PLAK!

Suara itu menggema sepanjang lorong rumah, menghantarkan rasa sakit yang terasa si empunya.

"Katakan padaku! Berapa banyak wanita simpanan Ayahmu!"

"Aku benar-benar tidak tahu, Mama," tangan kecilnya mencoba melepaskan cengkraman sang Ibu, namun nihil. Yang ada tubuhnya semakin tertarik menuju ruang tengah.

"Bukankah Mama-mu ini sering berkata; 'berbohong itu tidak baik'!" suaranya terdengar menuduh, "kenapa kamu berbohong pada Mama!" ia mendorong tubuh anak laki-laki itu hingga tersungkur. Lalu mengambil ikat pinggang kulit yang tersampir di punggung sofa.

Anak laki-laki itu hanya terdiam memandangi wajah Ibunya yang tengah bersiap memukul. Ia tahu benda itu milik seseorang selain Ayahnya. Siapakah sebenarnya yang tengah bermain dengan api?

"Kau tidak mau mengatakannya?" ekspresi wajahnya makin kelam, kemanakah sosok Ibunya yang penyayang?

PLAK! PLAK! PLAK! PLAK! PLAK!

Sabuk itu berkali-kali menyentuh tubuh meski sang Anak meringkuk seperti janin di atas lantai dingin.

"MAMA! MAMA!" Tiba-tiba saja adiknya memeluk kaki sang Ibu, mencoba menghentikan pukulan itu.

"Kau mau ikut bersama kakakmu?" wanita itu menarik anak laki-laki yang terlihat beberapa tahun lebih muda, dengan satu sentakan lalu memukulnya beberapa kali, "KALIAN TIDAK PERNAH MENYAYANGI IBU! KENAPA KALIAN BEGITU MIRIP DENGANNYA!"

PLAK! PLAK! PLAK! PLAK!

Telinganya mendengar tangisan sang adik lelaki yang berbaur dengan suara cambukan itu, selalu seperti ini. Kemudian ia menatap ke sebrang ruangan—kearah adik perempuannya yang tengah bergetar ketakutan di belakang pintu, "Nao! Pergi dari sini!" Anak tertua berbicara dengan suara lirih, memikirkan adiknya yang lain meski seluruh tubuhnya merasakan sakit luar biasa.

"Nao…?" suara pukulan itu terhenti dan digantikan oleh bisikan lirih.

Mata kedua anak lelaki itu membulat penuh, "NAORI CEPAT LARI LALU KUNCI PINTUNYA!"

"Ma…ma… Maafkan kami…" bukannya berlari, ia malah tetap diam di tempat dengan tubuh semakin bergetar ketakutan melihat sang Ibu mendatanginya.

"Kenapa meminta maaf? Kau tidak salah," ucapannya begitu menakutkan, "kemari, ikut Mama," wanita itu mencengkram tangan Naori lalu menyeretnya masuk kedalam ruangan di ujung lorong, tidak menghiraukan teriakan anak lelakinya.

Teriakan Naori semakin histeris ketika pintu tertutup.

"MAMA―PLAKKKK!—AMPUN, MA—PLAKKK! PLAAKK! DUGHHH—Uughhh..."

.

Kedua matanya terbuka dengan cepat, napasnya memburu pun keringat sebesar biji semangka mengalir deras di dahi. Dengan perlahan ia menegakan posisi tubuhnya di sandaran kursi dan mengusap wajahnya yang terasa kebas, lalu menoleh ke samping. Jendela ini langsung memperlihatkan keadaan kamar gadis itu yang masih juga menyala. Dan secara tidak sengaja menjatuhkan buku tugas sekolah usang milik Naori sewaktu kecil.

Buku terjatuh dengan lembaran kertas terbuka dan berhenti tepat ketika tulisan dengan noda kecoklatan itu terbuka;

Mama selalu berteriak kepada kami. Berkata kejam bahwa kami tidak pernah menyayanginya hanya karena darah Uchiha begitu kental di dalam tubuh kami.

Mama selalu memukul kami dengan pikiran melayang. Kakak tertuaku tidak pernah menangis meski ia yang paling sering mendapatkan perlakuan buruk itu. Kakak keduaku pun meski sama denganku, ia selalu mencoba melindungiku.

Aku sayang sekali kak Madara dan kak Izuna.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Burning Up © Kapten

Warn! AU, sedikit OOC, rate T semi M (untuk bahasa).

p.s : maaf untuk semua kekurangannya.

.

Sial untuk mimpi itu, sial untuk Ibunya yang berubah menjadi gila. Sial sekali dirinya mengalami penyiksaan tiada henti oleh wanita yang melahirkannya dan berdampak pada alam bawah sadarnya. Mimpi yang selalu sukses membuatnya sulit untuk terpejam kembali. Bahkan dengan menatap jendela kamar gadisnya—yang ia yakini mampu mengalihkan mimpi itu, masih belum juga cukup untuk menetralkan emosi yang kini membuncah dalam hati. Ia mengeluarkan sebatang rokok lalu menyempilkannya dalam mulut, membakar, menghisap lalu menghembuskan asapnya perlahan, selalu membantu menetralkan himpitan rasa itu.

Selama ini Madara selalu menjadi pengendali dalam segala situasi sampai gadis itu datang dan mengacaukan seluruh isi otaknya, seluruh tindak tanduknya—membuatnya melakukan hal-hal menggelikan bak seorang pria dalam drama dengan seluruh pikiran melankolisnya. Berhasil membuat dirinya sama seperti wanita gila itu, penuh dengan ketakutan akan kehilangan—ia mendengus—bahkan Madara belum memilikinya, jangankan memiliki, baru didekati saja sudah membangun dinding tinggi kasat mata tidak lupa dengan tatapan kau-pria-yang-tak-sederajat-denganku. Suck! Sia-sia saja terapinya selama ini bila akhirnya ia pun jatuh telak seperti ini. Madara menghisap kembali nikotin tersebut.

Hatinya yang seharusnya mati kini berdenyut perih. Semua ini karena gadis iblis itu yang membuatnya seperti ini hingga mimpi buruk itu kembali lagi! Sebenarnya apa mau hati ini—Madara memukul dadanya sendiri—sudah berkali-kali ia meyakinkan diri bahwa lebih baik denyut itu hilang atau mati saja sekalian. Seharusnya ia hanya tertarik menundukan ego gadis Hyuuga itu, tapi semuanya berubah ketika pagi itu ia mendapati dirinya terdiam saat memperhatikan keseriusan Hinata mengobati lengannya yang terluka karena membantu ia membetulkan garasi. Sengatan berjuta volt mengalir dalam nadinya saat bergesekan dengan jemari lentik. Bau harum menguar dari rambutnya membuat pikirannya melayang dalam fantasi tak terelakan. Suara mendayunya menghantarkan mimpi basah dan juga perasaan yang mampu membangkitkan mimpi sialan tersebut.

Jendela sengaja ia buka sehingga angin malam dengan leluasa menampar tubuh bagian depannya, membelai setiap guratan luka itu.

Drrrttt Drrrtt.

"Ya…"

"Ah, kau belum tidur." Terdengar seperti pernyataan daripada pertanyaan, yah tipikal Uchiha.

"Telpon antar Negara mampu menipiskan dompetmu, kak." Wanita yang dianggap kakak malah terkekeh pelan.

"Aku sudah berada di Jepang…"

"Mau kujemput?"

"Tidak usah, aku belum menjadi nenek-nenek yang pikun dengan arah jalan."

"Kenapa?"

"Apanya?"

"Pura-pura bodoh atau memang aslinya?"

Wanita itu kembali tertawa pelan, "ah ya ampun, keponakanku dengan lidahnya yang tajam."

"Terimakasih. Tak biasanya mau pulang ke Jepang—bahkan ketika Sasuke terlibat skandal besar dengan model tidak juga membuatmu datang kesini."

Wanita itu tidak langsung menjawab, ia sengaja bergumam panjang dengan nada geli. "Undangan dari Hyuuga."

Madara mendengus rendah, "pesta, huh?" Wanita itu mendesis memperingatkan nada cemoohnya. Lalu ia teringat dengan ucapan Fuu tentang undangan pesta yang akan dihadiri seluruh CEO persatuan segitiga emas.

"Disana tertulis begitu, tapi bagiku tidak begitu."

"Nostalgia."

"Ya… Undangan mengenang lima tahun kematian Istrinya." Ada jeda disana. "Kau datang?"

"…"

.

Dia cantik—bidadari berbadan dua penyelamatnya. Bermata unik dengan surai indigo dan lengan sebelah yang terbakar. Mengulurkan lengannya pada Madara ketika ia duduk di depan taman ditengah.

"Kenapa disini?"

Madara kecil terdiam, enggan berbicara.

"Tersesat?" Tidak ada jawaban pula, "ya sudah tante ikut duduk, ya?"

Tidak ada pembicaraan saat itu, karena pada dasarnya kedua manusia berbeda usia itu tenggelam dengan pikiran mereka masing-masing. Hingga ibu gilanya mendatangi dengan suara menggelegar di depan pintu mobil.

"SIALAN KAU WANITA JALANG! SETELAH MENDAPATKAN SUAMIKU, BAHKAN KINI KAU MENGINCAR PUTRAKU!"

.

Madara melihatnya, melihat gadis itu dengan busana cukup terbuka. Kenapa gadis itu mengenakan gaun minim bahan tersebut? Persetan dengan anggun dan sebagainya, yang Madara mau semua kulit dibalik pakaian itu hanya untuknya, bukan untuk dipertontonkan kepada tua bau tanah dan beberapa pria bermata jelalatan di ruangan ini. Memperhatikan dari sudut yang tidak terlihat, Madara mampu melihat kilat membangkang dari mata Hinata ketika Hiashi mengajaknya berbicara dan berkenalan dengan Namikaze.

Pria membosankan yang terlalu lurus.

"Ah tuan Uchiha," seseorang menyapanya dari belakang. "Aku kira hanya Mikoto saja yang hadir, ternyata prodigy Uchihapun bersedia datang ke pesta membosankan ini."

Lelaki tegap dengan rambut keperakan dan mata tajam berwarna merah mendekatinya seakan kawan lama sama sekali tidak membuatnya jengah, hanya ya…reuni kecil-kecilan. Madara berbalik sembari tersenyum miring pada pria tersebut.

"Memandang siapa, huh?" Tobirama berucap dengan nada datar nan hangat sembari menepuk bahu rival kakaknya.

"Gadis iblis penggoda yang tersesat di pesta bapak-bapak."

Tobirama bersiul, "yang tengah berbicara dengan bibimu?" mata tajamnya memandangi punggung Hinata.

Madara tidak menjawab, dia malah melangkahkan kaki menuju keduanya dan meninggalkan Tobirama yang tengah terdiam sembari tersenyum miring.

Madara ingin menunjukan padanya, pada wanita gila diatas sana bahwa dia tidak mirip dengannya. Tidak terjebak dengan perasaan menjijikan yang disebut cinta. Aku hanya terobsesi padanya, batinnya membenarkan. Ya terobsesi menundukan sifat angkuh dan pembangkang yang tertutupi jasad lembut tersebut. Tiap gerakan langkah mantapnya ia memperhatikan gerak gerik tubuh Hinata, membacanya samar.

"Boleh aku menyela, kakak?"

Gadis itu menoleh bersamaan dengan Mikoto. Mata bening itu seakan menariknya masuk kedalam dunia pararel Tsukiyomi, menghentakan seluruh saraf tubuh yang membuat bulu tengkuknya berdiri yang seketika itu pula ditepisnya dengan mengalihkan pandangannya pada Mikoto.

"Ah, Madara. Kupikir kau tidak datang malam ini."

"Hm." Ada jeda disana. "Kupikir kalian sudah terlalu lama mengobrol. Sekarang aku ingin mengajaknya berdansa."

"Oh? Oke," Mikoto tersenyum pada Hinata, "nikmati waktu kalian." Lalu pergi menjauh.

Dan disinilah ia, menatap gadisnya yang terang-terangan memperlihatkan rasa jengkelnya. Tapi apa pedulinya, ia hanya ingin mengajaknya berdansa. Seketika itu Madara tertawa, menertawakan sensasi aneh yang menguar diantara mereka berdua. Menjulurkan sebelah lengan kearahnya, kali ini Madara ingin memastikan sesuatu.

"Berdansa," sebelah alis Madara naik, heran dengan gadis di hadapannya yang tak kunjung meletakan tangannya pada Madara.

"Oke." Gadis itu meletakan tangannya.

Madara menariknya pelan menuju lantai dansa, menikmati lagu mendayu. Lengannya sengaja di letakan dipinggang Gadis itu. Menariknya mendekat namun masih dalam jarak aman. Ia tahu, agresif tidak akan berefek baik pada mereka nantinya.

"Aku tahu kau tidak nyaman berada disini," ucap Madara. "Terpaksakah kau kemari?"

Awalnya Hinata tersentak lalu kembali memasang wajah dinginnya. "Bukan urusan anda, tuan."

Madara kembali tersenyum. "Kau membutuhkanku." Gadis itu mendelik, "untuk keluar dari sini." Ia mengerenyit sangsi, "aku juga tidak terlalu betah dengan aura pesta seperti ini. Mau ikuti aku?"

Gadis itu butuh waktu untuk mencerna ucapan Madara. Bahkan terlalu larut hingga tidak menyadari kenekatan Madara mendekatkan tubuh mereka, memeluk tubuhnya, memposisikan telinganya yang berdekatan dengan bibir panas Madara. Merasa heran dengan pasangan dansanya, Madara menunduk untuk melihatnya, namun ketika tatapannya bertemu dengan mata polos gadis itu, ia tersesat. Tersesat dengan semua prasangkanya selama ini. Ada apa dengan pandangan gadis itu? Mengapa begitu polos? Terlebih telapak tangan gadis itu yang bertengger manis di bahunya.

Tepat detik itu Madara tersentak dan terjatuh dalam lubang hitam. Ini tidak baik untuk hatinya… tidak baik untuk kesehatan jiwanya…

Terdengar music jazz mengalun, seorang lelaki berbicara tentang lagu karya The Uchiha yang bahkan tidak pernah Madara hiarukan, ia masih terfokus pada mata indah itu.

"Ketika aku melihat matamu, aku ingin mengatakan bahwa aku mencintaimu…

Aku tidak ingin seperti Ibu…

"s—sentuh tanganmu diatasku…. Aku ingin memelukmu, didekapmu…"

Aku ingin lepas dari kutukan ini…

"Hari demi hari tumbuh. Duri dari cintaku melukaimu…"

.

.

"Tentu… aku ingin keluar.."

.

.

A/n : menye menye, sorry.

Dari chap ini mungkin saya maupun kak okami bakalan apdet lamaaa dan tidak bisa diprediksi waktu serta tanggalnya… Jadi maklumi kami karena ada beberapa hal yang mampu dengan mudah menghapus plot cerita burning ini

Daaaannn jangan aneh dengan pov Madara yang belibet terlebih dengan kisah masalalunya…. Mudah2an Hinata cinta sama Madara deh.

Terimakasih untuk fav, fol, rev, readnya.. maaf untuk kekurangannya.

Adios.