Hanya dengan berjalan biasa... hanya dengan menghirup udara saja... manusia sudah merasakan kebahagiaan yang tak terhingga...

Karena itu, tolong jangan memutuskan untuk bunuh diri selagi ada orang yang ngotot hidup hingga seperti ini.

.

.

.

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Iridescent © 火月 (Katsuki SAL)

.

.

.

Chapter 2: Tangan Arwah dan Klub Basket

"Apa kau bisa melihat makhluk halus?"

Kagami yang nyaris berlayar ke pulau mimpi terbangun oleh suara itu. Ia mengangkat wajahnya yang dihiasi liur imajiner, menatap sosok tegap di hadapannya dengan buram plus mata setengah terbuka. "Hmm? Apa? Siapa?" tanyanya, lebih terdengar seperti orang mengigau.

"Kau. Bisa melihat makhluk halus?" tanya orang itu lagi.

Kagami menguap, mengucek matanya dan mengerjap beberapa kali. Pandangannya mulai fokus. Kini ia bisa melihat sosok di hadapannya. Seorang pemuda berkacamata, berambut hitam seperti landak. Kagami menelengkan kepala. Rasanya ia tidak pernah melihat pemuda yang telah mengganggu tidur siang—pagi—nya ini...

"...kau siapa?" tanya Kagami, ogah-ogahan. Mengacuhkan murid-murid lain yang mulai berbisik-bisik melihat perilakunya.

"Aku Hyuuga Junpei, kelas 3-C, anggota klub basket," ujar pemuda berkacamata itu, memperkenalkan diri.

"Hoo..." Kagami merenggangkan badan dengan santai. "Senior. Tunggu... kenapa kau tanya seperti itu? Dan sedang apa kau di sini sekarang? Ini sepuluh menit sebelum pelajaran dimulai."

"Kau Kagami Taiga, 'kan? Kudengar kau bisa melihat dan mengusir makhluk halus. Kalau benar, aku minta bantuanmu."

Kagami melipat tangan di dada, menatap pemuda berkacamata itu dengan mata disipitkan penuh tanda tanya. "Siapa yang memberitahumu?"

"Kebanyakan murid sudah tahu kemampuanmu," lengos Hyuuga Junpei, mulai terlihat tidak sabar. "Ada beberapa siswa yang melihatmu bersama Kuroko Tetsuya di kereta, beberapa waktu lalu. Mereka bilang ada seseorang yang kerasukan, tapi orang itu sembuh saat kau mendekat."

Kagami mendecak gemas, menggaruk surainya yang tidak gatal. Dalam hati mengutuk jaringan informasi yang begitu cepat di masa kini. Ia mengusap wajah, menatap sang senior yang masih berdiri di hadapannya dengan setengah hati. "Kau tidak membayarku..."

"Kami akan membayarmu," potong Hyuuga cepat sembari menundukkan badannya. "Kalau kau menarik bayaran dalam jumlah tinggi, kami bisa mencicilnya perminggu, tapi kumohon, kami benar-benar minta bantuanmu."

Sebelah alis cabang itu terangkat. Kenapa pemuda itu menggunakan kata 'kami'? Apa itu benar-benar hal yang menganggu hingga Hyuuga bersedia menunduk seperti itu? Kagami tahu, hanya dengan sekali lihat saja, pemuda berkacamata di hadapannya ini tipe orang yang keras. Ia tidak mungkin semudah itu menganggukkan kepala. Kagami menghela nafas panjang, sedikit berat memutuskan ini.

"Kapan?" tanyanya setengah hati.

Seulas senyum lega langsung terkembang di wajah Hyuuga. "Syukurlah. Kau bisa menemui kami sepulang sekolah di ruang klub basket. Terima kasih, Kagami," ujarnya seraya membungkuk dan melangkah keluar kelas. Meninggalkan Kagami yang masih terpaku di tempat duduknya.

Dengusan panjang keluar dari bibir pemuda beralis cabang itu. Ia membenamkan wajah di antara kedua tangannya, dalam hati mengutuk orang yang menyebarkan berita ini—siapapun itu. Tidak menggubris siswa lain yang berbisik-bisik samar melihat kejadian barusan. Kagami sekali lagi mendengus, menegakkan tubuh dengan tangan mengusap wajah. Detik itulah ia merasa ada yang janggal. Ia menoleh ke arah jendela, mendapati sesosok Akashi Seijuuro yang bertengger di dahan pohon. Entah apa yang dilakukan pemuda itu. Membuat dahinya berkerut.

Baiklah, apa yang dilakukan monyet pendek berbulu merah di sini, tanya Kagami dalam hati.

Manik heterokromatik itu mengerjap sekali, lalu si empunya membalas tatapan Kagami dengan seringai khasnya sebelum melompat turun. Oke, mood Kagami sedang buruk karena dibangunkan paksa. Dan ia berharap Akashi tidak menambah masalah dengan sederet ucapannya yang bernada tenang namun kadang menyakitkan hati. Melihat wajahnya tadi saja Kagami sudah merasa tidak enak alias enek.

.

Kuroko menatap pemuda bertubuh besar di hadapannya dengan kesal, plus raut wajah datar. Baiklah, ia sudah pusing karena nilai ulangan kimia yang di bawah rata-rata kali ini, dan bertambah pusing ketika Kagami berkata ada orang yang minta bantuan mereka. Bukannya tidak mau, ia hanya sedikit... lelah. Ia ingin istirahat, tapi sepertinya waktu istirahat itu harus tertunda. Kuroko menghela nafas pendek, mengacak surai baby blue yang menjadi mahkotanya. Membuat Kagami menoleh singkat ke arahnya.

"Kau tidak perlu memaksakan diri kalau tidak mau. Aku kan bilang tidak apa kalau kau pulang duluan."

Kernyitan samar menghiasi dahi Kuroko. Oke, mungkin ia salah tangkap maksud ucapan Kagami saat si alis cabang datang ke kelasnya tadi. Tapi, setidaknya mengikuti Kagami bisa memuaskan rasa penasarannya.

"Aku penasaran," gumam Kuroko pelan, mau tak mau mengaku daripada pembicaraan mereka bertambah panjang dan berakhir dengan dirinya yang mulai bad mood.

"Hoo..." Kagami menyunggingkan senyum samar yang tidak bisa dilihat Kuroko, tanpa berhenti menyusuri bangunan yang sepi.

"Sebenarnya, kita mau ke mana?" tanya Kuroko sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Jujur, sejak tadi ia tidak tahu ke mana Kagami membawanya.

Kagami berhenti di depan sebuah pintu yang terbuka dan mengendikkan kepala, memberi isyarat untuk masuk. Masih dengan alis berkerut, Kuroko menuruti pemuda itu. Manik aquamarine-nya mengerjap ketika melihat arena basket di hadapannya, lengkap dengan suara decit sepatu para pemain yang sedang berlatih dan suara benturan bola yang masuk ke ring. Kuroko terdiam di tempatnya berdiri, menatap Kagami dengan mata disipitkan.

"Apa kita akan main basket, Kagami-kun?"

Kagami membalasnya dengan dengusan tawa. "Tidak. Kapten mereka yang meminta kita datang ke sini," jawabnya santai sambil melambaikan tangan ke arah seorang pemuda.

Kuroko bergumam tidak jelas, mengusap tengkuknya. Bulu kuduknya mulai berdiri saat mereka memasuki ruang klub ini. Manik aquamarine itu mengedar ke sekeliling, waspada. Sejenak melupakan Kagami yang berbicara dengan seorang pemuda.

Manik crimson itu melirik sejenak ke arah Kuroko yang berdiri tak jauh di belakangnya, juga ke Akashi yang entah dari mana berjalan mendekati si baby blue. "Itu Kuroko Tetsuya, tapi ia hanya menemaniku karena kami selalu berangkat dan pulang bersama," ujarnya pada Hyuuga Junpei yang berdiri di hadapannya. "Jadi, apa yang kau inginkan?"

Hyuuga merangkul bahu Kagami, membawanya menjauh dari penglihatan yang lain ke sudut ruangan. "Sudah sekitar dua minggu ini, latihan kami terganggu oleh suara isak tangis yang keras sekali... tapi tidak ada satupun orang yang terlihat sedang menangis."

Alis cabang itu berkerut. "Ha? Orang menangis?"

"Sebenarnya, bukan hanya tangisan," Hyuuga menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Terkadang, barang-barang jatuh sendiri... begitulah. Dan setiap ada gerakan yang kurang bagus dari para pemain, pemain itu pasti langsung terjatuh. Seperti tersandung, tapi tidak ada yang membuatnya tersandung. Kau mengerti maksudku?"

Kagami menegakkan tubuh, mengarahkan pandangan ke arena latihan. Tepat ketika seorang pemain tiba-tiba berteriak dan jatuh tersungkur ke depan. "Seperti itu?" tanyanya, santai sambil menunjuk pemain yang mulai dikelilingi teman-temannya.

"Ah, ya, tepat seperti itu!" sahut Hyuuga, lega bisa membuktikan ucapannya.

Kagami memperhatikan pemuda yang jatuh itu dengan seksama. Manik crimsonnya menyipit ketika melihat sesuatu yang ganjil di sebelah kaki pemuda itu. Ia menatap Kuroko—yang melemparkan pandangan 'aku-juga-melihat-hal-yang-sama' padanya. Kagami menggumam pelan, kembali menatap Hyuuga.

"Apa kalian pernah punya masalah dengan seorang wanita?" tanyanya.

Manik di balik kacamata minus itu menyipit. "Perempuan? Seingatku tidak. Maksudku, aku tidak. Entah bagaimana yang lain. Kenapa?"

Kagami mengusap dagu, gestur khasnya ketika sedang memutar otak. Baru saja ia berniat buka suara, seorang laki-laki bertubuh tinggi besar menyapa Hyuuga sembari mendekati mereka. Si alis cabang menoleh, mendapati seorang pemuda bertubuh lebih tinggi beberapa senti darinya yang berhenti di sisi Hyuuga. Seulas senyum tersungging di bibirnya ketika bertemu pandang dengan crimson milik Kagami.

"Oh, siapa ini, Hyuuga?" tanyanya sambil merangkul bahu Hyuuga.

Hyuuga merengut, melepaskan lengan kekar yang bergelayut di bahunya. "Ini Kagami Taiga. Aku memintanya untuk memeriksa tempat ini. Dan Kagami, ini Kiyoshi Teppei. Ace klub basket ini."

"Begitu?" Terlihat binar antusias di sepasang manik milik Kiyoshi Teppei ketika kalimat itu diucapkan. "Kalau begitu, ada apa di sini, Kagami? Latihan kami terganggu karena banyak sekali hal aneh yang terjadi."

Kagami mengusap tengkuk, entah kenapa sedikit tidak mengerti apa yang terjadi di sini. "Yah, sebenarnya... aku belum bisa memastikan apa yang terjadi, Kiyoshi-senpai. Tapi sepertinya, ini semua perbuatan sesosok perempuan."

Hyuuga mengernyitkan dahi, menatap Kiyoshi. "Apa kau pernah punya masalah dengan perempuan, Kiyoshi?"

Kagami yakin sekali melihat perubahan di sorot mata Kiyoshi Teppei. Pemuda bertubuh besar itu sekilas terlihat ragu, berpikir selama beberapa saat. "Tidak," jawab Kiyoshi pada akhirnya. Sebelah alis Kagami terangkat. Bahkan dari nada bicaranya, Kiyoshi tidak terdengar yakin. "Bagaimana kau bisa tahu kalau pelakunya seorang perempuan?"

"Kalau aku tidak tahu, aku tidak bakal ada di sini," lengos Kagami, merasa pertanyaan Kiyoshi begitu aneh. Ia menatap ke arah lapangan, menunjuk ke tempat di mana salah satu anggota klub tadi terjatuh. "Aku melihat sebuah tangan, tapi tidak melihat badannya. Hanya sebatas siku, seolah menyembul keluar dari lantai. Tapi aku yakin itu tangan perempuan. Jemarinya begitu lentik. Hanya saja penuh plester pembalut luka."

Manik hitam milik Hyuuga Junpei menyipit. "Bagaimana bisa ada seorang perempuan di sini?"

Kagami mengendikkan bahu. "Entah. Itu hanya dugaanku saja."

"Sepertinya kita harus tanya ke yang lain," dengus Kiyoshi, mengacak rambutnya.

"Tunggu, Kiyoshi," Hyuuga menyahut, tepat sebelum Kiyoshi melangkah ke arah anggota klub yang lain. "Apa kau melupakan Riko?"

Kiyoshi langsung berhenti, menatap Hyuuga tajam. Kagami yang menyadari perubahan suasana di sekitar mereka buru-buru angkat bicara. Entah kenapa rasanya ada yang tidak beres.

"Riko? Siapa dia?"

"Dia pelatih kami," sahut Hyuuga cepat. "Aida Riko, kelas 3-C. Dia sekelas denganku."

"Pelatih? Kalau begitu—"

"BUKAN RIKO!"

Suasana dalam sekejap hening. Semua mata tertuju ke arah Kiyoshi Teppei yang tanpa sadar berteriak hingga menarik perhatian. Pemuda bertubuh besar itu terengah. Bibirnya memucat, bahkan wajahnya sekilas tampak panik. Kagami mendelik. Benar-benar ada yang tidak beres dengan pemuda ini. Hyuuga mendecak, berbalik menghadap semua anggota klub yang sejenak menghentikan kegiatan mereka.

"Kembali berlatih! Waktu istirahat masih lama!" ujarnya lantang, disambut ucapan 'baik' dan 'yaa' penuh semangat dari mereka. Suara decit sepatu dan dribble bola kembali terdengar.

"—kenapa bukan Aida Riko?" tanya Kagami was-was. Kiyoshi terlihat seolah bisa meledak kalau saja ia tidak menjaga ucapannya.

Kedua pemuda yang lebih muda terdiam. Beberapa saat keheningan mengisi ketiganya, hingga akhirnya Hyuuga menghela nafas panjang. Ia terpejam dan melepas kacamata, mengurut batang hidungnya untuk meredakan penat yang entah kenapa menyerang. Satu tarikan nafas dalam untuk menenangkan emosi, disusul hembusan panjang...

"Kau tanya kenapa, eh?" Hyuuga memasang kembali kacamatanya, menatap Kagami serius dan melirik Kiyoshi tajam. "Tentu saja karena Riko masih hidup."

Kagami menggeleng. "Ada hal yang kalian sembunyikan."

Hyuuga tersenyum masam. "Ayo ikut aku. Akan kupertemukan kalian dengannya."

.

"Kagami-kun. Kagami-kun."

Kagami mengerjap, menoleh ke Kuroko yang berdiri di sampingnya. "Apa?"

"Kau lihat yang tadi? Tangan tadi," Kuroko menggaruk pipinya. "Kau yakin itu arwah? Rasanya agak berbeda... auranya terlalu lemah untuk arwah."

Kagami mengendikkan bahu, menatap lampu jalanan yang masih berwarna merah. "Entahlah... aku cuma bisa melihatnya. Auranya tidak terasa karena jaraknya denganku jauh."

Kuroko mencibir—dengan wajah datar, memalingkan wajah ke arah lain. "Kukira kau mulai bisa merasakannya. Dan kita mau ke mana? Jujur, aku tidak suka kalau kau main rahasia-rahasiaan denganku."

Si alis cabang tersenyum tipis, mengacak surai baby blue yang menghiasi kepala Kuroko. "Kita lihat saja. Sebenarnya aku juga tidak tahu kita ke mana," jawabnya seraya menatap Hyuuga Junpei dan Kiyoshi Teppei yang berdiri tak jauh dari mereka. "Kita ikuti saja para senpai."

Manik aquamarine itu menyipit dalam kecurigaan, tepat ketika kerumunan itu mulai bergerak. Kuroko terkesiap ketika tubuhnya terhimpit dari segala arah. Seorang pejalan kaki menubruk tubuhnya depan sebelum menggumamkan permintaan maaf, membuatnya oleng. Belum sempat menegakkan tubuh, ia kembali terdorong. Kuroko menoleh cepat ke Kagami, namun tidak dapat melihat pemuda itu di mana pun. Pemilik surai baby blue itu berusaha keras mengikuti arus manusia. Manik aquamarine-nya menjelajah ke segala arah, berharap melihat sosok pemuda beralis cabang itu. Ia menggigit bibir. Suasana yang mulai gelap menghalangi pandangannya.

Beberapa saat terjebak di lautan manusia, Kuroko merasa sebuah tangan menarik lengan kirinya dengan keras. Kuroko meringis ketika tangan itu menariknya dari kerumunan, menghadapkan dirinya dengan sosok tegap Kagami Taiga. Pemuda beralis cabang itu menatap Kuroko selama sedetik, lalu menariknya lagi.

"Dasar... inilah sebabnya kenapa aku benci mengajakmu di tengah kerumunan..." omelnya pelan, namun tetap bisa didengar Kuroko. Membuat rasa panas menyebar di wajah si baby blue. Sedangkan Kuroko hanya bisa pasrah digiring keluar dari keramaian. Kagami membawa si baby blue ke arah Hyuuga dan Kiyoshi yang berdiri di seberang jalan, tampak menunggu mereka. Raut kelegaan tampak di wajah keduanya begitu melihat Kagami mendekat.

"Syukurlah. Kukira kau hilang, Kuroko," ceplos Kiyoshi tanpa ba-bi-bu seraya mengacak rambutnya. "Hawamu tipis sekali. Aku sampai tidak bisa merasakan keberadaanmu, padahal kau berdiri di sampingku. Maaf, ya."

Kuroko menyunggingkan senyum tipis. "Tak apa, Kiyoshi-senpai. Aku sudah terbiasa... bukan begitu, Kagami-kun?"

Kagami mendelik ketika mendengar ucapan itu. Hyuuga yang melihatnya hanya menghela nafas panjang, membenahi letak tasnya dan mulai melangkah—disusul ketiga pemuda yang lain. Si alis cabang mengambil tempat di sisi kanan Kuroko, melirik ke salah satu titik. Tempat di mana ia bisa melihat helaian merah menyala di antara puluhan—ratusan manusia.

Oh, tolong jangan bilang ia harus mengucapkan terima kasih pada si surai merah yang sudah mengingatkannya bahwa Kuroko sempat tertinggal. Memikirkannya saja sudah merinding—apalagi melakukannya. Bisa-bisa sekujur tubuhnya merinding disko.

"Hm?" Kuroko menatap Kagami ketika merasa getaran lembut di tubuh pemuda bertubuh tegap itu. "Ada apa, Kagami-kun?"

Kagami mengusap tengkuk, berusaha menghilangkan rasa tidak nyaman saat membayangkan sepasang badam beda warna yang menatapnya tajam, plus seulas seringai a la titisan setan. "Tidak. Cuma sedikit dingin."

Demi apa—betapa Kagami membenci tatapan penuh tanda tanya yang merupakan jurus ampuh seorang Kuroko Tetsuya itu. Si alis cabang buru-buru berpaling dan mengusap wajah. Kenapa wajahnya panas? Kagami yakin sekali ia merasakan getaran lembut di dadanya, membuat jantungnya berdegup makin keras. Oke, ia mulai gugup sekarang...

"...kau aneh, Kagami-kun."

—diucapkan secara datar, meski tidak keras namun sukses menohok Kagami yang tengah gugup, entah kenapa. Manik crimson-nya melirik si surai baby blue, yang telah memalingkan pandangan dan bergumam tidak jelas seperti 'mungkin kau demam' dan 'setelah ini kau butuh istirahat'. Perlahan tapi pasti, si alis cabang itu menghela nafas dalam untuk meredakan debar jantungnya.

Beberapa menit berjalan, Kuroko menyipitkan mata ketika melihat gedung yang mereka tuju. Gedung berukuran cukup besar dan berwarna putih... rasanya ia tidak asing dengan gedung itu. Ah, tunggu dulu. Bukankah itu rumah sakit kota?

"Senpai... kita akan menjenguk seseorang?" tanya Kuroko pelan sembari menelan ludah. Oke, ia memiliki ketakutan tersendiri ketika memasuki bangunan seperti ini.

Kiyoshi hanya menoleh sekilas sembari tersenyum misterius, namun tidak berhenti. Kuroko merasa tangannya mendingin, jantungnya mulai berdetak was-was. Entah kenapa rasanya pening. Si surai merah-hitam yang melangkah di sampingnya mulai merasa ada yang tidak beres dengan pemuda itu—dan perasaannya terbukti ketika melihat wajah Kuroko yang memucat.

Ah, betapa Kagami ingat saat-saat Kuroko masih bocah kecil yang sakit-sakitan, sering keluar-masuk rumah sakit karena kondisi tubuhnya yang lemah. Secara tidak langsung, mungkin itu memberi trauma tersendiri bagi Kuroko. Kagami menghela nafas, menyelipkan tangannya di antara jemari pucat si surai baby blue. Dingin, rasanya seperti menggenggam es.

"Kagami-kun..." Kuroko bergumam, menatap Kagami yang menyunggingkan seulas senyum. Seolah mengatakan semua akan baik-baik saja.

"Kita kemari untuk menjenguk. Bukan untuk memeriksakanmu."

.

Manik aquamarine itu menatap sosok yang terbaring diam di hadapannya dengan seksama. Kulit pucat, rambut cokelat pendek, tubuh kurus dengan kantung mata... rasanya miris melihat sosok ini. Kuroko Tetsuya beralih dari sosok itu ke Hyuuga Junpei yang berdiri di sisi lain ranjang, menundukkan tubuh untuk berbisik di telinga orang yang terbaring itu.

"Riko, kami datang menjengukmu," Si kapten klub basket berbisik lembut di telinga gadis itu, meski tahu yang dibisiki tidak bisa menjawabnya karena tertidur. "Aku bersama Kiyoshi dan dua orang junior kita. Mereka akan menangani masalah di ruang klub yang dulu pernah kuceritakan padamu..."

Kuroko melirik Kagami, yang menonton tindakan seniornya dengan sorot mata yang sulit terbaca. Ah, sekilas saja bisa terlihat kalau Kagami sedang melihat hal yang serasa bagai nostalgia baginya. Membatalkan niat untuk bicara pada si alis cabang itu, Kuroko ganti menatap Kiyoshi Teppei yang berdiri di samping si pemuda berkacamata. Tunggu... raut apa itu di wajahnya? Raut bersalah?

Menyadari tatapan Kuroko, Kiyoshi segera berdeham dan langsung menyunggingkan seulas senyum. "Ini Aida Riko, pelatih kami. Dia mengalami kecelakaan beberapa waktu yang lalu... tertabrak mobil saat akan menyebrang jalan," ia beralih ke Hyuuga yang mengusap rambut Riko dengan penuh sayang. "Riko, ini Kagami Taiga dan Kuroko Tetsuya."

Tidak ada jawaban. Tidak ada gerakan. Gadis bernama Aida Riko itu hanya terdiam seperti sebelumnya, bahkan tidak membuka matanya. Kagami maju ke sisi ranjang, menatap tubuh Riko dari atas sampai bawah. Gadis itu masih hidup, ia yakin seratus persen. Berarti, bukan gadis ini penyebabnya...

Tanpa disadari Kagami, Kuroko diam-diam menyelinap mendekati jendela. Jemari pucatnya mengetuk kaca jendela tanpa suara agar tidak mengalihkan perhatian ketiga pemuda yang lain. Satu, dua, tiga... tak lama kemudian sesosok bayangan merah berkelebat di depannya. Tampak sosok Akashi Seijuuro yang melayang ringan di balik jendela, menatap Kuroko dengan sepasang manik dwiwarnanya yang berkilat tajam.

"Kau memanggilku?" tanya Akashi diiringi seringai khasnya.

Kuroko mengangguk. "Akashi-kun, aku butuh bantuanmu. Ini memang hanya dugaan sementara, tapi bisakah kau kembali ke ruang basket sekolah setelah aku memberi tanda?"

Sebelah alis Akashi terangkat. "Apa yang bisa kulakukan?"

Pemilik alis cabang yang semula terdiam tanpa suara mulai sadar ada yang ganjil. Ia melirik ke samping, namun Kuroko sudah hilang dari tempatnya. Baru saja hendak buka suara, manik crimson-nya menangkap sosok si surai baby blue tengah berdiri di dekat jendela. Akashi Seijuuro terlihat melayang di luar, membuatnya menyipitkan mata karena curiga. Detik berikutnya, Akashi sudah hilang dari pandangan. Kuroko membalikkan badan, menatap lantai dengan raut berpikir sebelum bertemu pandang dengan Kagami.

"Ada apa, Kuroko?" tanya Kiyoshi Teppei, yang sadar ke mana arah yang dilihat Kagami.

Kuroko tersenyum tipis. "Tidak, Kiyoshi-senpai... aku hanya menduga suatu hal yang mungkin berhubungan dengan hal ini," manik aquamarine-nya menatap tangan Aida Riko yang penuh dengan plester pembalut luka.

"—aku baru ingat kalau tangan arwah itu dipenuhi plester seperti tangan Riko-senpai..." gumam Kagami. Ia mulai memutar otak, mengait-ngaitkan hal-hal yang dirasanya berhubungan, lalu menatap Kiyoshi Teppei dan Hyuuga Junpei bergantian. Tangan diplester... raut wajah Kiyoshi Teppei... yah, tidak ada salahnya menduga-duga, 'kan?

"Kiyoshi-senpai, bisa kita keluar sebentar?" tanya Kagami sambil melangkah ke arah pintu. Kiyoshi yang sejenak ragu, akhirnya beranjak setelah melemparkan tatapan sekilas ke arah Riko dan kaptennya.

Pintu ditutup. Meninggalkan Hyuuga bersama Riko dan Kuroko, hening karena masih bingung dengan apa yang terjadi.

"Dipenuhi plester?" tanya Hyuuga dengan mata disipitkan.

Kuroko mengangguk. "Ya. Seperti tangan Riko-senpai. Tapi karena Riko-senpai masih hidup... itu bukan hantu, tapi ikiryo (arwah hidup). Jadi tubuhnya masih hidup, tapi arwahnya lepas dari tubuhnya. Dan untuk kali ini... sepertinya Riko-senpai tidak akan bangun sebelum ikiryo-nya kembali."

"Dengan kata lain, dia akan terus koma?"

"Ya. Lalu, kalau benar arwah yang mengganggu latihan klub basket itu ikiryo Riko-senpai, kita harus segera mengembalikannya."

"Kalau tidak segera dikembalikan?"

Si baby blue mengerjap pelan, menatap wajah pelatih muda yang terbaring itu dengan pandangan datar. "Dia akan mati."

Bulu kuduk Hyuuga meremang ketika mendengar kalimat itu. Lidahnya mendadak kelu, wajahnya memucat.

"Tolong jangan katakan ini pada Kiyoshi-senpai. Aku rasa dia ada sedikit kaitannya dengan hal ini."

Hyuuga hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan kaku. Ia menggenggam tangan Riko, berusaha mendapatkan kembali tenaga yang entah bagaimana seakan menguap begitu saja dari tubuhnya. Tepat saat pintu terbuka, lalu Kiyoshi dan Kagami masuk kembali ke ruangan.

"Kalau begitu, kita lanjutkan besok saja, Kiyoshi-senpai. Sudah cukup gelap, dan Kuroko sedikit tidak tahan pada udara dingin," ujar Kagami santai seraya menyampirkan tas di bahunya. Melemparkan senyum tipis pada Hyuuga, pemilik alis cabang itu menggenggam tangan Kuroko dan menyeretnya keluar. "Kami permisi."

Tanpa mengucap sepatah kata lagi, tanpa menggubris tatapan penuh tanda tanya dari Hyuuga, tanpa mempedulikan delikan tajam Kuroko yang tidak suka akan sikapnya yang tidak sopan, Kagami menyeret Kuroko sepanjang lorong dengan langkah cepat dan mantap. Membuat Kuroko kesulitan mengikuti pergerakannya.

"Ah! Tung—Kagami-kun!" pekik Kuroko ketika kakinya nyaris tersandung. "Kenapa buru-buru sekali? Ada apa? Apa yang terjadi?"

Kalimat Kuroko terhenti di ujung lidah ketika Kagami meremas tangannya dengan kuat. Nyaris saja ia menyentakkan tangan bertelapak lebar itu, namun terhenti karena genggaman itu begitu kuat. Ada apa dengan pemuda titisan macan ini?

"—tidak ada apa-apa," desis Kagami setelah beberapa saat. Genggaman tangannya mulai melonggar ketika mereka keluar dari area rumah sakit. "Tidak ada apa-apa."

Kuroko mendelik. Kagami menghindari kontak mata dengannya, ia tahu itu. Bertahun-tahun mengenal Kagami, ia sudah hafal setiap tabiat si alis cabang itu. Jemari pucatnya menyelip di antara jemari besar Kagami, menggenggamnya dengan lembut. Merasakan kehangatan dari telapak tangan itu. Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa menit hingga akhirnya Kagami menghela nafas panjang.

"Kiyoshi-senpai akan menceritakan semuanya besok di atap sekolah saat jam istirahat. Jadi kita lanjutkan besok."

Manik aquamarine itu mengerjap. "Souka..."

Seulas senyum samar terbentuk di bibir Kagami. Pemuda bertubuh besar itu balas menggenggam tangan mungil itu. Manik crimson-nya menatap langit yang gelap dengan tatapan menerawang.

"Ya. Kita selesaikan besok."

.

.

.

Suara langkah kaki menggema di lorong sekolah yang sudah sepi itu. Sepasang manik beda warna bergerak ke sana-sini, seakan mencari-cari sesuatu. Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu. Terdiam sejenak, pemilik manik itu merentangkan tangan seakan menyentuh pintu. Namun telapaknya dengan mudah menembus material dingin di hadapannya. Detik berikutnya, ia sudah berpindah tempat ke sebuah ruangan yang gelap dan sepi.

"Di sini, ya," gumam Akashi Seijuuro dengan seringai tipis di bibirnya. Ia menatap ke seluruh penjuru ruangan, berusaha mencari sesuatu yang dicarinya. Seringainya melebar ketika melihat sekelebat bayangan di sudut ruangan. Dengan ringan ia melayang, mendarat tanpa suara di dekat bayangan itu.

"Hai," sapa Akashi santai sambil mendudukkan diri di lantai.

Hening sejenak, lalu bayangan kabur itu mulai menjelas dan membentuk sebuah sosok. Manik dwiwarna itu menyipit. Sosok seorang perempuan berambut pendek, berseragam sekolah ini... duduk dengan lutut tertekuk. Ah, Akashi mengenalnya. Bukankah ini gadis yang tadi dijenguk Kuroko?

"...kau yang tadi sore datang saat latihan," sahut gadis itu serak. "Kenapa ke sini?"

"Ternyata kau yang selama ini mengganggu latihan klub basket?" Akashi menggeser posisi duduknya, berusaha menatap gadis itu lebih jelas. O-oh, raut wajahnya mulai berubah kesal. Si surai merah mendelik. Apa sebagai sesama arwah, ia salah bicara?

"Aku tidak mengganggu mereka!" dengus sosok menyerupai Aida Riko itu, kesal. "Aku melakukan semua itu, karena gerakan mereka jelek dan salah! Tumpuan mereka kurang kuat! Aku hanya berusaha membenahi gerakan mereka! Bukankah itu tugas seorang pelatih?!"

Alis Akashi terangkat. Oh, jadi gadis ini pelatih mereka?

"Asal kau ingat, kau juga mengganggu mereka dengan tangisanmu. Kalau begitu, kenapa kau tidak kembali ke tubuhmu dan melatih mereka dengan cara biasa?"

Riko terdiam. Ia menatap jemarinya yang dipenuhi plester dengan pandangan sendu. "Aku... jujur... setengah berharap tidak akan pernah bangun kembali... agar tidak bisa bertemu dengannya..."

Akashi mencondongkan tubuh, merasa pembicaraan mulai menarik. "Dengan siapa? Sebenarnya apa yang terjadi? Maukah kau menceritakan semuanya padaku?"

Aida Riko mendelik, menatap ragu ke arah pemuda bermanik dwiwarna itu. Apakah aman membicarakannya pada orang yang baru saja dikenal? Tapi, toh mereka sama-sama arwah. Pada siapa si surai merah itu akan membicarakan masalah ini?

"Percayalah padaku," ujar Akashi—setengah hati—dengan nada mantap seraya menyunggingkan senyum termanis yang bisa dibuatnya. Tapi, demi apa—rasanya begitu aneh menyunggingkan senyum seperti itu.

Riko terdiam sejenak, seakan berpikir. "—baiklah," katanya. "Kau tahu Kiyoshi Teppei, ace klub basketku? Yang biasanya bersama Hyuuga Junpei, yang pakai kacamata."

Ganti Akashi yang terdiam. Kiyoshi Teppei? Yang bersama pemuda berkacamata? Oh, apa yang dimaksud itu pemuda nyentrik berbadan tinggi-besar yang selalu menyunggingkan senyum aneh itu?

"Yah, aku tahu," jawab Akashi asal-asalan. Sebenarnya ia paling malas mendengarkan cerita pribadi seperti ini, tapi demi Kuroko... dan apa-apaan raut wajah itu? Kenapa wajah Riko terlihat bersemu samar?

"—aku menyukainya."

Akashi tepuk jidat. Dewa, ia paling benci mengurusi masalah percintaan orang lain. Tapi, kenapa kini ia harus berhadapan dengan hal yang dibencinya? Ketertarikan Akashi akan topik yang mereka bicarakan langsung menurun drastis.

"Musim semi lalu, saat kami naik ke kelas 3, aku menyampaikan perasaanku padanya di bawah pohon sakura sekolah. Sebelumnya, aku berusaha keras membuat dorayaki untuknya, meski aku tahu aku tidak bisa masak..." Riko tersenyum tipis sambil makin menekuk lutut. "Dia menerima masakanku... tapi tidak menerima pernyataanku. Aku sudah cukup senang dia menerima masakanku... tapi tetap saja terpukul. Aku shock... dan memutuskan untuk bunuh diri dengan menabrakkan diri ke mobil. Tapi gagal. Ada yang menarikku, dan... tahu-tahu seperti ini."

Si pemuda bersurai merah menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Tapi kau tidak mati."

Riko mendenguskan tawa. "Aku berharap aku mati," sahutnya. "Namun dari pembicaraan anggota klub basket-ku... aku masih hidup, dan belum sadar sejak kecelakaan."

"Kau bisa sadar kalau kau mau kembali ke tubuhmu."

"Aku tidak mau," Riko menegakkan tubuhnya. "Aku tidak mau melihat wajahnya, saat ia menatapku... aku malu. Aku tidak mau."

"Kalau kau terus seperti ini, kau benar-benar akan mati," tegas Akashi.

Riko menggertakkan rahangnya. "Biar saja aku mati. Toh dia tidak menganggap keberadaanku. Aku akan segera dilupakan olehnya."

Sebuah persimpangan muncul di pelipis Akashi. Tuhan, ia malas mengurusi percintaan orang lain... tapi ia lebih malas lagi menghadapi perempuan berperangai seperti ini. Ingin rasanya ia mencekik gadis berambut pendek di hadapannya ini sampai mati... sayangnya mereka sama-sama arwah. Mendengus kesal, Akashi berdiri sembari menatap pelatih klub basket itu dengan tajam.

"Datanglah besok saat jam istirahat di atap. Kau akan tahu alasannya."

Aida Riko hanya menatap si surai merah itu dengan datar. Kenapa pemuda itu kesal dan meninggalkannya begitu saja? Ia tidak memintanya mendengarkan, 'kan? Lalu, yang lebih penting lagi...

"—tunggu. Aku lupa tidak menanyakan namanya."

.

.

.

Kagami melangkah santai sepanjang tangga menuju atap dengan tangan di saku celana. Sesekali diliriknya Kuroko yang berjalan di hadapannya, waspada kalau-kalau pemuda bersurai baby blue itu tahu-tahu terpeleset atau apa. Sejak kecil Kuroko nyaris selalu jatuh kalau melewati tangga. Karena itulah, Kagami berjalan di belakangnya untuk berjaga-jaga. Begitu mencapai pintu, Kagami mendahului Kuroko meraih gagang pintu. Ia bisa merasakan tatapan tajam Kuroko saat ia memutar kenop dan mendorong pintu. Sinar matahari langsung menerobos masuk, menyilaukan pandangan keduanya. Membuat Kuroko refleks memejamkan mata. Udara segar bercampur aroma matahari memenuhi paru-parunya. Perlahan tapi pasti, kelopak matanya mulai terbuka. Mempertemukan manik aquamarine dengan sebuah tempat luas berlatar langit cerah berawan.

"Oh, sudah datang, sudah datang," Kiyoshi Teppei yang duduk bersandar pada kawat pembatas langsung menyambut mereka dengan senyum.

Kagami menepuk bahu Kuroko, memberi isyarat untuk maju. Ah, rupanya Kiyoshi tidak sendirian. Akashi dan... ikiryo Aida Riko berdiri tak jauh dari tempat itu. Kiyoshi Teppei berdiri, memberikan separuh beban tubuhnya pada kawat pembatas yang sudah berkarat. Akashi dan Riko juga mendekat.

"Jadi, ada apa, Kiyoshi-senpai?"

Kiyoshi menyunggingkan senyum khasnya. "Aku janji pada Kagami untuk menceritakan semuanya."

Kuroko memutar kepala, menatap Kagami seakan berusaha meminta penjelasan. Namun yang ditatap hanya melengos. Kuroko mendesah pasrah, mendekatkan diri ke pagar pembatas. Manik aquamarine-nya menatap pemandangan di bawah—belum pernah ia melihat pemandangan dari tempat ini. Rasanya menyenangkan juga.

"Jadi, bisa ceritakan semuanya, Kiyoshi-senpai?" gumam Kuroko, menatap seniornya sekilas.

Ace klub basket itu tersenyum tipis. Angin bertiup lembut, memainkan helaian surainya. "Musim semi lalu, saat kami naik ke kelas 3, Riko menyatakan perasaannya padaku di bawah pohon sakura itu," ujarnya sambil menunjuk pohon sakura yang tumbuh di sisi halaman. "Dia menyatakan perasaannya padaku sambil membawa dorayaki buatannya."

"Dan kau menolaknya?" sahut Kagami cepat tanpa basa-basi.

Kiyoshi tersenyum seraya mengangguk. Sama sekali tidak sadar akan Riko yang berdiri di sampingnya. "Tapi aku menerima dorayakinya, untuk menghargainya sekaligus berterimakasih karena dia mau menyukaiku. Paling tidak, ia sudah berjuang keras membuat makanan itu sampai tangannya penuh luka," ia terkekeh. "Tapi sepulang sekolah aku melihatnya hendak menyebrang jalan... padahal lampu sedang merah, tapi ia berlari ke tengah jalan."

Kerutan samar timbul di dahi Kagami. "Dia berniat bunuh diri."

Senyuman lagi sebagai jawaban. Hening sesaat menyelimuti mereka. Kiyoshi menghela nafas lagi, lalu kembali bercerita.

"Aku meneriakkan namanya sekuat tenaga... namun gagal. Di saat itu, entah dari mana... Hyuuga datang dan melindungi tubuh Riko. Mobil itu menabrak mereka... tapi Riko yang terkena paling parah..." ia terdiam sejenak, berdeham untuk menjernihkan tenggorokannya yang entah kenapa terasa berat. "Hyuuga hanya mengalami luka ringan. Tapi Riko... bisa kau lihat. Aku merasa sangat bersalah melihatnya."

Kuroko sejenak mengalihkan perhatiannya ke arah ikiryo yang berdiri di samping Kiyoshi dengan mata terbeliak. Ah, sepertinya ia baru mendengar tentang itu...

"Kenapa kau menolaknya, Senpai?" tanya Kuroko—mewakili pertanyaan yang sepertinya begitu ingin diutarakan oleh Aida Riko.

Kiyoshi membalasnya dengan tatapan lembut sebelum tertawa halus. "Haha. Bagaimana mungkin aku menerima pernyataan cinta dari gadis yang dicintai oleh kaptenku?"

Waktu terasa berhenti saat itu juga. Keheningan mendominasi, hanya suara siul angin yang mengisi kekosongan itu. Kuroko bisa melihat raut kaget di wajah ikiryo itu. Riko shock, ia tahu. Gadis itu kaku, lalu perlahan jatuh terduduk di lantai. Kedua maniknya berkaca-kaca.

"Tidak... mungkin..."

"Ya, Hyuuga mencintai pelatih kami. Aku tahu, karena Hyuuga pernah membicarakannya padaku... seluruh gerak-geriknya begitu terlihat, namun Riko tidak peka. Ia tulus mencintai Riko—begitu menyayanginya. Karena itulah, aku menolak Riko."

"Jadi... karena itu?" desis Kagami. "Tapi, apa kau menyukai Riko-senpai?"

Kiyoshi tertawa renyah. "Bagaimana, ya... aku tidak bisa mengatakannya begitu tahu bahwa Hyuuga mencintai Riko, jadi... yah, begitulah. Kau tahu maksudku."

Sakit. Rasanya seperti ditusuk-tusuk begitu mendengar ucapan Kiyoshi itu. Jadi, demi menjaga kerukunannya dengan sang kapten, Kiyoshi rela melakukan hal itu... Riko paham sekarang. Semuanya jelas. Tindakannya begitu salah, ternyata.

"—aku ingin minta maaf padanya, kalau dia terbangun," Kiyoshi merasa pandangannya terhalang oleh cairan bening. Bibirnya yang membentuk senyum bergetar pelan. "Aku ingin menjelaskan semuanya. Aku ingin dia belajar menyukai Hyuuga."

"Kau tidak perlu menunggunya terbangun," sahut Kagami sambil menatap Riko yang berusaha berdiri, bersandar di pagar tepat di samping Kiyoshi. "Karena dia sedang ada di sini... dan dia mendengar semuanya. Dan kurasa dia mengerti."

Ya. Setelah mendengar semuanya, Riko bisa mengerti. Gadis itu berusaha tersenyum, meski air mata membasahi pipinya. Paling tidak, ia lega karena Kiyoshi memiliki perasaan yang sama padanya. Ia bisa mengerti. Perlahan sosok gadis itu diselubungi cahaya putih, lalu mulai mengabur.

"Terima kasih, semuanya," ikiryo itu berbisik.

Seiring hilangnya cahaya itu, sosok ikiryo Aida Riko makin memudar sebelum hilang sepenuhnya dari samping Kiyoshi. Akashi yang melihat hal itu—untuk pertama kalinya—hanya bisa tercengang. Begitukah proses hilangnya arwah dengan damai? Terlihat begitu... memukau? Akashi tidak tahu. Sulit dijelaskan dengan kata-kata.

"—begitu?" gumam Kiyoshi seraya tersenyum lagi. "Pantas saja sebagian tubuhku terasa hangat."

"Tenang saja, Kiyoshi-senpai," Kagami meletakan tangannya di pagar pembatas. "Dia akan segera bangun... bukan begitu, Kuroko?"

Kuroko yang semula terdiam segera menyunggingkan seulas senyum persetujuan. "Hai. Kita tunggu saja."

.

.

.

Suasana riuh-rendah memenuhi ruangan yang semula didominasi suara decit sepatu dan pantulan bola basket itu. Seluruh mata tertuju ke arah sosok yang berjalan pelan memasuki ruangan. Seulas senyum tersungging di wajah pucat itu, maniknya berbinar melihat orang-orang yang cukup lama tidak dilihatnya. Ah, wajah-wajah ini... suasana ini... ruangan ini... ia begitu merindukannya..

"Selamat atas kesembuhannya! Riko-senpai!"

Para junior anggota klub basket berseru riuh, disusul rangkulan hangat dari para anggota yang lebih senior. Sosok Aida Riko langsung tenggelam di antara deretan tubuh tinggi dan atletis itu. Tanpa menyadari tiga—empat—pasang mata yang memperhatikan mereka dari kejauhan. Kiyoshi Teppei, Kagami Taiga, dan Kuroko Tetsuya—plus Akashi Seijuuro—hanya berdiri di ambang pintu, memperhatikan suasana yang mengelilingi orang yang mereka antar.

"—jadi... Riko-senpai sadar dua hari setelah kita bertemu di atap?" gumam Kuroko, melirik Kiyoshi Teppei yang menjulang di sampingnya.

Kiyoshi hanya tersenyum, melihat bagaimana sosok Hyuuga Junpei di sana mengacak rambut cokelat yang memahkotai kepala Riko dengan penuh sayang. "Yaa. Seperti itulah," jawabnya asal. Ah, rasanya sedikit sesak melihatnya... Pemuda itu membalikkan tubuh, melipat tangan di dada sembari tersenyum lebar. "Bukankah begitu, Kagami?"

Tunggu... 'bukankah begitu, Kagami'? Kuroko langsung memutar kepala, meminta penjelasan dari Kagami yang buru-buru memalingkan wajah. Oke, pemuda beralis cabang itu mulai menyebalkan... Kuroko menyadari Akashi yang berdiri di belakang Kagami mulai menunjukkan gestur 'jangan-percaya-dia'.

"Kagami-kun, kau harus menjelaskan semuanya setelah kita pulang nanti," tuntut Kuroko, mendorong dada Kagami menggunakan telunjuknya. Sedangkan yang didorong hanya mendecih pelan.

"Kenapa tidak dijelaskan di sini saja?" sela Kiyoshi seraya terkekeh. Ia bersandar di dinding, memberikan sepertiga berat tubuhnya ke material keras itu. "Hyuuga mengabari Kagami di hari saat Riko sadar. Kagami langsung ke rumah sakit pagi-pagi buta—dia bilang kau belum bangun karena hari itu libur. Lalu Kagami membawamu ke rumah sakit sehari setelahnya. Begitulah."

Dewa. Kagami mulai merasakan aura menekan yang begitu jarang dikeluarkan Kuroko. Oh, betapa ia membenci ini... seharusnya ia langsung memberitahu Kuroko sejak awal. Demi apa...

"Ah, tapi sudahlah. Toh, Riko sudah sadar seperti semula—setelah rehabilitasi seminggu. Tidak ada masalah lagi," Kiyoshi mengibaskan tangan seraya memaksakan tawa.

Penyelamat. Kiyoshi Teppei penyelamat. Kagami merasa aura menekan Kuroko mulai menyusut.

"Kenapa kau tidak memberitahuku, Kagami-kun?"

Kagami menggaruk surainya yang tidak gatal. Sepertinya Kuroko mulai bisa mengejar topik pembicaraan mereka. Lagi-lagi si alis cabang itu seperti ini, selalu bertindak sendiri. Lama-lama Kuroko kesal juga dengan perilaku seenaknya itu. Kiyoshi buru-buru menyahut pertanyaan yang diutarakan Kuroko.

"Kagami dulu bilang dia tidak ingin mengganggu liburanmu. Jadi dia berniat memberitahumu keesokan harinya. Dia hanya mengucapkan satu-dua kalimat pada Riko, lalu pulang. Begitulah."

Hening. Kagami bisa merasa ujung jari kakinya mendingin karena menunggu ucapan Kuroko. Dan yang didapatnya adalah... helaan nafas panjang penuh kepasrahan.

"Baiklah, kalau begitu... mau bagaimana lagi. Tapi lain kali jangan sembunyikan apapun dariku, Kagami-kun."

Senyum kelegaan langsung tersungging di bibir Kagami, dan aura berat langsung menguar dari tubuh Akashi. Kiyoshi merasa bulu kuduknya berdiri, entah kenapa. Seakan ada aura berat yang menekan... ah, sudahlah. Mungkin ini hanya perasaannya saja. Ace klub basket itu merogoh saku celana, mengeluarkan dua carik kertas berwarna kuning pucat.

"Ini. Hanya ini yang bisa kuberikan," ujarnya sambil meletakkan kertas itu di tangan Kuroko. "Terima kasih atas bantuannya, dan maaf merepotkan."

Kuroko mengerjap, menatap lembaran kertas di telapak tangannya. Karcis masuk... pemandian air panas? Untuk musim panas besok? Pemilik surai baby blue itu mengangkat wajah, menatap Kiyoshi dengan pandangan 'apa-maksudnya-ini'. Sementara yang ditatap hanya menyeringai tidak jelas.

"Itu pemandian air panas milik kerabatku," sahut Kiyoshi, menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Kupikir kalian perlu... liburan. Hehe."

Demi apa—rasanya Akashi bisa melihat kilat aneh di wajah ace klub basket itu. Membuatnya merinding—ia tidak suka, entah kenapa. Yang jelas, pemuda bernama Kiyoshi Teppei itu patut dicurigai. Namun, begitu cengiran tidak jelas itu hilang dari wajahnya, Akashi bisa melihat kesenduan yang sangat jelas di kedua manik itu ketika menatap dua sosok di dalam ruangan klub.

"...tidak apa-apa, Kiyoshi-senpai?" tanya Kuroko yang juga menyadari sorot itu di mata Kiyoshi.

Kiyoshi memalingkan wajah sejenak, lalu kembali menatap Hyuuga dan Riko di antara anggota klub basket yang lain. Ah, betapa senangnya melihat orang yang disukai bahagia... meskipun sedikit menyakitkan. Bibir Kiyoshi bergetar, membentuk seulas senyum.

"Ya," ujarnya serak. "Begini tidak apa-apa."

.

.

.

"Senpai... kuharap kau ingat siapa aku, dan apa yang terjadi saat kemarin kita bertemu."

"...aku ingat. Kau Kagami Taiga, 'kan? Yang bertemu kami di atap sekolah kemarin."

"Aku tidak mau basa-basi lagi. Aku hanya ingin berkata... bahwa hanya dengan berjalan biasa... hanya dengan menghirup udara saja... manusia sudah merasakan kebahagiaan yang tak terhingga... Karena itu, tolong jangan memutuskan untuk bunuh diri selagi ada orang yang ngotot hidup hingga seperti ini. Kau mengerti, Senpai?"

"...aku mengerti. Terima kasih atas bantuanmu."

.

.

.

To be Continued

.

A/N:

Moshi-moshi, Minna! Katsuki SAL desu! Yoroshiku!

Bagaimana menurut kalian chapter ini? Gaje? Aneh? Ada typo? Mohon maklum kalau gaje, karena saya menulis chapter ini di tengah kegalauan mengikuti Lomba Pramuka se-Karesidenan... jadi... seperti yang kalian lihat #buak

Arigatou buat minna yang sudah membaca dan mem-fave fic ini! ^^

Special thanks for:

AoKagaKuroLover; Shichrobei Raicho; Aprilia Echizen; .7; may; Honami Fukushima; kurohime; akihirozu; Cherry Raven Fyan; Kitsuneshi Rei—yang sudah menyempatkan diri untuk me-review~ *sungkem*

Okeh, itu saja kali ini. See you di chapter 3! ^^