BLUE

Main Cast:

Kim Jongin as Kim Kai (GS)

Kim Joonmyeon as Choi Joonmyeon aka Suho

Park Chan Yeol as Park Chanyeol

Oh Sehun as Oh Sehun

Byun Baekhyun as Kim Baekhyun (GS)

Other Cast:

EXO members

Dan lain-lain (bertambah seiring waktu)

Main Pair: HunKai(?)/ChanKai(?)

Disclaimer: Semua cast yang ada di cerita ini hanya milik Tuhan, orang tua, SM Ent, dan diri mereka sendiri. Saya hanya meminjam nama mereka saja. The plot is MINE. Jika ada cerita dengan alur yang hampir sama, itu adalah suatu kebetulan saja.

Warning: Gender switch, typo(s), alur berantakan, cerita membosankan.

Don't Like, Don't Read.

Happy Reading~

.

.

.

Pemakaman Umum, Gangnam-do. 16.40 KST.

Setelah lebih dari setengah jam perjalanan, mereka sampai di tempat tujuan mereka—atau tepatnya tempat tujuan Kai. Disinilah mereka, di sebuah pemakaman umum di daerah Gangnam-do. Kai bersimpuh di samping sebuah gundukan tanah dengan batu nisan—makam—bertuliskan nama Kim Baek Hyun dalam huruf hangul, sedangkan Sehun berdiri tepat di sampingnya—memperhatikan gerak-geriknya.

"Eonni...Aku datang. Bagaimana kabarmu, Baekhyun-eonni? Bogoshippeo." Kai meletakkan beberapa tangkai bunga daisy warna merah kesukaan kakaknya—yang sempat ia beli di toko bunga di depan kompleks pemakaman ini.

"Mianhae, Eonni. Jeongmal mianhaeyo. Karena aku Eonni jadi seperti ini. Hiks..." Kai kembali menangis. Ia sangat merindukan sosok kakaknya. Sehun yang memandanginya sedari tadi, entah mengapa dadanya sesak melihat Kai menangis. Pemuda itu ikut bersimpuh di samping gadis itu, mengusap pelan pundak kecilnya yang bergetar.

Kai menengokkan kepalanya dan tersenyum. Namun, di mata Sehun senyuman itu mengandung kesedihan dan penyesalan yang mendalam.

Gadis bermarga Kim itu kembali mengalihkan pandangannya pada batu nisan kakaknya. "Kau tahu, Hun-ah? Aku adalah orang yang sangat jahat." Sehun terdiam, menunggu Kai melanjutkan perkataannya. "Kalau saja saat itu aku memperhatikan jalan, tidak memasang headphone, dan mendengar teriakan mereka, kakakku akan tetap disini."

.

.

.

Flashback On.

Suasana sore ini sangat sunyi. Orang-orang lebih memilih diam di rumah daripada di luar, mengingat saat ini awal musim dingin dan suhu di daerah Gangnam sangat rendah. Hanya ada beberapa mobil yang berlalu-lalang di jalan.

Terlihat tiga remaja sedang berjalan menyusuri trotoar menuju rumah mereka. Salah satu dari mereka berjalan mendahului dua remaja lainnya. Ia mengeratkan jaket tebalnya karena hawa dingin yang menusuk. Ia berlari-lari kecil untuk menghangatkan tubuhnya. Gadis itu adalah Kai—gadis pecinta tari, musik dan lukisan.

Dua remaja lainnya, Baekhyun dan Suho—yang merupakan kakak kandung dan kakak sepupunya—mulai mempercepat langkah menyusul dongsaeng mereka yang hampir sampai di persimpangan jalan.

"Kai! Awas!" Tiba-tiba Baekhyun berteriak dan berlari kencang mengejar Kai, saat ia menangkap pergerakan sebuah mobil yang melaju sangat cepat menuju adik kesayangannya.

Kai tetap berlari kecil sambil meliuk-liukkan badannya—menari, tidak mendengar teriakan kakaknya—Baekhyun—karena memakai headphone.

"Kai! Cepat berhenti! Awas!" Kembali, teriakan Baekhyun—yang sekarang juga dibantu oleh Suho—tidak didengarnya.

Greb

Seeet

Brak!

Kai membelalakkan matanya. Ia jatuh terduduk di pinggir trotoar saat ada seseorang yang menarik lengannya. Matanya menatap kosong pada jalanan, tepatnya pada tubuh Baekhyun yang sudah tergeletak dan berlumuran darah.

"Baekhyun!" Pekikan Suho mengembalikkan kesadarannya. Ia baru menyadari apa yang terjadi. Orang yang menarik lengannya adalah kakaknya dan kakaknya itu baru saja menyelamatkannya dari bahaya dengan mengorbankan dirinya sendiri.

"Eonni..." lirihnya ketika sudah mencapai tempat kakaknya terbaring. Tak terasa airmata sudah mengalir deras di pipi chubby gadis itu. "Eonni...hiks bertahanlah hiks hiks..." Kai memangku kakaknya yang mulai terbatuk-batuk. Sementara Suho menelpon ambulance.

"Kai...jang-an me-uhuk-nangis. K-kau harus uhuk kuat ne?" Baekhyun memandang adiknya dengan pandangan sayu. Sebuah senyum terukir di bibirnya yang mengeluarkan darah. Kai menggeleng-gelengkan kepalanya seolah ingin mencegahnya agar tidak pergi.

"Sebentar lagi ambulance datang. Kau harus bertahan, Baek." Suho menginterupsi mereka.

"Mianhae Eonni...hiks mianhae...Jangan tinggalkan hiks aku. Jebal hiks hiks. Sebentar lagi hiks bantuan akan datang hiks. Kumohon Eonni...bertahanlah..." Isak Kai. Baekhyun merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Nafasnya mulai tersendat-sendat. Beberapa pejalan kaki yang berkerumun disekitar mereka, memandang mereka dengan prihatin.

"A-akuhh...sudah ti-tidak kuathh, Kai-ie. O-oppa...to-longh hhh jaga Kaaiih ne." Baekhyun mengernyit menahan sakitnya.

"Kumohon jangan bicara lagi hiks hiks. Tanpa kau minta pun aku hiks akan menjaga Kai." Suho benar-benar frustasi saat ini. Kai tidak berhenti menggelengkan kepalanya sambil bergumam 'bertahanlah'.

Ngiung ngiung ngiung!

Suara sirine ambulance terdengar ketika akhirnya Baekhyun berucap 'Aku sangat menyayangimu' lirih pada Kai. Seketika Baekhyun menutup matanya bersamaan dengan badannya yang melemas dan nafasnya yang sudah tidak berhembus.

"Eonni/Baekhyun!" Teriak Kai dan Suho bersamaan. Suara mereka terdengar sangat memilukan. Baekhyun telah pergi meninggalkan mereka. Ia tewas karena menyelamatkan sang adik—Kai—yang paling ia sayangi.

.

Kai sangat terpuruk setelah kejadian itu. Dan ia semakin terpuruk ketika mendengar bisik-bisik orang saat upacara pemakaman Baekhyun, mulai dari 'Kasihan ya, Baekhyun. Gara-gara menyelamatkan adiknya, ia jadi meninggal' sampai kata-kata kejam seperti 'Cih! Adik macam apa dia? Membuat kakaknya sendiri meninggal hanya karena kecerobohannya. Dasar tidak berguna'.

Hal itu membuat Kai tidak mau keluar kamar selama beberapa hari. Bahkan ia menolak makanan yang dibawakan Ibu dan Ayahnya. Ia hanya duduk termenung sambil memandang dengan tatapan kosong ke luar jendela. Wajahnya tirus dan menyiratkan kesedihan. Airmatanya telah mengering karena terlalu sering ia keluarkan. Tubuhnya menjadi kurus karena tidak ada asupan gizi yang masuk. Orang tuanya sangat khawatir dengan keadaan gadis itu.

Sampai suatu hari, orang tuanya menangis dihadapannya. "Appa mohon, Kai-ie. Kembalilah seperti dulu. Appa tidak ingin kau sakit dan berakhir dengan kami yang kehilanganmu." Ayahnya memeluk tubuh ringkih itu dengan erat.

"Cukup Baekkie saja yang pergi. Hiks hiks eomma...eomma tidak ingin hiks kau pergi hiks juga." Sekarang Ibunya juga ikut memeluk tubuhnya. Ia merasakan kedua bahunya basah oleh airmata kedua orang tua yang sedang memeluknya. Dan akhirnya ia tersadar bahwa selama beberapa hari ini, ia membuat orang tuanya sangat sedih.

Tangan Kai terangkat, membalas pelukan Ayah-Ibunya. Airmatanya kembali mengalir. Ia menggumamkan kata maaf berulang kali. Dan sejak saat itu Kai berjanji untuk terus tersenyum dan membahagiakan kedua orangtuanya.

Flashback End.

.

.

.

"Ini semua salahku. Hiks mereka semua benar. Aku...memang tidak berguna hiks hiks." Kai menutup wajah dengan kedua tangannya. Bahunya kembali bergetar hebat.

"Tidak, Kai. Itu tidak benar. Kau tidak seperti itu. Kakakmu hanya ingin melindungimu, Kai. Itu gunanya seorang kakak. Ia sangat menyayangimu." Sehun merengkuh tubuh bergetar Kai, menenangkan gadis itu dengan pelukannya.

Saat ini langit sudah gelap. Well, ini sudah pukul 7.00 malam waktu setempat. Mereka sudah berjam-jam berada di depan makam Baekhyun. Berangsur-angsur tangisan Kai mulai berhenti. Tubuhnya juga sudah tidak bergetar lagi. Kai melepaskan pelukan Sehun.

"Sebaiknya kita pulang, Sehunna. Mianhae, kita terlalu lama disini." Ucap Kai sambil mencoba berdiri. Ia hampir saja terjatuh karena kepalanya terasa berat dan sangat pening, kalau saja Sehun tidak menangkap pinggangnya.

"Kai, gwenchana? Kau pucat sekali." Sehun menatapnya khawatir. Kai hanya tersenyum dan meyakinkan Sehun kalau ia baik-baik saja, walaupun kenyataannya sebaliknya.

Sehun memapah gadis itu menuju motor sport hitamnya. Sebelum naik ke boncengan, Kai berkata, "Gomawo, Sehunna."

Sehun mengangkat sebelah alisnya, bingung.

"Terimakasih untuk semuanya. Kau sangat baik." Kai tersenyum pada Sehun. Bukan senyum pedih atau senyum pura-puranya, melainkan senyum tulus.

"Cheonmayo, Kai-ah. Kajja kita pulang. Aku bisa dicincang Suho-hyung jika mengantarmu lebih malam lagi." Sehun tersenyum tak kalah tulus. Ia mengacak surai Kai sekilas. Setelah gadis itu berada di boncengannya, ia segera melajukan motornya membelah jalanan kota Seoul yang padat.

.

.

.

Choi Family's House. Keesokan harinya.

"Euunghh..." Leguh seorang gadis yang baru saja bangun dari tidurnya. Ia mengerjap-kerjapkan matanya, membiasakan diri dengan cahaya matahari yang masuk melalui celah jendela kamarnya. Ia menggeleng kecil saat dirasa kepalanya masih berat dan pandangannya berkunang-kunang.

Kai—gadis itu—menegakkan badannya, menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Ia memijit pelipisnya. Sejak kemarin kepalanya memang pusing. Semalam setelah ia diantar pulang oleh Sehun, ia langsung bergegas tidur, berharap dengan tidur kepalanya bisa baikan kembali. Tapi ternyata perkiraannya salah, pagi ini rasa sakit di kepalanya malah bertambah.

Gadis yang baru saja menginjak umur 17 tahun itu beranjak menuju kamar mandi. Ia membasuh wajahnya agar terlihat sedikit segar sebelum ia keluar kamar. Tidak ingin membuat keluarganya khawatir, walaupun ia sudah membuat keluarganya khawatir semalam. Ia mencengkeram pinggiran wastafel ketika kepalanya kembali diserang rasa sakit.

"Kai-ie..." Suho melongokkan kepalanya di celah pintu. Karena tidak melihat adiknya di tempat tidur, ia mulai memasuki kamar bercat biru langit itu.

Cklek!

Suara pintu kamar mandi dibuka, menampilkan sesosok gadis berkulit kecokelatan yang dipanggilnya tadi. Ia mengembangkan senyumnya dan dibalas senyum kecil oleh adik sepupunya itu. Kai melangkahkan kakinya mendekat menuju Suho. Baru dua langkah ia berjalan dan—

Bruk!

—tubuhnya tak sadarkan diri di depan kamar mandi.

"OMO! Kai!" Suho segera menghampiri tubuh lemasnya dengan panik. gadis itu terlihat sangat buruk. Matanya sembab, wajah dan bibirnya pucat pasi. Jangan lupakan tubuh lemasnya yang berkeringat dingin dan sangat panas.

.

.

.

Gyeonggi-do Hospital.

Segera setelah Kai pingsan, ia dilarikan ke rumah sakit terdekat. Sekarang ia masih diperiksa oleh seorang dokter. Tuan dan Nyonya Kim, serta keluarga Choi menunggu dengan khawatir di luar ruangan. Nyonya Kim terisak di pelukan suaminya yang sedang menenangkannya. Nyonya Choi juga membantu menenangkan adik iparnya itu. Sementara Tuan Choi mengusap pelan punggung anaknya yang sedari tadi hanya menunduk.

Tak lama kemudian dokter keluar dari ruangan tempat Kai diperiksa.

"Bagaimana keadaan putri saya, Uisanim?" tanya Tuan denKim dengan wajah cemas.

"Putri Anda baik-baik saja, Tuan, Nyonya. Ia hanya anemia dan kurang istirahat. Dan saya rasa ada sesuatu yang membebani pikirannya." Jelas dokter itu.

"Apakah kami sudah boleh masuk?" Nyonya Kim bertanya dengan pandangan memohon.

"Untuk sekarang hanya dua orang yang boleh menjenguknya. Ia belum siuman dan butuh banyak istirahat. Baiklah, saya permisi dulu. Annyeong."

Dokter itu membungkuk sekilas. Ia bergegas menuju ruangannya setelah Tuan Kim berkata, "Terima kasih, Uisanim."

"Sebaiknya kalian masuk." Suara berat Tuan Choi menyapa gendang telinga mereka.

Tuan Kim mengangguk dan memapah istrinya memasuki ruang rawat anak mereka. Mereka duduk di samping ranjang Kai. Nyonya Kim—yang masih terisak—menggenggam jemari lentik Kai yang bebas dari jarum infus.

"Kai-ie...hiks bangun, Nak. Hiks hiks ini Eomma. Buka matamu sayang hiks." Nyonya Kim mengangkat tangan Kai dalam genggamannya ke arah pipinya.

Sedangkan Tuan Kim hanya diam memperhatikan dua orang yang sangat ia cintai. Mereka sangat sedih melihat tampilan anak mereka sekarang. Wajahnya sangat pucat dengan alat bantu pernafasan di hidungnya. Tangan kirinya juga terpasang jarum infus.

"Hiks...Yeobo...kenapa Kai hiks tidak membuka matanya hiks hiks..." Nyonya Kim bersandar pada dada bidang suaminya.

"Sssst...uljima...Uri Kai pasti akan bangun. Jangan menangis lagi, Yeobo. Bagaimana kalau nanti Kai siuman dan melihat kau menangis? Dia pasti akan sedih." Pria itu mengusap airmata istrinya. Ia tahu istrinya tidak ingin kehilangan anak mereka lagi, begitupun dengan dirinya. Mereka sangat shock dan sedih saat Baekhyun—anak pertama mereka—meninggal dulu.

.

.

.

Flashback.

"Eonni..." Seru seorang gadis kecil berumur 5 tahun sambil melambaikan tangannya pada gadis kecil lain yang berumur 6 tahun.

"Kai-ie...Bogoshippeo." sahut gadis yang dipanggil Eonni itu. Ia memeluk adiknya dengan erat.

"Hey, kalian baru bertemu tadi pagi, Sayang." Kata seorang wanita—Eomma mereka.

Kai dan Appanya baru saja pulang dari lokasi proyek. Selama ini Baekhyun dan Kai tidak pernah terpisah sebelumnya. Tapi karena tadi Eomma mereka ada urusan di kantor dan tidak mau membebani suaminya dengan membiarkan dua malaikat ini ikut memantau lokasi proyek, maka Eomma dan Appa mereka memutuskan membawa masing-masing satu dari mereka. Baekhyun bersama Eommanya ke kantor, sedangkan Kai bersama Appanya memantau lokasi proyek.

"Eonni, ini ice cleam stobeli untukmu. Tadi Kai sengaja meminta Appa membelikan ice cleam untuk kita beldua." Kai memberikan bungkusan berisi ice cream pada kakaknya.

Baekhyun memandang bungkusan itu dengan mata berbinar. "Jinjja? Ini untukku Kai-ie? Gomawo. Lalu mana ice creammu?" Baekhyun bertanya dengan pandangan bingung karena tidak melihat adiknya membawa bungkusan lain.

"Punya Kai sudah habis Eonni. Hehehe." Kai tersenyum lebar menampakkan gigi-giginya.

"Arraseo. Kita makan ice cream ini berdua." Baekhyun menggandeng tangan Kai yang lebih kecil darinya untuk memasuki rumah mereka. Orangtua mereka yang sedari tadi hanya memandangi tingkah mereka, tersenyum bahagia. Melupakan semua penat karena pekerjaan mereka. Kedua malaikatnya itu selalu bisa membuat rasa lelah keduanya hilang begitu saja.

.

"Kai-ie, daebak!" Baekhyun menghampiri Kai di backstage panggung megah itu. Kai baru saja mengikuti kompetisi dance dan memenangkannya.

Baekhyun sekarang sudah menginjak umur 12 tahun, sedangkan Kai sudah berumur 11 tahun. Mereka tumbuh menjadi gadis manis yang disukai oleh anak laki-laki di sekolah mereka. Kai bangkit, memakai topi snapback kesayangannya dan memeluk kakaknya dengan senyum yang terkembang di bibir tebalnya.

"Ayo kita mengambil gambar Kai-ie." Ajak Baekhyun. Kai mengangguk kemudian, sementara Baekhyun menyiapkan kameranya. Mereka berdua mulai berpose. Di foto itu, mereka saling merangkul dan tersenyum. Baekhyun—yang memakai bando pink—terlihat sangat cantik. Sedangkan Kai—memakai topi snapback terbalik—juga terlihat sangat manis.

"Wooaaa...kau cantik, Eonni." Seru Kai saat melihat hasil foto mereka.

"Iya dong. Kakak siapa dulu?" Baekhyun berkata dengan nada candaan.

"Kakakku!" Pekik Kai kembali memeluknya. Ia berbisik, "Aku menyayangimu, Baekkie-eonni."

Baekhyun tersenyum dan balas berbisik, "Nado, Kai-ie."

Flashback Off

.

.

.

Sudah tiga jam Kai tak sadarkan diri, tapi tidak sedikitpun ia menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Eommanya sudah tertidur di sampingnya bertumpukan tangan kanannya. Sedangkan Appanya ada di luar ruangan bersama Tuan, Nyonya Choi dan Suho. Tak ada satupun yang bicara. Mereka larut dalam pikirannya masing-masing.

"Yang sabar ya, Yunho-ah." Nyonya Choi—Choi Kibum—duduk di samping adik kandungnya. Mengusap bahu lelaki yang lebih muda itu. "Kai anak yang kuat. Dia akan bertahan. Sebentar lagi dia pasti bangun."

"Nonna...aku tidak ingin kehilangannya seperti aku kehilangan Baekhyun beberapa tahun lalu." Semua yang ada di situ tak bergeming, mendengarkan setiap perkataan Yunho. "Semenjak kakaknya meninggal, dia tidak seceria dulu. Dia memang selalu tersenyum, tapi aku tahu senyumnya itu untuk menutupi kesedihannya. Saat masih di Jepang, aku tidak jarang melihatnya menangis saat tidur sambil menggumamkan nama kakaknya. Di saat dia membutuhkanku, aku malah sibuk dengan pekerjaanku." Beberapa butir airmata jatuh menimpa celana hitamnya.

"Sudahlah, Yunho-ah. Yang penting sekarang kau ada di sini untuk menemaninya." Kata Siwon berusaha menenangkannya.

.

.

.

Putih. Hanya itu yang ia lihat saat ia membuka matanya. Seingatnya, tadi ia sedang berada di kamar dan bermimpi tentang masa kecilnya bersama Baekhyun, tapi sekarang yang ia lihat hanya ruangan bernuansa putih. Tangan kanannya terasa sangat berat dan juga kram. Ia menengok ke samping kanan, mendapati ibunya sedang merebahkan kepalanya di atas tangan kanannya—tertidur.

"Eo-eomma..." Panggil Kai lirih. Ibunya—yang sayup-sayup mendengar panggilannya—membuka mata dan mendongak.

"Kai... Kau sudah sadar, Nak?" Senyuman terkembang menghiasi wajahnya.

"A-aku dimana, Eom-ma?" Kai memandang sekelilingnya dengan tatapan bingung.

"Kau ada di rumah sakit. Tadi kau pingsan di depan kamar mandi. Kenapa tidak bilang kalau kau sakit, Chagi?" Nyonya Kim—Kim Jaejoong—membelai wajah anaknya.

Tiba-tiba Kai memegang kepalanya. Rasa sakit itu kembali menyerang. "Aaargh." Jeritnya tertahan.

"Kai-ie, kau kenapa? Kepalamu sakit lagi? Sebentar, Eomma panggilkan dokter dulu, ne?" Jaejoong bangkit dan keluar ruangan untuk memanggil dokter.

.

.

.

"Anak Anda mengalami banyak tekanan, Tuan. Itu yang menyebabkan kepalanya sering sakit." Tutur dokter pada kedua orangtua Kai. Mereka bertiga sekarang ada di ruangan sang dokter."Apakah selama ini ia sering bercerita kepada Anda tentang masalahnya? Jika tidak, hal tersebut juga dapat mempengaruhi sakit kepalanya." Lanjut dokter itu.

"Apa sakit kepalanya bisa sembuh, Uisa?" tanya Tuan Kim.

"Bisa, Tuan. Tapi jika ia terlalu tertekan atau terlalu memikirkan masalahnya tanpa menceritakannya kepada orang lain, kemungkinan besar sakit kepala itu bisa menyerang kembali. Saya sarankan agar Anda berdua sering mengajak ia sharing tentang masalah-masalah yang ia hadapi. Atau kalau ia tidak mau menceritakannya kepada kalian, kalian bisa meminta tolong pada teman terdekatnya."

"Algeseumnida, Uisanim. Terima kasih sekali lagi." Tuan dan Nyonya Kim membungkuk berterima kasih.

"Itu sudah menjadi tugas saya untuk menangani pasien." Dokter itu juga membungkukkan badannya.

.

.

.

Suho menggenggam tangan Kai yang sedang tertidur karena pengaruh obat penahan sakit. "Kai-ya...cepatlah sembuh. Aku ingin mendengar suaramu. Aku ingin melihat kejahilanmu lagi, Kai-ya. Aku akan membelikan ice cream sebanyak yang kau mau jika kau sembuh." Suho menitikkan airmatanya di punggung tangan Kai. Ayah dan ibunya sudah pulang terlebih dahulu karena tidak ada siapapun di rumah. Para maid di rumahnya diberi libur jika hari Minggu.

"Hyung..." Suara yang ia kenali menyapa pendengarannya. Ia segera menyeka airmatanya dan berdeham untuk menghilangkan suara serak khas orang menangis.

"Masuklah Sehun-ah." Ia berdiri dan mempersilahkan Sehun masuk. Tadi Sehun sempat menghubunginya karena saat pemuda itu ke rumahnya tidak ada orang. Dan Suho memberitahunya bahwa semua orang sedang di rumah sakit menemani Kai.

"Bagaimana keadaannya, Hyung?" tanya Sehun lirih. Ia mendudukkan tubuhnya di kursi di samping Suho.

"Dia tidak baik. Tadi dia sudah sadar, lalu kepalanya kembali sakit. Setelah itu dokter memberinya obat penahan sakit dan dia tertidur." Suho menatap Kai khawatir. Sehun ikut menatapnya. Mungkin dugaannya kemarin bahwa Kai sakit memang benar.

"Kemarin aku melihat wajahnya pucat, Hyung. Ketika aku ke kelasnya dengan Taemin-hyung dan Amber-noona untuk mengajaknya melihat pengumuman anggota club dance yang akan mengikuti kompetisi, ia sedang tertidur dengan wajah pucat dan tubuh lemas. Lalu saat melihatnya melompat-lompat senang dengan Taemin-hyung, aku kira yang tadi hanya perasaanku saja." Suho menoleh ke arahnya. Perkataan Sehun barusan menarik perhatiannya.

"Oh ya, dimana kau menemukan Kai sebelum mengantarnya ke makam Baekhyun?" tanya Suho penasaran.

"Aku menemukannya di halte bus dekat sekolah, Hyung. Dia...sedang menangis. Aku tidak tahu apa sebabnya, karena saat aku menanyakannya, dia malah memelukku." Sehun memelankan suaranya ketika mengucapkan kata terakhir itu. Ia menundukkan kepalanya karena malu. Suho hanya terkekeh melihat wajah merah pemuda yang sudah dianggapnya sebagai adik kandung ini.

"Suho..." Panggil seseorang yang membuat kedua pemuda itu menoleh bersamaan. Di sana ada ayah dan ibu Kai. Mereka segera berdiri dan menghampiri suami-istri tersebut.

"Ne, Ahjumma?" Sahut Suho.

"Ada Sehun juga ternyata." Tuan Kim tersenyum pada Sehun.

"N-ne, Ahjussi. Annyeong." Sehun membungkuk sopan.

"Bisakah kalian menjaga Kai sebentar? Aku dan istriku akan pulang dulu, mengambil pakaian Kai. Nanti malam kami kemari lagi." Pinta Tuan Kim.

"Ne, Ahjussi. Kami akan menjaga Kai sementara kalian pulang." Jawab Suho. Sehun hanya mengangguk menyetujui perkataan Suho tersebut.

"Baiklah. Kami pulang dulu ne. Jika ada apa-apa, tolong hubungi kami." Suho dan Sehun kembali mengangguk.

.

.

.

Chanyeol's Room.

"Aaaaarrrgh!" Teriakan frustasi terdengar memenuhi ruangan bernuansa cokelat muda ini. Suara teriakan itu berasal dari pemuda pemilik nama Park Chanyeol. Untung saja hari ini keluarganya sedang tidak ada di rumah. Kalau saja mereka mendengarnya, pasti mereka akan panik dan langsung berlari ke kamar pemuda itu.

"Wae? Kenapa kau meninggalkanku secepat ini?" Tanyanya pada sosok di dalam foto yang ia genggam. Airmata tak henti-hentinya mengalir dari pelupuk matanya. Ia kembali teringat pada mimpinya semalam. Mimpi dimana ia bertemu gadis di foto itu—Baekhyun.

Flashback On.

Chanyeol's POV.

Aku tidak tahu sejak kapan aku berada di ruangan putih ini. Yang aku ingat, beberapa menit yang lalu aku masih berada di kamarku. Menangisi kepergian orang yang selama ini mengisi hatiku. Lagi dan lagi, airmata ini tak bisa kutahan, sampai kurasakan ada yang menyentuh pipiku dan mengusapnya pelan. Aku mendongak dan terbelalak kaget melihat siapa pelakunya. Saking kagetnya tanpa sadar aku sudah memeluknya erat dan menangis di pelukannya. Gadis itu, Baekhyun, dengan balutan gaun putih selutut, membalas pelukanku. Mengusap punggungku pelan, berusaha menenangkanku.

"Kenapa kau pergi? Kenapa kau meninggalkanku?" Tanyaku dengan suara bergetar. Ia melepaskan pelukanku. Mengusap airmata di pipiku. Aku memejamkan mata menikmati sentuhan lembutnya.

"Aku tidak meninggalkanmu, Chanyeol. Aku selalu ada disini." Baekhyun menyentuh dada tempat bersarangnya hatiku saat mengucapkan kata terakhir. Aku tidak bisa memungkiri perkataannya. Ia memang selalu hidup di hatiku. "Jangan menyalahkan Kai atas kepergianku. Aku menyelamatkannya karena aku tidak ingin apapun terjadi padanya. Aku sangat menyayanginya, Yeol. Dia adikku. Sudah seharusnya aku melindunginya." Ia duduk di sofa putih—yang entah sejak kapan ada di sana. Aku ikut duduk disampingnya.

"Tapi tidak dengan mengorbankan nyawamu, Baekkie." Aku menggenggam kedua tangannya. Ia hanya menggeleng sambil tersenyum.

"Ini sudah takdir, Yeollie. Bahkan sebelum aku mengorbankan nyawaku, dia sudah lebih dulu mengorbankan perasaannya demi kita. Dia menyukaimu jauh sebelum aku menyukaimu. Kau pasti tidak menyadarinya, 'kan?"

Aku terlonjak kaget mendengar perkataannya. Kai menyukaiku? Tapi kenapa dia tidak pernah bilang?

"Kau, Pabbo. Mana ada seorang wanita yang duluan menyatakan perasaannya pada seorang pria, eoh?" Katanya seolah menjawab segala pertanyaan di pikiranku.

"Tapi, aku menyukaimu, ani, bahkan aku mencintaimu, Baek." Sanggahku.

"Ne, aku tahu itu. Aku juga mencintaimu, Yeol. Kumohon maafkan Kai dan jangan membencinya. Dia tidak salah." Ia menatapku dengan pandangan memohon.

"Aku bisa saja tidak membencinya, tapi aku tidak bisa menghilangkan rasa sakit hati saat bertemu dengannya. Bagaimanapun juga, aku tidak bisa memungkiri bahwa dia adalah penyebab kematianmu." Kata-kataku sukses membuatnya menatapku dengan pandangan terkejut. "Kumohon jangan memaksaku, Baek. Aku sungguh tak bisa menghilangkan kenyataan itu." Pintaku.

Baekhyun menghela nafasnya. Ia menatapku dengan senyum kecil, namun mata indahnya tak bisa berbohong jika ia terlihat sangat sedih dan terluka. "Sudah saatnya aku pergi, Chanyeol. Kau harus menemukan penggantiku dan hidup bahagia. Karena jika kau bahagia, akupun juga bahagia di sana. Saranghae, Park Chanyeol." Perlahan sosoknya memudar dan menghilang.

"Nado saranghae, Kim Baekhyun." Kalimat terakhirku itu membuatku terbangun dari alam bawah sadarku.

Chanyeol's POV End.

Flashback End.

Chanyeol menghapus airmatanya. Ia benar-benar tidak sanggup menerima kenyataan ini. Kenapa harus secepat ini Baekhyun pergi? Ia benar-benar tidak bisa menjalani hari-harinya seperti biasa saat Baekhyun pergi untuk beberapa tahun belakangan ini—seperti yang ia pikirkan sebelumnya—tapi bahkan sekarang gadis itu meninggalkannya untuk selamanya.

Pemuda tinggi itu mengacak surai cokelat tuanya. Frustasi dengan kenyataan yang harus ia hadapi saat ini.

.

.

.

Gyeonggi-do Hospital.

"Sebaiknya kau makan dulu, Hyung. Kau pasti belum makan." Sehun menepuk bahu Suho pelan, yang hanya dibalas dengan gelengan kepala.

Sejak orangtua Kai berpamitan pada mereka, sahabat Hyung-nya—Luhan—yang juga sudah ia anggap sebagai Hyung kandungnya itu terus memandangi wajah pucat gadis di hadapan mereka. Sehun menghembuskan nafas dengan kasar menghadapi sifat keras kepala Suho.

Suho mengalihkan pandangannya pada jemari Kai di genggamannya ketika merasakan pergerakan kecil dari jemari lentik itu. Perlahan Kai membuka kelopak matanya.

"Kai?" Panggil Suho lirih.

Sehun mengikuti arah pandang Suho. Ia tersenyum lega melihat gadis yang mulai mengisi relung hatinya sudah terbangun.

Apa? Apakah Sehun baru saja mengakui perasaannya? Pemuda milky skin itu menggeleng kecil untuk mengusir pikirannya tentang Kai barusan. Sedangkan gadis itu tersenyum lemah pada dua pemuda dihadapannya.

"Aku panggilkan dokter dulu, Hyung." Kata Sehun yang diangguki oleh Suho.

Sehun pun segera meninggalkan mereka berdua untuk memanggil dokter.

.

.

.

"Keadaan pasien sudah mulai membaik. Tapi pasien masih butuh perawatan intensif. Tolong ajak dia berbicara dan buat dia senyaman mungkin dengan kalian agar dia dapat sedikit melupakan masalahnya." Pesan dokter pada Suho dan Sehun setelah memeriksa Kai.

"Algeseumnida, Uisa. Khamsahamnida." Mereka berdua menundukkan kepala, berterima kasih pada sang pria yang menggunakan jas putih khas seorang dokter itu.

Setelah dokter pergi, mereka kembali memasuki ruang rawat Kai.

Cklek!

Suara pintu dibuka membuat gadis dengan balutan piyama rumah sakit di dalam ruangan, menengok ke sumber suara. Ia memasang senyum manisnya ketika melihat dua orang pemuda disana.

"Hai, adik kecil." Kai mempoutkan bibirnya mendengar panggilan Suho untuknya.

"Ish... Sudah kubilang aku bukan anak kecil lagi, Oppa." Omel Kai pada Suho, membuat dua pemuda yang menduduki kursi di samping ranjangnya itu menahan tawa mereka.

"Arraseo arraseo. Bagaimana keadaanmu?" Suho memilih mengalah. Ia memandang adiknya yang terduduk di ranjang. Alat bantu pernafasannya sudah dilepas. Wajahnya masih pucat, tapi tidak sepucat saat ia menemukannya tak sadarkan diri pertama kali.

Kai tersenyum lagi sebelum menjawab, "Aku sudah lebih baik, Oppa. Maaf merepotkan kalian."

"Hey, kita ini saudara. Saudara harus saling membantu dan saling melindungi, kau tahu?" Sehun mengangguk menyetujui perkataan Suho.

"Kalau dia sih, sudah pasti akan melakukan apapun untukmu." Lanjut pemuda berwajah malaikat itu setengah berbisik pada Kai sambil memberi penekanan di kata 'dia' dan melirik Sehun.

Namun indera pendengaran Sehun yang tajam masih bisa menangkapnya. Alhasil Sehun menyikut pinggang pemuda yang lebih pendek darinya itu dan menatapnya tajam. Tapi karena ia menatap dengan muka memerah, jadilah hal itu mengundang gelak tawa dari kakak-adik tersebut. Dan membuat wajah tampannya semakin merah, semerah buah tomat.

TBC or END?

.

.

.

Author's note: Mianhae baru update chingu. Sebenernya ceritanya udah selesai diedit beberapa hari yang lalu, tapi karena baru on di FFn-nya hari ini jadi baru di update deh. Hehehe

Oh iya, turut berduka dengan hengkangnya Lu-ge. Pertama denger berita konfirmasinya aku sempet nangis. Bener-bener sedih rasanya. Waktu itu Kris-ge sekarang Lu-ge. Tapi kalo emang dengan Lu-ge keluar, itu bisa bikin Lu-ge bahagia kayak Kris-ge, nggak pa-pa kok. Aku akan tetep dukung mereka. Keep fighting, Gege~

Berhubung chap 6 nya belum jadi, updatenya bakal lama nih kayaknya chingu. Semoga aja nggak malah bikin aku kena writer block yah. Buat semuanya, biar nggak canggung, panggil aku Aiko aja, Eonni juga boleh, atau Noona. Aku line 94.

Nggak nyangka yang review ff absurd ini banyak. Makasih ya buat readers, reviewers, favouriters, sama followers juga. Kalian bikin aku semangat lanjutin ff ini.

xoxo,

Kaiko94