Chapter II : Evening Falls

.

Kondisi dalam kacamatanya kini hanyalah sebuah proyeksi hitam terbingkai sekat beling. Memburam dalam pandangan kilasan lampu di sepanjang pematang jalan yang berlalu cepat. Secepat roda yang menggilas aspal jalan kota Tokyo malam hari. Decakan dan makian mengiringi laju mobilnya yang melesat lihai menerobos satu persatu kendaraan di depan. Setir menjadi sasaran rematan kedua tangan masifnya. Matanya berpejam barang dua detik sembari mengambil napas panjang. Ia melakukan swa-hipnosis selagi berkonsentrasi pada jalanan di depan.

Di kilometer berikutnya ia menurunkan kecepatan, memasuki terowongan. Sebuah lorong panjang yang mengacaukan kerja sistem di kepala. Membawa memori kelam beberapa tahun silam menghampiri pikiran yang tersaji bukan dalam bayangan semu seperti sebelum-sebelumnya. Terlampau nyata untuk disangkal. Kepingan-kepingan gambar yang tersambung menjadi satu peristiwa utuh.

Dalam imaji, jalan yang dilaluinya bertransformasi menjadi lintasan panjang. Masih di dalam terowongan, namun berbeda setting—sebuah jalan tembusan di perbukitan. Duduk di belakang kemudi adalah dirinya. Gelita di sekeliling menelan keberadaan kendaraan lain. Menyisakan ia dengan seorang pengendara mobil sedan hitam di sebelah. Keduanya berpacu, berfokus pada satu titik cahaya di ujung jalan. Susul menyusul memimpin jalan sampai kontrol pengendara sedan hitam itu pecah. Oleng, membentur sisi kanan mobilnya. Asap mulai membumbung keluar dari kap bersamaan dengan percikan api yang timbul. Pengemudi itu berteriak, menoleh, dan memanggil namanya.

Dirinya berseru dengan lengkingan, yang tak dikenalinya sendiri, memberi titah untuk berhenti di depan.

Tremor membungkus kekalutan si pria sedan hitam. Tidak bisa!

Hal yang terjadi selanjutnya adalah udara yang mendadak menyempit, rekaman yang berjalan hadir dalam gerak lambat. Selarik senyum tersemat dari si pria sedan hitam seiring dengan berakhirnya kalimat yang ia gumamkan sebelumnya. Kemudian, benturan dan ledakan.

Silau sorot lampu jalan mengeluarkannya dari mimpi buruk di masa lalu.

Menggiring mobilnya berhenti di bahu jalan. Ia menutup wajahnya, mengusapnya hingga ke rambut peraknya.

"Apa sekarang kau sedang menertawaiku? Atau mengasihaniku di atasnya sana?"

Manik merah itu mengintip di balik kelopak yang setengah membuka. Memandang kosong pada angkasa malam.

"Mereka semua menyalahkanku, kautahu?" kembali bermonolog.

"Kau masih tak berubah. Tetap menyebalkan bahkan ketika kau tak lagi ada di sampingku." Diakhir kekehan ia menginjak kopling dan menggeser tuas persneling. Kembali bergabung dengan pengguna jalan lain. Melaju sedang, pulang menuju kediamannya.

Dilihat dari sisi manapun kehidupannya tak semudah yang terlihat. Tak semenyenangkan apa yang mulut pembuat berita utarakan di media massa atau cetak. Juga tak sebahagia karena terlahir di keluarga adidaya. Keberuntungan karena tak perlu bersusah payah untuk menggali tambang emas. Sebuah stigma yang terarah pada mereka yang dilahirkan berdarah Senju dan Uchiha. Sebuah pandangan yang melahirkan kedengkian.

Tobirama menghindari kebencian. Karena dengki salah satu dari sifat itu. Namun takdir memilihnya menjadi salah satu dari penerus rantai karat yang membelenggu kebebasan. Takdir pula yang membuatnya menelan setiap titah yang diberikan padanya. Mereka dipermainkan. Memaksa mereka memikul beban bernama kebencian. Perasaan yang sudah lama bercokol dalam hati para pendahulu. Sebuah warisan negatif yang terus diturunkan pada anak-cucu.

Sulit—bahkan terlalu sulit untuk mencapai kata keberhasilan. Sepanjang sejarah tercatat, kedua pihak selalu berakhir tak baik. Keduanya tak pernah sepakat. Dan berakhir dengan perseteruan baru. Dan kerjasama yang anyar ini diajukan kedua pihak—yah, sebut batu besar dalam kepala Hashirama teramat kokoh untuk bisa diremukan oleh senjata keji berlabel penolakan—mampu melahirkan ambisi besar bernama rekonsiliasi. Tobirama sanggup memprediksi tanggapan seperti apa yang akan diberikan orangtua mereka.

Hinaan. Cercaan. Makian. Atau bahkan tawa sumbang meremehkan.

Ia bahkan bisa menggambarkan kalimat yang akan terlontar dari mulut mereka, 'Jangan bodoh,nak, perdamaian yang kauharapkan hanya akan terjadi di dalam mimpi para kaum utopis seperti kalian.'

Hashirama adalah guru terbaik dalam menekan keraguannya. Mengajarkan padanya hal mustahil yang dapat terjadi jika bersungguh-sungguh. Dan karena dia yang pergi membawa mimpi yang sama. Ia tidak akan membuat pengorbanan itu sia-sia.

Tapi sulit untuk tak menjadi peragu. Dan tatapan dua obsidian sore tadi masih menyiratkan dendam. Padanya. Madara tak akan segampang itu menerima keberadaannya. Cara berpikirnya tak sesederhana yang dibayangkan.

Dia, terlalu berbahaya untuk diremehkan.

Roda mobilnya berdecit ketika ia menginjak rem. Ia berhenti pada gerbang besar bergaya klasik, gurat tekstur kayu mahoni coklat gelap yang terbingkai besi pagar hitam dengan detil railling yang terukir huruf T dan S di kiri dan kanan. Ia menekan klakson hingga pintu gerbang terbuka otomatis. Memasuki bagian dalam, ia berhenti di pintu depan dengan dua buah pilar yang menjulang di depan fasad rumah. Ia memarkirkan secara sembarangan dan cepat, ah—ia bahkan tak peduli.

Meraup barang-barang yang terdampar di jok belakang, ia keluar dari mobil. Saat memasuki rumah seorang pria berkacamata menyambutnya dari ujung tangga, pria itu membungkuk lima belas derajat. "Sir. Selamat malam."

"Malam. Homura, ada surat hari ini?"

"Tidak ada, Sir. Ada yang Anda butuhkan?"

"Paracetamol dan segelas air ke ruanganku." Pintanya mulai menaiki tangga.

"Baik, dan, sir, makan malam siap setengah jam lagi."

Ia hanya bergumam sekenanya, berlalu menuju kamar yang terletak di ujung koridor sebelah kanan dari puncak tangga. Tobirama melempar jas dan beberapa lembar berkas penting ke atas ranjang sesaat memasuki kamar.

Berat menggelayuti kelopak matanya saat menghela napas panjang. Ia memijat pangkal hidung yang berdenyut, mereduksi pening yang menyerang. Cih, tak perlu berpikir dua kali untuk memberikan apresiasi tertinggi pada pria Uchiha itu. Sedikit menyesal harus mengakui seberapa besar impak yang pria itu berikan padanya. Bahkan dengan mendengar namanya saja bisa melemparkannya kembali pada sekelumit kisah di masa lalu.

Getaran dan bunyi dering rendah terdengar dari saku celananya. Menatap sekilas nama si penelpon dan mengangkatnya. Ia sedikit berjengit, menyipit, merespon suara gemerisik dan sapaan riang yang menerjang gendang telinga.

"Hm. Maaf, kak, ponsel kumatikan tadi. Aku sedang menyetir." Ia melepas dasinya. Mendengar pertanyaan yang terlontar di seberang sana.

"Aku baru pulang dari kediaman Hyuuga, aku—" Hashirama menyela, "Ya, karena suatu urusan aku ke sana." Ia mengusap belakang lehernya yang letih. Melempar pandangan pada tirai jendela yang tertutup.

"Oh, sudahlah, bukan itu yang ingin kusampaikan." Tirai disingkap, menampilkan lanskap langit malam.

Tobirama menarik napas, "Tadi, aku berselisihan dengannya saat pulang." Lawan bicaranya kembali bertanya. "Madara."

"Maaf. Aku terlalu lelah untuk mendengar nasihatmu, kak." Hening melingkupi keduanya. Hashirama di ujung sana berdehem dan menanyakan hal lain. Pengalihan.

"Agendaku besok? Bertemu Kin dan Gin saja, yah, dan kuharap kakak tidak memutuskan semuanya sebelum kita berdiskusi!" Hashirama kembali mendebat.

"Kali ini aku tak berselera mendebatmu, kak, selamat malam." Tukasnya memutus hubungan.

Ia berbalik dan melempar ponsel ke atas ranjang yang kemudian membal menimpa benda yang bergemerincing. Fokusnya teralihkan pada sumber suara. Meraih untaian gelang perak. Terdapat banyak gantungan berbentuk sepasang sayap, bulan sabit, bunga, lonceng di sepanjang untaian, dan kepingan-kepingan salju—yang paling besar berada di tengah.

Lucky charm. Benda tahayul yang bisa membawa keberuntungan bagi si pemakai. Benda yang yang hampir dipercayai sebagian kaum hawa. Tak terkecuali—

"Hinata..."

—oOo—

Alunan instrumental mengayun lembut mengisi sudut ruang suatu rumah. Menemani kebisuan dua penghuni di dalamnya. Mata sehitam jelaga itu memandang tajam latar langit malam. Seolah mampu menembus batas langit tak berujung dan mengoyaknya seperti kanvas hitam. Jari telunjuknya masih mengetuk-ngetuk konstan ujung gelas berkaki. Menyesap aroma anggur yang menari riang di udara.

"Kakak bertemu dengan pemimpin Hyuuga itu. Kenapa?" pria yang lebih muda membuka suara.

Yang ditanya hanya mengumbar seringai kecil. Tak menjawab.

"Apa yang kaucari memangnya?" kali ini yang ditanya tak berniat mengabaikan lagi. Ia berbailk menghadap si pria jabrik muda itu dengan senyum misterinya.

"Kau salah, Obito. Bukan apa yang kucari tapi apa yang sudah kutemukan di sana."

Lagi, hening menelan interaksi keduanya. Mata sejenis saling melempar pandang. Dan pria muda bernama Obito yang pertama kali memutusnya. Ia berjalan ke arah meja, menuang cairan pekat itu setengah.

"Pada akhirnya kita bekerjasama dengan Senju." Obito menyesap minumannya kemudian melanjutkan, "Kupikir itu hanya wacana saja. Mungkin, memang, sudah saatnya kakak melupakan—"

"Aku tidak pernah berkata aku memaafkannya dan aku tak berjanji sesuatu yang kaupikir baik akhirnya nanti." Tandasnya menegak habis minuman. Mata itu kembali menantang, memercik api permusuhan.

"Tidak dengan apa yang telah ia renggut dariku." Piringan hitam berhenti berputar. Senyap di antara temaram lampu sudut dan cahaya dewi malam yang membekukan atmosfer. Madara berbisik pada kaca yang menyekat, "Aku sudah mengamatinya. Kali ini akan kurebut sebelum kau menyadarinya."

—oOo—

Jarum panjang bergeser pada angka dua belas. Tepat pukul sembilam malam. Suara dentang jam bergemuruh dari lantai bawah. Hinata tak beranjak, telungkup di atas ranjang memeluk boneka Teddy raksasa. Bulu-bulu putih halus itu menggelitik hidung dan sisi wajah yang menghadap ke jendela.

Acara interogasi ayahnya ditunda karena tamu pria yang ia juluki Pitch Black itu ikut bergabung makan malam. Sepanjang jamuan berlangsung Hinata tak berani menoleh pada pria bernama Madara. Nyalinya menciut ditelan dua kelereng hitam si pria Pitch sejak awal menatap. Dan peraturan dalam keluarganya yang tak boleh berbicara saat makan, sama sekali tak membantu meluruhkan ketegangan.

Seusai makan malam, Hiashi mulai membuka suara. Percakapan bergulir dari kedua pria yang sama sekali tak dimengerti olehnya. Sampai ia diperbolehkan pergi dan menunggu ayahnya di kamar. Hinata sempatkan diri melirik pada pria Pitch itu sebelum kembali berbalik melangkah cepat menuju tangga. Pria itu masih menatapnya tadi.

Lampu ponsel flip -nya berkelip. Satu notifikasi masuk.

From: Sara

Hei, putri tidur.
Nyalakan komputermu, aku ingin bicara!

Hinata melompat gesit menuju meja belajarnya. Menyalakan komputer dan mengaktifkan layanan sambungan tatap muka. Layar menampakan gadis berambut merah panjang yang tengah memajang senyum.

'Tebak! Apa yang baru kudapatkan?'

"Memangnya apa?"

'Tebak saja dulu! Kau membuat ini tidak seru.'

"Aku tidak tahu. Lagipula aku payah dalam menebak."

Sara berbalik. Membungkuk meraih sesuatu di balakang. Gadis itu kembali merentangkan senyuman saat sudah berhadapan.

'Lihat! Aku baru saja mendapatkan ini! DVD film Elsa. Pamanku memberikannya sewaktu aku pulang sekolah sebagai kejutan.'

Hinata menggumamkan kalimat iri dan sejenisnya. Bertanya dari mana paman gadis itu membelinya.

'DVD ini baru keluar di Jepang besok. Ini pamanku beli dari negara asalnya langsung. Dan, hei! Besok seri komik terbaru Akira keluar. Kita beli bersama Shion?'

Senyum Hinata mengembang, mengangguk antusias, "Aku ikut! Ah, ya, aku baru bertemu pria yang persis seperti Frost. Sara kau harus melihatnya—"

Ketukan pintu mengejutkan Hinata. Menatap pintu dan layar komputer sacara bergantian.

"I-itu pasti ayahku. Sudah dulu, ya, dah."

Hinata berdiri tepat setelah pintu terbuka. Hiashi tetap sama dalam keseharian. Wajah datar yang menyimpan beragam jenis perasaan yang tak pernah ditampakannya secara eksplisit. Ia berjalan menuju ranjang dan duduk perlahan. Jemarinya memberi gestur agar Hinata mendekat.

Hinata melangkah lunglai. Lupa akan susunan kalimat penjelasan yang akan dikemukakan pada sang Ayah.

"Kau tahu apa yang akan ayah bicarakan, bukan?"

"U-unh. Hinata minta maaf." Hinata bermain dengan jari telunjuk di pangkuan.

"Aksimu tadi membuat cemas semua orang. Beri ayah penjelasan paling logis, nak."

Konversasi berlanjut pada kronologi menyelinapnya dari sekolah. Pemicunya berasal dari sikap protektif Hiashi yang disebutkannya dengan raut takut-takut menunduk dalam. Hinata melunasi janjinya di taman kota sore tadi. Ia mengajukan aspirasi penuh binar di kedua matanya agar diperkenankan mengecap kebebasan seperti remaja sebaya. Apa arti kebebasan yang Hinata maksud? Pertanyaan itu tergambar dari kerutan yang menjembatani kedua alis Hiashi.

Konsep kebebasan menurut Hinata sederhana. Bisa pergi kemana pun tanpa ajudan dan iring-iringan roda empat menyilaukan mata. Hinata ingin naik kereta. Ingin tahu rasanya mengantri di loket bioskop. Penasaran dengan jajanan kaki lima. Atau hal kecil seperti membeli komik besok. Sendirian.

"Ada alasan mengapa ayah berlaku seperti itu."

Jawaban Hiashi memaksa Hinata menuntut lebih dari sekedar kalimat enigmatisnya. Otot sekitar mata Hiashi melunak. Memandang Hinata tepat di dua bola mata yang berpendar di antara gelap malam dan secarik nostalgia yang menariknya tenggelam. Wanita lain yang sama.

Telapak kokoh itu terangkat membelai surai sewarna malam yang lembut. "Hinata warisan ibumu yang dipercayakan pada ayah. Kalau segores saja melukai Hinata artinya berkali-lipat untuk ayah."

"Tapi kalau keinginanmu besok bisa membuatmu senang, ayah tidak bisa melarang." Kata Hiashi menambahkan.

Reaksi Hinata memaksa sudut bibir Hiashi tertarik membentuk senyum samar. "Tapi—"

Cahaya dalam mata Hinata meredup. Bibirnya merengut.

"Ko tetap mengantarjemput. Tapi ayah pastikan ia tidak mengikuti acara jalan-jalanmu. Sepakat?"

Netranya bergerak-gerak ke sembarang objek di atas ubin beralas karpet bulu. Tak ada opsi yang lebih baik lagi. Tapi sedikit toleransi yang diidamkannya sudah tergenggam. Ia mengangguk. Percakapan mereka diakhiri dengan perintah Hiashi untuk segera tidur.

"Tobirama—" ganjalan di lubuk tak dapat dicegah, meluncur bebas menghentikan Hiashi menggapai pintu. "Dia yang mengantarku, Ayah mengenalnya?"

"Sama seperti Madara, dia anak sahabat ayah. Sekarang keduanya adalah rekan kerja yang sederajat dengan ayah."

Selepas kepergian Hiashi ia kembali pada pagutan sang beruang putih imitasi yang menenggelamkannya pada figur pria bersurai putih dengan mata merahnya yang berkobar di tengah lautan salju. Lamunan beralih menjadi mimpi pengantar tidur panjang.

—oOo—

Iridium Cafe tengah hari lengang. Sepi pejalan kaki di sepanjang selasar pertokoan yang berjajar di bahu jalan. Bukan waktu yang tepat untuk berpangku tangan saat jam kerja kantor kecuali jika kau sedang menggelar pertemuan membahas proposal pengajuan merger.

Bersandar pada bantalan sofa tunggal sudut ruang samping sekat kaca adalah pria berkemeja biru. Tatapan determinasi terarah pada dua pria di seberang meja berbentuk balok-balok serupa kubik. Dua cangkir kopi terabaikan pemiliknya ketika pendengaran dirasa salah menafsirkan sebait kalimat terlontar dari pria di hadapan mereka.

"Petisi yang kausebutkan menyalahi wewenang kami, Senju."

Mata semerah siam itu memaku kedua pasang mata lain secara bergantian. Menghirup aroma kafein yang menjerat hidungnya, ia menyeruput isi cangkir dengan tenang. "Kupikir kalian juga tahu bagaimana kiprah kami sampai sekarang—" sahutnya, meletakan cangkir pada pangkuan meja.

"Itu syarat mendasar yang paling penting yang selalu kami ajukan, sebelum kami memutuskan untuk ikut berpartisipasi dalam tender." Lanjutnya, mengabaikan rengutan di kedua dahi lawan bicara.

Seringai si rambut emas mengembang, "Selalu berhati-hati dan tak pernah meninggalkan tradisi lama. Tentu kami tidak lupa, kami berhadapan dengan siapa."

"Tuan Hashi tak pernah salah mengirimkan negosiator. Seorang yang andal, adiknya, benar begitu, Tobirama?" ujar si rambut perak menimpali.

Crimson itu menyipit, "Kuanggap itu pujian. Kin, Gin?"

Sudut bibir si perak tertarik ke atas merentangkan cengiran, "Dan yang harus kami lakukan sekarang adalah menaruh kepercayaanmu pada kami."

"Mau mendengar kualifikasi kami?"

"Aku menyimak dengan baik." Tobirama tersenyum, kembali meneguk kopi.

—oOo—

Agenda kemarin malam menguap bersama kekecewaan yang terpatri di paras seputih pualam. Sang pemegang kehendak berkata lain. Menuliskan alur cerita lain hari ini. Sara dan Shion menyesal telah berkhianat, tak bisa menemani Hinata karena urusan keluarga masing-masing. Tapi animonya untuk mencecap udara keleluasaan tak serta merta luntur. Ia bisa, kok, sendiri seperti kemarin. Lupakan insiden tabrakan kecil penuh kesan prestisius karena si pelaku berwujud tokoh fiksi pujaannya.

Hinata tercenung. Mata violetnya menyapu ke segala sudut. Membaca plang-plang yang menggantung di serambi pertokoan. Berbagai spot menyenangkan menari riang di dalam kepala. Mengawali acara jalan-jalannya setelah sukses menggertak Ko, sedikit pelototan dan kacak pinggang yang disadurnya dari fitur guru Kimia, untuk tidak menguntitnya. Sang supir merengut gemas.

Destinasi pertama jatuh pada toko buku bernama Bookworm. Senyum terbentang membawa kaki melangkah masuk. Di dalam ia berlari kecil melewati rak-rak buku sains dan sejarah, berbelok di tikungan menuju area komik bersarang. Tangan merentang ke depan meraih seri terbaru Akira—yang tersisa. Hap.

Ia terpaksa berebut komik itu dengan pria paruh baya berjanggut eksentrik yang sama mengklaim sebagai yang pertama melihat. Seorang mahasiswi berbisik, 'Dia otaku maniak' bergunjing perihal seteru Hinata. 'Maaf tuan, Anda bisa membelinya di toko lain, mengalahlah pada gadis kecil sepertiku.' Perkataannya disepakati oleh banyak anggukan pengunjung lain. Paras pria itu merah padam. Persaingan dimenangkan oleh Hinata.

Candy Bar menjadi tujuan berikutnya. Bangunannya mengimitasi rumah cokelat di cerita Hansel and Gretel. Toko itu berada di seberang kanan menjorok ke persimpangan. Berjalan melewati gang gelap, berkumpul beberapa pemuda bergajulan bersiul ke arahnya. Ia mempercepat langkah memasuki toko.

Berada di dalam Hinata dimanjakan oleh jejeran tabung-tabung besar permen aneka warna. Dan kembang gula berbentuk kapas dan segala surga manisan. Hinata kalang kabut menyasar ke segala penjuru, memesan dan mengecap esensi cokelat lumer dalam marsmallow.

Menyeruput milkshake stroberi di bangku sudut sisi jendela, matanya tak sengaja menangkap wajah aristokrat familiar duduk di dalam kafe seberang. Kudapan di dekapan meja telak terlupakan. Perhatiannya teralih pada sosok pria dalam balutan kemeja biru yang lengannya dilingkis sesiku. Bahkan cara pria itu menyesap minumannya begitu estetis. Denyut jantungnya berderu kencang.

Sosok itu beranjak dari kursi. Hinata berdiri gesit. Pria itu melangkah ke arah pintu sembari menenteng jasnya. Hinata bergerak ke meja kasir, membayar dan menuju pintu keluar. Berdiri diam. Mengamati pria itu berlalu melintas di seberang. Mengestimasi jarak aman agar tak dapat diendus keberadaannya.

Tobirama menghabiskan waktu sejam lebih lama selepas kepergian Kin dan Gin bersaudara. Berdalih kontemplasi panjang menentukan langkah dari hasil pertemuan, ia menikmati waktu senggang yang jarang didapatnya. Ia mengerling ke samping. Sudut matanya tertuju pada gerombolan pemuda tanggung bersandar pada dinding toko yang tutup. Parasit masyarakat biang rusuh tampang cari mati. Ia melewati tanpa minat.

Beberapa langkah setelahnya ia berhenti. Kelopak mata tertutup erat mengiringi dengusan. Ia paham situasinya—terlampau sering hingga mendatangkan kejengahan. Kasus klise dalam gang yang marak mengisi kolom berita kriminal surat kabar. Ia sudah sangat muak.

Seorang gadis tersentak. Jeritan terhalang bekapan tangan kotor.

Alas kakinya terlepas sebelah saat diseret menuju gang sempit. Punggungnya dibenturkan pada dinding berlumut. Aroma pesing dan alkohol merebak di antara kepengapan menghirup oksigen. Keempat lelaki melingkar mengelilinginya, mendesak,dan membuat siulan mengganggu disela kekehan mereka.

"K-kalian siapa? Aku mau pergi!"

"Kau tersesat nona?"

Belaian ditepisnya kencang. Tangan menyilang di depan dada, sikap proteksi yang menimbulkan derai tawa sumbang. Lebih banyak tangan menyerang ke segala bagian tubuh. Reflek melayangkan kibasan tangan mendarat tepat ke pipi salah seorang dari mereka.

Lelaki itu murka, memberi tamparan sepadan padanya. Tidak—lebih keras hingga melukai sudut bibir. "Unh, hiks."

Tas dirampas. Pelipis membentur dinding statis di samping. Ia terhuyung jatuh sebelum ditangkap tangan yang menariknya mendekat. Lengan baju diremat. Bunyi sobekan kain mengisi ruang kosong gang sempit. Kedua tangan dibelenggu di samping wajah. Didesak bersandar pada dinding.

Isak tangis, bunyi basah dan kecupan sepanjang leher.

"Berandal-berandal cilik tak tahu diri."

Tobirama melangkah masuk. Menilik keempat wajah terkejut di hadapannya. Si gadis terlepas jatuh tertunduk.

"Pahlawan kesorean datang." Sindir seorang yang paling tinggi.

"Maaf saja, tuan, jangan ikut campur urusan orang lain! Jika kau berminat, dua blok dari sini terdapat rumah bordil diperuntukan untuk orang berdompet tebal sepertimu. Gadis ini milik kami!"

Ia mendengus, "Lucu sekali. Gadis yang kalian sandera adalah urusanku. Mudah saja menjebloskan kalian dengan pasal tindak kekerasan, dan upaya pemerkosaan."

Wajah-wajah kesal terpajang.

Sedetik kemudian tendangan mengenai udara hampa. Tobirama mencekal kaki yang melayang, menahannya. Melempar ke depan membidik dua lelaki lain yang merangsek maju. Seorang yang bertahan melancarkan tinju yang ditangkapnya mudah kemudian memuntirnya.

"Argh."

Di belakang, seorang telah mengepal tongkat besi pancang tak terpakai. Terayun mengarah kepadanya. Lelaki di pegangannya dibalik, didorong ke depan untuk menerima pukulan kawan sendiri.

Darah memercik tanah. Menodai wajah teman si pelaku pemukulan.

"Atau, harus kulaporkan dengan percobaan pembunuhan sesama kawan?"

Ketiganya belingsatan, kabur membawa teman mereka yang terkapar.

Tobirama mengesat telapak tangan pada celana. Menjatuhkan pandangan pada gadis tertunduk. Gigi bergemeretak menatap tampilan gadis yang tengah memeluk dirinya sendiri.

"Hinata?" ia berjongkok.

Ia membawa perlahan gadis itu dalam dekapan. Menyelimuti dengan jas besarnya. "Kau mengingatku?"

Dagu gadis itu dibawa ke depan wajahnya. Membiarkan manik mutiara yang redup itu menatap matanya. Barulah Hinata tersadar, ia lantas beringsut ke pelukan. Menyuarakan tangisnya.

"J-jk-jef—"

"Kau bilang apa?"

Hinata masih menggumamkan kalimat samar. Tobirama menggendongnya keluar gang. Di ujung jalan sepi seorang pria berlari menghampiri. Rautnya cemas.

"Nona Hinata! Tuan, apa yang terjadi?"

"Bandit-bandit jalanan. Bisa tunjukan di mana mobilnya?"

Ia berjalan mengikuti langkah si supir. Mata tak lepas dari raut gadis dalam dekapan. Hinata mengerang dan merapatkan pelukan saat akan diserahkan pada Ko. Tobirama mengurungkan niat.

"Biar aku temani sampai rumah."

Duduk di jok belakang, Hinata tak lepas dari gendongan Tobirama. Perjalanan panjang ia habiskan menatap wajah letih Hinata yang dicuri pandang oleh Ko dari kaca sepion. Ibu jari meraba sudut mata lembab, menelusuri pipi dan berakhir mengusap sudut bibir yang luka.

Hinata bergumam 'Frostie' dalam tidur. Pria itu berbisik, "Julukan konyol apa yang kauberikan padaku?"

Tobirama melempar pandang ke luar. Pohon Momiji berbaris di sepanjang jalan. Daunya jatuh terhembus angin sejuk sore hari—daun musim gugur pertama.

—Bersambung—

A/N : Fic pertama saya. Sudah enam bulan, ya?