Ini sudah yang keberapa kalinya?

Sekali?

Dua kali?

Sepuluh?

Ah, bukan. Pasti ratusan.

Dalam satu hari, detik-detik berhargaku terbuang hanya untuk memikirkan hal-hal yang tidak mungkin terjadi antara aku dan dia. Jika ada 86.400 detik dalam sehari, maka sebanyak itulah aku memikirkan hal-hal tersebut dalam sehari selama empat tahun.

Rasanya, seperti ketika kamu bersemangat untuk membeli es krim yang biasanya lewat depan rumahmu namun ia tidak kunjung lewat dan kau hanya mendesah sedih karena tidak jadi menikmati dingin es krim di hari yang panas.

Seperti itulah rasanya menanti seseorang yang sama sekali tidak mengharapkan kamu ada di dalam sejarahnya. Atau kurang lebih seperti itu.

Sempat berpikir apa yang dia rasakan jika dia mencintaiku dan aku tidak mengacuhkannya. Samakah rasanya?

Oh ya, benar. Dia pernah tidak diacuhkan. Kurang lebihnya sama lamanya dengan ia tidak mengacuhkan eksistensiku. Sayangnya, ada satu babak dalam hidupnya ketika ia bisa merasa diacuhkan. Hanya sebentar. Tidak lebih dari tiga bulan. Selama tiga bulan itu, aku perharikan kehidupannya menjadi lebih baik. Senyumnya lebih cerah dan sorot matanya berpendar-pendar seperti berlian. Indah sekali. Rambutnya selalu tertata rapi dan pakaiannya juga selalu lurus sampai aku rasa tidak ada lipatan-lipatan akibat kecerobohannya. Waktu itu ia benar-benar seperti baru saja dilahirkan ke dunia. Begitu indah.

Bagiku—pengagumnya—hal itu memang menyenangkan. Siapa juga yang tidak menyukai yang diidolakannya bertambah tampan setiap hari? Maka, aku bersyukur wanita itu mau membuka matanya dan melihat pria tampanku dengan jelas. Dan kemudian wanita itu mulai belajar manisnya cinta pria tampanku.

Apakah rasanya benar-benar manis?

Aku ingin menanyakan hal ini padanya. Pada wanita itu. Sayangnya, jika aku mengatakannya dia malah hanya akan menertawaiku dan kemudian aku tidak akan mendapatkan jawabannya.

Lagi pula, jawabannya sudah jelas. Cintanya tidak semanis yang aku kira.

Belum juga sebulan, mereka sudah bermasalah. Aku memang kurang tahu, tapi yang aku dengar mereka bertengkar karena si wanita merasa pria tampanku terlalu memperhatikan dirinya. Di bulan kedua masalahnya makin pelik. Pria tampanku sudah berinisiatif baik dengan mengurangi frekuensi berkomunikasinya. Sayangnya, si wanita itu beranggapan dengan pria tampanku ini tidak pernah memperhatikannya. Di bulan ketiga, sepertinya wanita ini sudah bosan dengan sikap pria tampanku. Akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri kisah mereka secara sepihak. Tentu saja pria tampanku ini tidak mau. Ia sudah terobsesi dengannya begitu lama dan hubungan mereka sudah sejauh ini. Pria ini terus saja meminta wanita itu untuk kembali. Tidak berhenti mengucapkan kata sayang disetiap pesan yang ia tinggalkan. Sayangnya, itu tidak mampu meluluhkan hati wanita itu yang sudah jatuh dalam perangkap cinta pria lainnya.

Mulai saat itu, ia tidak diacuhkan lagi,

Dan kehidupan pria tampanku menjadi buruk.

Dimulai dari sorot matanya yang tidak lagi berpendar-pendar seperti berlian. Matanya selalu merah. Wajah cerahnya sekarang dinodai dengan kantung mata yang menghitam dan bengkak. Bibirnya tidak lagi berwarna merah melainkan berwarna biru kecokelatan. Ia bahkan sudah mengurung dirinya selama berhari-hari di kamar apartemennya yang ada empat lantai di atas kamarku.

Sebagai gadis yang tidak mengerti hal-hal yang seperti ini, aku mengkhawatirkannya. Seperti orang bodoh, aku dengan susah payah membuatkannya banyak makanan agar dia bisa makan dengan layak. Apa yang bisa diharapkan dari seorang laki-laki yang tinggal sendirian dan tidak pernah keluar dari kamar apartemennya selama empat hari? Jadi dengan keberanian yang aku serap dari acara penambah motivasi yang kebetulan saja sedang ditayangkan di televisi, aku melangkahkan kakiku menuju kamar apartemennya. Tentu saja dengan rantang penih makanan yang aku sendiri tidak yakin apakah dia menyukainya.

Aku berhenti tepat di depan pintu apartemennya. Di sana terasa dingin. Benar-benar seperti musim dingin. Padahal baru saja musim semi datang. Harusnya di sini hagat.

Aku menekan bel apartemennya sekali. Kemudian menunggu. Namun pintu itu belum membuka. Sekali lagi kucoba menekan belnya dan menunggu. Namun tetap tidak ada jawaban. Baru saja aku akan menghela nafasku dengan kecewa, aku mendengar bunyi klik kecil. Kemudian munculah dia dengan wajah yang berantakan.

"Kau baik-baik saja?" tembakku langsung, Aku begitu khawatir setelah melihat keadaannya. Seharusnya aku tidak perlu menanyakannya melihat ia benar-benar tidak terlihat baik-baik saja.

"Ada apa kemari?" tanyanya. Tidak dengan nada dingin, hanya saja terdengar datar walaupun aku tahu ia tidak bermaksud seperti itu.

"Aku kebetulan memasak banyak. Aku membawakan sedikit untukmu. Sudah beberapa hari ini aku tidak melihatmu berbelanja."

Dia mengangguk kecil, "Terima —"

"Aku tidak menerima tolakanmu. Anggap saja ini menjadi salah satu perhatian dari tetangga sekaligus teman sekolahmu." potongku cepat. "Bolehkah aku masuk?"

"Oke." katanya singkat sebelum bergeser sedikit untuk membiarkanku masuk ke dalam apartemennya.

Apartemennya sebenarnya tidak terlalu buruk jika saja barang-barang yang tidak seharusnya ada di situ diletakkan di tempat yang seharusnya. Seperti gelas kopi yang ada di atas meja dengan sisa kopi yang mengeras dan botol air minum kosong yang ada di wastafel dapurnya.

"Apa kau punya mangkuk dan piring bersih?" tanyaku setelah melihat tumpukan piring kotor di dapurnya.

"Tentu saja masih ada." jawabnya. Kemudian dengan cekatan, aku menerima uluran tangannya dan memintahkan makanan-makanan ini ke piring-piring yang ada kemudian menyajikannya di meja makan.

"Makanlah, aku sudah menyiapkannya."

Dengan malas, ia beranjak dari sofa tempat tadi dia menonton TV. Aku rasa, patah hati bisa membuat seseorang tidak peduli dengan bersih-bersih jadi dia tidak mau repot-repot merapikan tempat ini walaupun ada aku di sini.

"Kau tidak ikut makan?" tanyanya setelah menyadari aku tidak akan duduk berhadapan dengannya di meja makan. Aku justru berdiri di depan wastafel sambil menggelung lengan panjangku dan bersiap untuk mencuci piring kotornya.

"Aku sudah makan. Kau saja makan. Biar aku yang mengurusi ini."

Akhirnya dia diam dan melanjutkan makannya. Sedangkan aku sibuk mencuci piring kotornya. Setelah itu aku menyapu dan mengepel lantai kamar apartemennya.

Kalau kau bertanya bagaimana rasanya bisa dalam satu ruangan bersamanya. Jawabannya kau pasti sudah tahu. Aku bahkan sedang menghindari menatapnya yang sedang duduk tenang menikmati makan paginya. Aku tidak bisa menahannya, walaupun aku sudah menyibukkan diri dengan membereskan apartemennya namun tetap saja mata ini selalu bergerak reflek untuk menatapnya. Dan jantung ini, rasanya dia sedang berdetak beberapa kali lebih cepat ketimbang ketika aku sedang berolah raga.

Dengan seperti ini, rasanya kami sudah berteman cukup lama dan sangat dekat. Dengan potret dia sedang memakan masakanku kemudian aku merapikan apartemennya. Kami memang sudah berteman cukup lama. Hanya teman satu sekolah. Hanya itu. Bahkan mungkin disebut temanpun tidak karena kami hanya akan berbicara jika kami ada perlu yang benar-benar perlu seperti setahun sekali misalnya. Aneh bukan? Padahal kami satu sekolah sejak kami lulus sekolah dasar.

"Hei, terima kasih atas makanannya." ucapnya membelah keheningan di dalam ruangan ini. Seketika aku menghentikan kegiatanku mengelap meja di depan televisi dan menoleh padanya.

"Tentu saja. Itulah gunanya teman dan tetangga." ujarku sambil tersenyum. Berharap dia juga ikut tersenyum.

"Seharusnya kau tidak usah repot-repot merapikan tempat ini." Nah ini dia sifat yang sebenarnya selalu membuatku sebal-walaupun sebenarnya aku tidak pernah merasakan secara langsung sebelumnya. Ia selalu mengatakan hal-hal seperti ini setelah orang lain hampir menyelesaikan pekerjaannya. Rasanya aku ingin berteriak 'Kalau begitu kenapa kau tidak mencegahku dari tadi?'

"Tidak apa-apa. Sudah aku bilang inilah gunanya teman dan tetangga."

"Jadi. bukankah kau sudah harus berangkat?" tanyanya sambil menunjuk jam dinding. Aku menoleh dan ia benar, aku harusnya sudah berangkat.

"Kau tidak bersiap-siap? Bukankah kau juga harus berangkat mengingat jadwal kita hari ini sama?" tanyaku padanya heran karena dia tidak juga bangkit dari duduknya.

"Aku sedang tidak merasa baik untuk berangkat dan berkutat dengan kertas-kertas laporan. Kau bisa menizinkanku, bukan?"

Aku melongo. Padahal aku sedang berfantasi bahwa aku dan dia akan berjalan bersama. Sayangnya sepertinya ini juga tidak akan terjadi di kehidupan nyata juga.

"Oh oke." Jawabku sambil mengangguk. Kemudian aku berjalan ke arah sofa dan mengambil mantel dan tas kecil yang tadi aku tanggalkan sebelum aku menyiapkan sarapannya. Setelah itu aku berjalan menuju pintu apartemennya.

Ketika aku akan melangkah keluar, aku segera berbalik dan menatapnya, "Kau boleh datang padaku kalau kau ada masalah, oke? Aku rasa memendam perasaan seperti itu juga tidak baik, walaupun kau pria." kemudian aku menutup pintu apartemennya dan berjalan cepat menuju lift sambil mengatur deru jantungku.

-Serenade In Blue-

Apa kau sudah makan siang? Mau makan bersama?

Kira-kira itulah pesan yang biasanya aku kirim untuknya selama 2 bulan belakangan ini. Semenjak kedatanganku ke apartemennya untuk pertama kali, aku memutuskan untuk terus mengiriminya sarapan. Kemudian aku membuatkannya makan siang dan membelikannya makan malam.

Dia tidak pernah sekalipun menolak kedatanganku dengan makanan-makanan ini. Bahkan sejak seminggu yang lalu, dia sudah berani memintaku untuk membuatkannya macam-macam makanan favoritnya. Ia bahkan tidak pernah sungkan untuk datang ke apartemenku untuk sekedar mengambil makanan ringan yang selalu ada di dalam kabinet dapurku.

Melihat perubahan ini, aku rasa ia sudah menjadi dia yang dahulu.

Tidak. Ini justru lebih baik. Aku dan dia sekarang hidup bersama. Maksudku, ia bergantung padaku dalam hal perutnya, sementara aku bergantung darinya pada masalah perasaan.

Apa yang kau harapkan dari perubahan perasaanku? Tidak ada perubahan perasaanku terhadapnya. Kurasa—jika memang dipaksa apa perubahannya—perasaanku justru semakin bertambah terhadapnya. Aku ingin melindunginya, aku ingin mendekapnya, aku ingin memalingkan wajahnya padaku. Karena aku tidak pernah ingin lagi melihatnya patah hati.

Dua menit limabelas detik kemudian, ponselku bergetar singkat.

Di mana?

Aku tersenyum. Ia membutuhkan waktu lebih singkat untuk membalas pesanku. Memangnya menulis satu kata seperti itu membutuhkan berapa menit? Tapi ini diluar dugaanku. Sekarang ia membalas pesanku hanya dalam hitungan menit. Sedangkan dahulu, ia akan membalas pesanku tiga jam kemudian.

Bagaimana kalau kita makan di luar? Aku yang traktir.

Sekali lagi, dia membuatku terkejut. Karena kali ini ia hanya membutuhkan waktu kurang dari dua menit untuk membalasnya.

Oke.

-Serenade In Blue-

"Kau minum kopi lagi?"

Aku mengerling kepadanya saat aku baru saja memesan secangkir cappucino dan mendapatkan tanggapan seperti itu.

"Kenapa?" tanyaku padanya setelah seorang pelayan yang mencatat pesanan kami mengatakan bahwa pesanan akan datang dua puluh menit lagi dan kemudian pergi menjauh.

"Kopi itu tidak baik untuk gadis sepertimu. Pesan saja teh atau milkshake."

"Aku butuh kopi saat ini. Hari ini aku akan lembur. Pekerjaanku masih banyak."

"Kau bisa menggantinya dengan melakukan hal-hal lain agar kau tidak mengantuk. Lagi pula kopi membuat lambungmu sakit."

Aku mendecakkan lidahku, "Itu sih karena kau tidak bisa minum kopi. Aku tidak percaya masih ada lelaki di dunia ini yang tidak bisa minum kopi tapi ia kuat minum beer dalam jumlah yang banyak."

"Beer dan kopi itu berbeda."

"Lalu apa yang berbeda? Mereka sama-sama mempengaruhi lambung."

Ia terdiam sejenak. Ia mengusap pelan rambutnya kemudian menyentuh ringan hidungnya. Sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu namun ia masih memikirkannya. "Karena kopi itu... pahit."

Aku melongo mendengarnya. Seditik kemudian aku tertawa terbahak mendengar pengakuannya. "Namanya juga kopi. Tentu saja dia pahit."

"Lalu apa yang kau nikmati dari pahitnya? Kalau pahit kenapa kau minum?" tanyanya sengit.

"Aku meminumnya karena rasa pahitnya. Kau tidak akan tahu rasanya karena kau tidak suka. Sama halnya dengan kenapa kau suka sekali minuman beralkohol yang hanya akan membuatmu kehilangan kesadaran."

Pembicaraan kami sempat terhenti karena seorang pelayan mengantarkan pesanan kami. Setelah menggumamkan terima kasih, aku menyeruput sedikit kopiku. Saat aku meliriknya, ia sedang menatapku dengan pandangan tidak percaya.

"Ah, ngomong-ngomong hari ini aku tidak akan pulang untuk makan malam. Aku diajak salah seorang temanku untuk menghadiri pesta lajangnya. Lusa dia menikah."

Aku mengangguk mengerti, "Oh, oke."

"Oh, ya. Bisakah kau membelikanku makanan ringan seperti yang kau beli dua hari lalu? Itu enak. Kesukaanku." tanyanya sambil tersenyum.

Sejenak aku tertegun. Dia tersenyum. Jarang sekali melihatnya tersenyum seperti ini. Ini bukan senyuman untuk sopan-santun atau senyuman untuk terbar pesonanya. Ini senyuman yang selalu ia tampilkan ketika ia benar-benar merasakan ketulusan seseorang. Senyuman yang selama ini belum pernah ia tunjukkan padaku sebelumnya.

Tapi saat ini, aku sedang memandangi senyuman itu. Aku rela mati saat ini juga. Aku tidak akan menyesalinya sekarang.

Butuh beberapa detik selanjutnya untuk menyetujui permintaannya.

-Serenade In Blue-

Malam ini terasa sepi. Ini semua karena pria tampan itu tidak ada di sini. Dua bulan bersamanya ternyata cukup membuatku kecanduan. Aku mencoba untuk menonton televisi untuk mengurangi kebosananku, tapi acara televisi sekarang sangat membosankan. Jadi, aku lebih memilih untuk menatap layar ponselku sambil menimbang-nimbang apakah aku harus menghubunginya atau tidak.

Tunggu. Tidakkan aku bersikap seperti kekasihnya atau... isterinya?

Memikirkan dua kata itu saja membuatku terkikik girang. Sayangnya, apa aku bisa? Walaupun dua bulan ini memang kemajuan pesat dalam hubungan kami (setidaknya hanya pada pihakku, aku tidak tahu bagaimana dengannya), tapi bukan berarti kami akan menjadi sepasang kekasih. Cukup lama menyukainya membuatku berpikir bahwa menjadi teman dekatnya itu sudah lebih dari cukup. Tapi ternyata dalam kenyataannya, aku menjadi serakah. Aku ingin lebih, tentu saja. Tapi lama menyukainya juga membuatku selalu memikirkan perasaannya. Bagaimana kalau dia masih menyukainya?

Tentu saja dia masih menyukainya! Wanita itu adalah cinta pertama pria tampanku. Bukankah cinta pertama adalah cinta yang tidak pernah terlupakan? Dan ia memang tidak pernah melupakannya.

Tiga minggu lalu, ia sempat menginap di apartemenku. Itu karena ia makan malam di sini kamudian dia ketiduran. Saat dia tidur, aku mendengar dia menggumamkan sesuatu. Tidak begitu jelas hingga aku berinisiatif mendekat ke arahnya agar aku bisa mendengarnya. Saat itu aku menyesali keputusanku. Harusnya aku tidak usah mendekatinya. Harusnya aku membiarkannya mengguman tidak jelas dan masuk ke dalam kamarku sendiri. Karena dia menggumamkan namanya. Yang lebih menyakitkan lagi, dia sedang tersenyum dalam tidurnya.

Rasanya dadaku sesak. Dengan sebal aku membuang ponselku di atas sofa. Namun tiba-tiba benda itu berbunyi.

"Hallo?" sapaku sedikit heran karena caller id menunjukan pria tampan sedang menghubungiku. Ini pertama kalinya ia menelponku. Rasanya jantung ini berdebar-debar.

"Apakah Anda kenal dengan pemilik ponsel ini?" Tunggu dulu. Ini bukan pria tampanku yang sedang berbicara denganku. Kenapa orang ini bisa menemukan ponselnya? Apa dia dirampok?

"Ya, aku mengenalnya. Maaf, Anda siapa?"

"Saya petugas bar Luna. Saat ini tuan pemilik telpon sedang tertidur di bar kami. Bisakah Anda menjemputnya?"

Oh! Dia sedang mabuk?

Dengan cepat aku berdiri dari sofa kemudan berjalan—sedikit berlari—ke arah kamar untuk mengambil mantelku sambil berbicara pada orang itu di telpon bahwa aku akan segera datang.

-Serenade In Blue-

Agak susah sebenarnya untuk menuntunnya berjalan dalam keadaan setengah sadar seperti ini. Jalannya terhuyung ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke belakang. Ia nyaris saja jatuh terjerembab jika aku tidak cekatan untuk menangkap tangannya.

Tapi apa yang terjadi? Saat aku menarik tangannya, badannya ikut terbalik menghadapku dan kemudian ia memelukku.

Aku seketika merinding. Ada hawa menggelitik leher belakangku saat ia bernapas karena saat ini dagunya ada di pundakku. Tangannya yang tadinya aku genggam kini sudah melingkari pinggangku. Kemudian ia bergumam sesuatu. Aku mencoba untuk mendengarkannya tapi sayangnya ia terlalu mabuk untuk bisa berbicara dengan jelas.

Dengan perlahan, aku melepaskan pelukannya. Mengabaikan rasa kecewa tubuhku saat ini karena pelukannya terlepas. Kemudian aku merangkul lengannya untuk menuntunnya berjalan. Sebenarnya ada cara yang lebih mudah dan cepat untuk membawanya ke kamar apartemennya. Tentu saja dengan menggendongnya. Tapi badannya kelewat besar untukku.

Tanpa kusangka, ia berjalan melambat. Seolah ia bisa membaca pikiranku, ia mengalungkan kedua lengannya ke leherku dari belakang. Sejenak aku terdiam. Nafasku memburu seiring dengan deru detak jantungku. Mataku mengedip cepat karena terkejut. Apa yang dilakukan anak ini?

Lamunanku buyar ketika dia tiba-tiba mengeluarkan isi perutnya di bajuku. Dari situ aku langsung sadar bahwa aku harus segera membawanya pulang. Secepat yang aku bisa. Dan dengan posisi ini, membimbingnya berjalan jauh terasa lebih mudah.

Begitu sampai di kamar apartemennya, aku sedikit kebingungan mengingat pintu dalam keadaan terkunci.

Aku mendesah kecil kemudian bertanya kepadanya, "Di mana kuncinya?"

Dia mengangkat alisnya sedikit seperti sedang berpikir. Kemudian dia menunjuk saku celananya dan kurasa dia tidak berniat untuk mengambilnya sendiri.

"Berikan padaku." kataku yang mendapatkan gelengan kecil darinya. Aku mengerutkan dahiku. Kalau dia tidak mau mengambilkannya, lalu bagaimana cara melewati pintu ini?

"Ambilkan~" ujarnya kemudian. Sedikit kurang jelas, namun aku bisa menangkapnya dengan baik. Aku menatap tidak percaya wajahnya yang sekarang sedang tersenyum manis seperti anak kecil. Aku baru tahu kalau dia mabuk, dia akan bertingkah seperti anak kecil.

Dengan hati-hati dan gugup yang berlebihan, aku memberanikan diri untuk merogoh saku celananya. Di saat seperti ini aku mengutuk keberadaan celana yang membungkus kakinya dengan sempurna ini karena ini sangat pas di kakinya.

"Engh.."

Aku terkesiap mendengar suara lenguhannya. Dengan instingku, aku mempercepat jari-jariku untuk segera menemukan kuncinya.

Aku menuntunnya untuk masuk ke dalam kamarnya begitu aku bisa membuka pintunya. Posisinya kali ini masih sama seperti sebelumnya. Ia berjalan dengan bergelayut di belakangku.

Aku menidurkannya kemudian berjalan keluar untuk melepas bajuku yang terkena muntahannya. Mencucinya dengan sabun cuci piring (karena deterjennya ternyata habis) kemudian menganginkannya di kipas angin yang ada di ruang TVnya. Setelah itu aku memaksanya bangun untuk beranjak ke kamar mandi agar ia bisa membersihkan mulutnya. Setelah itu aku kembali menidurkannya di atas ranjangnya dan kemudian menarik selimutnya.

Baru saja aku akan meluruskan punggungku, tiba-tiba ia terduduk kembali. Matanya yang sudah terbuka kemudian menatapku dan memanggil namaku lirih. Aku ingin sekali menjawab panggilannya, tapi aku kurang cepat.

Dia menarik tengkukku dengan cepat tanpa membiarkanku untuk terkejut sekalipun. Dia mengecup bibir itu begitu lembut, namun juga begitu haus. Dia menyesap bibirku seakan begitu tak sabar, namun tetap hati-hati. Mengusap bibirku dengan lidahnya, meminta ijin.

Dengan ragu aku membalasnya, membalas melumat bibirnya dan membawa lidahpria tampan itu masuk dengan leluasa dan mudah. Ciuman-ciuman panjang dan panas saling kejar mengejar. Mengatakan betapa inginnya ia pada sentuhan ini.

Lidah saling membelai, bertukar saliva dengan cepat. Tak terhitung berapa kali pria tampanku melilitkan otot basah itu di dalam mulutku.

"Uhhh... haaahhh... haaahhh... haahhh..." tarikan nafas panjangku terdengar saat dia sekali lagi melepaskan tautan bibirnya. Aku terengah. Tidak percaya bahwa bahwa ia menciumku, mencumbuku. Walaupun di dalam hatiku, ada yang berkata bahwa ia masih tidak sadar melakukannya, tapi hatiku yang lain menyuruhku mengabaikannya. Ini adalah kesempatan yang tidak akan datang untuk yang kedua kalinya.

Namun perkataan itu membuatku berpikir logis. ini tidak benar. Ini tidak bisa dilanjutkan.

Pria tampan itu tersenyum tipis menatap iris mataku yang setengah terbuka dan memancar sayu. Kemudian ia mengangkat rahangku dan mulai mengecupi leherku. Tak lama kemudian kecupan itu berubah menjadi gigitan dan jilatan yang meninggalkan bekas.

"A-ahhhh...," desahan kembali meluncur dari mulutku. Rasanya aku ingin memotong pita suaraku. Ini tidak benar. Aku harusnya tidak melakukan ini. Tapi sayangnya, tubuhku berkata lain. Tubuh ini merespon setiap sentuhannya.

Tergoda oleh gairah yang meningkat, pria tampan itu melakukannya lagi... dan lagi. Tangannya pun mulai bergerak masuk menyusup kedalam baju hangat milikku dan membukanya dengan cepat. Aku melihat ia menahan nafas ketika dadaku terlihat.

Ia mengarahkanku untuk bangkit dan duduk di pangkuannya. Tak butuh jeda panjang baginya menyingkirkan bra yang masih kupakai dan mulai menikmati benda lembut di tangannya. Mengulum dan menjilat puncaknya, serta kembali meninggalkan jejaknya di sana.

Aku sudah tidak peduli! Ini terlalu sulit untuk dilewatkan. Aku sudah tersulut nafsu—sama sepertinya. Setiap sentuhannya yang seperti listrik bertegangan listrik rendah itu benar-benar adiktif. Aku ingin lagi. Aku ingin lebih.

Ia mengecup bagian atas dada kiriku. Dia mengusapnya lembut, lalu menciumnya dan menyesapnya. Menggigitnya, kembali mencetak bercak-bercak merah di sana.

Sementara itu aku terus mendesah menikmati kegiatan bibir dan lidahnya, tangan pria tampan itu bergerak melepas resleting jeans dan ikat pinggangnya sendiri, sedikit mengangkat pinggangnya untuk meloloskan benda itu dari kakinya.

"Enghhh..." Pria itu melenguh saat kejantanannya yang tegak dan tak terhalang apapun menyentuh bagian dalam pahaku. Seketika itu juga, badanku langsung merinding. Sensainya aneh. Sedikit geli, namun membuatku menginginkannya lagi.

"Oh... uhhh..." desahku saat ia menggesekkan ujung kejantanannya di luar kewanitaanku yang entah sejak kapan telah basah. Lalu ia meremas bongkahan bokongku, lalu mengarahkan jemari panjangnya kedepan liang itu dan memasukkan jari tengahnya perlahan.

Ia membiarkan bibirku terbebas membuatku tidak hentinya mengeluarkan desahan-desahan aneh. Dan jarinya mulai bergerak perlahan dan menambahnya ketika lorong itu terasa sedikit longgar. Aku bisa melihatnya kembali tersenyum singkat saat dadaku bergerak naik turun karena gerakan tangannya di dalamku. Seakan tidak ingin melewatkan barang sesuatupun ia kembali mengulum dada berbercak merah ini, dan juga menambah satu jarinya lagi.

Aku merasa sesuatu mengaduk-aduk perutku saat menggerakkan ketiga jari itu semakin cepat. Rasanya seperti ada ombak yang berkumpul menjadi satu di perutku yang akan melebur menjadi satu.

"Engh! Uhh... ahh... ohhh... AHH!"

Rasanya seperti terkena gelombang kejut setelah setelah mencapai puncak pertamaku malam ini. Rasanya benar-benar lelah. Lalu aku menyandarkan dahiku di atas dahinya yang juga berkeringat berkeringat.

Pria tampanku kembali meraih bibirku sementara tangannya menuntun pinggangku untuk turun perlahan di atas kejantanannya.

"ARGHH!" aku mengerang. Rasanya sakit luar biasa. Ini pertama kalinya untukku. Aku membenamkan wajahku di pundaknya membuatnya melenguh kecil. Rasa sakit ini luar biasa. Hingga tanpa sadar aku mengigit pundaknya untuk menyalurkan rasa sakit ini. Harusnya ia berteriak kesakitan, dan ia memang mengerang kesakitan. Namun sepertinya ia tidak memperdulikan gigitanku di pundaknya. Ia lebih fokus pada apa yang terjadi di bawah.

"A-ARGHH!"

"Enghh," Ia kembali melenguh saat aku telah terduduk pas di pangkuannya, yang berarti kejantanan pria tampan itu terbenam sempurna. Dan itu juga berarti, aku sudah memberikan keperawananku untuknya. Seperti yang selalu aku impikan walaupun bukan dengan cara yang seperti ini.

"Nggghhh.. ahhh... ahhh... ohh... uhhh..." desahan itu keluar lagi setelah ia menuntunku untuk menaik-turunkan pinggangku

Sekarang aku bisa menaik turunkan pinggulku sendiri, mengatur kecepatanku sendiri. Dan menghujamkan benda tegak di dalam tubuhku ini untuk menyentuh titik yang paling pas yang membuatku seperti tersengat listrik lagi.

Jadi inikah rasanya? Jika selama ini aku mendengar betapa menyenangkannya berhubungan tubuh dari teman-temanku yang sudah melakukannya dengan kekasih mereka, sekarang aku merasakannya. Aku mendapati mereka berbohong. Mereka tidak menceritakan bahwa ini akan sangat nikmat. Apa yang aku lakukan dengan pria tampan ini benar-benar sangat menyenangkan sekaligus nikmat. Membuatku tidak berhenti mendesah dan ikut mengecupi telinganya.

"OH... AHH... AHH...," desahanku terdengar semakin menggila ketika ia mengecup dadaku. Kemudian dia memasukkan sebelah dadaku di dalam mulutnya dan mulai merangsangku dengan permainan lidahnya.

"Engghh..." Aku merasakan miliknya berdenyut di dalam tubuhku sehingga ia pun tak luput mengeluarkan desahannya.

"Ohhh.. Ohhh.. aku... aku... A-ARGHHHH!" Rasa itu datang kembali. Kali ini lebih kuat. Membuat instingku menyuruhku menggerakan pinggulku lebih cepat dan kemudian menghentakkannya ke bawah dengan keras saat gelombang kejut itu datang kembali.

Miliknya masih berdenyut-denyut di dalam tubuhku membawa sensasi tersendiri untukku dan untukknya hingga diapun turut mengerang saat benih-benihnya menyembur dengan cepat di dalam tubuhku.

Rasanya benar-benar lelah. Seperi baru saja mendaki gunung yang sangat tinggi. Nafasku terengah-engah begitu juga dengannya. Aku membenamkan kepalaku di pundaknya lagi hingga ia melenguh lagi. Dengan cepat, dia mendorong tubuhku hingga aku berbaring di ranjangnya dan kemudian mengungkungku di antara kedua lengannya. Dengan perlahan, ia merendahkan tubuhnya kemudian mengecupi belakang telingaku lagi.

Aku rasa, ia akan melakukannya sekali lagi. Dan seperti yang sudah kubilang, aku tidak bisa menolak sentuhannya.

to be continued...