disclaimer

Masashi Kishimoto | zusshichan [akazusan]

The Purple Apple | Chapter 11

.

Hinata mengerang. Kepalanya terasa sakit. Namun yang membuatnya terbangun adalah suara-suara aneh yang terdengar seperti beberapa orang yang sedang mengobrol. Ketika ia mengerjapkan matanya, berusaha memusatkan fokusnya, yang dilihat justru satu sosok berambut merah yang sedang meringkuk sangat jauh darinya.

Gadis itu lalu mengedarkan pandangannya. Mengenali tempat asing. Hinata menduga tempat itu adalah sebuah gudang besar yang tidak di pakai lagi. Seluruh ruangan berdebu dan atapnya sedikit rusak. Beberapa bagian atapnya berlubang sementara jendela kaca besar di dekat atapnya, pecah.

Hinata sadar, ia dikunci. Tangannya terikat kencang di sebuah tiang begitu juga dengan kakinya. Ia di dudukkan di lantai berdebu. Gadis itu mengedarkan pandangannya sekali lagi. Mencari benda tajam secara sembunyi-sembunyi yang bisa membantunya melepaskan diri. Namun, ia tiba-tiba dikejutkan dengan suara teriakan kencang dari sosok merah itu.

Sosok itu Gaara. Hinata mengenalinya, tapi juga tidak mengenalinya. Secara fisik, pria itu adalah Gaara, tapi gadis itu tidak mendapati Gaara ada di sosok itu.

Pria itu berteriak, mengerang, mengamuk. Walaupun pria itu tidak melampiaskannya pada Hinata, tapi tetap membuatnya ketakutan. Terkadang pria itu berbicara dengan nada ketakutan, terkadang pria itu berbicara dengan nada tinggi. Suaranya menggelegar, menggema di dinding-dinding lapuk bangunan.

"Tidak... tidak. Aku tidak bisa melakukannya. Itu bisa melukainya."

Gaara menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tangannya menjambak rambut merahnya itu kuat-kuat dan dari sorot matanya, ia tampak ketakutan. Sesaat kemudian ia berteriak, memaki seseorang. Ia berbicara dengan nada tinggi seakan sedang memarahi orang itu.

"Itu adalah sesuatu yang harus dilakukannya untuk membuktikan cintanya padamu."

"Tidak. Aku tidak ingin menyakitinya." Gaara kembali ketakutan.

"Dia sudah menyakitimu!"

"DIAAAAM!"

Pria itu berteriak menggelegar. Kali ini jauh lebih keras dan seketika hening. Pria itu kembali meringkuk, kali ini semakin dalam menyembunyikan kepalanya.

Hinata menatap Gaara, dengan tatapan takut, sekaligus sedih. Di satu sisi traumanya membuat ia ketakutan. Namun hati nuraninya sebagai seorang dokter, tergerak untuk membantu pria itu.

"Ga... Gaara-kun." Panggil Hinata lirih. Tidak ada jawaban. Cukup lama, hingga akhirnya sosok itu berteriak yang mengejutkan Hinata.

"Tidak ada Gaara di sini!" Sosok itu beranjak, mendekati Hinata dengan langkah terburu-buru, lalu memenjarakan gadis itu dengan kedua tangannya. Hinata tercekat. Ia memundurkan tubuhnya, walau itu sia-sia. Jantungnya berdebar kencang dan ia merasakan jantungnya itu akan segera meledak dan membunuhnya. Melihat kemarahan Gaara membuatnya ketakutan. Pria itu menatap Hinata, memicing tajam dengan bibir menyeringai. "Dasar wanita jalang. Berani sekali kau menyebut namaku setelah apa yang kau lakukan padaku." Napas Hinata mulai memburu, traumanya hampir kambuh. "Kau pasti berharap aku mati, bukan? Kenapa kita tidak mati saja, bersama?"

"Ga... Gaara-kun." Hinata berusaha menenangkan Gaara ditengah-tengah ketakutannya. Namun pria itu justru membentaknya.

"DIAM! DIAM! DIAAAM!"

Hinata memejamkan matanya, karena ketakutan. Suara Gaara yang keras dan menggelegar itu membuatnya ketakutan setengah mati. Dalam ikatan, tangannya gemetar dan napasnya memburu semakin kencang. Peluh sudah mengucur sedikit demi sedikit.

Hinata berusaha mengontrol dirinya. Ia berusaha menggunakan akal sehatnya sebagai seorang tenaga medis. Berulang kali pikirannya yang lain menenangkan dirinya yang ketakutan. Namun sebagian besar diri Hinata sudah ketakutan.

Gaara sudah menjauh dari Hinata. Pria itu kembali meringkuk setelah berteriak. Tak lama kemudian kepalanya terangkat, menunjukkan wajah cemas dengan air matanya. Pria itu mendekati Hinata sembari menangis.

"Maafkan aku, Hinata. Maafkan aku!"

Hinata kembali tercekat. Kewaspadaannya meningkat, mempersiapkan hati dan mentalnya jika tiba-tiba Gaara melukainya. Namun pria itu dengan sesenggukan, melepaskan ikatan kaki dan tangan Hinata. Sambil melepaskan gadis itu, ia terus saja meminta maaf.

"Maafkan aku, Hinata. Aku tidak tahu kenapa aku begini. Tiba-tiba saja dia datang dan meracuniku. Dia bilang kau tidak mencintaiku. Dia bilang kau datang untuk membalaskan dendam Matsuri."

Ketakutan Hinata, perlahan menghilang. Namun ia tidak bisa menghilangkan kewaspadaannya pada pria itu. Masih mengamatinya dengan tatapan cemas juga waspada, Hinata memundurkan badannya sedikit demi sedikit menjauhi Gaara.

"Kepalaku rasanya sakit setiap dia berbicara padaku, membuatku ingin mati saja." Tiba-tiba saja Gaara menarik tangan Hinata dan menggenggamnya. Tangan gadis itu gemetaran ketakutan, tapi tangan Gaara bergetar lebih kencang lagi. Rasa takut pria itu seperti rasa takut seseorang terhadap kematian. Seakan-akan pria itu dikejar-kejar oleh seorang pembunuh.

"Tolong bunuh aku, Hinata. Kematianku akan membuatmu bahagia." Pria itu memohon sembari mengarahkan kedua tangan Hinata pada lehernya. Meminta gadis itu untuk mencekiknya. Pria itu kemudian melepaskan kedua tangan Hinata dan merentangkan tangannya sendiri. Seakan berpasrah diri.

Tangan Hinata masih gemetar. Gadis itu takut dan segera menjauhkan kedua tangannya. Namun tangan Gaara mencekal tangannya lagi, mengarahkannya pada leher pria itu lagi. Kali ini tarikannya terasa lebih kasar.

"Kenapa tidak kau lakukan? Ayo lakukan! Kau ingin mencekikku, kan? Kau ingin membunuhku, kan? Kenapa kau ragu-ragu, Hinata?"

"Ga... Gaara-kun. Tolong jangan begini."

Hinata kembali tercekat. Ia berusaha mendapatkan kembali tangannya, tapi Gaara sudah menggenggamnya lagi. Pria itu mengabaikan permohonan Hinata, juga ketakutan gadis itu. Pria itu menatap Hinata dengan garang.

"Atau kau ingin kita mati bersama?" Pria itu menyeringai. "Bukankah itu terdengar romantis?"

.

Sudah delapan jam Hinata hilang. Begitu mendapatkan telepon kepanikan dari Temari, Kakashi segera menghubungi Genma untuk melakukan pencarian juga mengusut kasus penusukan tetangga Temari, Nenek Chiyo. Beruntung Nenek Chiyo berhasil diselamatkan walaupun sempat dalam kondisi kritis.

Keluarga Nara tidak tenang. Pikiran mereka bercabang. Di satu sisi mereka harus menjaga Shikadai yang masih sakit, sementara Hinata menghilang dan belum ditemukan. Kakashi bersama Genma di kepolisian, melakukan pencarian lewat CCTV, tapi masih belum menemukan petunjuk. Gaara seakan tahu tempat mana saja yang tidak terekam CCTV.

Di tengah-tengah kecemasan itu, pintu rumah keluarga Nara terketuk. Temari berjalan membuka pintu dengan tergesa-gesa, berharap Kakashi datang dan memberinya kabar baik. Namun yang datang justru sosok raven menjulang dengan wajah cerahnya.

Wajah Temari berubah kecewa juga semakin sedih. Sasuke yang tidak tahu apapun, merasakan sesuatu tidak beres dengan ekspresi Temari. Begitu juga dengan mata sembab wanita itu.

"Di mana Hinata?"

Temari menatap pria raven itu, dengan pandangan sedih, menahan air matanya lagi.

"Dia menghilang." Sasuke tercekat, tapi ia tetap membiarkan Temari menjelaskan. "Aku keluar untuk mengambil paket di rumah Nenek Chiyo. Ketika aku ke sana, Nenek Chiyo sudah berdarah. Dia bilang ada yang mencari rumahku. Ketika aku kembali, Hinata sudah tidak ada." Temari mulai menangis lagi. "Kakashi bersama Genma dari kepolisian untuk melacak Gaara."

Sasuke tidak tahu siapa Nenek Chiyo, tapi yang jelas Hinata dalam bahaya dan ia sangat-sangat marah.

"Kenapa tidak memberitahuku?" Bentaknya pada Temari. Suaranya yang meninggi itu, membuat Shikadai menangis dalam gendongan ayahnya. Dari ruang tamu, Shikamaru mengamati Sasuke dengan tatapan tajamnya, seakan memperingati pria itu untuk tidak berbuat kasar pada keluarganya. "Kuso!"

Tanpa berlama-lama lagi, Sasuke segera meninggalkan rumah Temari. Tak ada gunanya menyalahkan orang lain. Ia harus menyelamatkan Hinata, bagaimanapun caranya.

.

"Gaara. Lepaskan!"

Teriakan Hinata sudah bercampur dengan isak tangis. Pikirannya diliputi berbagai macam ketakutannya pada pria merah itu. Gaara membawanya keluar dari bangunan tua, menembus hutan.

"Lepaskan aku!" Jerit Hinata.

Gaara melepaskan tangannya. Namun itu justru membuat Hinata makin masuk dalam intimidasi Gaara. Pria itu menatap Hinata tajam dan mendekatinya.

"Aku sudah melepaskanmu, apa yang ingin kau lakukan?" Tanya pria itu dingin. "Kau ingin memukulku?" Tatapannya lalu mengarah pada kedua tangan Hinata yang masih terikat. Lalu sebuah tendangan ke depan diarahkan. Gaara tersungkur. Hinata segera melarikan diri dan tiba-tiba terjerembab karena pria itu memegangi pergelangan kakinya.

"Ga... Gaara..."

"Dasar wanita sialan!" Gaara menduduki perut Hinata dan mulai mengarahkan kepalannya pada wajah gadis itu. "Siapa yang menyuruhmu menendangkau, ha? Siapa?" Pria itu terus memukul wajah Hinata hingga akhirnya ia menjerit. Ia merasakan telinganya berdenging.

"DIAAAAAM!"

Napas Gaara tersengal. Masih duduk di perut Hinata, ia memejamkan matanya. Kesadaran Hinata tinggal setengah. Ia tidak tahu dunia mana yang sekarang ia tempati, yang jelas ia berharap semuanya berakhir.

Ketika Gaara membuka matanya, tatapannya kosong. Ia berjongkok di sebelah Hinata.

"Kau ingin semua ini berakhir, bukan?" Tanya Gaara. Air mata kembali mengalir di ujung mata Hinata. Gadis itu mengangguk lemah. "Kau harus turuti kata-kataku." Hinata mengangguk lagi, dan pria itu kemudian berdiri, mengulurkan tangannya.

.

Pria itu meremas kepala ravennya, ia tampak berpikir keras, dengan laptop di pangkuan. Ia menghack sistem pemerintah untuk mencari informasi rekaman CCTV yang menunjukkan jejak Gaara. Gaara.

Sasuke melihatnya, dan ia hanya bisa mengepalkan kedua tangannya ketika dilihatnya pria dengan rambut merahnya, memanggul Hinata dan memasukkan tubuh gadis itu ke mobil. Sasuke terus memperhatikan rekaman itu dan mengikuti mobil yang dibawa Gaara.

Sasuke mendatangi tempat yang beberapa jam lalu dikunjungi oleh Hinata dan Gaara. Tempat itu sudah kosong. Hati Sasuke mencelos, tapi ia masih berharap banyak. Ia terus menyebutkan nama Hinata, hanya sekedar untuk menenangkan hatinya yang menunggu untuk diledakkan. Pria itu mencari ke sekeliling bangunan. Dalam dan diluar bangunan tua. Namun nihil. Tak lama kemudian suara sirine lambat laut terdengar. Mobil polisi berdatangan mengepung tempat itu.

Sasuke keluar, dan membuat Kakashi heran dengan keberadaannya, sementara Genma menunjukkan ekspresi terkejut sekaligus curiga.

"Bagaimana bisa..." Tanya Kakashi.

"I have my way." Kata Sasuke singkat, lalu pergi. Genma cukup penasaran dengan keberadaan Sasuke. Namun ia memilih diam dan fokus pada pencarian.

"Sisir seluruh area." Perintah Genma.

Meninggalkan area bangunan tua, Sasuke mengamati sekelilingnya. Ada sobekan kain yang terlihat baru di sekitar pintu masuk bangunan. Arah jalannya menuju . Seingat Sasuke ada jalur rel kereta api membelah lembah.

"Hinata, semoga kau baik-baik saja." Ucap Sasuke penuh pengharapan.

.

Anjing pelacak melacak bau Hinata di potongan baju yang ditemukan Sasuke, yang kemudian ditemukan oleh salah satu polisi. Seluruh rombongan polisi menyerbu arah sumber bau tersebut. Pengejaran para polisi sampai pada sebuah jalur rel kereta api. Seorang pria dengan kepala merahnya, berada di atas jalur kereta api. Pria yang berkepala raven berusaha mendekati mereka.

"Jangan mendekat!" Seru Gaara. "Jika kalian mendekat, aku akan mendorongnya."

Hinata melihat Sasuke dan merasakan kelegaan yang luar biasa. Namun ia terlalu takut untuk menyebut namanya.

Genma dengan sirine dan pengeras suaranya, memperingati Gaara.

"Hei, Gaara. Tidak ada gunanya kau berdiri di situ. Kau akan mati."

"Memang itu yang kuinginkan. Mati bersama Hinataku."

Seakan Semesta mengabulkan keinginan Gaara, sirine kereta api berbunyi. Kereta itu datang di hadapan Gaara dan Hinata, sangat jauh. Hinata mencoba melawan, tapi pelukan Gaara dari belakang terlalu kuat.

"Gaara, turunlah!" Sasuke mendekati Gaara sedikit demi sedikit.

"Kau ingin mati juga, hm? Tapi matimu sia-sia, bodoh. Karena kami saling mencintai."

"Mencintai matamu!"

Persetan dengan semua ancaman Gaara. Sasuke berlari menanjak menuju Gaara untuk menariknya mundur. Namun sinar lampu kereta yang menyilaukan mengejutkan mereka.

"Hinata!" Kakashi hampir menahan napasnya, ketika dilihatnya Gaara mendorong Sasuke dan Hinata dan membiarkan dirinya ditabrak oleh kereta.

Adegan itu terasa sangat cepat. Sasuke dan Hinata jatuh bergulingan dengan tubuh kecilnya berada di perlindungan tubuh kekar kekasihnya. Setelah berhasil mendarat dengan selamat, walaupun luka lebam dan berdarah. Hinata merintih kecil. Ia mengingat Gaara. Tatapannya menatap nanar kereta api yang berjalan dan ia menangis. Sasuke bangun dan, lalu memeluknya.

.

8 bulan kemudian...

Itu adalah hari yang cerah. Sasuke datang dengan buket bunga. Ia berjalan di koridor dan menemukan Kakashi membungkukkan badan di depan kamar Hinata, lalu menegakkan kembali tubuhnya. Ketika pria itu melenggang, mereka berpapasan.

"Oh, kau. Menjenguk Hinata?" Tanya Kakashi.

"Hm." Sasuke sama sekali tidak ingin berbicara dengan pria perak itu. Baginya membuang-buang waktu saja. Maka ia memutuskan untuk mengabaikannya, tapi kemudian ia teringat sesuatu. "Kau terlihat seperti akan pergi."

"Aku melanjutkan pendidikanku ke Inggris."

"Baguslah kalau begitu."

"Kau pasti senang sekali." Sindir Kakashi.

"Kau benar. Terima kasih banyak." Ujar Sasuke untuk terakhir kalinya. Ketika ia membuka pintu, dilihatnya Hinata dengan seorang pria tua yang mengupaskannya buah. Dilihat sekilas saja sudah pasti pria itu ayah dari Hinata.

Kakashi sialan! Umpat Sasuke, karena pria itu tidak memberitahu kedatangan ayah Hinata.

Ini adalah kali pertama Sasuke bertemu dengan ayah Hinata, dan ia sedikit gugup karena datang tanpa persiapan.

Hinata tahu, kekasihnya itu sedikit canggung dengan suasana baru ini. Ia mengulurkan tangannya pada Sasuke, meminta pria itu mendekat.

"Ayah, kenalkan. Ini Sasuke Uchiha." Kata Hinata pada Hiashi. "Sasuke-kun, ini ayahku."

"... kun?" Tanya Hiashi menanyakan suffix yang dipakai Hinata, menunjukkan kedekatan hubungan mereka.

"Saya mencintai putri Anda." Ujar Sasuke sembari menyerahkan buket bunga itu pada Hiashi.

"Maaf, anak muda. Aku tidak terlalu suka bunga. Kau berikan saja pada putriku." Hinata mendengus, tertawa geli.

Kesan pertama yang tidak buruk juga.

.

Kesan pertama Hiashi pada Sasuke adalah rasa hormat. Karena pria itu mengatakan secara langsung bahwa ia ingin menikahi Hinata. Hiashi sudah tua. Ia hanya ingin hidup di masa tuanya dengan tenang, damai, bersama cucu-cucunya, menghabiskan uang pensiunan. Ia bukan berasal dari keluarga kaya raya. Hanya keluarga sederhana yang menginginkan kebahagiaan. Melihat anak-anaknya bahagia, sudah cukup bagi Hiashi, dan dengan cepat Hiashi bisa melihat kebahagiaan Hinata ketika bersama Sasuke.

Maka dari itu, setelah beberapa pertanyaan, tanpa penolakan Hiashi menerima Sasuke sebagai calon menantunya. Pertanyaannya pun sederhana dan terkesan berbasa-basi. Seperti, Apa pekerjaanmu? Rumahmu di mana? Berapa penghasilan perbulan? Bagi Hiashi, asal kebutuhan putrinya tercukupi, sudah cukup. Lagipula Hinata juga bekerja dan ia tidak membesarkan putrinya itu untuk hidup boros.

Mereka menikah, sehari setelah Sasuke mengatakan niatnya pada Hiashi. Tentunya hanya mendaftarkan pernikahan saja. Pestanya dilakukan setelah kondisi Hinata benar-benar pulih. Lagipula Sasuke juga harus memberi tahu kedua orang tua dan kakaknya, dan mempersiapkan kepulangan mereka.

Satu hal yang Sasuke tahu tentang pernikahannya adalah, ia tidak merasakan kekhawatiran apapun. Seluruh hati dan jiwanya berseru menyuarakan nama Hinata. Ia yakin Hinata pun akan melakukan hal yang sama.

"Sasuke Uchiha, apakah kau bersedia menerima Hinata Hyuuga sebagai istrimu, dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, dan selalu bersama dalam keadaan apapun?"

"Aku bersedia."

"Hinata Hyuuga, apakah kau bersedia menerima Sasuke Uchiha sebagai suamimu, dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, dan selalu bersama dalam keadaan apapun?"

"Ya."

"Kedua mempelai telah resmi diikat dalam pernikahan."

Sasuke membuka tudung Hinata dan menatap paras cantiknya. Ia tersenyum, merasakan hatinya menghangat, berbahagia, dan ia tahu ia akan merasakan hal ini selamanya. Keduanya lalu menautkan bibir mereka dalam sebuah ciuman lembut.

Sasuke tahu. Selama ia memiliki Hinata, semua akan baik-baik saja. Selama ia memiliki Hinata, dunia menjadi tidak semenyeramkan itu. Dan semua hasrat-hasrat itu menghilang dengan sendirinya. Sepertinya dengan keberadaan Hinata di sisinya, hasrat-hasrat itu tenang dengan sendirinya.