.

Oh Tuhan… Selamatkan aku…

"Tidak, Pangeran. Ampuni hamba yang sudah lancang," ucapku lirih sambil menundukkan kepalaku dalam. Tubuhku sedikit gemetar saat merasakan sentuhan didaguku. Daguku terangkat perlahan—membuat kepalaku kembali mendongak.

Seketika tubuhku membeku saat melihat ternyata Pangeran Cloud yang berbuat seperti ini kepadaku. "Siapa namamu?" tanyanya.

Tuhan… Bagaimana ini?

"Jae—Jaejoong, Yang Mulia-…" Oke, aku harap tidak akan terjadi apa-apa setelah ini.

SRET

Hufft…

Tanpa sadar aku menghela nafas lega saat Pangeran Cloud melepaskan sentuhannya didaguku. Aku kembali menundukkan kepalaku.

"Ah-.. Ternyata kau yang dibicarakan Davith? Menarik."

Kugigit bibir bawahku saat mendengar penuturan pemuda dihadapanku itu. Jangan bilang kalau Davith sudah mengincarku. Damn!

"Kerja yang bagus. Aku harap kudaku akan siap untuk acara nanti. Persiapkan dengan baik!"

Aku mendengar titah Pangeran Nathan pada kami. Kemudian disusul dengan langkah kaki yang menjauhi kami.

Setelah beberapa saat, aku mendongak dan segera memastikan bahwa keadaan sudah aman. "Phill, Ired, mereka sudah pergi," gumamku. Kulirik Phill dan Ired yang segera beranjak menuju sebuah batang pohon yang tumbang tak jauh dari sumur. Mereka pun duduk disana.

"Sial, tadi itu mengejutkan sekali!" seru Phill. Pemuda berambut pirang itu menggaruk kepalanya gemas. Sedangkan Ired kembali melepaskan pakaiannya dan melemparkannya kearah ember cucian.

Aku mencoba untuk menetralkan kembali detak jantungku yang sempat berpacu karena kejadian tadi. Dengan santai aku pun mendudukan diri diatas sebuah kursi berukuran sangat kecil. Kembali meneruskan kegiatanku yang sempat tertunda tadi. Mencuci pakaian.

.

.

.

.

.

Tak terasa hari itu pun tiba. Istana utama telah dihias sedemikian rupa guna menyambut para tamu yang katanya akan tinggal di istana utama dalam 8 hari kedepan. Menurut kabar burung diantara para pelayan, ada sekitar lima kerajaan yang akan bertandang ke kerajaan West. Tetapi anehnya, mereka menyebutkan bahwa hanya para pangeran saja yang akan datang.

Karena ada suatu maksud lain dibalik penyelenggaraan acara ini, yaitu mencoba menjodohkan para pangeran itu dengan Puteri Azele dan Puteri Helena. Mungkin dengan tercapainya maksud itu kerajaan West dapat memperluas kekuasaannya. Entahlah, aku tidak begitu mengerti dengan urusan politik kerajaan.

Aku, Ired dan seorang pelayang wanita bernama Irene bertugas membuat kudapan untuk jamuan teh sore hari ini. Sebenarnya hanya aku dan Irene yang membuatnya. Tapi dengan adanya Ired kami jadi terbantu dengan tenaganya.

"Aku dengar para pangeran kerajaan yang diundang sudah hadir semua. Aku jadi penasaran seperti sosok para pangeran itu-" Irene berkata seraya mengaduk adonan kue. Aku memutar mataku jenuh. Dasar perempuan. Tapi-… Aku juga penasaran sih. Hehe…

"Ah, Irene, kudengar dari Rose kalau ada satu kerajaan dari negeri seberang yang ikut bergabung. Dan kalian tahu? Katanya mereka berambut hitam, sama seperti Jaejoong."

Aku berhenti mengoyak adonan saat mendengar perkataan Ired yang baru saja keluar dari gudang bahan makanan. Pemuda berambut merah itu kemudian menyerahkan sekantung tepung pada Irene.

"Tidak masalah ia satu ras denganku atau tidak. Toh kami juga sama-sama manusia. Apa bedanya?" ujarku sembari melanjutkan mengolah adonan yang sudah setengah jadi. Irene bersenandung lirih dan malah beralih mengambil bahan adonanku. "Hei, kembalikan."

Perempuan berkepang itu malah terkekeh geli mendengar gerutuanku. "Kau ini sensitif sekali, seperti seorang perempuan." Irene kembali menyerahkan adonan yang ia rebut tadi.

Dasar menyebalkan!

Aku kembali berkutat dengan adonanku. Bisa dibilang, aku adalah satu-satunya pelayan laki-laki yang bisa memasak. Aku bisa memasak karena sedari kecil aku sudah diajarkan hidup mandiri oleh Ted, seorang pria tua yang merawatku sedari bayi sekaligus yang memberikanku nama. Ted yang kala itu bekerja sebagai koki di sebuah kedai kecil tengah kota mengajarkanku berbagai macam hal. Sampai aku berumur 14 tahun, Ted meninggal dunia dikarenakan sakit.

BRAK

"JAEJOONG!"

TAP TAP TAP

Kedua tanganku berhenti mencampur adonan saat mendengar suara teriakan yang sangat familiar ditelingaku. Dapat kulihat dua orang anak kecil berlari menghampiriku dengan wajah yang ceria. Mereka Pangeran Alan dan Pangeran Fred, si kembar yang paling manja.

Entah mengapa semenjak Permaisuri memberikan tugas memasak untuk mereka, dua Pangeran hiperaktif itu malah selalu menempel padaku.

"A a a ah~ Pangeran-pangeran kami yang manis, jangan mengganggu Jaejoong. Ia sedang sibuk sekarang," Irene menghadang dua Pangeran yang mencoba menghampiriku itu. Dapat kudengar suara keluhan dari si kembar dibalik tubuh Irene—yang sebenarnya tidak mampu menghalangi karena tubuhnya yang ramping.

"Oh ayolah, Irene-.. Hanya sebentar saja. Kumohon-…"

Aku terkekeh geli saat mendengar permohonan Pangeran Alan pada Irene yang memang selalu bersikap tegas pada dua Pangeran yang kerap kali menguntil didapur itu. Sedangkan Pengeran Fred mengintip lucu dari balik tubuh Irene. "Jaejoong~" sapanya sambil melambaikan tangan padaku. Aku pun membalas lambaian Frederick.

Senyum masih terpatri dibibirku, "Kapan kalian pulang dari kastil selatan, Pangeran? Bukan 'kah kalian mengatakan akan menginap disana selama tujuh hari?" tanyaku pada mereka.

Irene menyampingkan tubuhnya, membiarkan dua Pangeran itu melihatnya secara jelas. "Niatnya memang begitu. Hanya saja tadi malam Yang Mulia Raja memerintahkan kami untuk ikut serta dalam acara-" jelas Alan.

Dua Pangeran kecil berambut pirang itu mendudukkan tubuhnya dikursi dapur secara bersamaan. Irene dan Ired pun segera melanjutkan tugas mereka kembali. Karena memang waktu sudah menunjukan pukul 12 siang.

CEKLEK

Sontak kami semua yang berada didalam dapur mengalihkan pandangan kearah pintu yang terbuka. Terlihat sosok tinggi Pangeran Cloud diambang pintu. "Alan, Fred-… Ternyata benar kalian ada disini. Permaisuri mencari kalian dari tadi. Ayo cepat keluar!" Pangeran Cloud berucap sambil menyilangkan tangannya didepan dada.

Dengan raut wajah yang berat hati, Alan dan Fred pun beranjak dari tempat duduknya lalu kemudian menghampiri Pangeran Cloud yang masih berada disana. "Sampai jumpa nanti sore, Jaejoong," ucap si kembar kompak.

"Oh iya, Irene. Hari ini kau galak sekali seperti nenek-nenek-" goda Fred pada Irene. Sedangkan Alan melambai-lambaikan tangannya sebelum pergi. "Bye, Irene. Bye, Ired-…"

"Bye-…" balas kami tak kalah kompak. Namun pandangan kami belum teralih dikarenakan masih adanya keberadaan Pangeran Cloud diambang pintu.

"Hi, Jaejoong," sapanya tiba-tiba padaku sambil berlalu.

"O—oh.. Hi-"

Kurasakan tatapan aneh yang dilayangkan Irene dan Ired padaku.

"Sejak kapan Pangeran Cloud dekat denganmu?"

Bungkam. Hanya itu yang dapat kulakukan sekarang menghadapi pertanyaan Irene.

Apakah…

.

.

.

.

.

Menjelang malam, para pelayan kembali disibukkan dengan persiapan jamuan makan malam dan pemeriksaan kamar-kamar yang akan digunakan oleh para tamu. Sekarang aku ditugaskan sebagai pemeriksa kamar para tamu. Dan artinya aku –terpaksa- mengelilingi istana ini untuk memeriksa kamar yang jumlahnya kurang lebih sepuluh orang. Karena menurut data yang tertulis, setiap kerajaan dari lima kerajaan yang hadir mengirimkan dua orang pangeran.

Dari kejauhan aku dapat mendengar suara derap langkah kaki yang berasal dari koridor utara. Itu pasti para pangeran. Tak lama kemudian muncul sekelompok orang yang ternyata memang benar para pangeran yang didampingi oleh Putera Mahkota Edward, Puteri Azele dan Puteri Helena.

Aku pun menunduk hormat pada mereka yang berjalan melewatiku. Sebagai pelayan, aku hanya dianggap angin lalu bagi mereka.

Eh, kenapa jadi sepi? Apa mereka sudah lewat?

Kudongakkan kepalaku untuk memastikannya. Namun hal yang tak terduga malah terjadi. Para pangeran itu berhenti tepat didepanku yang merapat pada dinding istana yang dingin.

Ya Tuhan… Ingin sekali rasanya aku berlari dari tempat ini. Namun aku tidak bisa!

Aku tidak tahu apa yang sekarang ada didalam otak mereka. Apa karena saking jeleknya sampai-sampai aku menjadi bahan tontonan seperti ini?

"Hi, sweetheart. Apa kabar?"

Aku terhenyak saat mendengar suara orang yang menyapa. Sial. Itu Edmund!

Dengan percaya dirinya pemuda mesum berambut coklat itu menghampiriku. Tubuhku nyaris tak bisa bergerak saat sosok yang pernah hampir memperkosaku itu kini benar-benar berada dihadapanku. Aku menelan ludahku kasar.

Nampak Puteri Azele dan Puteri Helena yang melirik sinis padaku. Memang selama ini mereka 'lah yang paling tidak menyukaiku. Alasannya pun aku tak tahu. Akibatnya setiap aku berbuat salah—sekecil apapun itu—mereka akan memberikan dengan mengurungku di penjara bawah tanah.

Para pengeran itu belum beranjak dari sana. Itu membuatku rishi sekaligus takut.

"Edward, kapan pesta 'itu' diadakan?" Edmund kembali bersuara tanpa mengalihkan pandangannya. Putera Mahkota Edward—yang nyatanya adalah sahabat Edmund—menjawab, "Malam ketujuh, Edmund. Aku harap kau bisa bersabar."

Pesta? Apa akan ada pesta lagi? Kuharap bukan pesta seks lagi yang dimaksud dua orang itu.

"Ehem-.. Yang Mulia, mari kita lanjutkan perjalanan. Aku rasa hidangan malam sudah siap untuk disantap," Azele akhirnya bersuara. Perempuan berambut pirang itu tersenyum manis. Tapi dalam pengelihatanku, senyum itu sangat memuakkan!

Dan tak lama kemudian mereka pun kembali melanjutkan langkah mereka. Tapi ada satu hal menarik perhatianku. Dua orang dari mereka berambut hitam pendek. Tubuh mereka tinggi dan berisi, berbeda jauh dengan tubuhku yang agak pendek dan kurus. Apa mungkin pengaruh karena mereka adalah pangeran?

Tiba-tiba salah satu pangeran berambut hitam yang aku perhatikan tadi menoleh padaku. Nafasku tercekat saat melihat wajahnya yang sangat tampan dengan mata mirip mata musangnya yang tajam. Bentuk wajahnya pun kecil, tapi hal itu malah makin memperparah tingkat manly-nya. Dia tersenyum kecil padaku. Sedangkan aku hanya bisa termangu, bergeming.

Setelah mereka menghilang dibalik koridor, barulah aku beranjak dari tempatku berdiam tadi. Kusentuh dadaku yang terasa berdebar kencang. Ada apa ini? Apa aku sedang sakit?

Kugelengkan kepala untuk mengusir pikiran-pikiran yang mengganggu itu. Fokus, Jae, fokus!

Oke, aku akan melihat denah beserta daftar nama penghuni kamar.

Ruang Satu letaknya di lantai satu bagian barat untuk kerajaan Trot. Kamar A: Pangeran Andreas, kamar B: Pangeran James.

Ruang Dua lantai satu bagian timur, kerajaan Weffre. Kamar A: Pangeran George, kamar B: Pangeran Greg.

Ruang Tiga lantai dua bagian barat, kerajaan North. Kamar A: Pangeran Steve, kamar B: Pangeran Edmund. Eugh, aku harus lebih berhati-hati jika sedang berada di lantai ini.

Ruang Empat lantai dua bagian timur, kerajaan Toho. Kamar A: Pangeran U-Know, kamar B: Pangeran Max. Toho? Nama yang aneh. Apa ini kerajaan yang berasal dari negeri seberang itu?

Ruang Lima lantai tiga bagian timur, kerajaan Howlight. Kamar A: Pangeran Smith, kamar B: Pangeran Luke.

Baiklah, saatnya menjalankan tugas!

.

.

.

.

.

Pagi hari yang sangat cerah diluar sana. Terdengar suara burung-burung yang merdu. Semakin membuat pagi ini begitu sempurna. Bermandikan cahaya matahari pagi aku, Irene, Rose dan beberapa pelayan lain berjalan menyusuri taman istana sambil membawakan bernampan-nampan santapan pagi untuk para pangeran dan puteri.

Pilihan yang bijak dari Putera Mahkota untuk membuat acara sarapan pagi lebih berkesan. Sebuah meja berukuran panjang sudah tersedia ditengah-tengah taman kerajaan West yang indah ini. Aku dan lainnya segera meletakkan nampan-nampan itu lalu dengan cepat menatanya diatas meja berdasarkan instruksi dari Theodore.

Setelah selesai, kami pun berpamit pada Theodore yang bertugas untuk menanti kedatangan para pangeran dan puteri tersebut. Kembali masuk ke dalam istana melewati jalur belakang yang langsung terhubung dengan dapur.

Saat hampir sampai ke pintu dapur, aku melihat Phill dan Ired yang tengah membawa beberapa pelana kuda dari arah gudang penyimpanan. Tersenyum sumringah karena berpikir bahwa tugasku di dapur telah selesai, aku pun melesat menghampiri dua temanku itu.

"Hey, guys. Boleh aku bantu?"

"Hey, Jae. Tentu saja jika kau tidak sedang sibuk," balas Phill.

Aku menggeleng pelan sambil tersenyum, "Tugasku di dapur sudah selesai. Baiklah kalau begitu. Berapa pelana lagi yang kalian butuhkan?"

Ired membetulkan posisi pelana yang dipanggulnya sebelum berbicara, "Kebetulan ada satu lagi yang tertinggal di gudang. Kau bisa mengambilnya sekarang."

Aku pun segera berbalik dan berlari kecil menuju gudang penyimpanan. Setelah menemukan pelana yang dimaksud, aku pun keluar dari gudang dan menghampiri mereka.

"Apa para pangeran itu akan berkuda?" tanyaku.

"Iya. Tadi Theodore memberitahukan jika para pangeran itu akan berkuda siang nanti-" jelas Phill.

Sesampainya di kandang kuda yang luas ini, kami pun segera mengumpulkan pelana-pelana itu dan menghitungnya kembali sebelum dipasangkan pada kuda yang akan digunakan.

"Memangnya para pangeran itu tidak membawa kuda?" tanyaku pada Ired, merasa heran karena tidak biasanya para tamu kerajaan tidak membawa kudanya sendiri.

"Aku juga tidak tahu, Jae. Tapi yang kutahu mereka datang kemari menggunakan kereta kuda kerajaan West, mereka tidak membawa kuda-"

Aku pun mengangguk mendengar keterangan dari Ired. Kami bertiga segera memasang pelana-pelana tersebut pada empat belas ekor kuda berbeda warna. Khusus para Pangeran kerajaan West, mereka tentu memiliki kudanya masing-masing yang akan digunakan. Kecuali si kembar Alan dan Fred yang belum diperbolehkan menunggang kuda karena masih berumur dibawah lima belas tahun.

"Jae, sepertinya Hoff menyukaimu," sahut Phill padaku yang sedang menggosok-gosokkan telapak tanganku pada seekor kuda jantan berwarna hitam legam. "Hoff? Apa dia bernama Hoff?" tanyaku.

Phill tersenyum lebar, "Yup. Hoff, kuda kesayangan Pangeran Cloud."

Tanganku seketika berhenti menggosok leher kuda berwarna hitam legam tersebut. Yang kudengar sekarang adalah siulan menggoda Ired yang dilanjutkan dengan tawa bodoh dari kedua orang itu. Ugh, sangat menyebalkan sekali!

Aku pun berjongkok untuk mengambil sekepal jerami untuk kemudian kulemparkan pada mulut Phill dan Ired yang terbuka lebar saat tertawa. Dan sekarang, giliranku untuk tertawa kala melihat mereka terbatuk-batuk karena mulutnya kemasukan helaian jerami.

"Rasakan!" pekikku sambil berlalu, menghampiri seekor kuda berwarna coklat dengan corak putih didahinya. Kupasangkan pelana pada punggungnya. Walau sebenarnya aku agak sedikit kesulitan saat memasangnya karena tentu saja semua kuda disini adalah kuda terbaik –yang bertubuh gagah dan besar.

"Hey, siapa namamu?" sapaku pada kuda tersebut. Aku tahu ini cukup bodoh, karena kuda tidak dapat berbicara. Tapi entah kenapa aku sangat ingin mengajak mereka mengobrol.

"Namanya Vick, Jae. Kuda yang baru saja dibeli seminggu yang lalu. Sebenarnya dia salah satu kuda yang agak sulit diatur, mungkin sedikit kesulitan menyesuaikan diri. Tapi nampaknya dia sangat menyukaimu-"

Aku mengusap pelan leher Vick yang terasa sangat kokoh ditelapak tanganku. Kuda itu meringkik senang saat kuusap daerah tersebut. Seperti dia menyukai sentuhan dibagian ini.

Suara derap langkah terdengar dari arah pintu kandang kuda. Nampak Theodore berjalan agak cepat menghampiri kami yang masih sibuk mempersiapkan kuda yang sebentar lagi akan digunakan oleh para pangeran.

"Apa kalian sudah selesai?" tanyanya dengan nada suara yang khas. Kepala pelayan kerajaan itu mengedarkan tatapannya keseluruh ruangan yang dipenuhi kuda-kuda yang telah kami persiapkan. "Apa sudah lengkap?" tanyanya lagi.

Phill—sebagai pelayan yang bertanggung jawab tentang pemeliharaan kuda kerajaan, maju mendekat kearah Theodore. "Sudah. Jumlah yang kauminta tadi empat-belas ekor. Semuanya sudah siap berikut dengan pelananya," papar Phill.

Theodore mengangguk paham, "Baiklah, sebaiknya kalian segera bawa keluar kuda-kuda itu. Sebentar lagi para Pangeran dan Puteri akan menuju kemari. Bergegaslah."

Kami pun menganggukkan kepala lalu dengan segera melaksanakan tugas kami selanjutnya.

Sepuluh menit berlalu. Tugas sudah kami selesaikan dengan baik. Semua kuda itu kami ikat ditempat biasa kuda berjemur atau akan digunakan—tepat dibawah pohon yang rindang.

Aku, Phill dan Ired hanya tinggal menunggu para Pangeran dan Puteri datang. Karena tugas kami yang selanjutnya adalah membantu para Pangeran tersebut naik ke punggung kuda. Bukan, bukan benar-benar membantu mereka menaiki punggung kuda dengan mendorong bokongnya keatas. Tetapi membantu dengan menenangkan kuda-kuda tersebut agar tidak merasa terkejut saat para Pangeran itu naik.

Tak lama kemudian, dari kejauhan mulai terlihat para Pangeran dan Puteri itu menapaki halaman belakang kerajaan West yang sangat luas. Para Pangeran tampak mengobrol satu sama lain dengan antusias. Sedangkan para Puteri—Puteri Azele dan Puteri Helena tampak berjalan anggun dengan payung renda berwarna-warni yang mereka gunakan. Padahal siang ini matahari tidak begitu terik menyinari, malah kalau bisa dibilang agak berawan.

Ah, dasar Tuan Puteri!

"Baiklah, teman-temanku, sesuai dengan agenda kita hari ini yang didukung dengan cuaca yang cerah seperti ini, alangkah baiknya kita bersenang-senang terlebih dahulu sebelum kita menunjukkan siapa yang terbaik dalam hal menunggang kuda-" Putera Mahkota Edward tersenyum lebar pada para Pangeran yang disambut dengan senyuman juga dari para pangeran tersebut. Antusiame yang lumayan tinggi.

"Teman-temanku, berhubung kalian kali ini tidak membawa kuda kesayangan masing-masing, silahkan pilih diantara kuda-kuda yang sudah kami persiapkan untuk kalian semua. Aku harap ada yang cocok untuk kalian gunakan-"

Para Pangeran tersebut dengan segera menghampiri kuda yang sudak kami persiapkan. Sedangkan para Pangeran kerajaan West sudah menunggangi kudanya masing-masing—terkecuali Alan dan Fred yang malah duduk diatas kayu yang tumbang disamping pohon.

Tatapanku terus tertuju pada Vick, kuda yang aku sukai. Kira-kira siapa Pangeran yang akan memilihnya atau dipilihnya?

Aku mencebilkan bibirku saat melihat Edmund menghampiri Vick. Pemuda mesum itu mencoba mengelus leher Vick. Namun Vick seakan menghindar dari sentuhan Edmund. Padahal lehernya adalah daerah yang Vick sukai jika diusap.

Hah, rasakan kau, Edmund! Vick, jangan mengizinkannya untuk naik kepunggungmu! Seruku dalam hati.

Aku tersenyum meremehkan saat Edmund menggerutu tajam karena Vick tidak mau menurutinya. Haha…

Namun seketika mataku terpaku pada seseorang yang menghampiri Vick sepeninggal Edmund. Pemuda itu, pemuda yang mampu membiusku dalam tatapannya.

Mata serupa mata musang itu sangat mempesona. Bibirnya yang berbentuk unik tersenyum kecil pada Vick. Dan tangannya-… Eh, sejak kapan pemuda itu mengusap-usap leher Vick?

Vick terlihat sangat nyaman dengan usapan pemuda itu. Seperti saat aku mengusap lehernya, dia meringkik dengan antusias yang sama pada sentuhan pemuda itu.

DEG

Aku menahan nafasku sesaat saat pemuda itu menatapku dengan tatapannya yang mematikan itu. Tubuhku seakan kaku untuk bergerak. Ya Tuhan…

"Ayo, Jae-"

Ired menarik tanganku kedepan untuk melaksanakan tugas selanjutnya. Beberapa dari pangeran-pangeran itu nampak tidak mengalami kesulitan berarti saat menaiki punggung kuda yang telah dipilihnya.

Namun Pangeran bermata musang itu belum juga naik keatas punggung Vick. Aku pun menghampirinya dan menawarkan bantuan, "Silahkan naik, Yang Mulia. Akan hamba bantu-"

Kuusap leher dan kepala Vick—mencoba untuk membuatnya rileks selagi Pangeran tampan itu naik ke punggungnya. "Kau tahu siapa namanya?"

Aku tetap mengelus Vick tanpa mengalihkan pandangan keasal suara. Pangeran tampan bermata musang itu bertanya padaku. "Namanya Vick," jawabku sedikit gugup.

"Kalau dirimu sendiri-.., Siapa namamu?" Akhirnya aku mendongakkan kepalaku, menatap polos pada Pangeran asal negeri seberang itu. "Aku?"

Pangeran itu pun mengangguk, mengiyakan. Berarti dia sedang bertanya namaku. Namaku!

"Ha—hamba-… Jaejoong, Yang Mulia."

Kulihat ekspresi wajahnya yang sedikit berubah. Ada apa? Apakah ada yang salah dari perkataanku tadi?

"Jaejoong? Namanya yang cukup aneh ditempat seperti ini," ujarnya. Aku menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. "Itu nama panggilan dari kakek hamba, Yang Mulia-" jawabku berusaha agar tidak terdengar lancang. Karena bagaimanapun aku hanyalah seorang pelayan disini.

Pangeran tampan itu terkekeh, "Tidak perlu gugup seperti itu. Baiklah, kita lanjutkan nanti saja. Sepertinya Putera Mahkota Edward bersemangat sekali hari ini. Bye, Jaejoong-"

"Bye-…" Aku melambaikan tangan padanya yang mulai menjauh. Aku terkikik geli saat teringat perkataanya mengenai Putera Mahkota Edward. Disana terlihat Putera Mahkota Edward sangat bersemangat sambil memberikan intruksi kepada para Pangeran. Setelahnya para Pangeran itu pun berkeliling dengan menunggangi kuda sampai mereka menghilang masuk ke hutan.

"Jae!"

Aku membalikkan badan dan menemukan si kembar yang tengah melambaikan tangan padaku, mengajakku untuk segera menghampiri mereka. Kulirik Phill dan Ired yang sedang melepas lelah dibawah pohon bersama si kembar. Dengan riang, aku pun menghampiri mereka. Namun tiba-tiba semuanya buyar dikarena ada suara melengking memekakkan telinga yang memanggil namaku—suara para Tuan Puteri.

"Jaejoong! Apa kau melupakan tugasmu?"

Aku mengerutkan dahi mendengar pertanyaan dari Azele yang terkesan angkuh. "Hamba tidak mengerti, Tuan Puteri. Tugas hamba kali ini adalah mengurus semua kuda dan keperluannya-…"

"Kau berani membantah?" Belum selesai berbicara, Helena menyambarku dengan pertanyaan yang membuatku tidak dapat berkutik. Dengan segera aku pun membungkuk pada mereka. "Maafkan atas kelancangan hamba, Yang Mulia-…"

Dapat kudengar langkah ringan mereka menghampiriku. Kutegakkan tubuh dengan kepala yang menunduk menatap tanah yang kupijak dibawahku. "Malam ini datanglah ke ruang bawah tanah-" desis Azele.

Aku terhenyak saat mendengar nama tempat itu lagi. Kenapa aku dijebloskan lagi kesana? Sebenarnya apa salahku?!

Mataku sedikit berkabut setelahnya. Tahan, Jae. Kau tidak boleh menangis!

Kugigit bibir bawahku agak keras, mencoba menahan air mataku yang sudah mengumpul dipelupuk mata. Aku menatap sendu pada dua Tuan Puteri yang angkuh itu—Azele dan Helena.

Dengan langkah lunglai, aku segera menghampiri dua temanku dan si kembar yang menatapku prihatin. Ah… Aku duduk diatas tanah berdampingan dengan Ired dan Phill yang masih menatapku dengan raut wajah yang khawatir.

"Apa yang mereka katakana padamu, Jae?" Aku mengalihkan pandangan pada si kembar yang juga menatapku dengan tatapan yang sama. "Tenang saja. Bukan suatu hal yang harus dikhawatirkan-" ujarku sambil mencoba untuk tersenyum pada mereka.

Alan menggelengkan kepalanya, "Tidak mungkin kalau bukan apa-apa, Jae. Mereka itu picik, mereka-"

"Ssssttt-… Pangeran, jangan berkata seperti itu. Bagaimanapun mereka adalah saudara Pangeran."

Fred mendengus, "Mereka selalu saja seperti ini, selalu semena-mena. Kami tidak pernah menyukai mereka. Walapun mereka saudara perempuan kami, tapi kami benar-benar tidak menyukai mereka-"

Kuulas senyum kecil seraya menggenggam tangan dua anak lelaki yang sudah kuanggap adikku sendiri itu. Helaan nafas pelan keluar dari bibirku. Mencoba untuk tetap tegar menghadapi hal yang terjadi.

Tepukan lembut terasa dipundakku. Aku melirik Phill yang tengah meletakkan telapak tangannya dipundak sebelah kiriku. Pemuda pirang itu tersenyum menyemangatiku. Hal itu nyatanya membuatku makin melebarkan senyumku.

"Semua akan berbuah manis, Jae," sahut Ired. Pemuda berambut merah itu menepuk punggungku pelan. Si kembar, Alan dan Frederick, balas menggenggam tanganku lalu kemudian mengayun-ayunkannya lumayan kencang.

"Bagaimana kalau kita bermain petak umpet?" Alan terpekik senang mendengar usulan dari kembarannya itu.

Kami semua mengangguk senang. Tidak ada salahnya bermain sebentar mengisi kebosanan selagi para Pangeran itu berkuda di hutan sana.

Aku teringat akan suatu hal, "Tapi-… Bagaimana dengan mereka?" bisikku.

Serempak mereka menghentikan candaan mereka saat mendengar perkataanku. Semua kepala mengarah pada dua orang itu—dua Tuan Puteri yang sedang meminum teh dengan anggunnya di bawah pohon yang rindang.

Alan dan Fred mencibir, "Biarkan saja-.."

Tak peduli dengan apa yang akan terjadi nanti, kami pun terkikik lumayan keras dan detik kemudian kikikan itu berhenti saat merasakan tatapan aneh nan tajam dari arah seberang. Sepertinya suara kami memang sangat lumayan keras karena mampu membuat Azele, Helena dan Theodore menoleh kearah kami.

"Apa yang sedang kaulihat, Theodore?" tanya Fred sembari berkacak pinggang dan menaikkan sedikit dagunya. Dasar anak ini. Ada-ada saja!

Theodore sedikit gelagapan saat Fred dan Alan menatapnya dengan sengit. Pria itu pun berdeham dan membungkukkan sedikit tubuhnya, "Tidak ada, Tuan Muda. Silahkan lanjutkan aktivitas Anda."

Aku menggigit bibirku guna menahan tawa yang kapan saja bisa meledak. Jarang-jarang kami bisa melihat kepala pelayan yang angkuh tersebut gemetaran karena Tuan Muda kecilnya itu. Hah!

"Ayo pergi. Satu menit kita terbuang sia-sia karena meladeni mereka," ucap Alan sengit. Kami pun segera membalikan badan setelah membungkuk singkat pada Azele dan Helena—maksudnya hanya aku, Ired dan Phill.

Dan si kembar pun membawa kami ke tepian hutan untuk bermain.

.

.

.

.

.

Tangaku mengusap pelipisku yang basah oleh peluh. Nafasku sedikit terengah. Lantas aku pun segera mendudukkan tubuhku dibalik semak-semak tempat persembunyianku dan menarik nafasku perlahan. Kuedarkan pandangan, memastikan tidak ada yang mengikutiku dibelakang. Namun…

SRAK

"HAH!"

Hosh… Hosh… Kupegang dada sebelah kiriku yang terasa berdenyut-denyut. Jantungku berdebar dengan kencang, seakan copot dari tempatnya. Fred tertawa kencang melihatku yang kaget. Mungkin ekspresiku kali ini seperti habis dikejar-kejar setan. Tapi-… Aku rasa 'setan'nya benar-benar ada dihadapanku sekarang!

"Hahahaha-… Raut wajahmu lucu sekali, Jae. Pantas saja kau kalah terus. Kau benar-benar tidak pandai bersembunyi, Jae!"

Frederick tertawa terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya yang bergetar karena tertawa. Aku mendengus kasar sembari mencoba menormalkan nafas dan detak jantungku. Dasar bocah!

Tak berapa lama kemudian, setelah puas tertawa Fred mengulurkan tangannya yang mungil kearahku yang masih duduk diatas tanah. Aku pun dengan senang hati menerima uluran tangan itu. Ya, meskipun aku tidak menumpukan berat badanku pada Pangeran kecil ini, setidaknya hal ini sedikit membantuku menyeimbangkan posisi tubuhku.

Aku menepuk kepala Fred ringan. Hal yang sering aku lakukan pada si kembar kala bersantai seperti ini. "Kau berhasil mengejutkanku, Fred-" ujarku tanpa sungkan.

Sedangkan Fred yang mendengar perkataanku hanya menyengir tidak jelas. Kekehan kecil keluar dari bibirku. Fred pun dengan semangatnya menarik—menyeret sebenarnya—tanganku lalu berlari kecil menuju tepian hutan.

"Fred, bisakah kita istirahat sejenak?" tanyaku.

Fred menghentikan langkahnya lalu menoleh padaku. "Tentu. Apa kau lelah?"

Aku mengangguk tanda membenarkan.

"Baiklah kalau begitu. Tunggu 'lah disini sebentar, aku akan memanggil yang lain-"

"Tidak, Pangeran. Sebaiknya kau yang tunggu disini. Biar aku saja yang memanggil mereka."

"Ck. Kita sedang bersantai, Jae. Jangan memanggilku dengan sebutan aneh itu."

Aku menutup mulutku dengan punggung tangan saat tertawa. Aku sangat menyukai wajah merengut si kembar. Sangat menggemaskan!

"Aku tahu tempat mereka bersembunyi. Jadi tidak akan memakan banyak waktu untuk menemukan mereka. Cepat duduk diatas batu itu, ini perintah!" ujarnya galak seraya menunjuk sebuat batu datar berukuran besar dibawah pohon pinus dengan dagunya. Aku pun mau tidak mau hanya mengiyakan perintahnya.

"Hati-hati, Fred. Kalau terjadi sesuatu, panggil namaku dengan keras."

Pangeran Frederick pun menganggukkan kepala sambil berlalu. Memasuki daerah tepian hutan yang ditumbuhi banyak pohon pinus yang menjulang tinggi. Aku mendudukkan tubuhku diatas batu itu. Tanganku terulur untuk memijat betis dan pergelangan kakiku yang terasa sedikit pegal karena kebanyakan berlari dan jongkok.

Waktu sudah mendekati sore hari. Tetapi para Pangeran dan Putera Mahkota belum kembali juga dari hutan. Aroma pohon pinus yang menyengat, aku menyukainya. Rasanya sudah lama aku tidak mampir ke hutan ini. Kesibukan sebagai pelayan di istana memang menyita waktuku. Tidak ada waktu untuk sekedar berjalan-jalan diluar istana. Aku bahkan sudah lupa bagaimana pemandangan diluar sana.

Pikiranku melayang kemana-mana. Tubuhku sedikit gemetaran saat melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana para Pangeran memperlakukan pelayan wanita waktu itu. Tak sedikit dari mereka yang berniat melarikan diri setelah mendapat perlakuan tak masuk akal para Pangeran—bahkan ada pula yang dikarenakan para Puteri.

Namun tetap saja semuanya sia-sia. Karena tidak ada pelayan yang melarikan diri dapat keluar dari istana hidup-hidup. Minimal dipenjara dan disiksa. Aku merinding sendiri saat mengingat kalau jauh didalam hutan sana, ada tempat berupa pemkaman para pelayan yang terpaksa dibunuh karena mencoba membelot. Tidak ada yang tahu, siapapun kecuali para keluarga kerajaan inti dan semua pelayan. Rakyat kerajaan mana tahu tentang kejadian yang sudah bertahun-tahun dilakukan di istana utama yang megah ini.

Sangat mengerikan. Itulah sebabnya aku tidak bisa meninggalkan istana ini. Aku hanya dapat berharap dan berdoa semoga akan ada saat di mana ada kekuatan besar yang melindungiku untuk dapat melangkah keluar dari tempat ini.

KREK

Terkejut, reflek aku menolehkan kepalaku sembari berdiri dari posisiku yang duduk. Tubuhku sempat terhuyung sesaat karena bangun tiba-tiba—padahal aku sedang diatas sebuah batu. Salah-salah aku bisa jatuh tergelincir.

Aku mendengus dan merutuk dalam hati saat melihat seekor tupai yang lari terbirit-birit naik keatas pohon pinus. Ck! Tak tahu apa, aku kaget setengah mati bahkan hampir jatuh karenanya.

Dengan kesal aku pun langsung mendudukkan pantat kecilku kembali diatas batu. Keringatku sudah bercucuran, membasahi bajuku. Ah… Aku jadi ingin segera mandi. Tak tahan dengan lengketnya keringat yang membuat bajuku menempel pada kulitku yang basah.

"Jae!"

Aku yang mendengar seseorang memanggil namaku menoleh keasal suara. Terlihat para teman sepermainanku baru saja keluar dari semak-semak lalu menghampiriku yang sedang bersantai diatas batu. Namun rasanya ada sesuatu yang salah-…

Oh, tidak!

Lantas aku bergegas bangun dan berlari menghampiri mereka.

"Apa yang terjadi, Pangeran?"

Aku menatap cemas Pangeran tampan bermata musang yang disanggah oleh seorang pangeran berambut hitam—yang aku belum tahu namanya.

Terlihat luka kecil menggores pipinya, tepat dibawah mata kirinya. Aku sedikit meringis, seakan merasakan perihnya luka kecil itu.

"Jae, sebaiknya kauantarkan Pangeran U-Know dan Pangeran Max ke ruangannya. Aku, Alan dan Ired akan menyambut para Pangeran di tempat kita tadi, sedangkan Phill akan memberitahukan kabar ini pada Putera Mahkota sekalian mencari Vick-" ucap Fred seraya menatapku penuh arti. Aku pun mematuhi perkataan pangeran bungsu itu.

Aku membungkuk sebentar pada kedua Pangeran dari negeri seberang itu, "Mari ikut dengan hamba, Yang Mulia."

.

.

.

.

.

"Apa kau bisa mengobati lukaku?"

Aku termangu saat mendengar pertanyaan Pangeran bermata tajam itu. Beberapa menit yang lalu, aku beserta kedua pangeran negeri seberang itu baru saja sampai di ruangan lantai dua istana ini. Hingga beberapa saat kemudian Pangeran Max—yang mempunyai tubuh yang tinggi dan berambut hitam meninggalkan kami didalam kamar Pangeran U-Know tanpa kata. Berdua saja dengan pangeran tampan itu.

Berdua saja. Ya Tuhan!

"Hei, Jae-"

Lamunanku langsung buyar saat merasakan genggaman yang melingkupi tanganku yang kurus. Aku menundukkan kepalaku, "Hamba akan berusaha. Sebelum itu-… Boleh 'kah hamba melihat mana saja luka Pangeran?" ucapku sedikit ragu.

Sebenarnya sedikit banyak aku belajar pengobatan dari tabib istana. Karena bagaimana pun, Permaisuri selalu menitipkan si kembar padaku untuk diajak bermain. Dan saking aktifnya mereka, tiap kali kami bermain selalu ada saja luka baru menggores kulit mereka. Entah itu tangan atau kaki. Maka dari itu aku sedikit-sedikit belajar pengobatan agar tidak terlalu merepotkan tabib istana—yang sudah tua itu—hanya karena luka kecil seperti itu.

Pipiku terasa menghangat saat melihat sang Pangeran membuka kancing rompinya perlahan. Aku terus menundukkan kepalaku karena malu.

"Ehm. Jae, bisa kau lihat dibagian sini. Aku rasa ada memar disana. Rasanya agak sakit dibagian itu-.."

Aku mengangkat kepalaku dan menatap kearah yang ditunjuk Pangeran U-Know. Bagian pinggangnya.

Kupicingkan mataku untuk melihat lebih jelas luka yang ada. Dan memang benar, ada bulatan berwarna hijau kebiruan disana. "Pasti sangat sakit-.." lirihku.

Kekehan pelan terdengar dari pangeran tampan bermata musang itu. Aku mengatupkan mulutku rapat. Oh, sepertinya ia mendengar gumamanku.

"Sedikit, sebenarnya. Haha-…"

Aku tersenyum canggung pada Pangeran U-Know. Jarang sekali ada pangeran yang mau berbincang seakrab ini dengan seorang pelayan. Bahkan saat sedang melakukan 'itu'.

"Baiklah kalau begitu, Yang Mulia. Hamba akan ke bawah sebentar mengambilkan air hangat dan handuk. Mohon tunggu sebentar."

Aku segera keluar dari ruangan itu setelah Pangeran U-Know memperbolehkanku untuk turun ke dapur mengambil seember air hangat.

Berlari kecil, aku menyusuri lorong dan menuruni tangga. Aku sebenarnya malu sekali pada Pangeran U-Know. Kenapa? Karena tubuhku sekarang lengket akan peluh dan pasti aku bau. Aku sama sekali belum mandi… Eugh.

BRAK

"Irene!"

"Astaga, Jae. Jangan mengejutkanku seperti itu!"

Aku meringis pelan saat Irene memarahiku. Mulutnya yang cerewet itu terus menggumam kesal. Aku mencebilkan bibirku, kebiasaan. Dengan langkah ringan aku pun menghampiri deretan kuali yang khusus menyediakan air panas. Perlahan tanganku memegang salah satu kuali dengan selembar kain guna menahan panas agar kulitku tidak melepuh karena terkena panasnya pantat kuali itu.

Dengah hati-hati, aku pun menuangkan isi kuali tersebut kedalam ember yang tadi aku temukan disudut dapur, lalu mencapurkannya dengan air dingin. Setelahnya, aku pun membawa ember itu ke ruangan Pangeran U-Know di lantai dua istana—setelah aku mengambil selembar handuk kecil bersih milikku yang aku jemur dijendela dapur. Tak lupa membuka laci dimeja khusus tempat biasa aku menyimpan obat herbal buatanku bersama tabib istana dan mengambil sebotol kecil salep dan segulung kecil plester dari dalamnya.

TOK TOK TOK

"Siapa?"

"Ini hamba, Pangeran. Jaejoong-…"

"Masuk saja."

Aku memasuki ruang megah itu dengan perlahan, karena tentu saja ember yang aku bawa bukan beban yang ringan. Pangeran U-Know duduk bersandar dikepala ranjangnya dengan sanatai. Masih dengan keadaan tubuh atasnya yang terbuka. Otot-otot berbalut kulit kecoklatan itu terlihat sangat eksotis dimataku. Ototnya benar-benar terbentuk dengan sempurna. Berbeda jauh sekali denganku yang kurus seperti ini.

TRAK

Ember yang aku bawa segera kuletakkan disamping ranjang. Aku sendiri berlutut, menunpukan tempurung lututku diatas lantai yang dingin. "Izinkan hamba untuk mengobati Yang Mulia Pangeran," ucapku.

Pangeran U-Know bergerakkan tubuhnya menghadapku yang berlutut. Dapat kurasakan sentuhannya dikedua pundak milikku. Tubuhku meremang saat merasakan sentuhan yang hangat itu. Sangat terasa berbeda. Berbeda saat tubuhku mendapat sentuhan dari Edmund.

"Bagaimana kau bisa mengobatiku jika posisimu seperti ini, Jae?"

Aku menegadah pada Pangeran U-Know yang baru saja berkata padaku.

"Duduklah disini, agar kau tidak kesulitan mengobatiku-" lanjutnya lagi sambil menepuk pinggiran ranjangnya. Aku menggeleng sebagai balasan, "Hamba tidak berhak, Yang Mulia. Tanpa mengurangi rasa hormat hamba, hal itu terlalu lancang untuk dilakukan oleh hamba yang hanya seorang pelayan ini, Yang Mulia. Ampuni hamba-…"

Pangeran U-Know tertawa pelan. Tawanya yang merdu itu mengalun lembut ditelingaku.

"Baiklah kalau begitu."

Ia pun kembali ke posisinya yang semula, menyandarkan tubuhnya dikepala ranjang.

Kucelupkan handuk kecilku kedalam ember yang berisi air hangat. Kulipat sampai berukuran kecil lalu kuremat handuk basah tersebut.

"Maaf, Yang Mulia-" gumamku sembari mengusapkan handuk hangat itu pada luka memar dipinggang pangeran tampan bermata musang itu. Sesekali telingaku menangkap suara ringisan yang dikeluarkan Pangeran U-Know.

Selesai membersihkan luka itu, aku pun mengeluarkan botol salep yang tersimpan disaku celanaku. Aku memasukkan jari kelingkingku kedalam lubang botol. Isi botolnya tinggal setengahnya karena kerap kali kugunakan pada luka Pangeran Alan dan Pangeran Fred.

Setelah aku mendapatkan secuil, kuusapkan pada luka Pangeran U-Know dengan perlahan.

"Sssshhh-… Apa yang kau oleskan itu, Jae? Terasa dingin-…"

Senyum canggung tersungging lagi dibibirku. Pasti rasanya mengejutkan karena setelah mendapat 'hangat' langsung ditutupi 'dingin'. Hihi…

"Ini salep herbal, Yang Mulia. Terasa dingin karena memang ada campuran daun mint-nya. Biasanya salep ini akan bekerja dalam beberapa menit," jelasku.

Mataku kemudian mengarah pada wajah Pangeran U-Know yang juga tengah menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Aku memperhatikan goresan dengan darah yang sudah mulai mengering dibawah mata kirinya.

"Bolehkan hamba mengobati luka Yang Mulia? Yang ini-.." ucapku seraya menyentuh pipiku sendiri.

Pangeran tampan bermata musang itu seolah terbangun dari lamunannya. Matanya yang menyorot tajam padaku menatap lembut. "Lakukanlah-"

Tanganku sedikit gemetar saat menyentuhkan handuk diatas luka Pangeran U-Know. Posisiku kini berdiri disamping pangeran tampan itu, sangat dekat karena memang aku sedang mengobati lukanya yang terletak dibawah matanya. Entah kenapa lukanya sampai bisa seperti itu. Aku tidak bisa membayangkan apabila luka itu malah bersarang tepat pada matanya. Ugh.

Luka yang sudah kubersihkan itu lalu aku tutupi dengan plester. "Plester ini akan melindungi luka Yang Mulia Pangeran dari debu agar tidak terjadi infeksi selama dua hari kedepan selama lukanya masih basah. Tetapi dalam satu hari, plester ini harus diganti minimal dua kali agar tidak menimbulkan iritasi," jelasku panjang lebar.

Aku sempat keheranan karena Pangeran U-Know tidak menjawab maupun membalas penjelasanku. Namun perkataannya lah yang membuatku terpaku, mematung sesaat.

"Matamu sangat indah, Jae-…"

.

.

.

.

.

Hari sudah beranjak malam. Bulan mulai menggantikan tugas matahari diatas sana. Dengan taburan bintang yang menghiasi bentangan langit malam diatas sana. Suasana yang mendukung untuk keluar pada malam hari.

Katakan kalau aku melupakan perintah dari Azele dan Helena. Tubuhku sangat lelah untuk sekedar berjalan ke ruang bawah tanah. Terlebih memang aku merasa sangat enggan masuk ke tempat itu lagi.

Setelah aku menyelesaikan tugasku—mengobati luka Pangeran U-Know, aku pun segera melarikan diri ke dapur. Meminum beberapa gelas air lalu mengambil peralatan mandiku dilaci yang sama tempatku menaruh obat.

Masih terngiang-ngiang dikepalaku tentang perkataan Pangeran U-Know. Terkejut? Tentu saja. Lagi-lagi ada orang yang mengatakan padaku bahwa mataku ini 'indah'. Dan kenapa harus laki-laki lagi?

Aku merutuk dalam hati mengingat hal tersebut.

Aku melangkah menyusuri padang rumput yang letaknya tidak jauh dari istal kerajaan West. Memang sudah kebiasaanku jika dimalam bulan terang seperti ini aku akan mandi di sungai diujung padang rumput ilalang ini. Cahaya bulan yang keperakan seolah menuntunku dijalan setapak yang diapit tingginya tanaman ilalang.

Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya tiba juga ditempat tujuan. Sungai dengan air terjun itu selalu membiusku dengan keindahannya. Aku sangat menyukai saat di mana bermunculan makhluk-makhluk mungil yang dapat memancarkan cahayanya beterbangan diatas sungai itu seirama. Sangai indah.

Mataku berbinar saat melihat pemandangan yang sangat aku sukai tersebut.

Dengan semangat yang menggebu, segera kutanggalkan pakaianku dan meletakannya diatas batu besar ditepian.

Tubuhku bergetar sesaat merasakan sensasi dingin air sungai yang perlahan mulai meresap kedalam kulitku. Aku terkikik senang saat tanganku bermain dengan aliran air yang seolah mengelus tubuhku yang telanjang.

Aku berenang menuju air terjun yang tidak terlalu tinggi. Kucuran air mengenai bahuku. Ya, aku sengaja berdiam dibawah air terjun karena sensasinya yang mengenai tubuhku seakan tubuhku ini dimanjakan dengan pijatan air.

"Apa kau tidak takut sakit, Jae?"

DEG

Aku reflek memundurkan tubuhku saat mendengar suara lelaki yang cukup familiar di telingaku. Mataku terbuka lebar saat mendapati sosok Pangeran U-Know yang tengah duduk diatas batu tempat aku meletakkan pakaianku tadi.

Cahaya bulan membuat jelas pengelihatan pada malam hari. Kulihat sunggingan senyum simpul dibibir unik pangeran tampan itu. Aku memalingkan wajahku yang terasa memanas. Kenapa?

Karena Pangeran U-Know membuka pakaiannya disana!

Ini kedua kalinya pangeran tampan negeri seberang itu membuka pakaiannya didepan mataku. Demi Tuhan!

SRAK

SRAK

SRAK

Suara benda melawan arus air itu begitu jelas terdengar ditelingaku. Pasti itu Pangeran U-Know. Benar saja, detik berikutnya sosok itu sudah ada didepanku dengan bagian dada bidangnya yang tidak tergenang air. Terang saja karena memang sungai ini tidak begitu dalam. Pun airnya sampai sebatas tengkukku.

Pangeran U-Know beralih ke sebelah kanan. Dirinya hanya berjarak kurang dari satu meter denganku. Jantungku kembali berdegup dengan kencang. Tiap kali berhadapan dengannya selalu begini. Bahkan saat pertemuan pertama kami.

Suara kecipak air terjun saling bersahutan bersama dengan suara-suara alam pada malam hari. Aku terdiam beberapa saat. Rasanya canggung sekali.

"Jae, apa kau selalu kemari setiap malam hari?" Pangeran U-Know bertanya padaku dengan suaranya yang rendah dan bergema.

"Tidak, Yang Mulia. Hamba ke tempat ini hanya pada malam terang bulan saja-" jawabku tanpa menoleh padanya.

Dapat kurasakan pergerakan Pangeran U-Know kearahku. Sedangkan aku hanya terdiam ditempat, bingung harus melakukan apa.

"Sebenarnya aku tidak ingin menghadiri acara seperti ini-.."

Aku baru menolehkan wajahku saat mendengar penuturan pangeran tampan itu yang membuatku bingung. "Lantas-.. Apa yang membawa Pangeran kemari?" ucapku mencoba melunturkan kecanggungan diantara kami. Sebenarnya aku merasa sangat nyaman dengannya. Hanya saja perbedaan kasta yang mencolok menjadi batasan untukku dalam mengambil sikap.

Pangeran tampan beramata musang itu menggeliat tubuhnya, "Sepertinya akan menjadi obrolan yang panjang. Bagaimana kalau kita segera menyelesaikan acara berendam ini? Aku tidak mau jika kau dan aku jatuh sakit besok."

Senyum dibibirku mengembang. Pangeran tampan ini seolah sudah mengenalku selama bertahun-tahun. Padahal nyatanya kami baru saja bertemu kemarin. Itu pun tanpa disengaja.

Beberapa menit kemudian kami pun selesai dengan ritual mandi malam. Aku memakai pakaianku dibalik batu di mana Pangeran U-Know juga tengah mengenakan pakaian santainya dibalik batu yang sama.

Setelahnya aku mengikuti Pangeran yang menuntunku menaiki bukit yang letaknya tak jauh dari sungai. Aku sempat heran dan bertanya pada Pangeran U-Know mengapa ia membawaku ke tempat ini. Sedikit takut sebenarnya. Tapi pangeran negeri seberang itu hanya tersenyum simpul dan menjawab bahwa ia sudah berada disini setengah jam sebelum menemukanku yang sedang mandi di sungai.

"Aku hanya bosan jika hanya berdiam diri didalam sana. Di kerajaan kami, pada malam hari biasanya para keponakanku akan bermain bersama dibelakang paviliun bersama beberapa dayang dan pengawal-"

Aku terhenyak sesaat mendengar lanjutan ucapan pangeran tampan bermata musang itu.

"A-apakah tidak terlalu berlebihan?"

"Berlebihan? Tentu saja tidak. Kerajaan kami bukanlah kerajaan yang menganut sistem rumit seperti itu. Kami sudah seperti keluarga-…"

Aku tersenyum miris mendengarnya. Sepertinya sangat damai jika bisa tinggal disana. Keluarga…

Dari balik pepohonan aku dapat melihat secercah sinar yang walaupun kecil tapi sangat menyilaukan dimataku.

"Ah, untung saja apinya belum padam."

Apa Pangeran U-Know membuat api unggun?

Dengan langkah setengah berlari tubuh tegap Pangeran U-Know menghampiri sebuah api unggun yang menyala redup dan hampir padam. Aku terkesima melihatnya. Dengan begitu telaten, Pangeran U-Know memasukkan beberapa batang kayu bakar kedalam perapian, hingga beberapa saat kemudian api kembali menyala dengan terang.

"Apa kau lapar, Jae?"

Kualihkan pandanganku dari api unggun keasal suara. Pangeran U-Know menatapku dengan tatapan musangnya yang jenaka. Aku tersenyum kecil dan menjawab pertanyaan pangeran gagah itu dengan anggukan kepala.

.

.

.

.

.

Aaah~ segarnya pagi ini.

Aku melangkah dengan mantap menuju dapur. Diluar sana matahari masih tampak malu-malu menampakkan diri. Namun siluetnya sudah terlihat diujung cakrawala sana.

Mengembangkan senyumku saat memasuki dapur. Rutinitasku setiap hari memang dimulai dari tempat ini. Memasak hidangan pagi untuk para Pangeran dan Puteri.

Kulihat dapur masih kosong. Sepertinya Irene dan Rose belum bangun.

Oh iya, ini sudah hari yang ketiga acara itu berlangsung. Ada saja hal-hal aneh yang terjadi. Mulai dari Azele yang kalang kabut karena cincin kesayangannya yang hilang, Helena yang berteriak kencang pada pagi hari karena gaunnya robek dan Davith yang tampak kesal saat keluar dari ruang bawah tanah dengan pakaiannya yang compang-camping.

Aku sendiri tidak tahu menahu dan tidak ingin peduli akan hal itu. Yang berkeliaran diotakku kini adalah kedekatanku dengan Pangeran U-Know yang makin hari makin akrab pasca dirinya yang mengalami kecelakaan kecil saat berkuda tempo hari.

Bahkan Pangeran U-Know menceritakan hal-hal mengenai dirinya dan kerajaannya yang membuatku takjub. Mulai dari dirinya yang berterusterang jika nama aslinya adalah Yunho Jung—nama yang aneh menurutku, kerajaannya yang memiliki kekuasaan di tiga wilayah, dan juga fakta jika dirinya adalah adik dari seorang kaisar sekaligus juga seorang Panglima Perang. Tak hentinya aku dibuat kagum oleh pangeran itu.

Namun dalam hati aku selalu mengingatkan diriku. Aku dan dirinya sangat berbeda, bagaikan bumi dan langit. Aku yang hanya seorang miskin dan budak kerajaan ini tidak pantas disandingkan dengan dirinya yang seorang pangeran.

Bersanding? Ah, pikiranku sudah mulai kacau.

Berkutat dengan asap-asap di dapur membuat otakku sedikit tidak beres.

BRAK

Aku menghentikan kegiatanku yang sedang mengaduk sup jagung dalam kuali. Kepalaku menoleh ke pintu dapur di mana akhirnya aku melihat kedatangan Irene dan para pelayan dapur yang lain.

Irene tersenyum padaku sembari menyematkan selembar kain untuk memasak didepan dadanya. "Selamat pagi, Jae. Sepertinya kau sedang senang pagi ini."

Aku membalas senyuman Irene lalu kembali melanjutkan mengaduk sup jagung yang hampir matang itu searah jarum jam. Sup jagung yang mengepul itu seakan menggodaku untuk mencicipi rasanya yang lezat. Dan aku pun menuruti nafsuku itu. Mengambil sesendok kecil sup yang mendidih itu lalu kemudian meniupnya beberapa kali sebelum memasukannya kedalam mulutku.

Auh-… Panas!

"Apa Jaejoong ada disini?"

Kubalikkan tubuhku saat ada seseorang yang menanyakan keberadaanku. Nampak Ired berdiri diambang pintu dengan mengenakan kemeja berwarna karamel yang lusuh. Rambut merahnya yang berantakan bergoyang kesana-kemari karena ia menggerakkan kepalanya untuk menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Aku disini, 'Red. Ada apa?" tanyaku.

Lelaki itu menghela nafas lega sebelum membuka mulutnya kembali. "Tolong bantu aku dan Thomas di gudang belakang. Theodore mengatakan bahwa hari ini para Pangeran akan berlatih pedang. Phill sedang memandikan semua kuda, jadi hanya kau yang dapat kumintai tolong-"

Aku menaikkan sebelah alisku saat mendengar cerocosan lelaki kurus tinggi itu. Sedikit heran. Karena biasanya Thomas—penanggungjawab gudang kerajaan—akan dibantu oleh beberapa orang pengawal. Dan rasa-rasanya Theodore makin hari makin menyebalkan karena memberikan tugas yang selalu mendadak untuk kami.

Segera kutanggalkan kain celemek yang kupakai saat memasak tadi. Menyampirkannya diatas kursi lalu merapikan pakaianku yang sedikit kusut. "Irene, aku titip masakanku. Sebentar lagi matang, jangan lupa diangkat," sahutku.

"Ya, ya, ya… Tuan Cerewet. Aku tahu. Serahkan saja padaku," Irene tertawa kecil. Aku mendengus pelan mendengar ledekan perempuan itu. Hei, apakah kau tidak sadar, Nona Bawel?

.

.

.

.

.

Alisku bergerenyit saat melihat pemandangan yang kini tersaji dihadapanku. Perisai-perisai yang sedang kubersihkan kini sangat kotor bersimbah darah yang sudah lama mengering. Ini memang kali pertama aku ikut bergabung membersihkan perisai-perisai yang kerap kali digunakan untuk berperang itu.

Perisai berlambang kerajaan West, berwarna keemasan dan tentu sangat kuat.

"Apa ini tidak pernah dibersihkan?" gumamku. Kulirik Ired dan Thomas yang sedang membongkar peti-peti besar berisikan senjata.

Ired tampak kesulitan membuka penutup peti disebelah kiri ruangan. Aku mengedikkan bahu tak peduli kemudian kembali melanjutkan pekerjaanku.

TAK

BRAAAK

"Ups-.. Maaf."

Ck.

.

.

.

.

.

"HIYAAAAT!"

TRANG

TRAK

Kedua pangeran yang sama-sama berambut pirang itu beradu perang dengan lihai. Mengayunkan besi panjang itu dengan begitu ringannya. Suara nyaring pedang yang beradu dengan pedang tak terelakan. Perisai yang mereka gunakan pun tak luput dari gesekan pedang besi yang keras.

"Kyaaaa~"

Diam-diam aku memutar mataku jengah. Suara cempreng Azele dan Helena sangat mengganggu. Mereka selalu memekik kencang kala para Pangeran itu menyentak pedang mereka.

Yang ada diarena sana adalah Pangeran James dan Pangeran Luke. Mereka sama berambut pirang dan tampan tentu saja. Tetapi masih lebih tampan Pangeran U-Know—eh?!

PROK PROK PROK

"Kalian memang sangat hebat. Pertunjukan yang luar biasa-.."

Putera Mahkota Edward bertepuk tangan sembari menghampiri kedua pangeran yang baru saja menuntaskan duelnya itu.

Arena duel pedang ini memang khusus disediakan oleh kerajaan. Sebuah arena yang cukup luas untuk membiarkan duelis untuk bergerak dengan bebas dan leluasa.

Sejauh yang kulihat sampai sekarang, para Pangeran yang memang membawa pedangnya masing-masing memiliki corak dan ukuran yang berbeda. Jika Pangeran James mempunyai pedang berwarna perak dengan ukiran pada pegangannya, maka lain hal dengan Pangeran Luke yang pedangnya sedikit lebih pendek dan berwarna keemasan.

Beberapa Pangeran pun sudah menunjukkan kebolehannya di arena. Tetapi Yunho belum juga maju kedepan. Ah, sebenarnya pangeran tampan bermata musang itu menyuruhku untuk memanggilnya akrab jika hanya berdua saja dengannya. Hihi

Telingaku mendengar seruan Edward dari tempat duduknya didepan sana. Dengan segera aku pun kembali memusatkan perhatianku ke arena yang kembali akan menjadi sasana duel pedang yang kesekian kalinya.

Harapanku untuk melihat aksi duel Yunho luntur begitu saja saat melihat raut wajah Edmund yang menyebalkan. Aku sendiri masih penasaran dengan lawan duelnya. Mungkin saja—ah, itu Pangeran Max!

Pangeran Max yang ternyata adalah putra pertama kaisar—dalam artian keponakan Yunho—itu melangkah dengan tenang kedalam arena. Tangan kanannya menggenggam sebuah pedang perak dengan ukiran indah. Namun yang membuatku takjub ialah adanya kilatan merah yang terpancar dari pedang itu tatkala tertimpa cahaya matahari. Sedangkan tangan kirinya memegang sebuah perisai kokoh yang bentuk dan lambangnya sama dengan para Pangeran lainnya.

Setelah hampir sepuluh menit berlalu, akhirnya duel itu dimenangkan oleh Pangeran Max. Edmund jatuh tersungkur dengan tidak elitnya. Hampir saja aku tak dapat menahan tawaku saat melihat raut wajah Edmund yang seperti berhari-hari tidak pergi ke toilet itu.

"Ada yang lucu, Jae?"

Terkejut tentu dengan kehadiran seorang lelaki yang sudah berhari-hari bayangannya berkelebatan dimemori otakku. Aku tersenyum kecil padanya yang kini berdiri disampingku.

"Jangan terlalu dekat, Yun. Semua orang bisa curiga-…" aku berbisik padanya dengan mata yang masih tertuju pada arena.

Bukannya menjauh dariku, pangeran tampan bermata musang itu malah tertawa pelan untuk kemudian maju beberapa langkah kedepan. "Giliranku. Lihat baik-baik."

Mau tak mau aku pun ikut tertawa pelan mendengar penuturannya. Mengangguk sepelan mungkin agar tidak ada yang curiga jika aku sempat berbicara sedekat ini dengan salah seorang tamu kerajaan. Aku memilih menonton duel itu dari bawah pohon. Sedikit jauh dari arena, sebenarnya. Namun aku masih bisa melihat duel dengan jelas meski ada ditempat pojok seperti ini. Haha

Putera Mahkota Edward kembali berseru. Memanggil dua pangeran yang akan maju selanjutnya. Memang benar, sekarang giliran Yunho yang maju ke arena duel. Lalu tak lama kemudian satu orang pangeran maju kedepan sebagai lawan duel Yunho. Pangeran bersurai coklat dengan mata hijau—yang aku tahu bernama Steve, saudara tiri Edmund.

Pertarungan berlangsung begitu seru dan menegangkan. Yunho dan Steve sama-sama ahli menggunakan pedang. Namun satu hal yang aku sadari dari pergerakan Yunho selama duel berlangsung: lelaki itu begitu santai dalam duelnya. Berbeda dengan Steve yang sangat serius menghadapi Yunho.

Mataku berbinar saat melihat pedang yang digunakan Yunho. Benda itu berkilat tajam. Tiap kilatan yang menyambar sesekali berkilatkan biasan berwarna hijau toska. Ukiran rumit menghiasi bilah pedang bermata ganda tersebut. Pedang yang gagah segagah pemiliknya.

Tubuh Yunho bergerak begitu luwes dan hentakannya begitu terasa. Pekikan genit Azele dan Helena pun tak kuhiraukan. Sungguh, aku tak ingin kehilangan momen seperti ini jika memperdulikan hal tidak berguna seperti itu.

Yunho memantapkan kuda-kudanya setelah mendapat serangan balasan dari Steve. Pria itu menghunuskan pedangnya pada salah seorang pangeran kerajaan North dengan santainya. Seringaian yang terulas dibibir bentuk uniknya membuat dadaku berdebar tak tentu. Yunho terlihat sangat tampan dan jantan. Ugh!

Duel berakhir beberapa saat kemudian. Dengan kemenangan ada dipihak Yunho, tentu saja.

Diam-diam aku mengacungkan ibujariku sembari mengulas senyum kearah Yunho yang melirik ke tempatku berdiri sekarang. Ia pun balas tersenyum.

"Kyaaa~.. Dia tersenyum padaku! Pssstt.. Pssstt-"

Senyumanku seketika luntur mendengar perkataan Azele. Puteri berambut pirang panjang itu nampaknya sangat senang karena mengira Yunho tersenyum padanya. Tapi-.. Mungkin saja memang benar 'kan? Bukan 'kah tujuan dari diadakannya acara ini adalah menjodohkan salah dua dari para Pangeran kerajaan lain yang ada disini dengan Azele dan Helena?

Apa mungkin Yunho juga tertarik pada salah satu Puteri West itu?

"Kau tertarik dengan duel itu?"

DEG

"O-oh.. Tentu hamba sangat tertarik, Yang Mulia."

Aku menundukkan kepala. Pangeran Cloud—yang tiba-tiba saja berdiri disampingku dan bertanya padaku—tertawa pelan. Entah apa yang lucu dari perkataanku tadi sampai-sampai bisa membuatnya tertawa seperti itu.

TAP TAP TAP

"Bagaimana, Jae?"

Aku terkejut bukan main. Tentu saja. Kenapa? Karena kini ada dua orang Pangeran berbeda ras yang berada didekatku—pada jarak yang memang benar-benar dekat denganku yang notabene seorang budak kerajaan.

Setelah Cloud yang tiba-tiba datang, kini Yunho pun turut menghampiriku. Terus kutundukkan kepala. Jujur, aku tidak berani memandang mereka berdua saat ini. Bulu kudukku bahkan terasa meremang. Aku pun dapat merasakan beberapa tatapan tajam yang menghujamku. Entah dari siapa itu, aku tidak tahu pasti. Namun yang kurasakan sekarang adalah aura yang kurang mengenakkan dari sekitarku.

"Duel Yang Mulia sangat memukau. Hamba tidak tahu lagi harus memuji seperti apa pada Yang Mulia Pangeran atas penampilan tadi-.." ucapku tanpa mengurangi rasa hormat kepada Pangeran negeri seberang tersebut.

"Kau sangatlah hebat, Pangeran U-Know. Sepertinya kau memang sudah terbiasa menggunakan pedang, melihat dari cara bertarungmu tadi," timpal Cloud.

"Terima kasih atas pujianmu, Pangeran Cloud. Penampilanmu tadi juga tak kalah menariknya. Mungkin lain waktu kita dapat berduel diatas sana, Pangeran," ucap Yunho menekan pada kalimat terakhir yang diucapkannya.

"Apakah itu tantangan duel untukku, Pangeran U-Know? Aku sangat tersanjung akan hal itu," ujar Cloud agak sengit. Aku tak tahu bagaimana ekspresi mereka saat ini. Tapi aku penasaran mengapa mereka berbicara dengan intonasi seperti itu. Terdengar sedikit nada sinis dari setiap kata yang mereka lontarkan.

.

.

.

.

.

Setitik noda darah membuat indera pengecapku merasakan rasa asin dan sedikit bau besi yang menempel. Menumpukan lututku diatas lantai bawah tanah yang dingin. Tubuhku yang hanya berbalutkan pakaian lusuh ini bergetar karena dingin.

Mataku sedikit berkabut mengingat kejadian yang baru saja beberapa jam lalu kulalui. Kedua tanganku diikat secara paksa disebuah tiang. Duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala. Sesekali meringis saat merasakan perih yang mendera sudut bibirku yang berdarah. Pipiku pun berdenyut sakit karena tamparan keras yang berhasil dilayangkan Azele padaku.

Ya, mereka berdua melakukannya lagi.

Setelah duel para pangeran di arena kemarin sore, Azele dan Helena langsung menyeretku ke ruang bawah tanah—tentu dengan bantuan beberapa pengawal kepercayaan mereka.

Dua puteri itu langsung memerintahkan pengawalnya untuk mengikatku dalam posisi duduk bersimpuh menumpu dengan kedua lututku yang kini terasa sangat sakit. Entah sudah berapa jam lamanya aku dalam keadaan seperti ini. Kakiku mulai terasa mengencang kaku, lututku ngilu dan ini sangat menyakitkan.

Aku sendiri tidak mengetahui dengan pasti alasan mereka berbuat seperti ini kepadaku. Mungkin saja mereka 'menagih' padaku, karena waktu itu—dengan tak acuhnya—mengabaikan titah mereka yang 'mengundangku' ke tempat ini.

Ruang bawah tanah kerajaan yang pengap dan lembab. Beberapa ruang tahanan yang ada kosong melompong. Aku hanya sendiri di tempat mengerikan ini. Terakhir aku ada di tempat ini pada saat tak sengaja menumpahkan teh pada gaun Helena. Dan akibatnya aku harus bertahan satu malam dibalik jeruji besi yang ada, tanpa makan dan minum.

Perutku terasa nyeri dan pandanganku sedikit berputar. Kenyataannya belum ada sedikitpun makanan yang masuk kedalam perutku dari kemarin malam.

KRIEEET

Suara derit pintu kayu yang mengayun terdengar begitu nyaring. Kutengadahkan kepala guna melihat siapa pelakunya. Berharap dalam hati, jangan sampai dua perempuan itu datang lagi bersama pegawal-pengawalnya yang bertubuh besar.

"Jae!"

Aku menghela nafas penuh kelegaan saat mataku menangkap bayangan dua orang bocah laki-laki yang sangat aku kenal berlari menghampiriku yang bersimpuh tak berdaya. Kuulas senyuman kecil walaupun bibirku terasa amat perih.

"Oh, Jae. Maafkan kami-…" ucap Alan sembari mengusap pipinya yang basah. Sedangkan Frederick sedang berusaha membuka ikatan tali yang menyatukan kedua tanganku dengan tiang.

Hei, kenapa kalian meminta maaf? Lidahku kelu untuk berucap. Tenggorokanku bahkan perih hanya untuk sekedar menelan ludah.

Kedua Pangeran bungsu itu selalu membantuku saat aku kesulitan dalam berhadapan dengan kedua kakak perempuannya. Dan aku sangat berterima kasih akan hal itu.

Kepalaku kini berdenyut menyakitkan. Ringisan keluar dari bibirku yang mengering. Pandanganku semakin berputar, bagai berpusing dalam satu pusaran yang membuatku mual.

Nafasku memburu karenanya. Entahlah. Aku rasa-… Aku sudah tak kuat lagi..

BRUK

"JAEJOONG!"

.

.

.

.

.

Eugh..

Silau.

Aku mengerjapkan kedua mataku guna menyesuaikan cahaya yang merangsek masuk kedalam mataku. Tangaku terangkat mengusap kepalaku yang masih berdenyut—walaupun tak sesakit tadi. Kupandang langit-langit ruangan yang tinggi menjulang.

Tunggu dulu. Dimana ini?

"Kau sudah sadar, Jae?"

Aku tersentak bangun, mendudukkan diriku diatas ranjang yang sedang kutempati saat mendengar suara yang sangat familiar ditelingaku. Sang Permaisuri. Wanita yang paling aku hormati.

"Maafkan atas kelancangan hamba, Yang Mulia. Hamba pantas dihukum ."

Permaisuri duduk disebuah kursi empuk menghadap kearahku. Senyumannya yang menyejukkan hati terpatri seperti biasa diwajahnya yang cantik. Dibelakangnya dapat kulihat Kane dan Sean—tabib kerajaan—keluar dari ruangan ini setelah Permaisuri menyuruh mereka keluar.

"Well, aku sempat terkejut saat Alan dengan histerisnya berlari ke great-hall menghampiriku lalu berkata bahwa kau terluka dan pingsan di ruang bawah tanah," jelasnya.

Aku menundukkan kepalaku dalam. "Ampuni hamba yang telah lancang mengganggu kegiatan Yang Mulia Permaisuri. Hamba sangat pantas untuk mati-.." kataku.

"Kau terlalu berlebihan, Jaejoong. Aku membawamu kemari bukan untuk dihukum mati atau apa. Selama ini aku memang jarang berkunjung kemari. Aku tak menyangka Puteri Azele dan Puteri Helena berbuat hal yang tak pantas bagi seorang Tuan Puteri. Aku merasa gagal mendidik mereka, Jae-.."

Aku mengangkat kepalaku. Mendengar nada murung dari Yang Mulia Permaisuri membuatku tak tega. Selama aku di tempat ini, Permaisuri merupakan satu-satunya istri Raja yang mengemban tugas mendidik para keturunan Raja. Permaisuri sebenarnya tinggal di kastil utama Raja, hanya ia selalu datang kemari untuk memantau perkembangan para Pengeran dan Puteri. Tak jarang Permaisuri menyapa akrab para pelayan. Wanita yang sangat ramah dan tidak pernah sombong dengan kedudukannya. Bahkan Permaisuri sendiri yang menjadikanku pengasuh dari dua pangeran bungsu itu.

Wanita itu—masih dengan senyum yang mengembang—beranjak dari duduknya. "Aku akan memanggil Pangeran Alan dan juga Pangeran Frederick kemari. Maaf aku tidak bisa menemanimu lama-lama, Jaejoong."

Mendengar hal tersebut, dengan cepat aku turun dari ranjang kemudian bersimpuh dengan kedua lututku sebagai tumpuan. Meskipun tubuhku langsung terasa ngilu luar biasa. "Terima kasih banyak, Yang Mulia Permaisuri, yang telah membantu hamba yang hina ini," ucapku.

Sang Permaisuri hanya menganggukkan kepala, lalu melangkah keluar ruangan kamar yang baru aku ingat jika ini adalah kamar Alan dan Fred.

Setelah kepergian Permaisuri, aku pun mengubah posisi tubuhku yang semula bersimpuh menjadi duduk berselonjoran. Menyadar pada tepian ranjang yang besar.

CKLEK

"Jae!"

Aku tersenyum saat Alan dan Fred menghampiriku dengan tergopoh-gopoh. Raut wajah mereka yang menyiratkan kekhawatiran membuatku merasa bersalah.

Mereka adalah Pangeran. Berkedudukan jauh diatasku. Namun mereka dengan santainya bergaul denganku yang hanya seorang hina.

Aku tersentak dari lamunan saat merasakan tarikan pelan dilenganku. Kutolehkan pandangan dan menemukan Fred yang sedang menarikku beranjak.

"Kau sedang sakit, Jae. Jangan duduk diatas lantai, dingin."

Aku tersenyum dan menggeleng pelan, "Tidak usah. Terlalu lancang bagi seorang pelayan jika menempati tempat tidur seorang pangeran."

Alan berdecak, "Kami tidak pernah keberatan selam itu adalah kau, Jae."

"Iya. Kau adalah pengasuh kami yang selalu memasakkan makanan terlezat di negeri ini. Jangan merasa sungkan pada kami, Jae," ucap Fred mengiyakan perkataan saudara kembarnya.

Aku terkekeh mendengar pernyataan dua bocah polos itu. Mereka polos dan menggemaskan. Namun terkadang mereka bersikap bijak seperti orang dewasa. Pengaruh dari Sang Raja, mungkin?

Tak kuasa melihat tatapan memohon mereka, aku pun menuruti permintaan mereka.

Setelah menyamankan posisi tubuhku diatas ranjang, Alan dan Fred menyusulku naik keatas ranjang yang memang berukuran besar. Mereka duduk didekat kakiku dan menghadap kearahku.

"Aku tidak menyangka Azele dan Helena akan menyakitimu selama kami sedang berkunjung ke kastil Mother Elza. Mungkin mereka merasa bebas karena kami dan Mother Lily tidak ada di istana," Frederick menyilangkan kedua tangannya didepan dada, bersidekap.

"Ya, aku juga berpikiran seperti itu," sahut Alan.

Mereka memanggil ibu kandung mereka—Selir Keempat—dengan sebutan Mother Elza. Dan Mother Lily untuk Yang Mulia Permaisuri. Panggilan yang hanya boleh digunakan diluar kegiatan kerajaan.

"Oiya Jae, tadi Ired dan Irene menanyakan keadaanmu. Aku menjawab bahwa kau baik-baik saja, tidak perlu khawatir-.."

Kugerakkan tanganku mengusap rambut Alan. "Terima kasih," gumamku.

Alan tersenyum sumringah sedangkan Fred menatapnya jengah. "Dasar anak kecil."

Aku tersenyum geli mendengar gerutuan pelan Fred. Pangeran satu ini memang kadang bersikap terlalu dewasa. Namun dalam hatinya aku tahu pasti jika ia pun ingin.

Lalu aku beralih mengelus pipi Fred. Terkikik pelan saat melihat semburat merah yang mulai menghiasi pipinya yang gembil. "Terima kasih juga untukmu."

Kami pun tertawa bersama pagi ini. Meskipun sekujur tubuhku perih dan ngilu yang kurasakan, tapi rasa sakit itu seolah terangkat dengan adanya dua bocah laki-laki yang selalu melindungiku itu.

"Jae-"

"Ya?"

"Tadi ada Pangeran lain yang bertanya pada kami tentang keberadaanmu. Wajahnya tampan dan bermata kecil.. Juga berambut hitam! Apa kau tahu?"

Ah… Itu-..

"Pangeran U-Know?"

Alan mengedikkan bahunya. "Aku tidak tahu siapa namanya. Tapi dia pangeran yang terjatuh dari kuda yang mengamuk tempo hari."

Aku mengangguk mengerti. "Itu Pangeran U-Know dari kerajaan Toho, kerajaan negeri seberang."

"Waaahh.. Dari negeri seberang?"

Mata Alan dan Fred berbinar. Sepertinya topik ini menarik perhatian mereka.

Dan kami pun membicarakan tentang 'negeri seberang' dengan antusias yang berlebih. Bahkan lonjakan antusiasme Fred juga Alan semakin meningkat karena mendengar ceritaku tentang negeri seberang—yang aku ketahui dari Yunho.

Sedikit melupakan rasa sakit yang mendera tubuhku.

.

.

.

.

.

Permukaan kaca semakin mengkilap tertimpa cahaya matahari pagi—karena sudah kulap sampai bersih.

Aku tersenyum puas saat melihat kaca jendela kecil samping dapur yang bersih mengkilap. Dapur yang bersih pada pagi hari, aku sangat menyukainya.

Merenggangkan tubuhku yang pegal sesaat, menarik dan menghembuskan nafas dengan perlahan. Menghirup udara pagi yang menyejukkan.

Tak terasa, acara yang diadakan oleh kerajaan sudah menapaki hari ketujuh—dalam artian besok adalah hari terakhir para tamu kerajaan berada disini. Hatiku berdenyut sakit mengingat hal itu. Karena artinya, hanya tinggal sedikit waktu yang tersisa melihat keberadaan Yunho ditempat ini. Aku yakin, setelahnya Yunho akan melupakanku. Meskipun kami pernah bercengkrama akrab, tetapi aku hanyalah seorang budak kerajaan.

Namun aku lebih tidak rela jika Yunho bersanding dengan Azele atau Helena. Itu akan membuat diriku lebih sakit.

Ya, sepertinya memang aku telah jatuh hati pada pangeran tampan bermata musang itu.

BRAK

"Hari ini kita akan disibukkan dengan persiapan Pesta Dansa di great-hall. Tamu kerajaan akan hadir kurang lebih dua ratus orang malam ini. Aku harap kalian dapat menghidangkan berbagai makanan kecil untuk nanti malam. Dan tak lupa juga, 'pesta rahasia' tengah malamnya."

Membalikkan badan saat mendengar beberapa derap langkah yang memasuki dapur dan suara Theodore yang menggema.

Aku mengerenyitkan dahi saat mendengar kalimat terakhir yang Theodore ucapkan sebelum beranjak keluar dari dapur.

Kulirik Irene dan Rose yang menghampiriku. "Selamat pagi, Jae. Seperti biasa, kau tampil sangat pagi hari ini," sahut Rose sembari mengambil sekantung kecil tepung jagung dari bawah meja.

"Yeah.. Seperti biasa-.."

Irene mengangkat sebuah kuali berukuran sedang dan meletakkannya keatas kompor. Memasukkan beberapa liter air sebelum menyalakan kompor. "Apa menu sarapan hari ini, Irene?" tanyaku.

"Sup krim wortel, Jae."

Aku mengambil pisau lalu kemudian mulai memotong-motong wortel sampai halus.

Beberapa menit berlalu, aku pun selesai memotong sayuran berwarna oranye tersebut. Menyerahkannya pada Irene lalu mengambil tempat duduk disamping meja.

Ada sekitar lima orang yang ada didapur. Semuanya perempuan—kecuali aku tentu saja. Biasanya Ired akan ikut membantu disini. Tapi sedari tadi aku belum melihat batang hidungnya sama sekali.

"Apa kau tahu dimana Ired?"

Rose menoleh padaku dan menjawab, "Dia sedang membantu Phill membersihkan istal."

Aku pun mengangguk. Kulihat Rose yang dengan telaten mengaduk sebuah adonan diatas meja. Tepung bertebaran disekitarnya. Membuat meja yang tadi aku bersihkan tampak sangat kotor dengan butiran halus berwarna putih itu.

Beranjak dari dudukku, menghampiri Sarah yang terlihat kesulitan membentuk adonan pie. "Sini kubantu."

Tanpa sungkan, kuambil sebagian adonan yang ia pegang dan langsung membentuknya.

.

.

.

.

.

"Jaejoong, bawa ini ke meja hiding. Cepat!"

Sedikit berlari, kuhampiri Irene kemudian menyambar nampan yang diatasnya ada puluhan kue mangkuk menggoda selera.

Aku mengenakan pakaian resmi pelayang yang disediakan oleh kerajaan untuk acara resmi seperti ini. Semua pelayan wajib memakainya. Pakaian berbahan katun dengan atasan kemeja putih dan celana panjang hitam.

Waktu baru saja menunjukkan petang hari. Namun sudah banyak tamu kerajaan yang datang. Raja, Permaisuri dan Para Mentri kerajaan West bahkan telah bersiap sejak siang hari.

Berjalan tergesa menuju great-hall, aku hampir saja bertubrukan dengan seseorang…

Eh?

"Jaejoong-.."

Aku mematung mendengar suara yang akhir-akhir ini jarang kudengar. Yunho berdiri dihadapanku. Berdiri gagah dengan pakaian mewah membalut tubuhnya yang kokoh. Pakaian seorang Pangeran. Berwarna hitam, beberapa corak merah pada bagian tertentu. Pada bagian dadanya tersemat sebuah hiasan berbentuk phoenix merah menyala dengan taburan batuan mengkilap. Sangat indah.

Rambutnya yang pendek hitam sepertinya diberi sentuhan 'kecil' sampai bisa seperti itu. rambut bagian depannya berdiri tegak dengan sangat elegan. Penampilannya…

"Jae?"

"Ehh-.. Ya?"

Bukannya menjawab Yunho malah terkekeh, "Kenapa malah melamun? Apa-"

Aku menepuk keningku dengan cepat. Oh shit, aku lupa.

"Maaf, aku harus segera mengantarkan ini!" seruku memotong perkataan Yunho.

Mengerti, Yunho pun memiringkan tubuhnya dan mempersilahkan aku untuk lewat.

Aku tertawa sejenak melihat tingkahnya—yang meurutku lucu. Sebelum benar-benar beranjak dari sana, aku sempat melemparkan senyum lebarku pada pangeran tampan bermata musang itu. Dan ia pun membalas dengan hal yang sama.

Kuharap tidak ada orang yang melihat perilaku-tak-biasa kami…

.

.

.

.

.

Orang-orang yang datang mengenakan gaun dan pakaian resmi pria yang begitu elegan dan berkelas—juga sangat mahal tentu saja. Berlalu-lalang ditangah keramaian great-hall megah yang telah disulap menjadi tempat pesta dansa kerajaan.

Hanya orang-orang tertentu saja yang diundang. Mulai dari keluarga kerajaan, para bangsawan juga keluarga para saudagar kaya. Entah itu dari dalam maupun luar kerajaan.

Aku berdiri dibelakang meja hidangan. Melemparkan senyum ramah meski hanya dibalas dengan dengusan dan dagu yang terangkat angkuh—terutama para gadis. Berusaha memberikan pelayanan terbaik untuk semua tamu kerajaan.

Aku ditemani oleh Rose dan Sarah yang berada tak jauh dariku. Sedangkan Irene berada di dapur bersama pelayan yang lain menyiapkan hidangan. Ired dan Phill? Mereka bertugas diluar bersama para pengawal, mengantar semua kereta kuda para tamu kerajaan ke halaman belakang istana yang luas.

Musik tak hentinya mengalun di great-hall. Sesi berdansa belum dimulai. Karena memang sesi itu baru akan dimulai jika Raja telah berbicara dimimbar sana.

Nampak Permaisuri dan para Selir Raja yang saling bercengkrama. Meski begitu dari kejauhan aku dapat menangkap beberapa ekspresi selir yang masam—entah karena apa.

Seketika aku termangu saat meliaht seseorang yang kini tengah berdiri dihadapanku. Seorang pemuda tampan berperawakan tinggi dengan rambut hitam pendeknya yang mencolok. Pakaian yang dikenakannya tidak berbeda jauh dengan model pakaian yang dikenakan Yunho.

Pangeran Max!

Ia mengedarkan pandangannya merata ke seluruh meja. Sejurus kemudian tatapannya berhenti tepat pada sebuah nampan yang tersaji didepanku. Tak tinggal diam, aku pun mulai melayaninya.

"Apa ada yang Pangeran inginkan?"

Pangeran Max mendelik padaku. Jujur, aku bergidik melihat tatapannya yang tajam itu. Hiii

"Apa kau bisa memasak?"

Eh?!

"I—iya, Pangeran. Hamba memang bertugas dibagian dapur-.." jawabku dengan gugup.

Bibir lebarnya mengulas senyuman yang belum pernah aku lihat.

"Oh ya? Kalau begitu, yang mana masakanmu?"

Aku pun mengambil sebuah nampan yang terletak tak jauh dariku lalu menyodorkan nampan tersebut pada Pangeran Max. Kedua mata bulat Pangeran Max nampak berbinar melihat sajian yang aku suguhkan kepadanya. Sajian kudapan bertabur buah manis yang menggoda selera.

Ia berdeham sebentar sebelum mengambil sepotong kudapan. Diperhatikannya dengan seksama sambil membolak-balikkan kudapan tersebut.

Aku hanya dapat mengangkat kedua alisku melihat tingkah unik Pangeran satu ini.

"Aku harap masakanmu enak. Dengan begitu kau masuk dalam kriteria istri idaman Yunho-hyung yang aku setujui."

Alisku bertaut saat Pangeran Max berkata dengan bahasa yang tak kumengerti.

Ah, aku baru ingat kalau Yunho juga pernah memberi tahuku jika bahasa negeri menggunakan bahasa yang berbeda. Apa bahasa ini yang dimaksud?

"Ah, kau tidak mengerti ya. Aku bilang, aku harap masakanmu enak. Kalau enak dan aku menyukainya, kau layak menjadi istri Pangeran U-Know."

DEG

Wajahku terasa panas mendengar pernyataan frontal Pangeran Max.

Ugh…

"Ummmh…"

Aku menatap Pangeran Max dengan kedua telapak tangan yang masih menangkup dikedua pipiku—yang sepertinya merona hebat seperti buah apel.

"Nyam nyam-… Umh!"

Pangeran Max mengacungkan jari jempolnya padaku. Membuatku tercengang dengan ekspresinya yang sangat menikmati kudapan buatanku.

Dengan kaku, aku menyodorkan sepiala jus labu padanya yang masih makan dengan lahap. Ia menerimanya kemudian menghabiskan jus itu dengan sekali teguk. Sepertinya ia kehausan…

"Hehe.. Kau Jaejoong 'kan? Pangeran U-Know banyak bercerita tentangmu. Maaf jika selama ini aku selalu bersikap dingin padamu-"

Aku tersenyum simpul padanya. "Tidak, Pangeran. Seharusnya hamba yang mengatakan hal itu."

Pangeran Max balas tersenyum. Sebenarnya sedari tadi aku merasakan tatapan para gadis yang mengarah ketempat aku berada—tepatnya ditujukan untuk Pangeran Max. Karena bagaimana pun penampilannya sangat mencolok dengan rambut hitamnya yang berkilau.

"Ehm-.. Apa kau sendirian saja, Yang Mulia Pangeran?"

Sontak kami mengalihkan pandangan kearah yang sama. Nampak seorang gadis cantik berambut pirang bergelombang dengan gaun birunya berjalan menghampiri kami.

Kulirik Pangeran Max yang kembali memasang ekspresi datarnya. Membuatku heran dengan sikapnya. Padahal yang menyapanya itu adalah seorang gadis cantik. Mungkin juga seorang Puteri jika dilihat dari gaun mewah yang dikenakannya.

Sementara Pangeran Max dan gadis itu saling menyapa, kuedarkan pandanganku keseluruh penjuru great-hall. Pandanganku jatuh pada seorang pemuda diujung sana. Yunho.

Yunho tampak mengobrol akrab dengan beberapa gadis. Sesekali ia melempar senyum pada para gadis itu.

Tapi entah mengapa… Membuat dadaku berdenyut sakit.

Pangeran Max ikut menoleh kearah pandanganku tertuju.

CTIK

Jentikan jari Pangeran Max menyentakku dari lamunan.

"Kau tenang saja. Ia adalah tipe pria yang setia," bisiknya.

Aku menatapnya kesal saat ia malah menertawaiku. Kuseret piring kudapan tadi dan meletakkannya ketempat semula. "Terima kasih."

"Eiiissh-…" ia menggerutu kala kupindahkan piring kudapan tersebut dari hadapannya. "Aku belum kenyang!" serunya pelan.

Aku terkikik karena berhasil menggodanya balik. Dapat kusimpulkan, Pangeran Max ini tukang makan!

Bermenit-menit aku menemani Pangeran Max mencicipi puluhan kudapan yang tersaji. Aku bertugas untuk mengenalkan beberapa kudapan yang mungkin masih asing baginya. Pangeran berperawakan tinggi itu tampak menikmati cicip-mencicipi hidangan-hidangan yang tersaji. Bahkan senampan kudapan yang kubuat dibabat habis tak tersisa.

Aku jadi sedikit takut bila semua hidangan habis oleh Pangeran satu ini. Hehe

"Changmin-ah, jangan terlalu banyak makan kudapan. Kau bisa sakit perut."

Yunho melangkah menghampiri kami. Pangeran Max menanggapi tak acuh Yunho yang menyapanya—walaupun aku tidak mengerti sama sekali dengan apa yang ia ucapkan pada Pangeran Max.

"Jaejoong, apa malam ini kau sibuk?" tanya Yunho seraya mengambil piala berisikan jus labu yang kupegang.

Sebenarnya itu minuman untuk Pangeran Max. Errr-..

"Aku tidak tahu pasti, Yang Mulia. Tapi jika ada sesuatu hal yang perlu dibantu, akan hamba usahakan-.." ucapku.

Yunho mengangguk senang. Pangeran tampan bermata musang itu kemudian melahap sepotong kudapan yang hampir saja diraih oleh Pangeran Max.

Tampak raut tak bersahabat yang dikeluarkan Pangeran Max. Menatap sengit pada Yunho dengan bibir yang bergerak cepat merapalkan kata-kata yang aku tak mengerti bahasanya.

Sedangkan Yunho hanya tersenyum lebar padaku. Matanya yang terbilang kecil semakin menyipit saat tersenyum lebar seperti itu. Mau tak mau aku pun jadi ikut tersenyum karenanya. Meskipun tak selebar senyuman Pangeran U-Know. Karena aku masih sadar diri.

"Uhm. Selamat malam, para tamu Yang Terhormat."

Kami mengalihkan atensi ke mimbar great-hall, di mana terdapat Raja kerajaan West yang mengenakan pakaian kebanggaannya disana. Dengan penuh wibawa, Sang Raja berbicara dimimbar memberi sambutan. Mengumumkan beberapa hal tentang kerajaan.

Termasuk perihal perjodohan kedua putrinya, Azele dan Helena-..

Yang membuat senyumku seketika memudar.

.

.

.

.

.

Hatiku hancur berkeping-keping. Berserakan dengan lancangnya melukai batinku.

Kini aku hanya bisa berdiri menyandar pada pilar penyangga dapur dengan raut wajah yang menyedihkan. Kutulikan telinga dari hingar-bingar pesta tengah malam yang akan segera dilaksanakan.

Boleh aku bicara dengan jujur?

Pesta tengah malam yang tadi sempat disinggung oleh kepala pelayan adalah pesta laknat!

Di mana kau dapat menemukan tubuh-tubuh telanjang pelacur yang bergelimpangan didalam sana. Memuaskan hasrat para lelaki hidung belang. Biar kutebak, sebentar lagi akan ada pekikan-pekikan dari beberapa pelayan perempuan yang diseret paksa oleh Davith dan teman-temannya.

Aku sendiri segera beranjak dari great-hall usai pesta dansa berakhir. Aku tidak mau menjadi salah satu 'santapan' lelaki bejat didalam sana. Terlalu mengerikan untuk kubayangkan sendiri.

Tubuhku merosot dengan perlahan. Kutekuk kedua lututku sampai dagu, menumpukannya pada lutut dengan pikiranku yang mulai beterbangan kembali kebeberapa saat yang lalu.

Raja memberitahukan bahwa kedua putrinya telah memilih dua Pangeran masing-masing. Yang mana salah satu dari dua yang mereka pilih dapat menolak pinangan tersebut dengan syarat harus bisa mengalahkan sepuluh orang pengawal dan satu orang Pangeran kerajaan West.

Entah benar atau tidak, aku dapat merasakan adanya unsur pemaksaan disini. Bayangkan saja, kau mungkin datang kesini hanya untuk bersenang-senang atau apapun itu, namun pada akhirnya kau malah dipaksa menikah dengan orang yang belum tentu kaucintai.

Terlebih, ada seorang yang kaucintai terpilih menjadi salah satunya. Sakitnya tuh disini-…

Ya..

Azele memilih Yunho dan Pangeran Luke, sedangkan Helena memilih Pangeran George dan Pangeran Max. Kenapa mereka memilih dua Pangeran dari negeri seberang itu? Mungkin saja daya tarik dari rambut hitamnya yang berkilau membuat dua perempuan itu tertarik.

Hanya saja rasanya sangat sakit sekali. Terluka, namun tak mengeluarkan darah.

Mungkin begini rasanya patah hati. Pantas saja Sarah yang mulanya ceria itu jadi pendiam karena patah hati. Ternyata memang begini rasanya…

PUK PUK

Menepuk pipiku dua kali agar aku tak terlarut dalam rasa pahitnya patah hati.

Sadar, Jae! Kau hanyalah seorang pelayan, budak kerajaan!

Sedangkan Yunho-… Seorang Pangeran, adik Kaisar negeri seberang sekaligus seorang Panglima perang yang paling disegani.

Kasta yang amat sangat jauh berbeda. Bagaikan langit dan bumi, yang tak akan pernah bersatu.

Dalam keremangan dapur yang sunyi, aku hanya dapat merenungi nasibku yang malang.

"KYAAAA~ LEPASKAN!"

Aku menanjamkan pendengaranku saat mendengar suara teriakan perempuan yang agak familiar ditelinga.

Tunggu dulu. Itu suara Sarah!

Bergegas, aku segera menghampiri pintu dan mengintip disana. Koridor istana yang sepi memantulkan suara teriakan Sarah dengan nyaring.

Dapat kulihat dari kejauhan, Sarah ditarik oleh dua orang pengawal menuju great-hall. Aku hanya bisa memandang iba dan berdoa dalam hati semoga gadis manis pendiam itu tidak terluka parah saat harus 'melayani' lelaki didalam tempat itu.

Menghela nafas berat dan menyandarkan tubuhku pada pintu dapur.

Aku jadi teringat pada sikembar. Alan dan Frederick terpaksa diungsikan ke kastil utama bersama Raja, Permaisuri dan para Selir. Tentu karena Alan dan Fred masih sangat kecil untuk melihat hal bejat yang selalu dilakukan oleh kakak-kakaknya.

Bilang kalau aku sedang bersembunyi disini. Dan memang kenyataannya begitu.

Kulangkahkan kaki menuju jendela dapur yang tertutup. Kubuka jendela kecil tersebut dengan perlahan. Suguhan pemandangan indah yang selalu membuatku kagum. Tatapanku terpaku pada bukit yang letaknya lumayan jauh dibelakang istal. Bukit yang selalu aku kunjungi jika cuaca sedang bagus dan suasana yang mendukung.

Kulirik rembulan yang hanya menampakan separo lebih wujudnya. Meskipun begitu, cahayanya yang keperakan begitu terang menyinari bumi.

Pemandangan itu seolah menggodaku untuk beranjak kesana.

Kuraih sebuah kursi kayu disamping meja lalu kemudian meletakkannya dibawah jendela. Dengan hati-hati aku naik keatas kursi tersebut, mengeluarkan kedua kakiku terlebih dahulu sebelum tubuh bagian atasku menyusul menembus jendela yang sedang terbuka.

HAP

Aku mendarat dengan selamat diatas permukaan tanah. Mengendap-ngendap seperti pencuri untuk menghindari sergapan pengawal yang dapat kapan saja menemukanku. Karena tak jauh dari sana, nampak belasan orang pengawal yang sedang berjaga ditempat parkir kereta kuda. Dari jumlah kereta kuda yang ada, sepertinya yang mengikuti pesta tengah malam memang banyak.

Setelah sampai disamping istal—yang menurutku sudah masuk wilayah aman, aku segera berlari menuju padang rumput ilalang. Mengabaikan kakiku yang menjerit sakit saat aku tak sengaja menginjak sebongkah batu kerikil.

Hosh.. Hosh.. Hosh..

Nafasku berkejaran seperti habis terkena badai. Langkahku semakin melambat kala memasuki padang ilalang yang menjulang tinggi. Kuharap tidak orang yang menyadari keberadaanku disini.

Aku benar-benar ingin sendiri, menenangkan diriku yang baru saja patah hati.

SRAK

Indah seperti biasa.

Mataku berbinar kala melihat pemandangan yang sangat aku sukai ditempat ini. Sungai kecil yang mengalir dari air terjun deras dengan serangga-serangga bercahaya terang yang terbang disekelilingnya.

Setidaknya aku masih beruntung. Ini momen yang tepat.

Segera kutanggalkan pakaianku dan melipatnya dengan rapi diatas batu.

Melangkah kedepan satu demi satu, memasuki air sungai yang mengalir jernih. Walaupun dinginnya air menusuk kulitku, aku tak peduli. Ini adalah rasa 'sakit' yang paling aku sukai.

Setelah air mencapai batas pinggang, aku segera berenang kearah air terjun yang mengalir deras. Berdiam dibawah air terjun yang turun menghujam tubuhku. Terasa rileks sekaligus menyegarkan.

SRAK

SRAK

SRAK

Déjà vu.

Sontak kubuka kedua mataku guna melihat apa yang sedang terjadi.

Kembali terulang.

Disana tampak Yunho yang sudah tidak mengenakan pakaian atasnya—bertelanjang dada. Dadanya yang bidang dan tubuhnya yang jauh lebih kekar dariku itu terpampang dengan jelas. Kutundukkan kepala saat Yunho membuka pakaian bagian bawahnya.

Masih terbayang dalam ingatanku tatapan tajam Yunho tadi padaku.

Kutengadahkan kepalaku. Tidak ada Yunho. Tidak ada siapapun disana.

Apa itu hanyalah khayalanku saja?

Panas. Mataku memanas karenanya. Apa sebegitu besar rasa asing namun nyaman bernama cinta itu tertanam dan berakar didalam hatiku untuk pria tersebut?

Yunho-…

BYURRR

GREP

Nafasku tercekat. Aku seolah lupa untuk bernafas barang sedetik saja, saat merasakan pelukan hangat yang melingkupi punggung telanjangku.

"Jae-"

Suara derasnya air terjun tak mampu meredam suara bisikan yang berembus hangat ditelingaku yang sensitif. Suara tegas Yunho begitu berat menyebut namaku.

Pasrah, saat Yunho menarikku kebalik air terjun yang ternyata ada sebuah celah kosong disana.

Dibaliknya tubuhku menghadap dirinya. Dalam kegelapan, aku dapat merasakan hangat nafasnya menerpa wajahku.

Masih menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya, aku malah dikejutkan dengan sentuhan lembut yang bersinggungan dengan bibirku.

Apakah ia-…

"Ummpphh…"

Mataku seketika melebar mendengar suara reflek yang keluar begitu saja dari mulutku.

Yunho memagut bibir atasku dengan lembut. Membuatku terbuai dalam ciumannya yang memabukkan. Ciuman pertamaku…

Udara hangat beradu. Bibir yang bergerak dengan lincah melumat satu sama lain. Yunho terlihat berpengalaman, sedangkan aku masih kaku menyeimbangkan gerakannya.

Aku menutup mataku kala merasakan benda lunak yang basah membelai bibir bagian luarku. Kubuka belahan bibirku, kemudian disambut antusian oleh pria itu yang langsung memasuki mulutku dengan lidah hangatnya.

Telapak tangannya menggenggam tanganku erat. Sejurus kemudian, tanganku yang kurus pun dituntunnya naik melingkar diatas bahunya yang kekar. Telapak tangannya beralih menangkup dikedua pipiku yang basah. Mengusapnya pelan meski bibirnya dengan liar memagut bibirku—melumat dan menggigit.

Seolah ia benar-benar akan memakan bibirku kala itu juga.

Geraman dan keluhan saling bersahutan.

Sesak.

Aku mengusap rahang kokohnya lalu menarik sudut bibirnya, bermaksud untuk menghentikan ciumannya untuk sementara.

Ya-.. Sementara.

Nafas kami sama-sama memburu. Yakin saja, sudah berapa menit yang dihabiskan Yunho 'memakan' bibirku.

"Disini gelap, Yunh-.. Aku tak bisa melihatmu…" gumamku padanya seraya mengusap pipinya perlahan.

Pria itu menarik pinggangku. Merangkapku kedalam rengkuhannya. "Pegang dengan erat, Jae-"

Dengan tergesa, Yunho melangkah keluar dari bayang-bayang air terjun bersamaku dalam dekapannya.

Cahaya perak bulan kembali menyapa pengelihatanku. Bahkan cahaya kuning yang berasal dari serangga-serangga unik itu masih ada, mengelilingi sungai dengan indahnya.

CLAK

Yunho menyandarkan tubuhku pada sebuah batu depan air terjun. Air sungai masih merendam sebagian besar tubuh kami. Yang mana padaku sampai bagian bawah pundak, sedangkan Yunho hanya sebatas perut bagian atasnya.

Matanya yang bagaikan mata rubah itu menatapku dalam. Menyiratkan hasrat dan cinta secara bersamaan.

Bolehkah aku berharap seperti itu?

Aku ingin-.. Aku menginginkan Yunho seutuhnya.

"Aku menginginkanmu, Yunho-"

" . . . . "

"Biarkan malam ini aku memilikimu, sekali saja. Karena besok ataupun lusa, aku tahu, aku tak dapat menyentuh dan memilikimu seperti saat ini-

"Miliki aku, rasuki aku, cintai aku-.. Meskipun hanya satu kali."

Masa bodoh. Kubuang jauh-jauh harga diriku. Silahkan samakan aku dengan pelacur didalam sana. Hanya untuk Yunho. Hanya Yunho…

.

.

.

.

.

"Aah—ah! Ah. Ah. Aaaahh…"

CLAK

CLAK

CLAK

CLAK

Ini nikmat. Ia bergerak begitu dalam dan liar. Hingga suara-suara aneh keluar dari mulutku yang sedari tadi tak henti menyebut namanya.

Tubuhku terhimpit oleh tubuh Yunho dan permukaan batu halus dibelakangku. Didalam air, kakiku terbuka lebar dengan Yunho berada diantaranya.

Kejantanannya yang keras dan besar memasuki tubuhku dibawah sana. Tubuh kami menyatu dengan begitu sempurna. Pahatan tubuh Yunho yang terpampang dengan jelas membuat hasratku memuncak seketika. Ia terus menggerakkan pinggangnya, menubruk pinggul kecilku yang rapuh.

Dinginnya air sungai sudah tak terasa lagi. Panas. Hanya panas yang kami rasakan saat ini.

Aku mendesah keras saat kejantanan Yunho menumbuk keras sesuatu didalam tubuhku. Membuatku tak kuasa menahan pekikan nyaring yang begitu saja keluar dari mulutku. Tubuhku mengelinjang menahan nikmat.

Yunho pun sama sepertiku. Ia melenguh lumayan keras dengan sesekali mengerjapkan matanya nikmat.

Direngkuhnya tubuhku kedalam pelukannya. Memelankan gerakan pinggul dan menggantinya dengan hentakan kejantanan miliknya dalam tubuhku.

"Ah! O—oohh.. Yunhohh.. Mmmpphh-"

"Ssstt-… Jae. Hhhh."

Bibir bentuk hatinya kembali memagut bibirku dengan gerakan lembut. Aku pun membalas lumatannya. Menggigit bibir bagian bawahnya yang tebal dengan gemas. Tangannya menyibak rambutku yang basah kebelakang.

Kecupannya meliar keleher dan tengkukku. Menorehkan ruam-ruam merah dengan kecupannya yang kencang menggigit permukaan kulitku. Setelahnya, Yunho beralih melumat puting kemerahan didadaku.

Tubuhku menegang. Denyutan kejantanan Yunho terasa begitu nikmat didalam sana.

Tak lama kemudian, aku dan pria yang kucintai sama-sama mendesah kencang—menyerukan euphoria akan kenikmatan yang bersamaan kami raih.

Aku mencintaimu, Yunho…

.

.

.

.

.

TAP

TAP

TAP

Aku berjalan gontai menuju halaman samping istana di mana terdapat arena duel disana.

Waktu telah beranjak siang, para pelayan kerajaan baru saja selesai membersihkan sisa-sisa pesta tengah malam tadi. Aku dan yang lainnya hanya dapat menggeleng pelan melihat kekacauan tersebut.

Kain-kain bekas sobekan baju yang berhamburan di great-hall membuatku terbayang bagaimana ganasnya pesta tadi malam. Untung saja aku bisa melarikan diri dari sana.

Akan tetapi-…

Ya Tuhan.. Pantatku sakit sekali…

"Jae, tadi malam kau kabur kemana?" bisik Irene kepadaku.

"Rahasia," jawabku. Irene menghela nafas pelan. "Aku kasihan pada Sarah. Dia menjadi 'tahanan kamar' Davith sepanjang malam sampai pagi. Aku bahkan tidak mau membayangkan bagaimana rasanya menjadi gadis malang itu-…"

Aku termenung sesaat sambil meneruskan langkahku bersama yang lainnya. Beberapa kabar burung yang sampai ditelingaku pagi ini ialah bahwa ada dua orang Pangeran yang menolak pinangan Sang Raja. Artinya, dua pangeran tersebut mau tak mau harus berhadapan dengan sepuluh pengawal tangguh dan seorang pangeran kerajaan West.

"Irene, apa kau tahu siapa saja yang menolak?"

Irene menggeleng, "Tidak. Aku hanya tahu kalau memang benar ada dua orang pangeran yang menolak."

Aku mengalihkan pandanganku dari Irene.

Apakah itu Yunho?

Semalam setelah kami melakukan 'itu', Yunho hanya berkata sepatah-duapatah kata padaku lalu mengecup bibirku yang membengkak dengan lembut. Selebihnya ia tak mengatakan apa-apa lagi dan membawaku tidur didalam kamarnya. Hingga menjelang pagi, aku segera keluar dari kamarnya agar tidak menimbulkan kecurigaan orang-orang.

TAP

Aku menghentikan langkahku. Didepan sana, arena tarung terhampar dengan lebar. Duel ini tentu akan disaksikan oleh seluruh penghuni kerajaan. Para anggota kerajaan duduk nyaman didepan arena. Kecuali Putera Mahkota Edward yang berdiri diatas podium yang menghadap arena tepat disamping tenda yang memayungi para anggota kerajaan. Semua Pangeran bahkan mengenakan baju besi—pakaian untuk berperang.

"Kita berkumpul disini untuk menyaksikan kehebatan dua Pangeran yang telah berani menolak pinangan Raja. Seperti kesepakatan sebelumnya, satu orang Pangeran akan berhadapan dengan sepuluh prajurit pilihan dan satu Pangeran West. Tidak ada batasan waktu. Hidup atau mati-.." tandas Edward sarkastik.

Jujur, aku sedikit gentar dengan perkataan Edward tadi. Apalagi pernyataannya yang terakhir. Hidup atau mati…

DEG

Hatiku mencelos saat melihat Yunho dan Pangeran Max berada disudut yang berlawanan dengan para Pangeran kerajaan lain. Jangan bilang kalau-…

"Pangeran U-Know dan Pangeran Max, silahkan bersiap!"

Yunho…

"Sebutkan nama, gelar, kedudukan di kerajaan dan nama Puteri Raja yang kautolak pinangannya beserta alasan. Siapa yang akan pertama maju kedepan?"

TAP

"Aku!" seru Pangeran Max dengan beraninya sembari maju ke arena mengenakan pakaian perangnya dan kedua tangan yang memegang pedang dan perisai.

"Aku, Pangeran Max dari Kerajaan Toho, putra pertama Kaisar Toho sekaligus Putera Mahkota. Tanpa mengurangi rasa hormat, aku menolak pinangan Raja atas nama Puteri Helena karena alasan pribadi," ucapnya lugas dan jelas.

Akan tetapi-.. Tiba-tiba pangeran berambut hitam itu malah menanggalkan baju besinya. Bersamaan dengan Yunho yang juga melakukan tindakan yang sama. Kenapa? Ada apa ini?

"Tadi kau mengatakan hidup atau mati, bukan? Jika itu mau kalian, sekarang, tanggalkan baju besi kalian dan hadapi aku!" seru Pangeran Max lantang ditengah arena.

Beberapa prajurit terlihat ragu untuk menanggalkan baju besi yang mereka pakai. Tapi pada akhirnya mereka ikut menanggalkannya juga. Setelah itu, mereka pun masuk kedalam arena hanya dengan menggunakan senjata dan perisai tanpa pelindung tubuh yang melekat.

Tak menunggu waktu lama, satu persatu prajurit maju menghadapi Pangeran Max.

Pangeran Max bergerak dengan cepat menghindar dan menangkis beberapa serangan yang dilayangkan para prajurit. Yang tak lama kemudian dibalas dengan tebasan ringan pedang Pangeran Max yang berhasil melumpuhkan pergerakan lawan.

Beberapa menit kemudian, Pangeran Max berhasil menumbangkan kesepuluh prajurit kerajaan tanpa luka berarti yang dideritanya.

Pangeran Nathan beranjak dari singgasananya. Menanggalkan baju besi yang ia kenakan kemudian meraih perisai dan pedang miliknya yang tergeletak diatas meja. Nathan melangkahkan kakinya memasuki arena. Sepertinya ia yang akan Pangeran Max hadapi. Nathan pasti maju ke arena sebagai saudara seibu Helena. Karena bagaimanapun, Nathan juga menyayangi Helena.

"Pangeran Max! Aku yang menjadi lawanmu sekarang!" Nathan berseru disudut yang berbeda dengan Pangeran Max. Tubuhnya yang tinggi hampir menyamai tinggi Pangeran Max.

Aku harap tidak ada partumpahan darah disini…

Pangeran Max menganggukkan kepalanya. Ia pun langsung memasang kuda-kuda, sama halnya dengan yang dilakukan Nathan. Kedua pemuda itu kemudian merangsek maju ketengah arena dan bersinggungan disana.

TRANG

TRANG

PRAAAK

Suara pedang yang beradu dengan pedang maupun perisai terdengar agak mengerikan. Karena bisa saja pedang yang mengayun itu melewati celah dan memotong anggota tubuh lawan. Aku bergidik membayangkan hal tersebut.

Semoga Yunho dan Pangeran Max dapat melewatinya dengan baik.

TRAAAANG

CTAK

"Hosh… Kau kalah, Pangeran."

Pangeran Max tersenyum puas melihat lawan duelnya yang tumbang. Nathan tampak agak menyedihkan dengan kondisinya yang sekarang. Terlentang ditengah arena dengan pedang milik Pangeran Max yang terhunus didepan matanya. Pedang kebanggannya tergeletak sangat jauh dari jangkauan. Sehingga mustahil dapat ia raih dalam keadaan terjepit seperti itu.

Kulirik berbagai ekspresi para anggota kerajaan West didepan sana. Ada yang kecewa, geram bahkan ada yang terlihat tenang menerima kenyataan bahwa Nathan harus mengakui kehebatan Pangeran Max di arena.

Nathan menepis uluran tangan Pangeran Max yang mencoba untuk membantunya berdiri. Pangeran saudara seibu Helena itu beranjak sambil menatap tajam pada Pangeran Max yang kembali menampakkan raut wajahnya yang datar.

Edward menghela nafas berat sebelum berkata, "Duel dimenangkan oleh Pangeran Max dari kerajaan Toho. Dengan ini, Pangeran Max dinyatakan bebas dari pinangan Raja-.."

Jantungku berdetak dengan kencang. Setelah ini giliran Yunho untuk maju. Aku terus berdoa dalam hati agar ia dapat memenangkan duel itu.

TAP

TAP

Yunho memasuki arena setelah Pangeran Max keluar. Dengan tangan yang menggenggam serangka pedang miliknya, ia berdiri tegap didepan podium menghadap para anggota kerajaan West.

"Aku, Pangeran U-Know dari Kerajaan Toho, adik dari Kaisar Toho sekaligus Panglima Perang. Tanpa mengurangi rasa hormat, aku menolak pinangan Raja atas nama Puteri Azele karena-…"

Aaa...

Aku menahan nafasku beberapa detik. Yunho menatap ketempatku berada. "-Karena aku sudah memiliki calon istri. Jaejoong."

DEG DEG DEG

Aku terkejut setengah mati mendengar pernyataan Yunho didepan semua anggota dan tamu kerajaan. Romaku seketika meremang saat menyadari aura membunuh dari Azele dan Raja. Bahkan semuanya menatap tak percaya padaku.

Bagai tahanan yang siap dieksekusi kapan saja, aku hanya bisa pasrah menerima keadaan. Meskipun begitu, hatiku tetap memanjatkan doa agar Yunho dapat melewati duel ini dengan baik, tanpa luka berarti.

Sepuluh orang prajurit memasuki arena. Tunggu sebentar. Kenapa prajurit-prajurit itu berbeda dari sebelumnya—yang hanya dari prajurit tingkat dua. Mereka yang akan dihadapi Yunho—yang aku tahu—merupakan prajurit tingkat empat!

Ya Tuhan, tolong selamatkan kekasihku…

Prajurit itu bergerak begitu kuat. Namun aku tetap yakin jika Yunho dapat mengatasinya.

Yunho bergerak mengayunkan pedangnya dengan lihai dan cepat. Mataku sampai tidak dapat menangkap pergerakannya. Dan baru aku sadari jika Yunho tidak menggunakan perisai!

Tubuh Yunho meliuk lincah dan gesit. Menendang para prajurit dengan telak, memukul dan menumbangkan mereka satu persatu dengan begitu mudahnya. Bahkan ia dapat melompat dan melayang diudara selama beberapa detik dengan ringannya sambil menyerang lawan.

Yunho…

BRUUUK

Pangeran tampan bermata musang itu berhasil menumbangkan prajurit terakhir. Tubuhnya tidak terluka, bahkan tidak mengalami lecet sedikitpun. Hanya peluh yang membasahi pakaian yang ia kenakan.

BRAK

TAP

TAP

TAP

Cloud berdiri dan melepas baju besinya dengan cepat. Pemuda itu meraih pedang dan perisainya lalu melangkah menghampiri arena.

"Beraninya kau mengklaim budakku."

Aku menautkan alisku saat mendengar desisan Cloud yang cukup keras didengar. Apa maksudnya dengan 'budak miliknya'? Apa yang dia maksud itu aku?

Aku memandang khawatir pada Yunho yang menatap tajam Cloud. Suasana semakin memanas. Di mana kedua pihak saling bersitegang satu sama lain. Hal ini bisa saja memicu terjadinya perang antar kerajaan.

SRET

Mataku terbuka semakin lebar saat melihat Cloud menghunuskan pedang kearah Yunho. Duel belum dimulai tapi-..

"Jaga sikapmu, Pangeran Cloud! Hunusan pedangmu akan menjadi kesalahpahaman, turunkan sekarang juga. Berduel 'lah sebagai seorang ksatria!" tegur Raja yang kini berdiri dari singgasananya. Mencoba melerai dan meluruskan apa yang terjadi.

Aku tidak bodoh, tentu saja. Hunusan pedang sebelum duel dimulai dianggap sebagai tantangan perang di medan pertempuran yang sesungguhnya—yang berarti perang antar kerajaan. Dan pastinya Raja enggan berurusan dengan kerajaan negeri seberang yang ia tak tahu seberapa besar kekuatan yang kerajaan itu miliki.

Dengan terpaksa, Cloud pun menurunkan pedangnya yang semula teracung pada Yunho—yang masih tak acuh dengan sikap kekanakan lawannya.

Berselang beberapa menit, duel terakhir pun dimulai.

Yunho dan Cloud saring menyerang satu sama lain. Setiap ayunan pedang Yunho berhasil ditangkis Cloud menggunakan perisainya. Yunho, mengapa kau tak memakai perisai?

SRET

"Yunho!"

Aku memekik tanpa sadar saat menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri lengan kanan Yunho yang tergores pedang Cloud. Walaupun lukanya tidak terlalu besar, tapi itu pasti terasa perih dan bisa saja menghambat gerakannya. Namun ternyata aku salah. Yunho masih bisa bergerak seperti sebelumnya. Bahkan lebih gesit.

Cloud mengayunkan pedangnya beberapa kali kearah Yunho—yang berhasil dihindari oleh Yunho.

BRUAK

Yunho berhasil menendang ulu hati Cloud sampai pangeran kerajaan West itu terlempar beberapa meter kekanan.

Tiba-tiba Yunho menundukkan tubuhnya. Kemudian ia benturkan pedangnya ke lantai tempat ia berpijak.

TAK

KLANG

Pedang Yunho berkilat kehijauan. Kilatan yang sedikit berbeda dari tempo hari.

Tapi-… Itu…

Pedang itu terbelah menjadi dua!

Berada pada masing-masing genggaman tangannya. Memutarkannya beberapa kali diudara sebelum ia berlari menghampiri Cloud yang juga berlari kearahnya.

TRAAAAANG

Dan semua terjadi begitu cepat.

.

.

.

.

.

Aku selalu bermimpi, bahwa akan ada sebuah kekuatan besar yang dapat melindungiku dan membawaku keluar dari tempat terkutuk ini.

'Hei, Jaejoong-..'

Meraihku dengan hangatnya.

'Matamu sangat indah.'

Melingkupiku dengan cinta.

'Kau akan mengerti.'

Memandikanku dengan kasih sayang.

'Jae-..'

Melangkah bersama mengarungi bahtera kehidupan yang nyata.

'-Calon istriku. Jaejoong.'

Saling merangkul ketika badai menerpa.

'Tidak. Aku tidak mencintai siapapun selain dirimu.'

Yunho-.. Kekasihku.

"Ikutlah bersamaku, calon istriku. Maka kau akan mendapat kehidupan yang lebih baik. Bahagia 'lah bersamaku."

Ya. Aku milikmu, Yunho. Milikmu.

.

.

.

.

.

Bagian mana yang reader-ssi suka? Atau mungkin gak ada sama sekali? Hehe :D

Ada yang mau sequel? *clingukan* Gak ada? Yaudah~ *terbang*

Review juseyo :3 Kamsa~ *bows*