Hope

1.

Aku mendongak, menatap jam dinding yang bergantung didepanku. Waktu berjalan terlalu lambat, itu sangat aneh tapi sering terjadi disaat kau berharap sesuatu yang tak penting bisa kau potong begitu saja. Seperti saat editor mensunting sebuah video. Potong dan hapus.

Selama lima belas menit kedepan adalah waktu yang tidak penting karena aku harus menunggu. Menunggu dalam ruangan yang gelap membuat jantungku berdegup kencang dan tak ada hal lain yang dapat kulakukan selain menghitung tiap detik yang kulewati.

Beberapa hari ini para idola disibukkan dengan persiapan acara musik yang kurencanakan. Kami berlatih diam-diam disela jadwal kami. Selain disibukkan dengan jadwal dari pihak rumah sakit dan persiapan acara musik, aku juga sibuk membicarakan masalah kunjunganku ke markas militer. Sebenarnya aku ingin merahasiakan hal tersebut dari ayahku, tapi sepertinya mimpi burukku berlanjut ketingkat mengigau yang parah. Seperti dugaanku, dia terlihat sangsi. Aku tidak bisa memaksanya karena aku pun merasa seperti itu. Tapi Woobin berhasil membujuknya. Aku terkejut saat Woobin membicarakan hal itu dengan penuh pengertian. Dia memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Dan mengelus lengan ayahku, pria yang baru saja kehilangan begitu banyak bagian dalam dirinya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi aku bersyukur karena sepertinya Woobin berhasil membuka sesuatu dalam batin ayahku. Entah bagaimana caranya tapi sejak saat itu ayahku jadi terlihat lebih lega.

Selain aku dan Jongin ada beberapa orang yang ikut terseret. Diantaranya ada idola dan lebih banyak warga biasa yang sebagian besar mau ikut ke markas militer karena disogok.

Beberapa hari ini cukup oke karena kondisi beberapa memberku stabil. Yang kumaksud dengan stabil disini adalah tidak adanya ledakkan secara emosi. Semuanya berada dalam kontrol. Namun, disaat berkumpul, ada rasa canggung diantara kami. Aku tidak tahu kenapa atmosfir terasa berat, tapi dadaku mendadak sesak saat aku menatap Joonmyun.

Setelah pertimbangan banyak pihak, malam natal adalah hari kebahagiaan bagi member Cina. Karena keluarga mereka akan diterbangkan kesini. Aku masih berpikir, kenapa member Cina tidak mengungsi saja kenegara mereka. Maksudku, mereka tidak memiliki tanggung jawab disini. Mereka murni korban.

Kelegaan terpancar di wajah member Cina. Yixing tak henti-hantinya menggumamkan ratusan kosa kata Cina, wajahnya berseri-seri dan intensitas menonton drama Mandarinnya semakin menjadi-jadi.

Keluarga Yifan bersikeras untuk datang lebih cepatk. Itu wajar karena kondisi Yifan mengkhawatirkan. Kemarin disaat kami berkumpul, sesuatu yang menghebohkan terjadi. Mata Yifan tiba-tiba terbuka. Kami semua terkejut dan berlarian keluar menggeret siapa pun yang memakai jas Dokter. Sayangnya, hal itu adalah hal yang biasa terjadi. Mata terbuka secara spontan tapi tidak menunjukkan respon apapun. Kejadian itu benar-benar membuat dadaku sakit.

Chanyeol akan segera keluar dari pusat rehabilitasi. Tidak secara permanen. Dia masih harus kembali. Tapi menurut pihak pusat rehabilitasi, Chanyeol butuh menyegarkan pikirannya dengan bertemu orang-orang yang ia kenal diluar pusat rehabilitasi. Lagi pula selama diluar dia masih harus diawasi dan melakukan pemeriksaan rutin. Itu bagus, karena dia harus memainkan gitarnya pada pertunjukan musik nanti.

Tao menjadi lebih tenang saat mendengar kabar keluarganya akan datang. Dan seperti didalam drama, Tao membicarakan banyak hal pada Yifan. Lalu tiba-tiba kami semua secara bergantian menyelipkan sedikit waktu untuk menceritakan sesuatu pada Yifan. Biasanya, setelah menceritakan sesuatu yang sedih, aku terus memandangi pelupuk mata Yifan. Karena pada drama yang kutonton, karakter yang koma akan menangis begitu karakter yang menunggunya pergi keluar. Tapi selama apapun aku menunggu, hal itu tidak pernah terjadi. Terkadang aku keluar sebentar, lalu masuk lagi hanya untuk melihat pelupuk mata Yifan.

Kyungsoo masih menolak untuk berbicara. Tapi ruang rawatnya selalu dipenuhi musik dan Kyungsoo selalu menghabiskan waktu kosongnya untuk menonton video-video kami diacara musik. Kurasa itu membuatnya merasa tenang dan kuharap Kyungsoo mau menyumbangkan suaranya dipertunjukan musik nanti. Mungkin Kyungsoo bisa berduet dengan Baekhyun. Meskipun kondisi Baekhyun benar-benar parah. Sekarang dia sama sekali tidak mau menerima sentuhan dari siapa pun. Tubuhnya akan bergetar ketakutan dan dia akan berakhir muntah-muntah. Atau lebih parahnya lagi, Baekhyun akan pingsan. Dia ditempatkan diruang rawat khusus. Disana ada suster yang menjaganya selama dua puluh empat jam. Sudah beberapa hari ini aku tidak mengunjungi Baekhyun. Bukannya tidak sempat. Aku hanya... tidak mau... Melihat Baekhyun seperti itu membuatku hancur.

Joonmyun dan Jongdae sama-sama menjadi pendiam. Aku tahu mereka berdua malu akan tindakan yang mereka ambil. Awalnya aku memang marah tapi kurasa aku sudah memaafkan mereka. Karena aku juga nyaris membunuh diriku. Ini terjadi setelah pembicaraan singkatku dengan Jongin diperpustakaan. Malamnya, karena pikiranku penuh dan aku benar-benar cemas tapi tubuhku sudah berada diatas limit, aku pun tertidur dengan pikiran yang masih menggantung. Kurasa pikiran-pikiran tersebut tersedot masuk kedalam mimpiku.

Setelah banyak mimpi buruk yang kualami, kurasa yang satu itu yang terburuk. Aku berusaha untuk tidak mengingatnya, tapi rasanya sama seperti saat aku di interogasi pasukan Utara. Semuanya hitam, dingin dan mencekam. Aku terbangun dengan suara pekikan panjang dan dapat kurasakan beberapa luka jahitku kembali terbuka. Aku ingat menabrak beberapa barang diruang rawatku hingga aku tertelungkup di kloset kamar mandi dan memuntahkan seluruh isi perutku. Aku terus muntah hingga yang dapat kumuntahkan hanya cairan berwarna kuning yang terasa pahit di tenggorokan. Malam itu aku benar-benar merasa dihantui. Kau tahu, rasanya seperti ada orang yang mengejarmu dari belakang dan siap menancapkan pisau ke punggungmu. Aku benar-benar merasa terancam hingga nyaris gila rasanya. Dan aku benar-benar sudah gila saat aku mulai membenturkan kepalaku kepinggiran kloset. Aku bertambah gila saat menatap bayanganku dicermin. Wajahku berlumuran darah dan daerah sekitar mataku sobek. Untuk sesaat aku membeci semua orang dan membuat daftar panjang orang-orang yang kubenci. Dan namaku ada diposisi pertama. Aku meninju cermin,melihat bayanganku pecah dan terjatuh berhamburan kelantai. Saat itulah aku berpikir untuk mati. Tanganku bergetar parah saat mengambil pecahan cermin yang paling besar dan tanpa memikirkan apakah akan terasa sakit, aku langsung menggorok pergelangan tanganku. Lalu semuanya perlahan-lahan memburam dan disaat kegelapan mulai muncul, aku merasa menyesal...

Aku sadar beberapa jam kemudian, dengan rasa nyeri diwajah dan pergelangan tanganku, juga rasa malu yang membuatku jadi emosional. Ayahku berusaha untuk tidak membicarakan hal itu. Memberku datang berkunjung tapi aku tidak mau melihat mereka. Aku malu... Meskipun mereka berusaha untuk terlihat biasa saja tapi aku tahu kini mereka akan menjagaku lebih dari sebelumnya dan aku tidak suka.

Satu kali pun Jongin tidak pernah mengunjungiku tapi Luhan berkata kalau setiap malam, disaat aku sudah tertidur, Jongin akan mengintip sebentar untuk melihat keadaanku. Aku jadi lega. Woobin beberapa kali berusaha menjengukku tapi Dokter Jaesuk melarangnya. Aku bersyukur karena saat itu aku belum mau menemui siapa pun.

Lima belas menit berlalu dan aku bangkit dari ranjang rumah sakit, berjingkat sepelan mungkin agar tidak membangunkan ayahku yang tertidur di sofa. Karena kejadian itu, ayahku benar-benar tidak mau membiarkanku tidur sendiri. Aku sudah meminta pihak rumah sakit untuk membawakan ranjang ekstra untuk ayahku, tapi kurasa mereka sedang krisis ranjang.

Aku, sepelan mungkin membuka lemari yang isinya hanya sepatu, ransel dan parka yang kupakai saat aku diselamatkan. Bajuku digunting saat aku dioperasi. Padahal itu kaos favoritku dan pada hari itu Jongin juga memakai kaos Pororo favoritnya.

Aku memakai sepatuku sambil berusaha untuk tidak terlalu memperhatikan noda darah yang masih tertinggal disana. Beberapa bagian dari parkaku juga bolong dan terdapat lebih banyak darah disana. Tapi entah kenapa parka dan sepatu ini memberiku sedikit rasa percaya diri.

Aku menarik ranselku, menyandangnya kepundakku lalu pergi.

2.

Setelah beberapa minggu terjebak disini dengan jadwal yang sejujurnya membuatku bosan. Menjelajahi rumah sakit terkadang menjadi kegiatan tambahan yang kubuat sendiri dalam jadwalku. Sekarang, aku benar-benar tahu sisi rumah sakit ini yang sepi dan pada jam berapa(untuk kasus ini, hal tak terduga tidak masuk itungan.) Selain itu, aku juga sudah mengakrabkan diri dengan beberapa pekerja yang tidak niat bekerja disini. Biasanya mereka hanya anak magang yang secara tidak sengaja terjebak dalam pekerjaannya karena kurangnya SDM. Atau pekerja dengan gaji rendah dan posisi yang biasa-biasa saja. Biasanya pekerja seperti itu bisa diajak kompromi untuk memberiku sebungkus rokok. Aku tidak peduli jika nantinya mereka akan membocorkan hal ini pada publik. Tentang aku yang meminta rokok. Aku nyaris gila jadi kurasa tidak akan ada masalah yang besar karena hal itu.

Jadi aku berjalan santai kearah tangga darurat. Sebenarnya butuh waktu cukup lama agar aku bisa benar-benar tenang saat melewati tangga darurat. Terkadang aku harus duduk sebentar, mengatur nafas dan berusaha membuat diriku tetap waras. Biasanya aku akan terduduk lama sekali tapi semakin sering aku lewat sini, semakin sebentar waktu yang kuperlukan untuk meluruskan pikiranku.

Aku berlari kecil, sambil mendorong pintu tangga darurat lalu melesat cepat melewati koridor. Agak sedikit terkejut karena ada dua orang dokter yang sedang membicarakan sesuatu.

Sepatuku berdecit dan segera kurapatkan tubuhku pada dinding. Menunggu dokter tersebut menghilang, masuk keruangannya.

Setelah itu aku berlari kencang melewati lobi yang sepi. Tidak seperti saat aku kabur dulu. Beberapa pengungsi sudah mendapat ruangan dan sisanya sudah dipindahkan ke rumah sakit lain. Pihak rumah sakit juga sudah menegaskan pada para reporter untuk berhenti meliput disini. Itu semua karena siaranku yang mengamuk waktu itu benar-benar membuat netizen marah pada reporter yang mengganggu berjalannya aktifitas rumah sakit. Meskipun seorang reporter memiliki hak untuk meliput tapi menurut para netizen mereka sudah keterlaluan. Untuk kali ini aku benar-benar berterima kasih pada para netizen.

Aku berbelok diujung jalan menuju pintu belakang yang langsung tersambung ke dapur rumah sakit. Disini aku berhasil mengakrabkan diri dengan para pekerja. Jadi saat aku muncul, beberapa orang terlihat cuek dan sisanya tersenyum menyapaku.

"Hai, Sehun. Bagaimana harimu?"Baekho, adalah kepala chef disini. Dia bertubuh tinggi, terlihat bersih dan memiliki beberapa tindikkan dikupingnya. Dan baru-baru ini aku sadar kalau ia juga menindik lidahnya.

"Biasa saja, Hyung. Oh, iya pesananku sudah jadi?" Tanyaku. Baekho menggeleng dan mengeluarkan setumpuk kertas lalu menyerahkannya padaku.

"Wow! Ini banyak sekali. Makasih Hyung. Aku tidak tahu harus minta bantuan pada siapa lagi,"

Aku mengambil setumpuk kertas itu dan mulai membaliknya, membaca setiap nama yang tertera.

"Sebenarnya, siapa sih yang kau cari? Pacarmu?"

Aku langsung menggeleng, "Bukan, mereka bekerja di tempat yang sama denganku. Empat orang gadis dan satu bocah laki-laki,"

Baekho hanya mengangguk dan menepuk pundakku, lalu pergi.

"Pesananmu sebentar lagi jadi,"

Aku mengacungkan jempolku sambil mengangguk.

Kertas ini berisi data pengungsi yang masuk kesini, juga data pengungsi yang dipindahkan. Aku berusaha bertanya pada resepsionis dengan cara baik-baik tapi sepertinya para resepsionis sudah benar-benar tidak mau melihat wajahku. Jadi aku meminta bantuan Baekho untuk mencetak ini semua. Tadinya aku menyuruh Baekho untuk bertanya saja pada seorang resepsionis tapi mereka tidak akan memberi tahu Baekho karena data yang Baekho tanya adalah data seorang idola. Kupikir Baekho cukup pintar untuk bisa menjalankan sistem komputer resepsionis tapi yang kudapatkan justru setumpuk kertas. Tapi tak apa. Lebih baik ada daripada tidak sama sekali.

Tanganku berkeringat dingin saat membalok-balik data alfabetis ini dan rasa lega benar-benar menghantamku hingga tubuh tegakku langsung membungkuk saat melihat nama Bae Jo Hyeon, nama asli Irene. Aku langsung membaca datanya, dimana dia dirawat, data kesehatannya dan lain-lain. Saat mengetahui dia baik-baik saja, aku langsung tahu kalau yang lain pasti baik-baik juga. Tapi aku tetap memeriksa yang lain.

Mereka berempat ditempatkan diruangan yang sama karena tidak menderita secara fisik dan hanya mengalami sedikit masalah traumatis. Mereka semua cukup sehat untuk membantu pihak rumah sakit. Disini tertulis kalau mereka membantu pihak rumah sakit dibagian traumatis pada anak-anak.

Pantas saja aku tidak pernah melihat mereka karena penangan terhadap anak-anak benar-benar diperhatikan. Sedangkan Taeoh, dia baik-baik saja. Disini tertulis kalau Taeoh memiliki gangguan jika mendengar suara kencang.

Trauma karena suara tembakan ya?

Kupikir dia akan menangis karena tidak melihat ibunya. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, anak sekecil Taeoh mudah sekali untuk ditipu. Pihak rumah sakit hanya perlu berbohong kalau orang tuanya sedang pergi dan dalam beberapa bulan atau minggu Taeoh akan melupakan orang tuanya.

Aku segera merapikan kertas-kertas ini dan memasukannya kedalam ranselku. Nanti akan kubuang, aku tak mungkin membuangnya dihadapan Baekho karena aku tahu, Baekho benar-benar berjuang untuk mendapatkan tumpukkan kertas ini.

Setelah pesananku jadi,aku sedikit berbincang-bincang dengan pekerja disini dan diam-diam mengambil beberapa batang rokok dari―entah rokok siapa yang tergelatak begitu saja dimeja. Lalu aku segera pamit dan pergi lewat pintu belakang dapur ini.

3.

Udara dingin bulan desember langsung manghantamku saat aku berlari keluar. Panasnya dapur sekejap hilang dan otomatis aku memeluk plastik berisi ayam saus barbecue―pesananku tadi.

Aku berlari menelusuri taman belakang rumah sakit yang gelap karena lampu taman rusak total dan disaat seperti ini tidak ada orang yang peduli akan hal itu.

Panas yang berasal dari ayam saos barbecue terasa merembes kepermukaan kulit perutku dan hal itu membuatku lapar. Aku berlari makin kencang dan tiba dipinggir taman dengan nafas yang nyaris habis.

Aku duduk diakar pohon yang mencuat dari tanah, mengatur nafasku sebentar lalu mulai bergerak lagi. Aku membuka ranselku, membuang tumpukan kertas itu ketanah dan memasukan ayam saus barbecue kedalam ransel. Aku memakai ranselku dan menatap pagar yang menjulang cukup tinggi diatasku.

Serius deh, ini semua ide Jongin dan aku aku harus memanjat pagar? Maksudku, kaki Jongin 'kan sedang tidak oke, bagaimana caranya anak itu memanjat pagar ini. Aku curiga jangan-jangan dia lewat pintu depan atau lewat pintu lainnya. Tapi untuk keluar dari sini,sebagai pengungsi yang nyaris gila, tak ada jalan lain selain jalan ini. Belum sempat aku memikirkan apa pun, telpon genggamku bergetar. Sebuah pesan singkat dari Jongin:

Cepat! Sebentar lagi kau akan membunuhku.

Aku kembali mengantongi telpon genggamku, memandang puncak pagar dan mulai memanjat. Sial kenapa pagar ini berkawat? Celanaku beberapa kali tersangkut kawat dan aku terpaksa menariknya hingga sobek, tanganku juga sedikit tergores karena kawat. Dan kurasa lenganku butuh olah raga.

Aku melompat disaat kulihat aku sudah berada diposisi yang tidak terlalu tinggi. Aku memeriksa keadaanku. Aku masih baik-baik saja, tanganku sedikit perih karena kawat pagar, celanaku juga sobek dan serat kainnya keluar membuat celanaku terlihat keren. Jika saja ini bukan musim dingin...

Aku menggosok tanganku, menghangatkannya dengan uap mulutku lalu memasukkannya ke saku celanaku. Disini dingin sekali. Suasananya juga terlalu gelap. Tak begitu banyak lampu yang menyala, kau bisa melihat titik-titik lampu itu dikejauhan dan menghitungnya. Aku yakin jumlahnya tak lebih dari sepuluh. Aku berjalan santai. Menikmati jalanan yang licin, udara yang dingin dan kepulan uap yang keluar disaat aku bernafas. Aku tertawa kecil, karena untuk pertama kalinya aku merasa bebas. Sudah berapa lama ya aku terjebak disini? Satu bulan? Tidak, pasti lebih dari itu.

Diujung jalan, terlihat sosok Jongin yang berjongkok sambil memainkan pemantik disela-sela jarinya.

"Ya! Kim Jongin!"

Jongin menoleh, menatapku sebentar lalu melambaikan tangannya.

Aku baru sadar kalau wajah Jongin sudah memerah karena dingin ketika aku berada dihadapannya.

"Sepertinya kau benar-benar berniat untuk membunuhku ya?" Jongin menggerutu, alisnya mengkerut dan sedikit naik.

Aku berjongkok disamping Jongin sambil membersihkan bahunya dari salju, "Maafkan aku sobat. Aku harus menunggu ini,"

Aku mengeluarkan plastik berisi ayam saus barbecue dari dalam ranselku dan seperti dugaanku. Pekikkan nyaring langsung keluar dari mulut Jongin.

Kuletakkan plastik itu ditanah, mengeluarkan kotaknya dan saat aku membukanya, asap putih langsung mengebul diikuti aroma yang membuat perutku gonjang-ganjing.

Hal seperti ini sering terjadi diantara kami. Aku dan Jongin sudah terlalu sering menghabiskan waktu bersama, bahkan kesunyian diantara kami tak membuat kami canggung. Setelah lama berteman, ada saja masalah yang membuat kami membuang muka saat berpapasan. Tapi kami dengan mudah bisa menemukan kenyamanan diantara kami lagi. Tanpa memerlukan kata maaf. Sejak insiden bunuh diriku, ini adalah kali pertama kami benar-benar betemu dan duduk bersama. Aku tahu Jongin marah besar padaku dan aku tak sanggup untuk bertemu dengannya. Tapi kemarin tiba-tiba dia datang padaku dan mengajakku cabut keluar. Saat itu aku tahu dia sudah memaafkanku.

Karena dingin, kami langsung merokok setelah menghabiskan sekotak ayam saus barbecue. Aku menyiapkan mentalku, karena aku tahu rokok akan membuat Jongin membicarakan topik yang berat. Dan untuk saat ini topik berat itu adalah aku. Aku menyesap rokokku dalam-dalam.

"Sehun, sebenarnya apa yang kau pikirkan saat kau mencoba membunuh dirimu?"

Aku benarkan?

Aku kembali menyesap rokokku sambil memikirkan jawaban yang tepat, tidak terlalu berat tapi jujur, "Entahlah, Jongin," Jawabku pada akhirnya. "Aku tidak memikirkan banyak hal. Aku hanya merasa ketakutan dan dihantui hingga rasanya lebih baik mati saja,"

Dapat kulihat Jongin melirikku sebentar, "Apa sekarang kau masih ingin mati?"

Aku menggeleng, "Aku tidak tahu, Jongin. Tapi aku mencoba untuk tetap waras,"

Jongin terkekeh pelan saat aku mengatakan 'waras'. Sebuah kekehan sarkasme yang penuh ironi.

"Dan kau Jongin. Apa kau pernah berpikir untuk menngakhiri hidupmu?" Tanyaku.

"Sering," Jongin menjawab terlalu cepat dari yang kubayangkan.

"Banyak hal yang membuatmu merasa putus asa, Sehun. Tapi sebenarnya, ada hal yang lebih kuat dari rasa putus asa itu," Jongin diam sebentar, menunggu responku.

Jadi aku bertanya, "Apa itu Jongin?" padanya.

"Harapan."jawabnya. Kepulan uap yang keluar dari mulut Jongin memberi efek yang meremangkan buluku.

"Ini sama seperti saat kau benar-benar bosan dan yang ada dihadapanmu hanya kertas kosong dan pulpen. Lalu kau mulai menggambar sesuatu yang simpel. Seperti bunga. Setelah kau menggambar bunganya, kau akan menggambar tangkainya juga. Karena bosan, kau mulai menggambar daun, tanahnya, bahkan akar dan kau mulai mengisi kertas kosong itu dengan berbagai hal," Jongin menoleh, menatapku lekat-lekat, "Kau paham 'kan Sehun?"

Aku mengangguk kecil, meskipun belum terlalu pahan. Aku menatap langit dan mulai menggambar bunga dengan menyambungkan titik-titik bintang dilangit.

Hening sejenak...

"Apa masih ada harapan dalam dirimu, Sehun?"

Aku kembali menoleh, menatap Jongin yang terlihat cemas dan mulai bertanya-tanya kenapa Jongin tidak jadi penulis saja. Dia cukup baik dalam memanipulasi kata-kata.

Aku menunduk, menolak menatap Jongin dan mulai berpikir apa yang menjadi harapan terbesar dalam diriku sekarang.

Tidak butuh waktu lama untuk menemukannya. Karena wajah memberku bermunculan dan aku sadar bahwa meskipun terlihat tak berdaya tapi mereka masih berjuang, sama sepertiku. Lalu tiba-tiba wajah ayahku muncul, menggusur habis semuanya. Ayahku adalah pria yang tidak logis jika itu berhubungan dengan keluarganya. Dia akan melakukan apa saja. Sanggup atau tidak tapi jika itu demi keluarga, dia akan maju. Aku tahu ayahku akan melakukan apapun untukku. Maka aku juga.

Senyuman merekah begitu saja dari bibirku yang pucat karena dingin. Aku kembali menatap Jongin dan menepuk punggungnya berkali-kali, "Terima kasih, sobat. Kau memang yang terbaik,"

Jongin membalas senyumku sambil membuang puntung rokoknya yang sudah habis. "Jadi kau sudah waras?"Tanyanya.

"Belum Jongin tapi kurasa aku menuju waras,"

Sebuah bola salju menghantam wajahku sesaat setelah aku menjawab pertanyaan Jongin. Terdengar Jongin tertawa nyaring saat melihat rokokku yang masih ada setengah, basah dan tidak berguna lagi.

"Lihat apa yang kau lakukan pada rokokku! Benda ini berharga tahu. Aku bahkan harus mencurinya," Aku berteriak, memarahi Jongin tapi tanganku diam-diam meraup segenggam salju, lalu meraih kerah baju Jongin dan memasukkan salju tersebut kedalamnya.

Jongin kejang-kejang karena kedinginan dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku benar-benar tertawa sampai pipiku sakit.

4.

Demi mengalihkan pikiranku yang selalu terpusat pada kunjungan kami ke markas militer, aku membuat diriku sesibuk mungkin. Aku berusaha mati-matian menjalani semua jadwalku dan membantu persiapan acara musik. Kami berlatih kapanku kami sempat dan diantara kesibukanku, aku menyempatkan diri untuk selalu bicara pada ayahku. Karena yang tersisa hanya kami berdua, jadi aku mau hubungan kami benar-benar kuat. Selain berusaha selalu ada untuk ayahku, aku juga berusaha untuk selalu membuat memberku berkumpul. Walau pun hanya sebentar. Joonmyeon menangkap tindak-tandukku dan mulai melakukan hal yang sama denganku. Kami biasa berkumpul diruangan Yifan, berusaha memaksa Kyungsoo untuk ikut. Jika diizinkan, kami akan menjenguk Chanyeol. Dia terlihat buruk... Tubuhnya kurus dan selalu bergetar. Wajahnya pucat dan kantung matanya lebih para dari Tao. Tapi dia tetap tersenyum lebar begitu melihat kami. Kami membawakannya gitar dan dengan sendirinya kami merasa nyaman hanya dengan iringan gitar dan lagu asal-asalan yang keluar dari mulut kami. Baekhyun bahkan ikut bernyanyi, dia bernyanyi paling kencang dan tak terkendali. Dia terlihat begitu mengenaskan tapi masih tetap lucu. Tipikal Byun Baekhyun. Dan Kyungsoo? Aku bersumpah mendengarnya menggumamkan lagu yang kami nyanyikan. Kurasa Kyungsoo juga mulai menemukan harapannya.

Menghabiskan waktu bersama member dan ayahku kini menjadi hal yang benar-benar kuhargai. Karena terkadang kita tak sadar telah membuat memori yang begitu dalam. Dan aku mau merekam memori ini dengan baik sehingga suatu saat, aku dapat mengingatnya dengan baik.

Kami juga jadi akrab dengan beberapa idola yang seharusnya menjadi saingan kami. Ya, ini benar-benar lucu bagaimana penggemar kami bertengkar hebat didunia maya dan orang yang mereka bela ternyata berteman baik. Kami bahkan berbagi banyak cerita satu sama lain. Musibah ini tak hanya terjadi padaku, kami menderita bersama karena urusan politik.

Meskipun begitu, aku masih harus berhadapan dengan mimpi buruk dan rasa kehilangan yang benar-benar menghancurkanku. Waktu tidur adalah neraka. Dan fakta bahwa manusia membutuhkan tidur benar-benar membunuhku. Terkadang aku menjadi tak terkendali hingga aku harus dibius. Jika aku beruntung, maka aku akan terjatuh kedalam fase tidur tanpa mimpi. Tapi jika aku sedang sial, aku akan terjatuh kedalam mimpi buruk tanpa akhir. Karena aku tidak bisa bangun jika efek obat biusnya belum habis. Kurasa karena tekanan mimpi buruk itu aku jadi mulai terbuka pada dokter Jaesuk. Aku tipikal orang yang tidak bisa mencurahkan hatiku demi meringankan beban pikiran. Aku biasanya menyimpannya hingga penuh lalu aku meledak. Bukan kebiasaan yang bagus. Aku juga mulai tebuka pada Woobin meski harus kuakui, aku tidak bisa memaksakan diri untuk menyukainya. Aku sempat menanyakan nama semua orang yang akan ikut ke markas militer dihari yang sama denganku. Totalnya ada tujuh, termasuk aku dan Jongin. Terkadang aku menghabiskan setengah dari waktu jadwal tidurku untuk berkelana mencari orang-orang tersebut. Hong Jonghyun adalah salah satu diantaranya. Dia adalah seorang model dengan fitur wajah yang tajam dan dia adalah orang pertama yang kutemui. Aku menegurnya saat kami sarapan. Dia tidak banyak bicara jadi aku yang membuka diri. Aku menceritakan sedikit hal yang terjadi padaku dan Jongin saat kami di interograsi Utara... untuk sesaat aku merasa telanjang dan diperhatikan. Hong Jonghyun tidak mengatakan apa pun dan aku nyaris menyerah. Lalu secara mengejutkan dia mengangkat pakaian rumah sakitnya dan terlihat luka bakar dari bagian tengah perut hingga pinggiran pinggangnya. Luka itu sudah tidak diperban. Terlihat kering dan nyaris sembuh tapi aku masih bisa merasakan rasa sakit dari tatapan matanya. Aku menatapnya cukup lama dan berusaha untuk tidak menunjukkan rasa kasihan yang berlebihan karena aku takut menyinggungnya. Tapi dia diam saja, sibuk memainkan sarapannya. Jadi aku pergi setelah menepuk bahunya pelan.

Jeni dan Jeno adalah korban selanjutnya yang kutemui. Mereka kembar laki-laki perempuan. Umur mereka mungkin hanya lima belas tahun? Jeno terlihat lebih dominan dan selalu menyembunyikan Jeni dibelakang punggungnya. Mereka begitu pendiam padahal tadinya kupikir mereka akan bersemangat begitu melihatku. Aku ini 'kan idola remaja... Awalnya aku mengatakan hal-hal ringan seperti hobiku atau tentang cuaca hari itu. Tapi mereka tetap pasif, jadi aku terpaksa menceritakan kisahku dengan Utara dan mereka tetap bungkam. Jeno bahkan terlihat nyaris melompat dan menerkamku. Aku kembali menjenguk mereka beberapa hari kemudian. Kali ini aku membawa Jongin bersamaku. Tapi Jeni dan Jeno masih sama. Karena penasaran, akhirnya aku menelusuri pekarangan belakang rumah sakit untuk menemukan setumpuk kertas yang kubuang waktu itu. Aku menemukannya saat aku nyaris menyerah. Setelah membaca data Jeni dan Jeno, malamnya aku mimpi buruk parah sampai terkena serangan panik dan suster terpaksa membiusku. Dan aku tak beruntung, sebab mimpi buruk itu masih berlanjut.

Dalam data Jeni dan Jeno, keduanya mengalami pendarahan pada organ vital mereka yang rusak dan mereka mengalami traumatis parah pada sentuhan fisik. Aku tak mampu membaca lebih karena otakku langsung membayangkan keduanya yang disiksa secara seksual. Aku tidak bisa menahan pikiranku hingga aku berakhir muntah-muntah.

Lalu aku bertemu dengan Lee Sora. Dia adalah wanita tua yang dari keriput diwajahnya masih tersisa kecantikan natural yang membuatku terpanah. Disaat aku menemuinya, dia langsung menghampiriku menggenggam tanganku dan dengan lembut menyentuh pipiku. Anehnya, kontak fisik ini tidak membuatku risih. Aku justru menyentuh tangannya dan menahannya untuk tetap berada dipipiku. Sentuhan ini mengingatkanku pada ibuku dan aku nyaris menangis.

Dia menarikku untuk duduk disofa yang menghadap kearah jendela. Kami terdiam sebentar. Dia terus memandangku sambil mengulum senyum, matanya berkaca-kaca dan aku terus berkaca pada bola matanya yang bening. Lalu Lee Sora mengeluarkan liontin yang tersembunyi dibalik pakaian rumah sakitnya. Liontin yang pasaran, kau pasti bisa menebaknya kalau liontin itu berbentuk hati.

Lee Sora membuka liontin tersebut, memandangi foto yang terpasang disana lalu menyodorkannya padaku.

Disisi kanan liontin tersebut terdapat foto hitam putih laki-laki dengan pakaian militer. Dia tersenyum tipis dan terlihat berkarisma. Disisi kiri terdapat foto gadis cantik dengan rambut bergelombang. Gadis itu memegang setangkai bunga dan dikepalanya terdapat mahkota bunga yang membuatnya terlihat seperti peri. Wajah gadis itu familiar.

"Laki-laki ini anakku" Lee Sora berbisik, "Dia tentara yang gugur dalam serangan waktu itu," Suaranya terdengar bergetar tapi dia tetap melanjutnyannya, "Dan gadis ini adalah cucuku. Dia disiksa oleh Utara hingga tewas dan aku melihatnya disiksa... dan tewas. Aku tak bisa melakukan apapun... aku tak berdaya..."

Wanita tua itu mulai menangis. Aku langsung merangkulnya dan mengelus bahu wanita tak berdaya ini. Setelah cukup lama dia menangis, Lee Sora mendongak, menatapku dalam dan tersenyum. "Dia penggemarmu, nak. Dia bahkan pergi ke beberapa acaramu,"

Tiba-tiba aku teringat. Kalau dia memang datang ke acara kami untuk mendapatkan tanda tanganku dialbumnya dan album sahabatnya. Peristiwa itu berputar kembali diotakku...

Saat itu udara benar-benar panas. Aku sudah menghambiskan setidaknya tiga gelas bubble tea dingin dan poniku sudah menempel pada dahiku yang berkeringat. Aku menatap deretan orang-orang yang mengantri demi mendapat tanda tanganku. Oh yeah... lihatlah kepopuleranku. Ini benar-benar madu! Tapi sumpah, kapan selesainya? Antrian ini bukannya berkurang, justru bertambah panjang. Senyum tulusku perlahan-lahan berubah masam. Tapi tetap kupaksakan diriku tersenyum, aku harus profesional. Tidak ada yang akan mendengarku merengek. Kami semua kepanasan disini. Memberku, para staff dan penggemarku. Jadi kembali kupaksakan diriku untuk tersenyum dan menyapa penggemarku.

Lalu gadis itu datang, membawa dua album yang sama. Dia terlihat malu-malu, jadi aku menyapanya, "Hallo, siapa namamu?"

Dia tersenyum malu sambil meletakkan kedua albumnya dimeja, "Lee Hyonhe,"

"Kau memiliki dua album yang sama? Kau benar-benar sesuatu Hyonhe-ah," Aku tersenyum dan menulis kalimat 'untuk Hyonhe' dialbumnya lalu menandatanganinya dengan cepat.

Saat aku ingin melakukan hal yang sama pada album satunya, dia mencegahku.

"Sehun-ssi, yang satu itu untuk temanku. Namanya Jeon Jinha,"

"Heee... buang jauh-jauh formalitasmu itu. Panggil aku Oppa, oke?" Aku nyengir lebar lalu menulis kalimat 'untuk Jeon Jinha' dan menandatanganinya lalu menyodorkan kedua album tersebut pada Hyonhe.

"Kenapa temanmu tidak datang?"

Hyonhe terlihat sedih, "Dia sakit,"

"Oh, itu buruk sekali. Apakah parah?"

Hyonhe terlihat nyaris menangis, "Dia depresi berat Oppa. Dia bahkan nyaris membunuh dirinya,"

"Apa yang terjadi?" Aku tak bisa menahan diriku untuk tidak bertanya.

Hyonhe terlihat ragu, "Dia- dia mabuk dan kau tahu 'kan.. kejadian yang seperti itu dan dia berakhir hamil,"

Aku tertegun dan merasa kasihan. Jadi aku kembali membuka album milik Jinha dan menulis kalimat, 'Semangat! Aku tahu kau pasti bisa melaluinya Jinha-ah~' dan menambahkan gambar hati.

Hyonhe tersenyum senang melihat apa yang aku lakukan dan aku merasa senang karena telah membuat Hyonje terlihat begitu bersyukur.

"Oppa aku tahu terkadang kau muak menjadi idola. Tapi kuharap kau terus menjadi idola, oke? Jinha.. dia bilang mendengar lagu-lagu kalian membuatnya merasa kuat," Lalu Hyonje berjalan, menjauh dan aku masih menatap punggungnya hingga dia menghilang.

Benarkah lagu-lagu kami memberikan efek seperti itu?

Aku berkedip dan mendapatkan kesadaranku kembali. Aku menatap langit biru lewat jendela ruang rawat Lee Sora. Membuat daftar lagu-lagu kami dalam pikiranku dan menyanyikanya dalam hati bait per bait.

Kujatuhkan kembali tatapanku kedalam bola mata bening milik Lee Sora,lalu bertanya"Bagaimana kabar Jeon Jinha?"

Senyum Sora merekah begitu aku menanyakan tentang Jinha.

"Apakah Hyonje yang memberitahumu tentang Jinha?"

Aku mengangguk. Sora tertawa pelan, "Kau mengingatnya! Tak kusangka kau mengingat cucuku, nak."

Aku tersenyum malu, merasa mendapat pujian dari kalimat wanita tua ini.

"Jinha berhasil melaluinya, nak. Dia kini tinggal di Gwangju, memulai kehidupan baru disana dengan anak laki-lakinya,"

Mendengar itu, entah kenapa aku merasa bahagia dan senyum dengan begitu saja merekah diwajahku, "Benarkah? Siapa nama anaknya?"

Sora kembali tertawa, "Oh, kau pasti akan terkejut," Sora terdiam sebentar, memandangiku dengan jenaka, lalu berbisik pelan, "Namanya Jeon Sejong,"

Jeon Sejong―tunggu, jangan bilang singkatan namaku dengan Jongin.

"Nama itu tidak mungkin..." Aku terdiam begitu melihat Sora mengulum senyumnya, "Benar-benar sulit dipercaya," Celetukku dan Sora kembali tertawa. Aku pun ikut tertawa sambil menggenggam tangannya erat, merasakan kembali kehadiran ibuku.

Malamnya aku tidur dengan tenang dan aku menambah jadwal mengunjungi Sora pada daftar jadwalku yang sibuk.

Orang terakhir yang kutemui adalah Song Minsu. Dia ditempatkan di ruang rehabilitasi khusus, yang artinya dia butuh perhatian lebih karena dia spesial. Saat pertama kali aku menemuinya, dia mengingatkanku akan Jeni dan Jeno, begitu pasif. Tapi seorang suster menjelaskan padaku bahwa pendengaran Minsu tidak begitu baik dan entah apa yang Utara lakukan hingga membuat daya pendengarannya makin kacau. Karena itu alat bantu dengarnya tak bisa dipakai, dia butuh yang baru. Saat itu sudah malam dan aku tak punya rencana lain setelah mengunjungi Minsu, jadi aku memutuskan untuk tidur. Mimpi buruk lagi-lagi datang. Karena Minsu, pikiranku kembali terpancing pada memori saat anak kecil tuna rungu itu tertembak dan kondisiku yang amat tak berdaya. Aku merasa benar-benar bersalah dan rasa itu perlahan-lahan membunuhku.

Keesokan harinya, aku membawa Jongin menemui Minsu. Jongin sudah berusaha keras. Tapi Minsu tak merespon. Jika kulihat-lihat, umurnya tak jauh beda dengan Jeni dan Jeno, mungkin sedikit lebih muda. Aku mengerti kenapa mereka tak mau membuka mulut. Mereka pasti merasa terancam. Padaku dan Jongin atau mungkin pada siapa pun. Aku tak mau memaksa jadi saat Minsu mulai mengeluarkan setumpuk kertas dan mulai menggambar, aku dan Jongin juga ikut menggambar bersamanya. Berusaha mendekatkan diri padanya dengan cara apa pun. Setelah beberapa kali melakukan hal yang sama disetiap kunjungan kami, pada suatu hari akhirnya Minsu meletakkan setumpuk kertas diatas paha Jongin. Lalu dia berlari, melompat ke atas ranjang dan bersembunyi didalam selimut.

Tubuh Jongin langsung bergetar saat melihat gambar Minsu. Saat aku melihatnya, tubuhku juga bergetar, aku mengalami tremor ringan tapi tetap kupaksakan untuk terus melihat. Digambar pertama milik Minsu, terdapat seorang anak laki-laki yang duduk ditengah ruangan, didepannya terdapat meja besar dan didepannya lagi terdapat kursi besar, seorang pria duduk dikursi besar itu, dengan tongkat berkepala ular. Gambar kedua adalah gambar pria itu, sang introgrator dengan bekas luka diwajahnya yang terlihat bringas dan jangan lupa tongkat ular kekuasannya. Minsu menggambarnya dengan sangat baik hingga membuatku takut. Nafasku dan Jongin memburu setiap melihat lembaran-lembaran gambar milik Minsu. Pada gambar ketiga, anak itu yang kuyakini adalah Minsu, dipukuli oleh pria itu. Lalu gambar keempat, Minsu yang terjebak dalam kegelapan dan merasakan teror. Gambar kelima, Minsu yang ketakutan dan seketika aku seperti tersedot oleh ruang waktu. Pandanganku tiba-tiba menggelap dan tubuhku kaku. Lalu suara-suara berdatangan.

Suara hantaman benda keras yang dibanting...

"Beritahu kami yang kau tahu!"

Semakin keras..

"Kami tahu kau mengetahuinya!"

Semakin dekat...

"Kau hanya seonggok manusia bodoh!"

Hentikan..

"Tak berdaya!"

Kumohon..

"Lemah!"

Aku tak tahu lagi apa yang terjadi.

5.

Setelah kejadian itu aku dan Jongin mogok makan. Aku tak tahu kenapa tapi aku selalu muntah setiap kali aku makan jadi aku memutuskan untuk berhenti makan hingga suatu hari aku pingsan karena kekurangan nutrisi. Aku terpaksa di infus dan tidak diizinkan untuk keluar, mereka bilang aku butuh istirahat tapi hal itu justru membuatku gila. Jadi aku kembali memakan jatah makananku, meskipun aku muntah tapi setidaknya mereka berpikir aku menghabiskan makananku.

Setelah aku cukup sehat untuk menjalani jadwalku, aku kembali menyibukan diriku. Kali ini, aku mencoba untuk tidak terlalu ingin tahu tentang hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya denganku. Tapi aku selalu menemukan diriku yang berjalan kearah ruang rawat Sora, mencari rasa nyaman dari wanita itu.

Terkadang aku berpapasan dengan Hong Jonghyun tapi kami sama-sama tidak peduli. Aku sama sekali tidak bertemu Jeni dan Jeno, juga Minsu. Tapi hal tak terduga terjadi. Saat aku melewati koridor untuk mengunjungi Yifan, aku mendengar suara teriakan dan tangisan. Tubuhku langsung merinding tapi entah kenapa aku berlari kearah suara itu dan menemukan Minsu meringkuk dipojok koridor. Dia meremas rambutnya dan terus merintih, menendang-nendang udara dan ditangannya terdapat pisau cukur. Aku terdiam, tak tahu apa yang harus kurasakan tapi saat melihat Minsu akan menggorok pergelangan lehernya aku langsung melompat, mencengkram tangannya, berusaha semampuku untuk mencegahnya. Minsu langsung panik begitu melihatku, dia berusaha mendorongku, menendangku bahkan menggigitku.

"Hentikan!"

"Kau tidak boleh mati!"

"Bukan seperti ini akhirnya Song Minsu!"

"Kau harus menemukan harapan... kau harus... harapan..."

Realitas menamparku dan seketika aku merasa tak berdaya.

Minsu tak bisa mendengar...

Yang dapat kulakukan hanya menggeleng. Minsu justru berteriak kencang sambil meronta dan aku terus menggeleng sambil menunjuk-nunjuk dadaku lalu menunjuk langit.

Kami terus bergulat hingga Minsu menyerah dan terbaring lemas dalam pelukanku. Dia masih terisak dan sorot matanya menatapku tajam. Tapi aku masih berusaha untuk membuatnya mengerti.

Jadi ku angkat tanganku, meletakkannya di depan leherku lalu membuat gerakkan seakan-akan aku sedang menggorok leherku. Setelah itu kugelengkan kepalaku dan diam sebentar. Kemudian kusentuh dada Minsu berkali-kali dan kembali menunjuk-nunjuk langit. Aku baru sadar kalau aku menangis saat melihat bayangan wajahku dalam mata hitam Minsu. Tak lama kemudian Minsu menangis kencang dan aku pun menangis bersamanya.

TBC

Hai gengs*lambai-lambai*

Udah berapa lama ya kalian saya gantungin? Dua bulan, mungkin? Hehehe.. maafin saya T_T

Tadinya gak mau di TBC in dulu tapi pengen buru-buru update, pas update sayang tiba-tiba nyeletuk, "Akhirnya bisa update," Terus saya mikir, mungkin kalian bakal ngomong, "Akhirnya update!"

Well, kalau kalian mau tau perkembangan saya soal update meng update bisa buka buka blog saya, link nya bisa diliat di bio. Saya kalau galau atau ada problem dalam hal menulis biasnya curhat disitu. Kalau kalian gemes saya gak update-update langsung PM aja, biasanya abis di PM saya langsung ketar-ketir gitu wkwk

Oh iyak saya mau promosi IG! Hehe... monggo di cek ; ohyoshie. Itu akun untuk saya gambar-gambar tapi sebelumnya maaf saya tidak akan memfollow akun yang bukan akun gambar juga tapi saya nerima request fanart chibi kok, jadi monggo request aja kalo saya rasa saya mampu dan lagi mood pasti saya gambarin kok

Saya juga udah berusaha untuk gak terlalu banyak ngopi kok/mendadak curhat/ jadi kalo lagi jalan biasanya saya suka ngomong, "Ngopi yuk," Sekarang beralih ke susu, jadi ngomongnya, "Nyusu yuk," abis itu merinding sendiri. Jadi ada yang punya rekomendasi minuman yang bikin seger, plong dan gak mengandung kafein?

Makasih yang masih sabar nungguin ff iniT_T