7 Satsuki's Favorite Things

7 - Carousel

Story by Titania aka 16choco25

Kuroko no Basuke © Fujimatsu Tadatoshi

Summary : Daiki tidak pernah tahu Satsuki menyukai 7 hal yang benar-benar tidak ia sangka sama sekali. Dan ia hanya selalu berharap bahwa salah satu hal yang disukai Satsuki adalah dirinya, yang apa adanya dan selalu mencoba menjadi yang terbaik di mata Satsuki.

.

.

Skuad tim basket Daiki meraih kemenangan besar di Amerika.

Begitu tiba di bandara, tak ada yang menghalangi jalan mereka berlari hingga dapat menghambur mulus memasuki pesawat. Daiki bahkan bisa memilih tempat duduk sesuka hati, namun tak menghilangkan sepercik pun rasa takut ketinggiannya. Mereka―Tetsuya, Midorima, Nijimura, Akashi, Kise, dan tentu saja Daiki pulang dengan beribu pengalaman yang tak akan pernah mereka lupakan. Setelah sampai di bandara, mereka langsung meluapkan rasa lelah mereka di dalam pesawat dengan langsung menyandarkan diri di bangku empuk pesawat―kecuali Daiki.

Jadilah, selama sekitar delapan belas jam penerbangan, Daiki tak sekali pun mendapat kesempatan ke alam mimpi dengan tenang. Guncangan di pesawat ditambah tanah yang tak lagi terlihat membuatnya selalu dihantui ketakutan. Berbeda dengannya, Tetsuya dan Midorima malah langsung tertidur di menit kelima ia menyandarkan kepala pada bangku pesawat.

Astaga, seolah seluruh waktu di dunia tidaklah cukup untuk mereka.

Jadi begitulah, selama kurang lebih delapan belas jam penerbangan, kurang lebih sekitar lima belas jam dihabiskan Tetsuya dan yang lain di alam mimpi. Daiki? Karena tidak bisa tidur dan selalu diliputi rasa mual, maka ia hanya melihat-lihat foto yang berhasil mereka ambil, dan sesekali mencomot jajanan yang sempat terbawa. Dan begitu sadar, mereka sudah ada di Bandara Narita dan langsung menaiki mobil.

Berkat jalanan yang lenggang dan keahlian sang pengemudi, Daiki berhasil tiba di depan rumahnya kurang dari lima belas menit. Menyadari sisa waktu membuat Daiki tertarik untuk melangkah ke arah belakang mobil, membuka cool box dan meraih sekaleng kopi, lelah karena jet lag dan sangat kekurangan tidur. Duh, lihat saja kantung mata dan rambut berantakannya, belum lagi debu yang coreng-moreng di sekujur tubuh sebagai oleh-oleh dari Amerika. Ia yakin Satsuki pun tidak mau melihat bayangannya di cermin sebelum mandi atau setidaknya berganti baju.

Begitu membuka pintu rumah, yang ia harapkan adalah senyum Satsuki yang menyambut kedatangannya, namun Daiki melongo begitu melihat rumahnya kosong melompong. Ia keluar lagi, menghampiri mobil dengan jendela terbuka dan wajah Kise menyembul di celah jendela yang terbuka itu.

"Satsuki tidak ada," katanya heran. Kise, Tetsuya, Midorima, Nijimura, dan Akashi ikut melongo.

Kise berpikir sejenak. "Mungkin ia sedang berbelanja," tebaknya.

"Tidak mungkin. Ia selalu belanja pagi-pagi setiap jam sepuluh," kata Daiki tegas, sambil memijit-mijit keningnya. Ia tahu benar kebiasaan Satsuki. Namun sekarang otak dan batinnya terlalu lelah untuk memikirkan banyak hal, kecuali satu hal yang menjadi prioritasnya—kemana Satsuki?

.

.

Jawaban pertama muncul dari kertas yang diletakkan di meja makan, disertai bunga itu.

Daiki menemukannya, pesan dari Satsuki.

Hanya sebuah kalimat sederhana yang tertulis di kertas dengan sekuntum bunga carnation putih. Daiki memutar otaknya, mencoba mengingat-ingat. Carnation putih, artinya menunggu, bukan? Bahasa bunga, ia selalu ingat Satsuki pernah berkata bahwa bahasa bunga adalah bahasa yang menggunakan bunga sebagai perlambang atau kiasan. Namun ia tidak salah, bukan?

Temui aku di restoran Italia di depan Stasiun Kenbashi malam ini, meja dua belas, pukul tujuh.

Satsuki.

.

.

Lelaki berambut biru itu berjalan menuju pintu masuk restoran Italia itu, dimana seorang pelayan lelaki sudah bersiap-siap untuk menyambutnya. Ia melongokkan kepalanya, melihat suasana sekeliling restoran yang begitu sepi, dan di meja itu, meja di pinggir jendela kaca besar yang menampakkan pemandangan malam kota Tokyo, Daiki melihat istrinya itu, masih dengan rambut merah mudanya yang tergerai rapi dengan gaun putih panjang yang manis. Astaga, Daiki saja baru menyadari bahwa gaun yang dikenakan Satsuki itu adalah gaun pernikahan mereka.

Pelayan lelaki itu tersenyum. "Anda Tuan Aomine Daiki, meja dua belas, bukan?" tanyanya sambil membungkukkan badan, dan Daiki mengangguk pelan, sejenak tersadar dari lamunannya. Ia melirik jam, jam tujuh kurang sepuluh menit. Ia datang lebih awal.

"Ya, benar," ujarnya mengiyakan.

Pelayan itu tersenyum lagi. "Nona Aomine Satsuki sudah menunggu Anda. Silakan masuk."

Daiki melangkahkan kakinya, menuju meja nomor dua belas, dimana istrinya itu telah menunggu di hadapan panggung kecil dengan piano, dan Satsuki tersenyum begitu melihat kehadiran suaminya itu dengan pakaian rapi—jas hitam dengan kemeja putih dan dasi biru. Dia pun melangkah mendekati Satsuki. Daiki melirik vas bunga yang ada di tengah meja mereka, bunga itu, carnation putih. Daiki duduk dan menatap istrinya itu serius.

"Jangan bilang bahwa semua ini adalah kelakuanmu," ujar Daiki dingin.

"Romantis, bukan?" Satsuki memiring-miringkan kepalanya. "Darimana kau tahu bahwa semua ini adalah ideku?"

Daiki menjentikkan jari sambil memajukan dagunya. "Mudah saja, suasana restoran yang sepi, pelayan yang menunggu di depan pintu masuk restoran, pemain piano di panggung kecil itu, dan surat dengan setangkai bunga carnation di rumah. Dan aku mulai berpikir pasti semua ini adalah ulahmu," tuduhnya dengan sikap dingin, khas lelaki itu.

Satsuki tertawa kecil. "Kau benar seratus persen," ucapnya geli.

"Kau habiskan berapa untuk semua ini, Satsuki?" Daiki membuka buku menu dan menekurinya sejenak. "Biar kutebak, kartu debitku pasti sekarat."

Satsuki tergelak. "Aku mempersiapkan semua ini untukmu, Dai-chan."

"Omong-omong," Daiki menatap Satsuki lekat. Gaun putih dengan renda di ujungnya yang manis. Membuatnya merasa deja vu. "Kenapa kau mengenakan gaun itu?" tanyanya sambil memegang tangan Satsuki, erat. "Itu gaun pernikahan kita, bukan?" Tangan Daiki masih menggamit tangan Satsuki dan Satsuki menatap Daiki lembut.

"Aku sengaja memakai gaun ini. Dai-chan, bagaimana pendapatmu?"

"Aku suka."

Suara Daiki tertelan oleh fantasi dan setelah menghabiskan waktu di restoran, mereka berlari, menuju taman bermain yang nampak sepi, dan melayang-layang dalam komidi putar—carousel. Rasanya indah, melebihi indahnya ledakan aurora di atas Kutub Selatan atau indahnya ledakan galaksi dan supernova yang melayang jatuh di atas belantika astronomi.

Saat komidi putar mencapai posisi empat puluh lima derajat dari porosnya, saat itu juga daya tarik membuat mereka sedikit terguncang. Satsuki tersenyum dengan sangat manis dan Daiki sudah menatapnya serius, namun bibirnya tersenyum dingin.

"Dai-chan."

"Hm?"

"Aku punya hadiah spesial untukmu."

Daiki mengernyitkan dahinya bingung. Ia tidak tahu apa alasan Satsuki mengeluarkan bungkusan kado kecil dari kantong gaun putihnya. Dan senyum misterius Satsuki itu mencurigakan. Ia benci kejutan walau ia sebenarnya sering membuat kejutan. Namun yang berikutnya terlihat membuat Daiki terperangah saat melihat gambar siluet hitam putih USG di tangan Satsuki. Ia tidak tahu apakah perasaan yang tengah dirasakannya adalah senang, bahagia, atau gembira, yang bercampur dengan rasa kaget.

Satsuki tersenyum. "Aku periksa dua hari yang lalu." Ia menggamit tangan Daiki.

Daiki menggenggam tangannya, erat, seakan ia akan kehilangan istrinya itu. Satsuki tersenyum, hangat.

"Jadilah ayah yang baik, Dai-chan."

"Pasti."

"Aku mencintaimu, Dai-chan."

"Aku lebih."

Dan Satsuki seakan berkhayal bahwa saat ini dia berkhayal melihat dirinya, Daiki, dan seorang anak lelaki berambut biru dan anak perempuan berambut merah muda sedang duduk di dalam sebuah komidi putar, melihat seberapa jauh pemandangan yang dapat mereka lihat melalui jendela komidi putar, tertawa bersama-sama, saling bercanda ria, dan ia tersenyum kecil, dan memeluk Daiki.

Dan ia selalu tahu, Daiki adalah salah satu hal yang disukainya, yang apa adanya dan selalu mencoba menjadi yang terbaik di depannya.

.

.

Jika kau adalah setetes embun yang mengalir di penghujung paru-paruku, membuatku merasa kehilangan seluruh rasa hausku, maka kau adalah penyejukku. Jika kau adalah oksigen yang kuhirup sepanjang waktu, mengalir deras ke seluruh bagian darahku, mengitari seluruh tubuhku, maka kau adalah napasku. Jika kau adalah galaksi, maka aku adalah ribuan konstelasi bintang-gemintang yang akan selalu bersamamu. Jika kau adalah elemen, maka aku adalah jutaan partikel mikro elemen lain yang menjadi bagianmu. Kau delusiku, mimpiku, harapanku, dan fantasiku.

Momoi Satsuki.