.

.

.

FALL FOR DANCE

Story : Bbusan

Main Cast : Kim Jongin and Wu Yifan

Rate : T

.

.

.

.

CHAPTER 5

"Jadi… aku bukan adik kandungmu, hyung?" lirih seseorang penuh makna yang beberapa saat lalu tak sengaja mendengar percakapan mereka dari balik pintu ruang inap.

Orang itu Kim Jongin.

Beberapa detik kemudian dia membeku setelah mendengar perkataan Yifan yang membuat syaraf-syaraf tubuhnya hilang seketika. Jantungnya berhenti berdetak, paru-parunya tidak bisa memompa udara sedikitpun. Otot di wajahnya tidak bisa menampilkan ekspresi apapun. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Ia merasakan pandangannya mengabur, Jongin menggenggam erat ujung jaketnya.

.

.

Ruangan kerja di salah satu rumah mewah dan besar di kawasan Gangnam-gu bernomor 102 itu berisi akan ketegangan yang menyelimuti. Ruangan berukuran 6 mx 8 m itu terisi dari beberapa rak buku menjulang hingga ke atas, meja kerja besar seolah menunjukkan kekuasaan bagi siapapun yang menduduki kursi kerja dibaliknya, juga satu set meja dan sofa yang terletak di bawah lampu gantung Kristal susun tiga dengan dua lampu besar di empat sudut yang berhadapan. Foto keluarga besar yang tergantung apik di salah satu sisi ruang, berjejer dengan beberapa lukisan kuno.

Nyonya Kim yang duduk bersebelahan dengan Tuan Kim itu mengeratkan pegangannya pada lengan suaminya yang sedang menatap lekat Jongin, anak kedua mereka. Baru satu hari lalu, mereka tiba di Seoul dari perjalanan bisnisnya di beberapa Negara. Namun, sepertinya keberuntungan tak memihak pada mereka pagi ini. Pagi setelah Jonmyeon memberitahu jika Yifan di rawat di rumah sakit dan anak pertama keluarga Kim itu segera menjenguk adik iparnya.

Saat ini, setengah jam yang lalu, anak kedua mereka mendatangi kediamannya yang besar, tengah hari, setelah jam makan siang usai.

"Berarti, kalian bukan orang tua kandungku? Tidak ada hubungan darah antara kalian dan aku?"

Tuan Kim menatap wajah Jongin tanpa berkata apa-apa. Sedangkan Nyonya Kim terus berada di samping suaminya, mengeratkan pegangannya ketika mendengar kata yang sensitif memasuki pendengarannya.

Wanita paruh baya itu menatap wajah Jongin dengan sendu. Ia tak bisa memeluk Jongin saat orang yang berstatus menjadi anaknya itu menegaskan jika ia baik-baik saja dan tak membutuhkan sentuhan hangat yang menengkan.

"Orang tuaku bukan mati karena sakit waktu aku masih kecil, kan?" tanya Jongin menahan getaran suaranya.

Ayahnya tak menjawab. Jongin memberi sedikit waktu untuk orang tua yang berada di hadapannya itu berpikir sejenak.

"Ibumu meninggalkanmu. Sedangkan ayahmu meninggal karena stroke," Tuan Kim menarik nafas dalam-dalam,

"Dulu, saat Jonmyeon berusia 4 tahun dan kau berusia dua tahun, ibumu bekerja sebagai pengasuh Jonmyeon. Ia membawa kabur beberapa barang berharga tanpa meninggalkan surat apapun. Ia hanya meninggalkanmu berdua dengan Jonmyeon," ujar Tuan Kim dengan nada yang halus, "Saat itu, kami sedang pergi mengurus perusahaan di Peru," lanjutnya.

"Jadi aku anak pencuri?" Jongin menegadah, ia tersenyum pahit.

Tetap mengatupkan mulut, Tuan Kim melepaskan genggaman tangan istrinya dan duduk di samping Jongin. Kedua tangan ayahnya diletakkan di atas punggung tangannya, meremasnya pelan, memberikan kekuatan lewat sentuhan itu. Nyonya Kim juga melakukannya, ia memeluk pundak Jongin dengan erat.

"Maafkan kami. Tapi beberapa bulan setelah ibumu meninggalkan rumah ini, polisi menemukan dia meninggal karena dibunuh oleh suami barunya di Gangwon-do."

Jongin menguatkan dirinya sendiri. Ia terdiam beberapa saat, kemudian menghembuskan satu nafas beratnya.

"Aboji," sapa Jongin. "Kalian memang bukan ayah atau ibuku, tapi ijinkan aku tetap memanggilmu 'ayah' juga 'ibu', aku tak tau cara lain untuk berterimakasih. Terus terang, aku masih sangat kecewa pada kalian karena tak memberitahu ku secara langsung, hingga aku mengetahui dari orang lain. Walau tak ada hubungan darah diantara kita, tidak ada alasan mengapa aku harus membenci kalian."

Jongin beranjak dari duduknya, kemudian ia berlutut di hadapan Tuan dan Nyonya Kim. Setelah itu, ia bersujud pada mereka, tepat satu garis di hadapan kaki kedua orang tuanya. Sontak, perbuatan Jongin membuat kedua orang itu tersentak kaget.

"Aku meminta maaf atas semua kesalahan keluarga kandungku pada keluarga ini. Aku juga meminta maaf atas diriku yang membawa masalah pada keluarga kalian selama puluhan tahun belakangan."

Jongin bangkit dan bersimpuh di kaki Nyonya Kim, "Aku sungguh berterima kasih pada kalian, karena sudah merawat anak seorang pencuri sepertiku."

Tuan Kim terkurung kebisuan.

Dari air mukanya, tidak dapat diterka sejauh mana dia memahami perkataan Jongin. Angin akhir dari musim panas masuk dari jendela besar yang terbuka, mengibarkan gorden putih yang tersinari oleh sinar matahari yang masuk dari sela-sela gedung pencakar langit tak jauh dengan rumah itu.

Nyonya Kim tak kuasa menahan tetesan air mata dari kedua mata bulatnya, ia terisak di dalam pelukan Jongin. Mereka tak menyangka jika Jongin akan mengetahui kenyataan hidupnya secepat ini.

Senyum Jongin mengembang dari bibir tebalnya. Sebisa mungkin, ia menyembunyikan rasa sakitnya yang sedang menjalar di tubuhnya. Mata Jongin berbinar, ia sejenak menoleh pada Tuan Kim dan Nyonya Kim secara bergantian. "Orang seperti apa ibuku?"

Mendadak Tuan dan Nyonya Kim membisu, diam beberapa saat. Mereka tak menjawab pertanyaan itu.

Jongin mengganti topik, "Aku sudah capek hidup dalam kebohongan yang baru saja ku ketahui. Apakah kalian bisa mengabulkan permintaan terakhirku sebagai anak kalian?"

"Permintaan semacam apa? Kau tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakan, bukan?"

Lelaki berkulit tan itu menggeleng, ia berpikir sejenak tentang sesuatu. "Aku tidak akan melakukan seperti apa yang aboji pikirkan. Aku ingin pergi dari Seoul dan tinggal disuatu tempat yang jauh, juga…" ia melanjutkan, "Aku ingin bercerai dengan Yifan-hyung."

Kedua bola mata Nyonya Kim membesar, ia menghentikan elusan lembut di bahu Jongin.

"Apakah tidak ada permintaan lain selain itu?"

Senyum Jongin kembali merekah, pandangannya masih kosong. "Tidak. Aku ingin melakukannya," ujarnya.

Ia menatap ayahnya dalam, "Apakah aboji tau jika Yifan tak pernah mencintaiku? Aku tak akan mengikatnya dalam status ini. Aku ingin melihat dia bahagia seperti di luar sana ketika tak terikat padaku. Dan aku ingin…" ia berpikir sejenak,

"... Aku ingin menjemput kebahagiaanku, Aboji."

.

.

Yifan tidak langsung pulang ke apartemennya. Karena ponselnya berdering, ia harus kembali ke kantor. Empat hari lalu setelah keluar dari rumah sakit, ia masih sibuk dengan pekerjaan kantornya. Akibat terlalu sibuk, ia tak sempat makan malam dan menggantinya dengan beberapa mi instan selama beberapa hari ini saat berada di apartemennya. Beruntung itu hanya terjadi di apartemennya karena Victoria atau Chen yang bergantian selalu memberinya menu sarapan dan makan siang yang sehat di kantornya setelah keluar dari rumah sakit.

Ia mendorong kursi beroda kebelakang dan ia menggelengkan kepala. Tanpa Yifan sadari, ia merintih merasakan pungung hingga lehernya teangkat. Dua minggu kedepan sepertinya akan terus sibuk seperti ini.

"Perusahaan ini hari demi hari pasti akan berkembang karena punya pemimpin yang begitu rajin bekerja,"

Begitu masuk tanpa mengetuk, Chen merebahkan dirinya di kursi depan Yifan. Suara itu membuat Yifan mengangkat kepalanya yang mulai pening dan tersenyum kecut,

"Kau belum pulang?"

Mendengar pertanyaan serak dari mulut Yifan, Chen menggeleng kemudian memberikan secangkir teh hangat dimeja.

"Aku akan pulang setelah kau pulang. Bukankah itu tugas assisten? Lagi pula aku masih mengetik beberapa bahan untuk presentasi besok, Direktur,"

Sembari mengangguk kecil, Yifan meraih cangkir teh itu kemudian meminumnya perlahan,

"Seharusnya Direktur tak selarut ini berada di kantor," Chen melanjutkan, "Ayo, aku akan mengantar Direktur pulang,"

Mungkin malam memang telah larut dan Yifan merasakan pegal yang sangat pada beberapa persendiannya, ia mengangguk menjawab ajakan Chen.

.

.

Jongin mengetahui bahwa dirinya tak bernama pada hari dimana ia mengenali udara yang akan menjadi satu alasan kenapa ia bisa hidup. Sampai pada malam itu, ketika ibunya meninggalkan dia bersama dengan Jonmyeon di kamar Jonmyeon, anak majikan ibunya, yang terletak di sebelah kamar utama, ia disebut 'sayang' atau 'nak'.

Jadi, selama dua tahun pertama hidupnya, ia tak tau kalau seharusnya ia mempunyai nama. Beruntung, keluarga Kim tersentuh dengan kehadiran Jongin yang baru beberapa bulan di rumah mereka harus mengalami kenyataan pahit yang seharusnya tak ditanggung bayi umur dua tahun.

Kini, tekadnya untuk bertemu Yifan semakin besar. Ia ingin menyelesaikan semuanya ini secepat mungkin.

.

.

Jongin tenggelam dalam tariannya. Ketika berhenti sejenak, dia melirik jam dinding, ternyata sudah hampir pukul 5 sore. Jongin teringat belum makan apapun seharian ini. Jongin memjamkan mata dan menghadapkan wajahnya kelangit-langit, menghela napas berat yang penuh dengan pikiran dan kemungkinan.

Kemudian, Jongin duduk di depan meja kecil, sekali lagi, ia memutar otak dengan keras, lantas membuka kaleng kopi dari atas meja kecil itu dan meminumnya. Ia hanya meyakinkan atas keputusannya. Beberapa hari ini ia tak bertemu dengan orang-orang disekitarnya, Chanyeol, Sehun dan beberapa kelompok yang memakai studionya. Ia menutup studio itu untuk beberapa saat.

Ia menatap sebuah amplop coklat di atas meja itu kemudian membukanya. Jongin memeriksa ketepatan kata-kata dalam surat itu. Kalimat yang persis sama, memberi kesan yang mendalam. Tangannya perlahan mengembalikan surat itu di tempat semula; memasukkan ke dalam amplop dan menutupnya rapat. Masih tetap duduk, Jongin menegakkan punggung, menengadah ke langit-langit, lalu menghembuskan nafas panjang.

Tiba-tiba Jongin membayangkan masa-masa ia bersama Yifan dalam setahun ini. Memikirkan perasaan orang lain memang sering ia lakukan, namun berbeda ketika dengan Yifan. Sikap egoisnya selama ini untuk mempertahankan Yifan seolah memperolok Jongin saat ini. Tindakan dan pemikiran bodohnya.

Yifan akan bahagia jika terlepas darinya. Jongin akan meninggalkan Seoul dan pergi dari kota dimana ia dibesarkan selama ini.

Jongin tidak akan mencari dimana asal usul keluarga aslinya. Baginya, mereka tidak membutuhkan Jongin. Ya, Jongin memang harus menerima kenyataan pahit beberapa kali akhir-akhir ini. Kenyataan yang harus ia jalani.

Bunyi dari ponselnya menyadarkan Jongin. Sebuah pesan masuk di emailnya, kemudian membukanya. Sebuah pesan dari bank accountnya jika baru saja, sebuah transaksi dengan subject pelunasan motornya. Jongin tersenyum lega.

Beberapa hari ini, ia memasang iklan motor MV Agusta F4CC di iklan berbaris pada koran dan kini, motor kesayangannya itu sudah berpindah kepemilikan. Sebenarnya, ia tak ingin melepas motor itu, namun ia sudah memikirkan matang-matang jika uang hasil penjualan motor itu akan ia gunakan untuk membeli tempat tinggal untuk satu orang di Busan.

Rencananya, ia akan tinggal di Busan setelah menyelesaikan semua masalahnya di Seoul. Sendiri.

.

.

Pada pukul 07.30 malam, Sehun dan Chanyeol datang ke studio menemui Jongin. Sebelumnya, Jongin beberapa waktu lalu sudah membuat janji untuk membicarakan sesuatu. Jongin duduk di hadapan Chanyeol dan Sehun.

"Bagaimana kabarmu? Apakah kau sudah merasa baik?" Chanyeol bertanya pada Jongin. Sebelumnya, Jongin menceritakan beberapa garis besar masalahnya pada kedua temannya ini.

"Baik. Aku merasa lebih baik," balas Jongin dengan senyum yang mengembang namun matanya berair.

Apa yang sebaiknya diucapkan setelah itu, Chanyeol dan Sehun tidak tahu. Sambil memainkan kaleng soda di hadapannya, Sehun memulai pembicaraan kembali,

"Kau orang yang hebat, Jongin," Sehun berkata sembari beranjak ke sebelah Jongin kemudian menepuk punggung temannya itu dengan pelan. Chanyeol juga menggeser pantatnya, mendekati Jongin dan Sehun.

"Benar," jawab Chanyeol. "Kau benar-benar hebat. Tidak sepertiku yang lari dari masalah,"

Mereka tertawa penuh arti dan kosong dalam keheningan yang mereka ciptakan sendiri.

"Aku akan ke Busan," ujar Jongin tiba-tiba.

"Berapa lama kau akan disana?" tanya Chanyeol antusias. Ekspresinya yang biasanya ceria, kini terlihat sedikit sendu.

"Entahlah," Jongin menarik napasnya panjang, "Aku akan mengawali hidup disana," lanjutnya, membuat kedua temannya terlonjak kaget.

Sehun memincingkan mata, tampak tidak senang, "Lalu bagaimana degan Yifan? Keluarga Kim? Dan studio ini? Bukankah ini yang sudah kau impikan selama ini?"

"Dengan keadaanku yang seperti ini?" suara Jongin mulai melirih, ia menundukkan kepalanya.

"Kau bukan orang cacat yang menyerah akan dunia, Jongin. Ayolah. Jangan seperti ini terus," ucap Sehun menggebu. Chanyeol terdiam. Ia tidak punya kata-kata untuk saat ini.

"Aku akan bercerai dengan Yifan dan meninggalkan keluarga Kim," Jongin berkata sembari mengangkat wajahnya yang memerah, "Studio ini…"

"Aku harap kalian bisa menjaganya. Aku sudah menghubungi notaris untuk membalikkan namamu, Sehun. Kau hanya perlu menandatanganinya,"

"Tidak. Aku tidak mau!" Sehun beranjak, ia berdiri di hadapan Jongin. Jongin mendongak, memandang wajah Sehun yang memerah dan emosinya hendak meluap.

Chanyeol yang duduk di samping Jongin, ia berdiri kemudian mengelus pundak Sehun, meredamkan amarah temannya. Jongin kembali tertunduk, bahunya bergetar,

"Aku mohon Sehun," ujarnya dengan suara gemetar, "Tolong permudah untukku menjemput kebahagiaanku."

Sehun menghempaskan tangan Chanyeol yang tengah mengelus punggungnya. Lelaki itu menatap tajam tubuh Jongin yang berada di bawahnya kemudian ia membungkuk, meraih kerah Jongin. Tubuh Jongin ikut terangkat.

"Kebahagiaan macam apa? Kau akan tinggal sendiri, tanpa keluarga, Yifan dan kami. Apa yang akan kau lakukan? Hah?" Sehun berujar penuh penekanan, "Dan… Bukankah kau pernah berkata padaku jika menari adalah kebahagiaanmu?"

Tubuh Jongin masih bergetar keras, ia menangis dalam diam. Chanyeol berkali-kali berujar pada Sehun untuk melepaskan Jongin, ia menggenggam lengan Sehun dan menggoyangkannya, berusaha untuk melepaskan cengkeraman kuat tangan Sehun pada kerah kemeja Jongin yang kancingnya akan lepas satu.

Tiga baris kerut di dahi Sehun bertambah dalam,

"Apa kau menyesal mengetahui semua ini?"

Jongin menggeleng, ia mengangkat wajahnya yang memerah dan matanya yang berair. Air mata berada di pelupuk matanya, "Sehun-ah…" ujarnya sangat lirih.

Sehun melepaskan cengkeramannya, membuat tubuh Jongin terjatuh di atas lantai kayu itu dengan lemas. Chanyeol segera memegangi kedua bahu Jongin.

"Lakukanlah sesukamu, Kim Jongin," kata Sehun.

.

.

Akhir pekan dengan angin dan udara menandakan penghujung musim panas dan waktu terus belalu. Suasana Sungai Han malam ini cukup ramai. Orang berbeda usia menghabiskan waktunya di Sungai ini untuk menikmati akhir pekannya, atau wisatawan yang penasaran akan salah satu tempat favorit di Seoul ini.

Beberapa tenda-tenda berwarna putih berkerucut berjejer rapih di ujung jalan pembatas antara jalan panjang dan juga halaman berbatako sungai Han menjajakan makanan dan minuman khas musim panas. Beberapa meter di depannya, tampak anak muda memainkan skateboard juga sepeda fixie untuk freestyle. Mereka berkelompok, tak jarang mengundang rasa penasaran siapapun yang melewati kumpulan itu.

Di bawah tangga berjajar yang membatasi taman dengan pinggiran sunggai, banyak orang duduk pada tangga-tangga itu untuk menonton pertunjukan air yang memunculkan beberapa warna diikuti dengan musik pop yang mengalun memenuhi pinggiran sungai Han.

"Kenapa kau tak bicara apapun? Aka karena aku mengajakmu ketempat ramai seperti ini?"

"Tidak, Chanyeol."

"Kenapa?"

Jongin menaruh tas punggungnya di kursi sampingnya, lalu ia mendengar jawabannya. Jongin mengangkat kepalanya dan juga bahunya seolah tak terjadi apa-apa. Chanyeol hanya memandangi Jongin tanpa bicara sepatah katapun.

"Kau tiba-tiba seperti ini," ujar Chanyeol, "Aku bahkan belum bisa menerima kenyataan yang kau hadapi akhir-akhir ini. Sungguh di luar dugaan,"

Mendengar perkataan Chanyeol, hati Jongin menciut.

"Bagaimanapun, perasaanku sudah lumayan nyaman karena beberapa masalah sudah ku selesaikan dan juga akan selesai, Chanyeol,"

"Aku berharap kau akan menemuiku atau Sehun jika kau mengalami masalah dalam penyelesaian masalahmu itu, Jongin. Tapi, kenyataannya kau bahkan mengurung dirimu di studio. Tak bertemu dengan kami berhari-hari," Chanyeol menarik napasnya, "Kami hanya khawatir kau akan melakukan hal yang bodoh."

Jongin terkikik geli, kemudian memandang Chanyeol, "Aku tak mungkin melakukan hal bodoh itu," ujarnya, "Maksudmu, bunuh diri kan?"

Chanyeol mengangguk cepat wajahnya menampakkan ringisan lebar. Jongin kembali tertawa,

"Aku takut kalau kau benar melakukannya. Bukankah orang depresi memang melakukan hal-hal di luar nalar?"

Chanyeol merapikan rambut kemudian memasukkannya dalam snapback hitamnya. Lalu, ia mengambil sesuatu dari dalam tas punggungnya dan mengeluarkannya,

"Itu apa?"

"Ini bento, aku menemukannya di depan kamarku,"

"Lalu?"

"Untukmu. Ayo kita makan ini bersama,"

Jongin mengangguk. Sedangkan Chanyeol mulai membuka bungkusan kain itu kemudian membuka tempat makan dan terkejut ada banyak jenis makanan di dalam kotak tersebut. Dengan mata tak teralihkan, Chanyeol memberikan sepasang sumpit pada Jongin dan dirinya sendiri. Ia menaruh kotak bento itu di antara dirinya dan Jongin.

"Wah! Ini enak sekali," ujar Chanyeol setelah memasukkan sebuah sushi ke dalam mulutnya. Jongin mengangguk dan mulai memakan dumpling.

Perasaan Jongin jadi mulai tak menentu mendengar perkataan yang dilemparkan Chanyeol dengan nada bercanda.

"Kalau kau akan melakukan sesuatu, pikirkanlah dengan pikiran yang sadar. Itu karena kita perlu menghargai sesuatu."

"Menghargai sesuatu?"

"Ne,"

"Bagaimana jika bento ini dari Baekhyun?"

Jongin tau semuanya. Chanyeol sering bertemu dengan Jongin untuk menceritakan apa yang sedang ia rasakan atau baru saja dialaminya. Tak terkecuali masalah Baekhyun.

Chanyeol berhenti mengunyah. Ia memandangi wajah Jongin yang sedikit tertutup beanie yang kebesaran.

"Jongin. Jangan membahasnya untuk saat ini,"

Chanyeol berhenti bicara, ia meletakkan sumpitnya dalam box itu kemudian memandang hamparan sungai yang menyala menampakkan warna yang berbeda disetiap beberapa detik, "Aku sebenarnya tidak tertarik dengan hubungan sesama jenis," ujarnya tanpa berpikir, ia menoleh ke arah Jongin yang matanya membulat, "Aku tidak menyinggungmu,"

Jongin mengangguk kemudian kembali mengambil onigiri salmon kemudian memakannya perlahan.

"Aku menghargai keputusan jika orang itu memang mempunyai takdir seperti itu, kenapa aku harus mempermasalahkannya. Lagi pula, aku tidak anti dengan penyuka sesama jenis."

"Sebelumnya, aku tidak pernah menyukai seseorang," kini Jongin angkat bicara, "Aku bahkan tak tertarik dengan siapapun. Tapi, Yifan-hyung berbeda. Entah kenapa, perasaan ini muncul beberapa saat setelah aku bertemu dengan hyung. Aku rasa, aku tak mungkin mencintai seseorang setelah Yifan," lanjutnya.

"Berusaha menyangkal, namun aku termakan oleh ucapanku jika aku tak mungkin menyukai Yifan-hyung. Terlebih gender dia, sama denganku,"

Chanyeol terperanggah mendengar penuturan Jongin.

"Tapi kenapa kau masih keukeuh untuk bercerai?"

"Jika aku tak bercerai dengan Yifan-hyung. Aku mungkin akan jadi orang yang paling egois. Yifan mencintai Jonmyeon-hyung, bukan aku. Dan bodohnya saat itu, aku menerima saja ketika aku akan dinikahkan oleh Yifan-hyung,"

Chanyeol berujar, "Sesuatu pasti ada batasnya Jongin. Mungkin ini adalah batasmu,"

Anggukan Jongin membuat hati Chanyeol perih melihat temannya dalam keadaan seperti ini.

"Jadi, jangan terlalu dipaksakan," kata Chanyeol sembari menepuk pelan bahu kiri Jongin dua kali sebelum ia melanjutkan melahap bento yang menggugah selera makannya itu.

Semua terjadi sangat singkat. Jongin berpikir apa yang dibicarakannya ini adalah tentang perasaannya saat ini.

.

.

Akhir pekan ini, Yifan memesan meja terbaik menghadap ke sungai Han di salah satu hotel bintang lima yang terletak di Cheongdam-dong. Yifan memesan semua menu favoritnya juga Jonmyeon dan bahkan memberi manager restoran daftar lagu untuk dimainkan sepanjang malam. ia tak perlu mengkhawatirkan ketika ia menelpon restoran tersebut dan memesan meja terbaik, karena mereka akan jelas mengosongkan meja pesanan Yifan setelah direktur pemilik hotel bintang lima tersebut menutup sambungan teleponnya.

Ia melihat ekspresi Jonmyeon sesaat setelah tiba dihadapannya. Jonmyeon duduk dalam keheningan ketika memperhatikan raut Yifan yang tegas.

"Ada apa tiba-tiba kau menelponku dan munyuruhku kesini dalam waktu 15 menit?"

"Aku hanya ingin melihatmu malam ini."

"Ya! Kau menelponku hanya untuk alasan konyol itu?" Jonmyeon menahan intuisinya untuk tak memukul Yifan saat ini. Di hadapan tamu restoran yang sebagian berisi pengusaha atau pejabat yang tak jarang ia lihat di pertemuan antar perusahaan atau di televisi program bisnis.

Meskipun Yifan telah menandaskan sebotol anggur, ia memesan sampanye sesaat setelah tenggorokannya mulai kering. Pelayan minuman menuangkan dua gelas sampanye untuknya dan Jonmyeon. Yifan mengajak Jonmyeon bersulang.

Tanpa mempedulikan tamu-tamu malam itu, ia berlutut satu kaki dan meraih tangan Jonmyeon. Yifan sudah bertekad, ia harus melanjutkan. Ia menatap lekat mata Jonmyeon yang membulat dengan sempurna.

"Apa yang kau lakukan? Huh?" Jonmyeon berujar dengan nada meningi.

"Aku mencintaimu. Aku ingin bersamamu selamanya. Maukah kau memberiku kesempatan dengan menjadi suamiku?" Yifan berkata dengan serius dan membuka tutup kotak perhiasan beludu kecil yang berwarna hitam iku.

Momen itu sempurna. Tak terlupakan. Dan akan mengubah malam yang dingin pada awal musim gugur ini menjadi saat paling membahagiakan dalam hidupnya.

Namun ada satu masalah. Jonmyeon tak mengikuti naskah impian Yifan tersebut. Tak ada balasan dari pernyataan cinta Yifan. Hanya raut kekesalan terpatri diwajahnya.

"Apa kau sadar apa yang sedang kau lakukan sekarang, Yifan?" kata Jonmyeon kemudian menarik tangannya dari genggaman Yifan.

"Aku sadar. Bahkan telah merencanakan ini bertahun-tahun."

"Kau tau? Ini salah. Kau adalah suami dari adikku. Tak seharusnya kau melakukan ini."

"Aku tau ini salah. Aku memang Wu Yifan, suami dari Wu Jongin. Aku akan segera menceraikan dia jika kau mau menerimaku." Ujarnya lugas, "Ini pilihanku, setelah Jongin memberiku kesempatan. Dan aku menyadari jika aku benar-benar tak bisa hidup tanpamu." Rahang Jonmyeon mengeras mendengar ucapan Yifan yang terdengar seenaknya. Ia segera menarik kerah kemeja baby blue yang Yifan kenakan kemudian melayangkan satu pukulan telak pada pipi kiri laki-laki scorpio itu.

BUGH!

Ini isyarat bagi Yifan untuk mengucapkan bahwa ia sedang bercanda dan mengerjai Jonmyeon dengan perbuatannya. Beberapa tamu turut prihatin dengan Yifan karena mengalami sedikit kekerasan, namun merekatak berniat untuk mencegahnya karena menurut mereka itu adalah urusan pribadi. Beberapa pelayan yang mondar-mandir sedang melakukan pekerjaan mereka itu begidik ngeri karena orang yang paling di hormati di hotel tersebut mengalami sedikit 'penurunan harga diri' oleh laki-laki yang lebih pendek darinya.

Jonmyeon tau, Yifan sedang tidak bermain-main dengan perkataannya. Ia tau, selama 5 tahun belakangan ini Yifan selalu mengutarakan perasaannya melalui perbuatan. Ia jarang menyatakan perasaannya secara lisan pada Jonmyeon, seperti saat ini.

Jonmyeon berdiri dari kursi tersebut dan bergegas meninggalkan Yifan yang masih mematung dengan pipi yang terasa nyeri.

Yifan menyambar botol sampanye kemudian keluar restoran, walau ia tahu, meninggalkan bangunan dengan botol terbuka melanggar hukum. Ia akan mengurus semuanya dibelakangan, karena restoran tersebut ada pada wilayah kekuasaannya sebagai pemilik tanah juga hotel yang mereka tempati.

Ia tak peduli.

Jonmyeon berjalan secepat mungkin menuju ke basement hotel untuk menuju ke parkiran.

"Bisakah kita bicara soal ini?" Tanya Yifan dengan tergesa menyamai langkahnya dengan Jonmyeon. Jonmyeon tak menghentikan langkah. "Kau pikirkan apa yang sudah kau perbuat, Yifan."

"Apalagi yang harus kupikirkan?"

"Aku tak mengerti maksudmu."

"Kau hanya menyetujuinya dan kita bisa hidup bersama. Kau meninggalkan Yixing dan aku meninggalkan Jongin."

"Tarik ucapanmu atau aku benar-benar membencimu."

"Aku tak akan menarik kata-kataku."

Disana, pertengkaran mulut dua laki-laki di pelataran parkir hotel di basement. Yifan menarik tangan kiri Jonmyeon dan mengeratkan genggamannya. Air wajah Jonmyeon tak berubah. Rahangnya masih mengeras.

"Aku benar-benar serius dengan ucapanku." Yifan bersikeras mempertahankan prinsipnya. Karena botol sampanye sudah terbuka sejak di restoran tadi, ia mulai meminumjnya dihadapan Jonmyeon yang menyipitkan mata dan menatap lekat wajah Yifan. Kemudian ia membuka mulut perlahan, "Kau sudah gila, Yifan."

Yifan menarik Jonmyeon dalam ciumannya secara paksa, namun Jonmyeon mendorong tubuh yang lebih besar darinya kemudian memukul telak wajah Yifan di tulang pipi lelaki itu. Pukulan kelima, Jonmyeon melepaskan kerah kemeja Yifan kemudian mendorong tubuh yang ada di bawahnya itu ke lantai basement.

.

.

Jongin turun dari kereta ekspress di stasiun dekat apartement Yifan. Ia melambaikan tangan pada Park Chanyeol yang sejak di Sinchon, mereka mengendarai kereta dengan tujuan searah. Park Chanyeol membuat Jongin kembali menyunggingkan senyum tulusnya malam ini, di sungai Han.

Ketika turun di stasiun, semua orang yang berlalu lalang hendak mencapai tujuan perjalanan mereka membuat stasiun di salah satu pusat kota itu ramai pada jam 10 malam akhir pekan ini. Dia berjalan dari depan stasiun ke apartemennya. Setelah dua hari lalu MV Agusta F4CC miliknya telah terjual dengan harga yang cukup lumayan untuk membiayai hidup selanjutnya yang uangnya sudah ada dalam rekeningnya.

Ia memasuki apartemen yang sedikit berantakan tersebut. Sudah berminggu-minggu lamanya. Ada sebotol sampanye yang tergeletak begitu saja di lantai beberapa centi tempatnya ia berdiri. Melihat ruang tengah dengan bantal kecil yang seharusnya di sofa berserakan ke sekitar ruangan tersebut. Ia sedikit mengernyit.

Tiga hari lalu, ia mendatangi Rumah Sakit dan menampakkan diri di depan Yifan dan Jonmyeon, dan mereka berkata jika Yifan sudah bisa pulang satu hari setelahnya. Tapi, kini ia mendapati apartement yang sudah ditinggali oleh Yifan lagi tercecer beberapa botol sampanye dan soju.

Jongin berdiri di tengah ruangan dan membersihkan ruang tengah itu, namun, setelah ia melakukannya beberapa saat, indera pendengarannya mendengar samar-samar suara yang berasal dari kamarnya dan Yifan.

Dengan perlahan, Jongin membuka pintu kayu itu dan mengintip ke dalam ruangan itu. Yifan sedang duduk di pinggiran tempat tidur dengan memegang botol sampanye yang sudah kosong. Jongin berjalan ke dalam ruangan itu kemudian mengambil botol sampanye dari genggaman Yifan dan meletakkannya di pojok ruangan.

Wajahnya memerah dengan mata terpejam erat, beberapa luka lebam yang masih membiru telihat di beberapa sudut wajah Yifan. Yifan menggelengkan kepalanya beberapa kali, mengumpulkan kesadaran kemudian mencoba berdiri dari tempat tidur. Jongin yang masih berdiri tak jauh dari Yifan hanya terdiam melihat Yifan yang kini telah membuka matanya dengan sempurna sembari sesekali memejamkan erat kemudian membukanya.

"Sejak kapan kau disini? Kenapa kau pulang? Hah?"

Jongin mengernyitkan dahinya, ia tak menjawab pertanyaan Yifan. Dengan sempoyongan dan bau alkohol yang pekat, Yifan berjalan ke arah Jongin kemudian memegangi baju Jongin dan,

BUGH!

Satu kali pukulan mendarat di tulang pipi kiri Jongin. Lelaki yang mendapatkan pukulan itu terdiam, membiarkan lelaki di depannya menguasai dirinya. Yifan kembali menarik sudut baju Jongin, tubuh lelaki itu terangkat. Belum lima detik mereka dalam posisi itu, Yifan kembali melayangkan pukulan pada perut Jongin.

Yifan mengeluarkan bunyi yang kurang jelas daru tenggorokannya. Bisa juga disebut desahan tertahan, "Seandainya kau tak menyetujui pernikahan ini, aku mungkin sudah bersama Jonmyeon saat ini,"

Mata merah Jongin menatap lurus apa yang terlihat didepannya, Yifan sedang mengumpat pada dirinya. Yifan berpikir sebentar. Alis mata kanannya terangkat sedikit,

"Kalau bisa, aku ingin kau pergi, Jongin," suara berat itu membawa bau alkohol dari dalam mulutnya.

.

.

Kesadaran Yifan berawal ketika alarm dalam dirinya seakan berbunyi. Ia mencoba membuka matanya perlahan dan mengangkat kepala, namun kepalanya yang pening dan berat membuatnya kembali merebahkan kepalanya di atas bantal. Terik matahari yang masuk dari balik jendela kaca membuat ia menutup matanya dengan erat. Seolah tak ingin terkena paparan sinar matahari, ia menarik selimutnya hingga menutupi kepalanya.

Bayangan kejadian semalam saat Jonmyeon memukulnya memutar kembali di otaknya. Tangan kanannya meraba pelan wajahnya. Yifan terlonjak dan mengernyit ketika jari-jarinya mengenai luka pada wajahnya. Yifan tetap dengan posisinya itu dan berpikir sejenak, dan sekelebat bayangan Jongin yang jatuh di hadapannya terbayang,

SRET

Tiba-tiba ia menyibak selimutnya dan bangkit dari tempat tidur. Memeriksa keadaan kamarnya, ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru.

Bersih, rapi, tak seperti sebelumnya.

Dengan mengabaikan kepalanya yang masih pening, ia berjalan keluar ruangan itu menuju dapur. Saat melewati meja makannya, beberapa piring lauk dan sayur sudah ada di atas mejanya. Tanpa mengehentikan langkahnya, ia menuju dapur, mengambil gelas dan membuka kulkas. Matanya menelisik ke penjuru dapur ketika ia menuang botol air putih ke gelas. Peralatan makan kotor dan bungkus makanan cepat saji kini tidak ia temukan. Benar-benar bersih. Kemudian ia segera menuju ruang cucinya yang ternyata juga tak ada lagi pakaian kotor. Semua pakaian kotor di jemur di sudut ruang cuci itu.

Ketegangan membuat otot bahunya menjadi kaku. Dari bawah ketiaknya tercium bau yang sama seperti biasanya. Yifan menanggalkan pakaiannya, lalu mandi dengan air hangat untuk menghilangkan bau keringat tak sedap.

Walau kau melakukan ini semua, tak akan mengubah pendirianku, batin Yifan untuk meyakinkan dirinya sendiri sambil mencuci badan di bawah shower. Lagi pula aku hidup di dunia nyata, bukan dongeng. Dunia nyata yang penuk robekan, ketidaksesuaian dan antiklimaks.

.

.

Langit hari itu tampak berawan dan seolah siap menumpahkan air hujan di tengah udara yang lembap seperti ini. Berbeda dengan suasana mendung sebelum hujan turun, bunga lily yang bermekaran tetap menghiasi rumah keluarga Kim dengan ceria. Sementara bunga anggrek ungu ikut menghiasi tembok batu di sekeliling rumah itu.

Setelah menemui Tuan dan Nyonya Kim beberapa saat, Jongin menemui Jonmyeon yang sedang bersantai di halaman belakang rumah.

Jongin membuka matanya lebar-lebar dan wajah datar tampak pada raut wajahnya. Udara musim panas yang akan segera berakhir ini benar-benar lembap, panas, dan membuatnya sesak napas.

"Hyung?" Jongin mengeluarkan suara ketika Jonmyeon sedang membaca koran harian di kursi halaman belakang dari rumah itu.

"Ne, Jongin?" tanpa menghentikan kegiatannya, Jonmyeon menjawab.

"Aku akan meniggalkan Seoul,"

"Berapa hari? Kau mau kemana?" Jonmyeon tertarik dengan pembicaraan itu, ia menutup halaman korannya kemudian melipat koran itu dan meletakkannya di atas meja kecil sebelahnya. Jonmyeon terlonjak ketika mendapati wajah Jongin yang lebam pada beberapa titik, "Ada apa dengan wajahmu?"

Jonmyeon mendekat pada Jongin, dan berdiri di depan Jongin.

"Untuk waktu yang lama," tubuh Jongin masih mengayunkan kakinya kecil pada ayunan yang berada satu meter di depan bangku yang baru saja Jonmyeon tanggalkan.

Jongin tak menjawab pertanyaan terakhir dari Jonmyeon.

"Lalu Yifan? Apa dia ikut denganmu?"

Jongin menggeleng, "Aku akan hidup sendiri,"

"Maksudmu?"

"Aku akan bercerai dengan Yifan-hyung dan pergi dari Seoul," ujarnya penuh penekanan.

Jonmyeon memegangi kedua pundak Jongin kemudian membungkuk. Matanya menelusuk ke dalam mata Jongin, menerka arti dari pandangan putus asa lelaki di depannya.

"Apa kau serius?"

"Aku belum pernah seserius ini, hyung,"

"Tidak bisakah kau memikirkannya lagi?"

Jongin menggeleng tegas, "Tidak. Keinginanku sudah bulat, hyung. Bisakah kali ini kau tidak ikut campur urusanku dan Yifan?"

Jonmyeon melepaskan pundak Jongin dan menegakkan tubuhnya,

"Kau tidak mencintai Yifan lagi?"

"Aku akan terus mencintai Yifan-hyung. Aku hanya tak ingin ia terikat pada orang yang tidak dicintainya, hyung,"

Jonmyeon kembali terlonjak, ia menutup mulutnya yang tiba-tiba terbuka dengan tangan kanannya,

"Bagaimana jika dia tau siapa sebenarnya yang mendonorkan ginjal padanya, Jongin? Aku yakin ini hanya salah paham,"

Jongin tetap menggeleng, ia beranjak dari ayunan dan berdiri beberapa centi di hadapan Jonmyeon. Tangan Jongin terulur untuk memeluk 'hyung'nya.

"Aku mohon, jangan pernah beritahu itu pada Yifan-hyung," ia menenggelamkan kepalanya ke ceruk leher Jonmyeon. Jonmyeon membalas pelukan itu, dan menepuk pelan punggung Jongin,

"Dan terimakasih Jonmyeon-hyung telah menjadi kakak yang baik untukku puluhan tahun ini, aku benar-benar berutang budi padamu, hyung. Walau kau sudah tau aku bukan adik kandungmu, kau memperlakukanku dengan baik, terimakasih, hyung,"

.

.

Pipi Jongin terasa ditusuk-tusuk setelah perjalanan singkat dari halte bus terdekat ke toko roti. Meskipun gigitan udara dingin, ia bersyukur bisa berlindung dalam kehangatan Paris Baguette. Setelah sebelumnya, Jonmyeon mengantarnya hingga halte bus di kawasan itu; itu karena Jongin meminta agar Jonmyeon menurunkan Jongin disana setelah mereka terlibat pembicaraan serius di rumah. Banyak orang yang berada di luar pada jam seperti ini, entah pulang kerja atau setelah kegiatan sekolah. Sembari melepas jaketnya yang terkena sedikit gerimis, ia mengamati sekelompok kecil orang yang mengerumuni wadah-wadah kaca melengkung berisi kue dan makanan lainnya. Dan beberapa pengunjung tengah menikmati pesanan mereka di meja-meja sekelilingnya.

Perempuan itu belum datang, jelas. Jongin mempertimbangkan untuk memesan satu mug besar cokelat panas atau kopi, tetapi masih ada yang mengantre, maka ia duduk membuka ponselnya untuk mengecek email masuk. Meletakkan jaketnya di punggung kursi.

Menit-menit berlalu, dan Jongin menjadi cemas. Ia berusaha agar tidak melirik jam putih di dinding. Setelah melihat antrean sudah kosong, ia beranjak dari kursinya menuju tempat pemesanan kue. Jongin memesan satu mug besar irish coffee, cokelat panas, affogato, dan seporsi Tokyo cheese pada counter. Jongin berjalan menuju mejanya setelah ia membayar pesanannya.

Ledakan tawa terdengar dari meja di dekatnya, setelah beberapa saat ia duduk di mejanya. Dan lengkinan gembira seorang anak terdengar menembus café yang ramai. Aroma manis bertepung yang menguar di ruangan café itu tercium oleh pengunjung café.

Seorang perempuan sembari mengatupkan payungnya dan meletakkan payung transparan itu di kotak tempat payung berada di ujung pintu masuk café. Perempuan itu berulang kali menepuk pelan mantel kainnya yang terkena oleh guyuran hujan. Beberapa kali mengedarkan pandangan, ia menemukan sosok yang dicarinya sedang mengaduk pelan sebuah mug besar di hadapannya. Dengan langkah riang, ia berjalan menuju meja itu.

"Sudah lama Jongin-oppa?" suara perempuan itu tepat mengenai telinga Jongin yang berada di hadapannya. Jongin menghentikan adukan irish coffeenya lalu menengadah, ia tersenyum mendapati perempuan yang ditunggunya telah tiba.

Perempuan bermata besar dibingkai kacamata yang tebal dan kotak itu seolah bersinar. Pipinya yang terangkat dan bibirnya membentuk senyuman lebar membuat Jongin meloloskan senyum tulusnya.

"Belum, duduklah,"

"Tumben oppa ingin bertemu disini," perempuan itu duduk dan merapikan rok seragam sekolahnya, kemudian meletakkan tasnya di kursi yang masih kosong di sebelahnya,

"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Sooyoung,"

Perempuan bernama Sooyoung itu tampak tertarik, setelah memberi isyarat jika cokelat panas itu untuknya, Sooyoung menggeser mug cokelat panasnya kemudian meniupnya perlahan, merasakan aroma yang menguar dari minuman itu.

"Ada apa? Apa Jongin-oppa ada sedikit masalah?" tanya Sooyoung, Jongin menatap Sooyoung dengan penuh tanya, "Melihat wajah oppa seperti itu,"

Mata Jongin mengikuti arah telunjuk Sooyoung yang berada tepat di depan wajahnya,

"Begini," Jongin melanjutkan, "Aku akan meninggalkan Seoul, dan hidup di kota lain, Sooyoung-ah,"

Mata Sooyoung terbelalak, ia sedikit terbatuk karena cokelat panas yang diminumnya.

"Kota lain? Mana?"

"Busan. Aku akan tinggal disana,"

"Tapi… Bagaimana dengan keluarga oppa dan studio?"

Jongin tersenyum kecil, "Aku akan meninggalkan semuanya," Jongin melanjutkan, "Dan, Sehun akan menggantikanku sebagai pemilik studio,"

"Kapan?" Sooyoung berkata putus asa, tubuhnya melemas.

"Dua hari lagi,"

"Kenapa tiba-tiba seperti ini?" Sooyoung menenggelamkan kepalanya di atas meja itu. Membuat Jongin terkikik geli.

Orang-orang yang keluar-masuk toko roti ini hampir tidak henti. Jongin menaungi seorang lelaki yang sudah sangat familiar dimata Jongin mengenakan jas kerjanya dan sedang menepuk pelan bahu jasnya yang terkena sedikit guyuran hujan. Dibelakang lelaki itu, seorang pria lebih pendek darinya berbentuk wajah agak kotak sedang memayungi lelaki didepannya. Setelah lelaki di depannya itu berjalan masuk menuju counter untuk pemesan, lelaki berwajah kotak itu menutup payungnya dan meletakkan payung basahnya di samping pintu, tepatnya di dalam kotak tempat payung kemudian menyusul lelaki yang lebih tinggi darinya masuk kedalam café itu.

Pandangan mata Jongin tak lepas dari lelaki itu. Lelaki bertubuh tinggi itu sedang memandangi deretan roti dan pastry, tangannya menunjuk beberapa macam roti dan pastry dan di balik kaca penyimpanan itu seorang perempuan bercelemek putih mengambil sesuai pesanan lelaki itu dan meletakkannya pada nampan yang ia pegang.

Setelah tiga menit berlalu, kedua mata itu bertemu pandang dengan mata Jongin. Lelaki itu tampak sedikit terkejut. Jongin segera tersadar jika mereka membuat kontak mata, lalu memutus kontak itu dan segera memandangi Sooyoung yang masih dengan posisi dia melihat perempuan itu sebelumnya. Dengan wajah datarnya, ia berjalan menuju meja yang sudah dipenuhi dengan kumpulan orang yang kebanyakan pria dan duduk di sebelah wanita dengan gulungan rambutnya ke atas. Sementara lelaki berwajah kotak itu, menyusul lelaki yang tadi bersamanya dengan dua mug besar di kedua tangannya.

Jongin melakukan kesalahan dengan melirik meja dimana lelaki itu duduk dengan beberapa rekan kerjanya. Matanya menangkap lelaki itu yang sedang serius dengan beberapa usulan rekan kerjanya,

"Yifan-hyung," Jongin menggumam.

Lelaki itu Wu Yifan.

Tak berapa lama kemudian, Jongin tersadar karena suara Chanyeol yang menyapa pendengarannya. Sooyoung menegakkan kepalanya saat Sehun berkata padanya jika ia harus menegakkan tubuhnya karena tak baik seorang gadis menenggelamkan wajahnya di meja.

.

.

Jongin sampai ke apartemennya ketika Yifan belum pulang sambil menenteng kantung kertas berisi belanjaan. Kemudian ia berganti pakaian dan mengenakan celana pendek, mengambil soda kaleng dari kulkas. Lalu memasak air dalam panci besar sambil minum soda dengan tetap berdiri. Semelum airnya mendidih, ia mencabuti biji kedelai dari tangkainya, lalu mermas-remasnya dengan garam diatas papan tatakan. Kemudian biji kedelai dimasukkan ke dalam air yang mendidih.

Jongin merajang banyak sayuran dengan pisau lalu memotong-motong seledri dan jamur. Udang dikupas kulitnya dan dicuci dengan air. Handuk kertas dibentangkan di atas meja, dan udang di jajarkan satu per satu secara rapi di atasnya. Setelah matang, biji kedelai rebus dituangkan ke dalam keranjang dan dibiarkan sampai dingin. Kemudian penggorengan besar dipanaskan. Minyak di tuangkan secara merata. Dan ia mulai menumis perlahan-lahan dengan api rata.

Biar bagaimanapun perubahan dalam diri Jongin sepertinya disebabkan oleh keadaan-keadaan di sekitarnya. Melalui proses, hingga ia menjadi seperti ini. Jati dirinya semakin menguat, namun disisi lain, saat ini ia kehilangan sesuatu yang besar yang berpengaruh dalam hidupnya, tari, keluarga, dan Yifan. Namun, karena keyakinannya yang besar, dalam tekad yang baru itu, tekandung tujuan-tujuan bagaimana ia akan menjalani hidup selanjutnya. Pada setiap kesempatan, hatinya terserat kembali ke ruang di suatu sore 7 tahun yang lalu, bagaikan orang yang berdiri di tepi laut dan kakinya diseret ombak surut yang kuat.

Jongin akhirnya menyisakan separuh dari isi kaleng soda kedua ketika ia menata kulkas dengan macam-macam makanan siap saji yang bertahan lama di dalam box makanan khusus hingga memenuhi isi seluruh kulkas tiga pintu itu.

Setelah menyiapkan makan malam yang kembali ia buat setelah merebus dan menggoreng untuk kebutuhan makan yang disimpan dalam kulkas, Jongin duduk di depan meja makan.

Ia menegak kopi yang tinggal setengah dan menghangat ketika bunyi pintu apartemen terbuka dan menampilkan Yifan setelahnya. Lelaki itu membiarkan Yifan untuk mengganti pakaian kerjanya sebelum duduk di meja makan itu. Tak banyak makanan yang ia buat, hanya sup rumput laut dan nasi goreng kimchi kesukaan Yifan.

Beberapa menit berlalu, dan Yifan sudah berada di hadapannya sedang melahap habis makanan yang ia buat tadi. Jongin menunggu dalam diam, ia tidak makan, hanya menghabiskan cangkir kopi yang kini sudah dingin. Tidak enak memang meminum kopi pahit yang dingin.

Sekali lagi, Jongin memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, lalu menyusun kata-kata yang tepat di dalam benaknya. Ia menukar-nukar urutan kata demi menghasilkan gambaran yang lebih jelas.

"Yifan-hyung," pendengaran Yifan tidak salah mendengar panggilan Jongin yang baru didengarnya pertama kali itu, 'hyung'. Yifan meletakkan gelas air putihnya kemudian menatap Jongin dalam diam. Wajahnya masih tak menampakkan ekspresi apapun.

Setelah mengambil dari kursi sebelahnya, Jongin meletakkan amplop coklat besar itu di hadapan Yifan. Setelah berpindah tangan pada Yifan, lelaki itu membukanya perlahan. Ekspresi wajahnya tak bisa tertutupi oleh apapun, ia terkejut.

"Aku telah berpikir jauh-jauh hari. Akan lebih baik jika kita berpisah,"

Yifan membaca setiap kata yang tertulis di surat itu dengan teliti. Wajahnya mengeras, rahangnya tampak terlihat,

"Aku pikir kalau aku pergi dan mengabaikan perasaanku, kau akan bahagia. Tapi kau tak perlu khawatir dengan perasaanku, kalau kau bahagia mungkin perasaanku akan cepat mencair,"

Yifan mulai merasakan nada serius dan kecemasan dari tatapan Jongin yang berbicara demikian,

"Apa yang kau lakukan?" Jongin mendengar nada bicara Yifan yang mengeras.

"Kau mencintai Kim Jonmyeon, bukan Kim Jongin,"

Yifan mengerutkan dahinya hingga garis kerutan itu kentara. Rasanya aneh ketika Yifan mendengar kata 'cinta' dari mulut orang lain.

"Aku sudah menunggu sampai saat itu datang. Dulu aku tak merasa sendiri dan aku sepertinya bahagia. Tapi, semakin berjalannya waktu, aku semakin merasa terbebani sampai aku tak bisa menghadapinya. Perasaanku sebesar ini dan sepertinya akan semakin besar. Aku semakin pesimis dengan keadaanku…" Jongin menghela napas panjang, "Aku sudah tak tahu terimakasih. Aku ini seperti perebut lelaki yang menyukai kakakku sendiri. Aku tak bisa menghindarinya."

Yifan masih terdiam, ia sama sekali tak membuka mulutnya. Di kedua matanya, Jongin terlihat sedang menahan sesuatu yang bergejolak berat. Raut wajahnya sedikit memerah.

Lelaki itu memandang mata Jongin selama beberapa saat dengan wajah tanpa ekspresi. Ia berusaha berkonsentrasi pada kata-kata kedua laki-laki di hadapannya. Mata itu, penuh dengan keputus asaan, bibir itu bergetar saat mengatakan sesuatu, Yifan tahu itu. Ia menundukkan kepalanya dalam. Belum pernah ia melihat Jongin seperti ini. Tapi, aku tak akan mengubah pendirianku selama ini, pikir Yifan.

"Aku tak ingin merasa bersalah pada siapapun, Tapi itu tak mungkin karena aku bersamamu. Kita terikat. Ini semua masalah yang harus ku hadapi, berbeda denganmu."

Jongin berusaha memperlihatkan raut wajah yang biasa saja. Ia berharap setidaknya ada satu hal yang tidak diketahui oleh Yifan. Dalam lirik lagu ada kalimat 'melepaskan karena mencintai'. Maka itu, taka da alasan khusus karena di dunia ini orang-orang memutuskan untuk mengakhiri hubungan juga karena cinta.

Seakan meyakinkan, Yifan berkata perlahan-lahan,"Apa kau yakin dengan ucapanmu, Jongin?"

"Tentu saja." Jongin melanjutkan, "Aku sudah memikirkan dengan kepala dingin. Aku akan tetap pada pendirian ini. Aku ingin hyung menandatangani surat perceraian inii."

Walau demikian, Jongin tetap mencintai Yifan.

Semakin ke sini, wajah Yifan sedikit terlihat marah. Wajahnya kembali tanpa ekspresi.

Sejenak mereka hanya duduk dan terdiam tanpa kata. Menghindari kontak mata. Yifan memikirkan perkataan Jongin dengan keras. Ia memutar otaknya.

Yifan masih terdiam dalam kebimbangan. Ia tak boleh menyakiti Jongin dengan keegoisan hatinya selama ini. Ia hanya ingin Jonmyeon untuk selalu di sisinya. Bolehkah Yifan egois untuk kali ini?

Keheningan ini cukup lama namun di akhiri dengan tangan Yifan yang mengambil pulpen dan menggoreskan tanda tangannya di kolom tempat ia harus menorehkan tanda tangannya.

"Baiklah,"

Hati yang sepertinya akan hancur kelihatannya sekarang akan mencair. Jongin hanya harus bertahhan sedikit lagi. Ia memegang erat pegangan kursi karena Jongin measa ingin runtuh. Ia menahan air matanya yang hendak meluap.

Detik berikutnya, setelah Yifan selesai menorehkan tanda tangannya di atas surat perceraian, tubuh Jongin terasa kaku. Lalu Jongin berdiri dan merasa lemas.

Jongin tersenyum. Senyumnya hampa.

"Terimakasih, Yifan-hyung," Jongin berkata dengan pandangan kosong dan suara yang terasa hampa.

Lelaki di hadapan Jongin itu menatap surat perceraian dengan tatapan kosong dan tertawa dengan tawa hampa.

"Seharusnya memang begini, Jongin. Terimakasih sudah melakukan ini,"

Sudah berakhir. Jadi, seperti inilah akhirnya.

Jongin masih tidak bisa percaya. Ini adalah saat yang ditunggunya dan sudah dipikirkannya matang-matang, namun, hatinya terasa sakit. Mimpinya selama ini menjadi kenyataan. Mimpi yang tidak akan pernah membuatnya terbangun. Mimpi itu adalah kenyataan.

Yifan memandang wajah Jongin. Perasaannya kini campur aduk. Hatinya mulai sakit. Itu semua karena perasaan bersalahnya pada Jongin. perasaan cemas dirinya.

Tak seorang pun dari mereka, tentu saja, bisa mengubah masa depan.

.

.

.

.

TO BE CONTINUED

A/N :

Sebenernya saya sedikit geli ketika Jongin bicara 'cinta', entah kenapa dia nggak cocok bicara seperti itu. Hihihi

Disini Yifan karakternya memang nggak saya bikin jahat sekali. Sebenernya dia baik, tapi dia nggak suka sama Jongin dan belum bisa terima.

Yifan nggak bisa jahat di depan Jongin secara terang-terangan, karena dia nggak enak hati sama Jonmyeon.

Fanfiction ini mungkin nggak akan sampai 15 chapter.

Disini, Sooyoung cuma selingan aja, kalau dia saya ubah karakternya, jadi cerita tambah panjang.

Saya akan menurunkan rate T di beberapa fanfiction ber-rate M karena ada reader yang umur dibawah.

Review itu kesadaran sendiri, jadi saya sangat menghormati dan berterimakasih bagi yang sudah menyempatkan REVIEW, FAVORITE, FOLLOW-nya ! :)

Dan saya akan lanjut jika peminatnya banyak.

Mohon kritik dan sarannya ya, itu sangat membantu dalam pembuatan cerita.

Maaf sebelumnya saya baru membalas review di chapter ini karena kemarin-kemarin belum sempat ketik satu satu.

BIG THANKS TO:

Novisaputri09 – Kim Hyun Soo – Junkie – Bapexo – Nadiaa – Dew90 – Guest 1 – Guest 2 – Hyunhyun – Nadia – Guest 3 – Guest 4 – Miyuk – Kaisoo – Ayumkim – Reeeee – Cho Kyuly – Oracle88 – Moetrinie Mole 13 – Sayakanoicinoe – Kimchi - Kamong Jjong - Chotaein816 - Jongkwang - Narayuuki11 -Pikaachuu - Huang Zi Lien - Jung Eunhee – Aldi . Lovey Dovey - Kaysaiko- Eviaquariusgirl - Ayp - Boobearsarang - Anjarw - Gaemcloud347 – Jonmyeon . Kim . 5011 - Adilia . Taruni . 7 - Laxyovrds - Shinyeonchal - Lingling Pandabear – Melizwufan Askasufa - Jongin48 – Fanleona - Cute - Flappyixing – Chokailate - Jongin's Wife - Hyemi Kim – Safira - Kihae Forever - Yuki Edogawa - Lucyen – C – Aqua – 1004baekie - Thedolphinduck – Kasuki – Yupijongjong – Zeekai – Leona838 – Sognatorel - Keepbeef Chiken Chubu

And Other Reviewers :

Melizwulan : Iya akhirnya update nih. Terimakasih ya sudah membaca dan review.

1004baekie : Sudah di update

Keepbeef Chiken Chubu : Hahaha Drama Jongin yang teraniaya ini mah.

Chotaein816 : Terimakasih ya sudah menunggu! Belum tau kok dianya. Untuk Chanyeol, mungkin next chapter ya. Disini fokus ke Yifan dan Jongin dulu.

GaemCloud 347 : Yifan dari dulu gitu haha. Kim Yejin itu ehem nya Chanyeol. Belum tau, tuh Chanbaek gimana, next chapter ya.

Novisaputri 09 : Jangan nangis ya haha

Shannelle Antoinette : Terimakasih udah suka ceritanya. Ini sudah dibuka satu satu kok.

The dolphin duck : Jongin sebenernya adalah kamen rider #henshin!

Sayakanoicinoe : Teruskan! Yea!

Ayp: Iya sebel banget dh. Ia chapter kemarin dan ini di padetin.

Huang Zi Lien : Kurang panjang? Ini sudah saya panjangin loh 21 halaman hehe

Ayumkim : Di bakar aja yuk naganya. Hahaha. Terimakasih ya sudah baca!

Jongkwang : Yeay! Terimakasih! Lanjut dong.

Anjar W : Hahaha Yifan dibego-begoin ya.

Jung Eunhee : Yeay! Makasih ya! Salah satu author favorite nih.

Bluerain 94 : Iya datar banget chapter kemarin hahaha. Makasih ya masukannya.

Rinie Moet : Endingnya? Masih beberapa chapter lagi.

Aldi Loveydovey : Bukan dong. Yifan emang dibuat asdfghjkl disini haha

KaiNeiris : Beneran lah hihihi Terimakasih ya sudah baca!

BabyWolf Jonginnie'Kim : Lanjuuut! Terimakasih babywolf #auuu

Eviaquariusgirl : Iya udah dipanjangin chapter ini. Semoga suka

Asmayae : Baby Jongin? Oke deh!

Leona838 : Tapi chapter depan sepertinya akan lebih menderita. Maaf ya hihihi

Kaysaiko : Penasaran sama Chanbaeknya ya? Mungkin di chapter depan ya~ kalau moment kris kai nya… tunggu di ending #keburutidur

Nadia : Kapan bersatu? Kalau Korea Selatan dan Korea Utara bersatu, Kris Kai juga bersatu #eh

Jongin's Wife : Hihihi Terimakasih banyak ya udah nungguin dan kamu rajin review hehehe

Guest 1 : Nggak sampai berubah jadi kamen rider kan? Haha! Iya, Sooyoung, tapi cuma sekilas aja, terimakasih banyak kamu! Siapa namanya? Hehe!

Kihae forever : Ayo beli sandal dan lempar ke jidat lebar Yifan!

Yuki Edogawa : Ketika negara api menyerang hehe

Guest 2 : Bagian akhir? Hoho

Cute : Iya kurang menggigit, belum gigit Jongin sih #eh

Cute 2 : Iya datar nih kemarin. Semoga part ini nggak datar ya. Makasih masukannya ^^

Theifhanie Fha : Iya bisa jadi bisa jadi…

Bapexo : Brengs*k tuh bang Yipan, bener! Hahaha !

Jongin48 : Memang bukan kakak adik mereka, terimakasih sudah review ya 48!

Ling-ling Pandabear : Iya ini diusahakan cepat Hohoho

Avs 1105 : Sakit kan ya? Disini tuh *tunjuk dada Jongin*

Cheonsa88 : Iya belakangan Kai emang mempesona. Saya aja sampai kalah jadi perempuan #ok Terimakasih ya doanya malaikat 88 ! hehe

YantieB2uty : Hallo Yantie.. Terimakasih ya! Semoga suka chapter ini

Miyuk : Kamu nunggu ini? Saya nunggu Jongin #ya

Syazajihan : Sudah lanjut ayo baca hahaha. Iya ya kasihan kai nih.

Rinirhm30 : Butuh update cepat? Saya butuh Jongin cepat :P

EggyRizqianaR : Iya terlalu rumit. Saya sampai bingung mau dibawa kemana cerita ini. Iya terimakasih sudah review ya Eggy!