Naruto © Masashi Kishimoto

[Standart warning applied; AU—crackpair]

—Little Bad Girl—


Bagian 2: Roman Picisan


Berawal dari mana?

Apa kata yang tepat untuk semua hal tak masuk akal ini?

Tobi tak habis pikir, kenapa jadinya seperti ini?

Kemana semua sikap objektifnya?

Kemana kedisiplinan yang selalu ia terapkan?

Dan ... dari mana semua hormon sialan, yang menjadikannya seperti anak remaja yang tengah kasmaran?

Sialan, sungguh, sialan!

Semua gara-gara gadis itu.

Gadis yang benar-benar sialan karena tak sanggup ia tolak keberadaannya. Dan kini, yang ia lakukan adalah menerima, menjalani dan menikmati peran barunya menjadi pria dewasa yang tak ubahnya remaja labil seperti para muridnya.

Dan ini semua karena ulahnya. Gadisnya.

Si sulung cantik keluarga Hyuuga.

Hinata.

.

.

.

Hinata ingat saat pertama kali menapaki kakinya di Konoha Gakuen, saat acara penyambutan murid baru di aula. Ia diperkenalkan dengan semua guru dan berakhir mendengarkan pidato bersemangat dari kepala sekolahnya, Hashirama. Anak teman sejawat ayahnya, Butsuma Senju.

Hinata mengenal sedikit banyak teman ayahnya, yang terlampau sering diajak mengikuti perjamuan atau acara penting yang ayahnya hadiri. Dan ia sebagai pewaris Hyuuga Co., mau tak mau menuruti kehendak sang ayah.

Kini pandangan matanya teralih pada seseorang di sebelah Hashirama, pria berambut abu perak. Ekspresinya dingin dengan tangan terlipat di depan dada, angkuh namun berwibawa. Pria itu diperkenalkan oleh Hashirama sebagai wakil kepala sekolah, Tobirama Senju.

Tunggu—Senju?

Hinata tak tahu bahwa teman ayahnya itu punya dua anak, adik paman Hashirama. Tapi rambutnya berbeda sekali dengan ayah dan kakaknya. Kenapa paman—tidak, gurunya ini abu-abu perak. Apa dia sebuah anomali di keluarga Senju? Atau ...ah, Hinata ingat kalau Butsuma Senju menikahi seorang wanita Hatake. Mungkin ia mirip ibunya.

Wakil kepala sekolanya itu hanya mengucapkan beberapa kata tanpa ekspresi. Memunculkan selayangan opini yang menyebar di antara teman-temannya. Berisi kata "dingin", "seram", "guru killer" dan lain sebagainya. Namun juga tak sedikit yang berkata "keren" dan "tampan".

Mengusik hati Hinata yang tak ingin ikut memberi pendapat dan penilaian, yang sedari tadi hanya diam dan menjadi pendengar setia.

Di tengah suasana aula ramai karena obrolan-obrolan yang kian bertambah, Hinata makin bungkam. Kepalanya pening. Hinata melewatkan sarapannya karena terlalu antusias menyambut hari pertama masuk sekolah. Melupakan obat maag-nya.

Dan kini makin mengencangkan cengkeraman tangannya pada seragam bagian perut. Mencoba meredakan perih di lambung. Tak mempedulikan bulir-bulir yang tercipta meski ia menggigil. Dan tak lagi mendengarkan ucapan di sekitarnya sebelum ia jatuh.

Yang Hinata tahu setelahnya hanyalah suara riuh yang menghampiri gendang telinganya. Tak jelas kata-kata yang tercipta namun ia bisa mendengar langkah-langkah kaki yang menghampirinya. Tubuhnya terangkat sebelum hangat melingkupinya, ia berada dalam rengkuhan.

Sedikit terbuka, ia mendapati rahang tegas seseorang, menelisik rupa yang sedikit kabur di pandangannya. Terusik oleh wangi yang menguar dari si penggendong. Aroma aqua yang segar.

Ah, dia... itu sensei yang tadi.

Setelah bermenit-menit tak sadarkan diri, Hinata terbangun meski masih enggan membuka mata. Terbangun karena genggaman tangan besar yang kini beralih pada dahi. Membenarkan posisi bantalnya sebelum akhirnya ia berbalik, keluar dari ruangan.

Kurang beruntung untuk melihat si gadis membuka mata. Menatap punggung berlapis kemeja biru dongker yang tersinsing pada bagian lengan, memperlihatkan lengan kekarnya yang menggetarkan kesadaran sang gadis.

Tak lama ia kembali membawa nampan berisi makanan. Membuat Hinata tertarik, bukan pada makanannya meski perutnya meronta. Tapi pada si pembawa nampan itu.

Hah, kenapa begitu keren walau tak serapih tadi.

Apa itu tattoo di rahang-rahang dan dagunya?

"Kau sudah sadar?"

Hinata mengangguk, duduk di pinggir ranjang dan menatap gurunya yang memberi segelas air.

"Ayahmu menyuruh seseorang ke sini untuk memberikan obat,"

Hinata menghentikan laju minumnya yang sedikit menyembur melewati bibir.

Untuk apa ayah sampai harus—?

"Beliau tak mengijinkan pihak sekolah memberimu obat maag sembarangan selain dari dokter pribadimu" menjawab keterkejutan Hinata.

"Kau ... Hyuuga—"

"Hi-hinata..." sambungnya memperkenalkan diri.

"Baiklah Hinata, sekarang kau makanlah!"

Itu adalah pertemuan dan obrolan pertama antara ia dan Tobirama. Dan Hinata berterima kasih pada maag dan pingsan.

.

.

.

Hari masih sama. Langit masih biru dengan massa tetesan air, kristal beku tergantung di atmosfer yang terjadi karena uap air terlampau jenuh. Sama seperti Hinata, memandang jenuh langit lewat jendela yang menyekat dirinya dari pemandangan arak-arakan awan pagi ini. Ingin rasanya ia percepat waktu dan membebaskan diri dari ocehan Kakashi sensei tentang alat reproduksi.

Hah, lebih baik ia menatap Guy sensei dengan baju hijau ketatnya dari pada harus mendengarkan pelajaran Biologi yang penuh dengan kemesuman dan sahutan bernada gembira dari Naruto dan kawanannya.

Ah, tidak! Lebih baik ia mendapatkan setumpuk soal mengenai gelombang stasioner atau membaca setumpuk penjelasan tentang difraksi dan polarisasi cahaya. Apalagi...

"Selamat pagi"

"Selamat pagi, sir"

Sambutan beramai itu mengembalikan kesadaran Hinata. Dan reflek kagetnya tak luput dari pandangan seseorang yang kini sudah menyamankan diri di kursi guru. Menikmati pemandangan, ketika kulit wajah putih itu berubah warna, sewarna matanya, karena kehadirannya. Seperti bunglon yang berdiam diri di dekat warna merah. Astaga...

Alisnya bertaut, bisa-bisanya ia menyamakan 'Dia' dengan bunglon. Tak ada bunglong semanis 'Dia'.

Sementara Hinata? Ia masih belum bisa menormalkan detak jantungnya namun enggan mengalihkan matanya pada si pembuat gaduh jantung miliknya, bahkan, kini Hinata bisa melihat orang itu tersenyum tipis. Hanya dia yang menyadarinya, lengkungan tipis labia oris pria itu.

Astaga, dia terlalu asyik mengamati awan sehingga tak sadar pelajaran Kakashi sensei sudah habis dan...

"Buka bab lima, medan magnet"

Di persekian detik itu pula, Hinata mengeluarkan buku Fisikanya. Sangat cepat dan tergesa hingga membuat pria di depan itu susah mengendalikan senyum tawanya. Ia sampai harus memanipulasikannya dengan batuk palsu. Sialan benar gadis itu!

Satu tangan terangkat, Tobirama mengangguk, pengalihan yang bagus untuk mengatasi ekspresi tak diinginkannya karena si mungil itu.

"Bab baru, sir? Apa bab kemarin sudah—"

"Ya, menurut saya, kalian sudah memahami bab listrik statis. Atau ... Anda ingin mengulanginya lagi sendiri, tuan Namikaze?"

Tangannya segera turun, "Tidak, terima kasih sir..." keningnya timbul bulir-bulir keringat meski AC dalam kelas cukup membuat menggigil penghuni di dalamnya. Keadaan yang sangat kontras.

Jelas! Tak ada yang mau, tak ada yang berani mendebatnya. Siapa yang sanggup berhadapan dengannya? Si Sensei Gunung Es, meski rupawan namun aura yang dipancarkannya terlalu dingin. Lebih dingin, bahkan es di antartika sana, mampu membekukan siapa pun. Berbeda jauh—sangat jauh dengan kakaknya, Hashirama.

Namun ... siapa sangka?

Ya, siapa yang menyangka? Kalau ada yang mampu menaklukan si sensei gunung es ini. Ditaklukkan oleh seorang gadis kecil, yang bahkan untuk menyelesaikan satu kalimat saja tak sanggup. Orang-orang akan menertawakannya bila mengetahuinya. Sungguh konyol, bukan?

Mungkin karena Hinata artinya bunga matahari, di bawah naungan cahaya atau apalah itu, sehingga sanggup melelehkan dinginnya gunung es.

Seperti penggalan lirik yang dibacakan gadis itu setahun silam, 'Kuharus memilikimu'. Gadis itu memilikinya, seutuhnya. Bahkan membawa dampak besar terhadap perilaku dan suasana hatinya, yang kini mirip prakiraan cuaca. Konyol, namun tak sanggup ia tolak keberadaannya.

Mungkin ini harga yang harus ia tanggung karena sudah melanggar ketentuan mengenai hubungan guru-murid yang seharusnya. Atau karena memacari gadis di bawah usia, namun menolak disebut pedofil. Atau karena dosanya pada Hiashi karena mengencani putrinya sembunyi-sembunyi. Ya—mungkin, mungkin dan mungkin juga.

Hah, apapun itu yang terpenting intinya adalah dia memiliki...

"Hinata"

Yang dipanggil tersentak, menoleh pada teman berambut merah muda di sampingnya.

"Y-ya, a-ada apa Sakura-san?"

"Kau demam? Wajahmu merah sekali," tangannya terangkat, menempelkan pada pipi Hinata.

"A-aku tidak apa-apa Sakura-san" membungkam mulut dengan jemari mungil miliknya. Dan, masih tak luput dari pandangan ain carmine itu.

Dia tidak demam Sakura, hanya gugup karena aku.

"Ini bab terakhir sebelum kalian menghadapi ujian tengah semester, jadi saya harap..." matanya jatuh mengamati satu persatu murid sebelum berakhir dan menetap pada gadisnya, Hinata.

"Kalian semua fokus!" terutama kau, Hyuuga.

Hinata menangkap maksudnya, ia menunduk memainkan pensil di tangan. Berat rasanya bila harus melupakannya barang sebentar meski karena ujian. Tapi ia juga tak mau mengecewakan ayahnya dan prianya.

"Baik kita mulai, kemagnetan, magnetostatika" suara lembaran kertas membuka, mendominasi ruangan. Tobirama berdiri, berjalan menuju tengah ruangan antara meja para murid. Sengaja ia ringkas sesiku lengan kemeja biru yang dikenakannya, mengingat seseorang menyukai bentuk lengannya.

"Ada yang tahu magnet itu apa?" melipat tangan, "Kamu..." menatap Naruto yang gelagapan.

"Erm—besi berani, sir?" alisnya terangkat, menggerakkan kepalanya sedikit, isyarat untuk melanjutkan. "Be-berani menarik, berani menolak."

Hening.

Tawa meledak. Cengiran tercipta.

Naruto memandang Tobirama dengan cengiran khasnya,mengabaikan tatapan serius sang guru. Tak lama tawa mereda, kembali memasang mode serius.

Tobirama terdiam, terpejam, sejenak untuk mengambil napas.

Kenapa Dia tak secerdas kau, Minato?

Pandangannya berlanjut pada Kiba, "Benda yang dapat menarik besi, sir?"

Mengangguk, "Ya—Hinata!" pekikan halus terdengar, merayapi gendang telinganya menciptakan senyum kentara.

"Ka-kata magnet ber-asal dari ba-bahasa Yunani, magnetis lithos, yang artinya batu dari magnesia ... benda y-yang dapat menarik benda seperti besi, baja dan kobalt ... si-sifatnya jika kutub-kutub sejenis didekatkan, akan te-terjadi tolak-menolak ... namun jika yang di-dekatkan tidak sejenis, maka akan sa-saling tarik-menarik"

Senyumnya terukir, "Bagus" terus fokus seperti itu, Hina.

Tebakan Tobirama tidak salah, Hinata fokus, tadinya. Tobirama melewatkan sesuatu, jauh di dalam pikiran Hinata, setelah menjawab tadi, Dia melanglang buana memikirkan hubungan antara magnet dengan Dia dan Tobirama yang bisa bersatu.

Jelas, mereka bertolak belakang. Tobirama, individu yang realis, pragmatis, objektif dan disiplin. Dibalut tampilan yang tegas, berwibawa dan wajah dingin. Membuatnya disegani dan dihormati oleh siapa pun, meski cenderung ditakuti. Berbeda dengan Hinata yang pendiam—pemalu tepatnya, lemah lembut, tabah, mudah percaya dan mudah iba. Membuat ayahnya memberi perlindungan berlebih sebagai putrinya yang berharga; menjadikan Neji, sepupunya, tameng yang sangat menjaga dan menyayangi Hinata; dan membuat Tobirama memutar otak memikirkannya.

Tapi seperti sifat magnet, mereka tarik-menarik. Saling mengikat, saling memilki, saling membutuhkan dan berdua dalam lingkaran bernama cinta.

Hinata tak lagi fokus. Biarlah, biar nanti ia belajar lagi dengannya di bimbingan belajar yang ayahnya khususkan meminta sang guru langsung mengajarnya karena alasan Hinata yang tak bisa paham bila bukan sang guru yang ajarkan.

Benar-benar gadis kecil nakal!

Berani memberi alasan seperti itu agar bisa memiliki waktu berdua dengan sang pujaan. Namun tak juga Tobirama tolak jika itu artinya bisa berdua dengan gadis mungilnya. Jackpot!

Hah, gadis pembawa masalah.

Membuatnya kini benar-benar menjadi... ah, bukan dirinya. Dan dengan sengaja menolak membentengi diri yang berpotensi mengacaukan sikap konsistennya dan melanggar peraturannya sendiri. Tak mencoba menghalau segala yang gadis itu pancarkan hingga rasanya ia buta dan tak mempedulikan jika ia sudah melebihi batas normalnya.

.

.

.

Tobirama tidak bisa menenangkan hatinya dengan lebih baik. Kejadian di koridor tadi mengusik pikirannya. Aksi pernyataan cinta yang tidak bisa ia terima begitu saja meski jelas gadisnya menolak tadi. Rasanya lebih... ah, bahkan berkelahi dengan Izuna saja tak akan sesakit ini.

Sialan! Berani benar bocah Akasuna itu mendekati gadisnya. Berucap bahwa sudah lama menaruh hati pada Hinata. Dan ... mengapa gadis itu tak menolak saat tangan-tangan kurang ajar itu menggenggamnya. Tobirama bahkan tak memedulikan lagi sikapnya yang semakin konyol kala ia dengan sadar berlaku layaknya penguntit atau bahasa lebih kerennya stalker, mengintip di balik tembok persis bocah idiot yang sedang cemburu.

Cemburu?

Haha, ia mengejek dalam hati. Tak ada kata cemburu dalam kamusnya sebelum ini. Baginya semua orang tercipta dengan porsinya masing-masing, tak kurang tak lebih. Kehendak dan garis yang telah Kami-sama beri pada setiap individu ciptaan-Nya. Walau selalu dipandang setelah Hashirama, ia tak pernah cemburu.

Tapi, ini persoalan lain. Gadis itu selalu saja bisa menambahkan perbendaharaan kata yang tak pernah muncul dalam pikirannya. Kata-kata yang seharusnya sudah ia lewati masanya. Namun seolah ajaib hadir di usianya yang sudah lebih dari kata remaja. Konyol dan tak masuk akal.

Mungkin karena saat muda dulu ia selalu menolak berurusan dengan makhluk bernama hawa. Menyenta gadis-gadis yang berusaha menaklukannya, bahkan ketika mereka baru berniat. Karma? Mungkin saja.

Belum sepenuhnya lega meski di akhir percakapannya mereka tadi, dengan sangat jelas gadisnya berkata bahwa ia sudah mencintai orang lain. Di bagian itu ia tersenyum walau amarah tak jua padam.

Namun kata-kata pemu—bocah itu setelahnya membuatnya mengingat kembali memori itu.

"Siapa?" terpajan jelas kekecewaan.

Hinata masih menunduk berusaha melepas genggaman tangan itu. Ia tak ingin menunggu terlalu lama berada di posisi ini, terutama untuk menghindari prasangka yang bisa muncul bila 'orang' itu memergoki.

Hal yang sangat ia hindari tanpa paham kekhawatirannya termakbul.

"Kutanya siapa?" tuntutnya, "Si Uchiha itu? Namikaze? Sabaku? Atau siapa?"

Yang ditanya hanya menggeleng lemah. Tentu bukan mereka semua—

"Yang kutahu memang mereka juga tertarik padamu!" jelas ini cerita yang berbeda. Hinata bahkan tak tahu jika yang disebutkan tadi menaruh hati padanya selain yang di hadapannya ini. Membuatnya makin gusar.

"Karena itu ... karena itu aku bergerak lebih dulu walau nyatanya kau..." dengusan itu tercipta mewakili kata selanjutnya.

"Jadi, siapa yang berhasil mendahuluiku?"

Hinata menggeleng lagi, sedikit lebih keras. Ia tak tahu, ia tak pernah berharap akan disukai banyak lelaki. Setahunya ia tidak ingat pernah menebar pesona atau cari perhatian yang berpotensi memunculkan kekaguman pada dirinya, selain pada Tobirama.

"Umh, a-aku tak tahu mereka juga—"

"Ada orang lain lagi?"

Hinata tak bergeming. Perlahan genggaman itu melemah sebelum akhirnya terlepas.

Sasori mengukir senyum kekalahan, "Tak heran banyak yang tertarik padamu"

Hinata mendongak menatap wajah muda di hadapannya. Mencoba memberi pesan permintaan maaf.

"Baiklah, beruntung sekali lelaki itu. Pastikan Dia tak menyia-nyiakanmu!" tukasnya sebelum mengiruh helaian indigo sang gadis.

Khe, seperti Tobirama akan melepaskan gadisnya saja.

Sasori berbalik dan mulai berlalu. Di sepeninggalannya ia masih sempat berucap,"Tiga orang bodoh itu pasti akan sangat kecewa" dilanjutkan dengan kekehan yang masih terdengar oleh Hinata dan Tobirama yang mulai beranjak pergi.

Tok—tok—tok

Ia masih bergeming, menyandar pada sandaran kursi. Tak berniat menyambut si pembuat resah hatinya sedari tadi. Sekeras hati melawan keinginannya menatap wajah manis Hinata yang kini mendekat ke arahnya.

"Tobi~"

Sialan, berhenti bersuara manja seperti itu!

Telapak tangannya menggapai lengan kiri yang tak digunakan Tobirama untuk menutup mulutnya. Mengumpat dalam hati karena sentuhan lembut tangan mungil itu.

Kini, netra sewarna darah itu terpejam. Menepis keras keinginan untuk segera menarik Hinata ke pelukan.

Tapi, sungguh sialan. Gadis itu tak memperbolehkan ia menolak pesonanya. Dengan cekalan tangan yang sedikit terlalu keras, gadis itu memekik sebelum jatuh di pangkuannya. Mendekap dengan seluruh emosi yang tertahan. Tak peduli posisi gadisnya yang tak nyaman.

"Ada apa dengan Akasuna itu?" selalu saja, to the point seperti biasa.

Hinata menegang, tersirat dari arah pandangnya yang ke segala arah. Tobi mengembuskan napasnya. Meregangkan rengkuhannya, membiarkan Hinata memperbaiki posisi.

Hinata memainkan telunjuknya gugup, "U-umh..."

"Dia ... me-menya ... menyata—"

"Menyatakan cinta padamu?" jelas, itu bukan pertanyaan. Anggukan sebagai jawaban Hinata.

Tobirama masih menunggu, tak peduli bagaimana Hinata menata jawaban yang ada di kepalanya.

"A-ku menolaknya!" sedikit tegas. "Kubilang ka-kalau aku su-dah memiliki—"

"Aku?" lanjut Tobi. Hinata mengangguk dengan rona merah yang menyebar di wajahnya.

Sayangnya, si pria masih belum puas. Masih ada yang mengganggu pikirannya.

"Bagaimana dengan tiga yang lainnya?" Hinata tergugu, menilik apa yang coba pria itu sampaikan lewat sepasang ain carmine. Menyelami manah yang terkandung dari tutur serta gestur tubuh prianya.

Sesuatu pasti tengah membayang di pikiran Tobirama. Tak ada sapaan lewat pandangan pun dengan segaris senyum yang biasanya pria itu berikan kala waktu temu mereka. Hinata berharap itu...

Cemburu?

Senangnya jika benar begitu. Tapi, menenangkan prianya adalah langkah pertama.

"Aku mendengarnya saat tak sengaja melihat kalian di koridor tadi" dan menguntit sebenarnya.

"Sasuke, Naruto ataupun Gaara—aku tidak tahu jika..."

"Apa alasanmu menyukaiku, hm?" alih Tobirama menyela.

"Karena kau baik." Tobirama tergelak, belum pernah ada orang yang terang-terangan mengatakan itu sebelumnya. Sebagian orang sungkan padanya, mungkin, karena wajah angkuhnya. Ia memang bukan pelaku antagonis meski rupanya mendukung, namun ia bukan seorang villain di kenyataan ini.

"Mereka bilang aku dingin ... angkuh."

Tangan itu terangkat, menyentuh sisi wajah Tobirama. Jika saja bukan Hinata, ia tak akan pernah mengijinkan siapa pun menyentuh wajahnya. Ia satu-satunya—gadis—yang dengan lancang melakukan hal yang paling dihindari dan dibencinya.

"Aku memilikimu, kau..." tangan lain menjamah area dagu tirusnya, lalu turun,sebelum berakhir di tulang selangka, "...memilikiku."

"Aku tak peduli pendapat orang lain jika itu tak masalah bagimu"

Harus apalagi ia menyebut gadis ini? Selalu saja bisa membuatnya tak bisa berkomentar. Selalu mampu membuatnya mengeluarkan ekspresi wajah tak diinginkan. Benar-benar gadis nakal.

Kemana suara terbatanya?

Kemana wajah malu-malunya?

Apa Hiashi tahu, putri berharganya berlaku nakal bila di hadapannya seperti ini?

Sungguh keterlaluan! Memaksa ia menjadi seorang kriminal dengan mempengaruhi dan merubah perilaku gadis di bawah umur. Jelas, ini pengaruh yang tak sengaja ia berikan pada Hinata. Ia turut andil dengan semua polah yang gadis ini lakukan meski hanya berlaku di hadapannya seperti ini.

Tapi... ah, habis sudah kata-kata yang ia tujukan pada Hinata. Terlalu banyak dan tak mampu lagi ia tampung semua komentarnya tentang 'the little bad girl', Hinata.

Satu reaksi lebih mungkin tidak masalah asal tetap bisa mengontrol sesuatu yang lain. Gadis ini butuh dibungkam agar tidak membuat ia keluar dari jalur terlalu jauh.

Ia menyipitkan mata, memegang erat jemari mungil yang hinggap di rahangnya. Yang lain menarik dagu dan membawanya mendekati wajahnya. Berbagi oksigen yang coba masing-masing raup.

"Kau, memang gadis nakal, sayang." Menyeringai mendapati rona merah itu mulai merayapi wajah sang gadis.

"Semakin lancang saja membuatku gila karena pengaruhmu, hm?" sedikit mencengkam dagunya sebelum menyentuhkan ujung-ujung bibir mereka. Sesuatu yang baru pertama kali—

Tok—tok—tok

Bedebah! Siapa yang berani mengganggu mereka?

Ketukan itu hadir kembali, lebih berisik dari sebelumnya. Ia tahu, hanya ada satu orang yang begitu.

"Tobirama! Bisa tolong cepat buka pintunya?"

Oniichan tersayang rupanya.

Ia alihkan tatapannya dari bibir merekah itu ke mata. Mengelus dagu itu menuju pipi dan pelipis. Menarikan jempolnya di alis Hinata.

"Dia memang tak bisa tenang" ujarnya sebelum menegakkan duduk, "Sepertinya hari ini banyak sekali gangguan"

Tobirama dengan mudahnya memasang wajah seolah tak terjadi apa-apa, tidak demikian dengan Hinata. Agak ragu menyambut sang kakak lebih cepat bila raut gadisnya terlalu memicu pemikiran yang tak diinginkannya oleh sang kakak yang peka.

"Pertemuan hari ini belum selesai, kita lanjutkannya lagi nanti dan..." Hinata menghentikan laju tangannya yang sedang membereskan buku-buku yang tak jadi mereka pelajari. Tentu saja ini belum selesai—tunggu, bagian mana yang belum selesai? "...ubahlah raut wajahmu itu"

Sedikit berhasil, Tobirama mulai yakin untuk membuka pintu yang sengaja ia kunci dengan alasan agar Hinata bisa lebih konsen di bimbingan belajarnya, meski untuk sesuatu yang lain juga. Sesuatu yang sangat membutuhkan privacy lebih, berhubungan dengan gadisnya.

Sebelum kunci itu ia putar, seseorang menghentikan laju kerjanya. Memaksanya menoleh pada Hinata yang sedang meminta atensi padanya.

"Tobi..." panggilan kesayangan yang sangat ia sukai.

Hinata berjinjit, meraih bahu-bahu bidang itu dan mendaratkan kecupan di sisi wajahnya. Kebiasaan Hinata ketika hendak keluar ruangannya tetap bisa membuat Tobirama mematung sesaat. Ia tak pernah biasa atas semua skinship yang Hinata berikan, tak pernah bisa.

Hinata menggantikan Tobirama—yang masih terpaku di posisi awal—membukakan pintu. Mendapati Hashirama berdiri bersama wanita dewasa yang menurut pandangan Hinata sangat memukau.

Wanita itu beriris hijau klorofil cerah, surainya brunette diikat tinggi dengan poni sealis, memakai setelan putih dan pastel yang padu dengan highheel berwarna merah muda. Sangat cantik dan menawan. Hinata memberi hormat sebelum berlalu namun ia sempat menoleh saat Hashirama memperkenalkan wanita itu pada Tobirama.

Kakinya terhenti saat itu pula. Ada perasaan yang mengganggu dalam hatinya. Semakin resah kala melihat wanita itu berjabat tangan dengan prianya. Namun bunyi bel mematahkan keinginnya untuk lebih lama bertahan.

Seraya tetap menoleh, memandang ketiganya yang kini memasuki ruang Tobirama, Hinata melanjutkan langkahnya. Sekeras hati mengenyahkan perasaan resah di hatinya. Yang ia tahu adalah wanita itu bernama Shizuka, seperti yang disebutkan oleh Hashirama lantang.

.

.

.

Hari Senin dan Kamis adalah hari favorit Hinata. Meski sejak beberapa bulan lalu setiap hari, kecuali Sabtu dan Minggu, sudah menjadi hari-hari favoritnya juga. Tapi untuk Senin dan Kamis sedikit berbeda. Lebih istimewa karena pada hari-hari itulah semua hal berawal.

Senin, saat dengan nekat dan konyolnya ia menjawab soal ujian yang sengaja ia kelirukan. Rasa malu dan omelan sang ayah pada hari Kamisnya tentu tak sebanding dengan hasil yang ia dapatkan. Terlalu bahagia karena bisa menjerat sang guru dalam ikatan benang merah.

Dan pada minggu berikutnya pada hari-hari yang sama pula, Hinata dengan sukarela menawarkan bantuan membawa apa saja—yang tentu Tobirama setujui—agar bisa ikut ke ruangan khusus Wakil Kepala Sekolah, ruangan milik Tobirama. Untuk selanjutnya menetap hingga jam istirahat usai ia habiskan berdua meski dengan keadaan canggung dan sikap malu-malu Hinata yang membuatTobirama tak menutupi cengiran kecil saat melihatnya. Atau lebih sering mengunjungi ruang kesiswaan pada hari yang tak ada pelajaran Fisika di dalamnya. Sengaja Hinata lakukan agar setiap hari bisa ia lewati dengan Tobirama bersamanya.

Namun sejak awal pekan, hari Senin kemarin, ia tak menemukan prianya di mana pun. Tak di ruangannya, ruang bimbingan konseling atau pun ruang guru. Bahkan pelajaran Fisika tadi ia digantikan dengan Ibiki Morino sensei yang sukses membuat kelas berkali lipat lebih menakutkan.

Dan sampai hari Rabu ini Hinata masih tak jua menemukan keberadaan Tobirama. Memberi senyuman pada wajah Ino, Sakura dan Tenten saat ia mengiyakan tawaran pergi ke kantin seperti sebelum ia terikat hubungan dengan Tobirama. Meski Tobirama tak pernah melarang ke mana pun ia ingin habiskan waktu istirahatnya.

Hinata hanya termenung memandangi makanannya yang belum ia sentuh sama sekali dan meminta ijin pada teman-temannya untuk kembali ke kelas lebih dahulu karena alasan tidak berselera makan. Ia memilih jalur yang melewati pintu utama keluar masuk menghadap area parkir, berharap melihat pria dewasa dengan setelan hitam turun dari mobil.

Matanya membola saat apa yang ia bayangkan seolah keluar dari pikirannya. Pria itu turun mengampiri pintu di sisi kemudi lain dan mempersilahkan wanita dewasa lain turun. Si pria membelakanginya namun Hinata tahu bahwa keduanya tengah berbincang.

Wanita itu tersenyum manis sebelum akhirnya keduanya berjabat tangan dan mulai memasuki area kampus. Hinata tak lagi berkeinginan untuk ke kelas melainkan bersembunyi di balik dinding, menguntit keduanya yang menuju ke ruangan yang sudah sangat Hinata hapal.

Tangan wanita itu singgah di salah satu pundak pria di hadapannya kemudian menyatukan separuh sisi wajah keduanya dan tersenyum lagi sampai ia beranjak menuju ruangan lain. Hinata menarik kedua sudut bibirnya membentuk segaris tipis senyum kecewa.

Adegan tadi, adegan yang sering ia lihat di serial-serial TV. Di mana pria dan wanita dewasa bertemu atau berpisah. Scene sederhana yang bermakna lain di pandangan Hinata.

Mungkin esok tak akan seantusias biasanya. Atau mungkin ia tak usah masuk saja.

.

.

.

Cuaca Kamis pagi hari ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Awan comulunimbus menyelimuti langit yang fajar tadi sempat cerah. Tak berapa lama berselang sudah berganti dengan latar awan-awan kelabu membawa rintik-rintik air yang jatuh menerpa jendela yang sedang Hinata amati di sisi bagian dalam kelas.

Sama seperti cuaca pagi ini yang mendung, Hinata termenung di meja. Tak jelas memandang apa, pikirannya hanya terfokus pada satu hal yang sejak kemarin mengganggunya. Ia butuh penjelasan namun butuh penghindaran di waktu bersamaan. Menciptakan tanya sang ayah yang sangat memperhatikan perubahan sikapnya semenjak sepulang sekolah kemarin.

Pun ketika pintu bergeser, Hinata tak lagi peduli akan seperti apa keadaan kelas saat melihat wajah menyeramkan Ibiki sensei tapi...

"Selamat pagi"

"Selamat pagi, sir?"

Lagi-lagi seolah déjà vu Hinata menoleh cepat pada sumber suara yang sangat ia kenal. Lagi-lagi pula sistem kerja jantungnya bepacu saat kedua pasang mata mereka bersirobok. Ada rasa rindu yang tertahan namun ada rasa lain yang masih mengganggunya, semakin mengganggunya.

Ia alihkan pandangannya ke buku yang ada di hadapannya tanpa menutupi raut kecewa yang kentara sekali di penglihatan seseorang di depan sana yang kini mengerutkan kening tak mengerti.

Hinata tahu dan ia sengaja membiarkan orang itu mempertanyakan sikapnya pagi ini. Ia tak peduli, biar saja 'dia' mencari tahu mengapa. Penghindaran dirasa perlu saat ini sebelum ia meminta penjelasan padanya bila suasana hatinya membaik nanti.

Tobirama sendiri tak berusaha untuk mencari tahu sekarang. Dia sudah sangat paham dengan semua sikap dan polah yang Hinata perlihatkan bahwa ia butuh sendiri. Tapi dia juga bukan seorang penyabar, dia butuh penjelasan atas semua sikap tak biasa Hinata pagi ini.

Mungkin ini salahnya yang tak mengabari Hinata atas ketidakhadirannya selama kurang lebih lima hari. Tobirama merutuk karena lupa akan hormon remaja yang dimiliki gadisnya. Hingga disepanjang kelas berlangsung Tobirama tak sekali pun alfa untuk melirik ke arah Hinata yang masih sama dengan sikap acuh tak acuhnya yang sialnya sangat menggemaskan.

Hingga pelajaran usai Hinata masih memasang mood muramnya. Tak seperti biasanya yang selalu mengajukan diri membantu membawa buku-buku tugas yang dikumpulkan, membuat kesabaran Tobirama mencapai limitnya. Dia benar-benar...

"Hyuuga Hinata..." yang dipanggil menoleh takut-takut.

Benar-benar cari masalah.

"Keberatan membantu saya membawa ini?" Hinata mengangguk kaku.

Sepertinya keputusannya untuk melakukan penghindaran bukan pilihan yang tepat.

Dan untuk pertama kalinya Hinata tidak merasakan déjà vu setiap kali pergi menuju ke ruang Tobirama. Ini jauh lebih mendebarkan dari sekedar menatap punggung kekar pria itu. Dan jauh lebih membuatnya gugup. Jauh lebih—argh!

Tidak ada sepatu pantofel hitam mengkilat. Tidak ada punggung atau lengan atau bahu-bahu tegap. Tidak ada aroma musk milik Tobirama yang dapat tercium tiap kali terbawa angin. Hanya ada suasana ramai lalu-lalang yang hendak menuju kantin, lapangan, perpustakaan atau tempat lain tujuan murid di sini.

Hinata sendiri gemetar. Bukan karena berat tumpukan buku di tangannya. Bukan pula karena hawa dingin akibat cuaca yang mendung hari ini. Seringkali ia menoleh ke belakang, melihat si biang keladi yang menyebabkan ia gemetar tak karuan.

Hinata merapatkan bibirnya membentuk garis tipis. Sesekali menggerutu dalam hati yang lolos oleh sebuah lenguhan dan embusan napas. Pria itu sengaja pikirnya. Berjalan di belakangnya, tak membiarkannya meloloskan diri.

Sampai di depan pintu ruangan dan saat membukanya Tobirama tak sekalipun melepaskan atensinya pada Hinata yang semakin menunduk. Ketika pintu terbuka Hinata segera melesat masuk dan menaruh tumpukan buku itu cepat lalu berbalik menuju pintu, berusaha kabur dari kejaran pertanyaan yang sudah bisa ia baca dari raut datar Tobirama.

Tapi sayangnya ia kalah cepat dari Tobirama yang sudah mengunci pintu dan berdiri menghalangi pintu, menghalangi Hinata yang hendak keluar. Ini takkan selesai dengan cepat, Hinata.

"Ada apa denganmu?" Hinata menggeleng.

"Kenapa terburu-buru sekali?" menggelang lagi.

"Kau tak merindukan seseorang?" Hinata baru saja siap menggeleng saat sadar pertanyaan apa yang barusan ia dengar.

Tidak merindukan katanya? Khe, tentu saja ia merindukan, begitu merindukan pria di hadapannya ini tapi egonya kali lebih besar dari perasaan rindu yang membuncah di dadanya. Dengan gerakkan kaku ia hentikan laju gerak kepalanya. Tak menggeleng dan tak jua mengangguk.

Hinata kini mendongak, menatap Tobirama dengan dengan wajah merengut.

Sialan, lagi-lagi tatapan itu!

"Kau kenapa?" melipat tangan di dada.

"Ka-kau ... tak me-menga-bariku..." embusan napas itu terdengar jelas di telinga Hinata.

Tobirama menurunkan tangan dan berjalan menuju bangku meja kerjanya.

"Kemarilah..."

Hinata berbalik dan melangkah ragu.

"Aku ada rapat guru mata pelajaran di departemen pendidikan dan..."

"Sampai hari ini?" sudah mulai berani menyela sekarang?

"Dan ... sebagai wakil Hashirama menghadiri persiapan ujian akhir nanti, Hinata." sambungnya tegas tak menjawab pertanyaan Hinata.

"Tan-pa menga-bariku?"

"Bukan itu. Bukan itu yang ingin kau sampaikan padaku, bukan?" katanya mengelus dagu.

"Duduklah!" titahnya menepuk pangkuan. Hinata merona namun tak bergerak dari tempat sampai Tobirama menyipitkan mata ia baru mendekat perlahan. Dengan canggung ia dudukan diri di pangkuan sambil terus meremas tangan.

"Katakan!" kata Tobirama melingkarkan kedua tangannya mengurung Hinata.

Bagaimana bisa bicara kalau seperti ini? "Erm ... k-kau dan nona can-tik itu?"

Tobirama tersenyum, ia sudah tahu inti pembicaraan ini "Lalu?" tidak ada salahnya bukan berpura-pura tak paham?

Hinata makin merengut menatapnya, "Kalian berdua~" katanya meremas kemeja depan Tobirama.

"Dia Shizuka—"

"Aku sudah tahu!"menyela menantang. "Kau ter-lihat ny-nyaman sekali, a-ku melihat k-kau..." Hinata mengadukan dua telunjuknya.

"Apa itu?" tak bisa menutupi kekehannya.

"Kau berciuman ... di pipi~"

"Itu bukan ciuman, meski memang seperti itu"

Hinata melayangkan tangannya memukul bahu, "Tobi!"

"Dia saudara jauh Senju yang bekerja di departemen pendidikan dan dia kemari untuk membahas persiapan ujian akhir beberapa bulan lagi dan ... kebetulan dia juga guru Fisika, maka kemarin kami pergi rapat guru mata pelajaran bersama jika kau tak sengaja melihatnya" tuturnya panjang.

"Dulu ayah berniat menjodohkanku dengannya..."memberi jeda, menyeringai melihat reaksi Hinata yang merengut, "Tapi seperti yang kau bilang, kau memilikiku dan aku tak memiliki pilihan untuk melihat wanita lain karena ada gadis kecil di hadapanku ini"

"Tobi!" memukul bahu lagi. Kalinya bertubi-tubi sebelum Tobirama menggenggam menghentikan.

Gadis kecil nakal ini benar-benar butuh ditenangkan rupanya!

"Kau cemburu!" jelas itu bukan pertanyaan. "Kau pikir bagaimana perasaanku saat melihatmu dengan bocah Akasuna itu, hm? Itu yang kurasakan"

Seperti kaset yang diputar ulang, Tobirama memegang erat jemari mungil yang dia tahan. Tangan yang lain menarik dagu dan membawanya mendekati wajahnya. Berbagi oksigen yang coba masing-masing raup. Menyeringai mendapati rona merah itu mulai merayapi wajah gadisnya. Mencengkam dagu Hinata sebelum menyentuhkan ujung-ujung bibir mereka. Sesuatu yang baru pertama kali mereka lakukan.

Tak ada bocah Akasuna. Tak ada ketukan atau gedoran pintu oleh Hashirama. Tak ada nona cantik, Shizuka. Hanya ada Tobirama dan Hinata.

Lenguhan itu terdengar merdu di telinganya. Cengkeraman tangan mungil itu terasa pijatan di kedua bahunya. Hawa panas napasnya tercium harum. Bahkan rona merah yang kian memekat terlihat berkali lipat lebih menggoda di penglihatannya. Dan...

Jangan lewatkan dua belah bibir yang terasa manis di indera perasanya. Semuanya ... memabukan dan menjadi candu baginya. Gadisnya itu benar-benar...

"Hah, maafkan aku Hiashi" kata Tobirama terengah.

Sementara Hinata sudah menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher prianya yang kini mendekap erat.

"Kau benar-benar gadis kecil nakal!" Hinata tertawa kecil.

"Benar-benar menjadikanku seperti seorang kiriminal, pedo—argh, tidak aku bukan itu" sangkalnya membuat Hinata makin tergelak.

"Berjanjilah kau akan lulus cepat di perkuliahan nanti" Hinata mengangguk. " Aku akan sering meminta maaf pada ayahmu nantinya" dan keduanya tertawa bersama.

Tak seperti penggalan lirik roman picisan, cinta ini harus memiliki dirimu Hinata!

Aku harus memilikimu meski harus mengingkari janji dan aturan sialan yang telah kubuat sendiri.

Kau, gadis kecilku yang nakal.

.

.

.

.

—Little Bad Girl—

End of chapter 2