It's Over

.

.

.

Cast :

Lee Sungmin

Cho Kyuhyun

Other..

.

.

.

Rate M

.

.

.

Gendre :

Romance, drama

.

.

.

Warning :

GS, Typo (s), OC, alur cepat

.

.

.

Summary:

Semuanya sudah berakhir. Percayalah.

.

.

.

Kyumin is real

.

.

.

Enjoy

.

.

.

Chapter 1

Seorang gadis kecil sedang menikmati suasana sore hari dengan bermain di taman dekat rumahnya. Dengan bersemangat ia menggerakkan tubuhnya ke depan dan kebelakang agar ayunannya bisa bertambah kencang. Ia hanya tidak terlalu bisa menyesuaikan diri dengan anak-anak seusianya. Jadilah ia hanya bermain dengan ayunan ini sendiri sembari bernyanyi.

"Lalallal..lalalal...lalalaalala..." apalah yang bisa anak usia 7 tahun nyanyikan.

"Hihi~ Sungmin berhenti. Suaramu jelek" ujar anak lelaki.

"Iya. Jelek-jelek huh.." kata anak lainnya.

Sungmin kecil menghentikan ayunannya, ia hanya menundukkan kepalanya. Ia kadang iri kenapa hanya dirinya yang tidak mempunyai teman sedangkan orang lain punya. Tapi ia cukup senang karena ada sang kakak yang selalu berada di sampingnya.

Sungmin kecil terperanjat ketika ada yang mengayunkan ayunannya. "Berhenti.. Minnie takut jatuh.. hiks.. berhenti" seru Sungmin ketika salah satu anak lelaki itu mengayunkannya dengan lebih kencang. Tak ada yang berusaha menghentikan anak lelaki itu. Teman-temannya malah tertawa keras tanpa memperdulikan Sungmin yang sudah menangis.

"AKH-Brugh" pekik Sungmin.

Karena terlalu kencang mengayunkan, Sungmin terdorong kedepan hingga jatuh dengan sangat keras. Lengan kirinya berdarah, luka memanjang karena tergores pinggir batu yang bergerigi, bukan hanya itu sepertinya tulang lengannya juga patah.

Semua anak lelaki itu langsung kabur meninggalkan Sungmin kecil yang meringkuk menangis sambil memanggil nama kakak laki-lakinya.

"Minnie-ya" seorang pemuda berlari terburu-buru menghampiri tubuh kecil yang di yakini adalah adik perempuannya. "Ya Tuhan. Apa yang terjadi?" tanyanya.

"Huwaeee.. Oppaaa.. tangan Minnie sakitt.. Ummaaa... hiks Appa..." adu Sungmin. Pemuda itu langsung menggendong Sungmin berlari membawa ke klinik sederhana di pusat desa.

.

.

.

Leeteuk mengusap sayang putri kecilnya yang sudah tertidur terlelap. Ia menatap miris pada lengan putrinya yang harus memakai gips ah ani bukan gip, tapi balok kayu kecil sebagai pengganti gip untuk lengan putrinya.

"Kenapa adikmu sulit sekali mendapat teman Hae-ya" lirih Leeteuk pada putranya yang duduk bersandar pada tembok.

"Suatu saat Minnie bisa mendapatkan teman ah bukan tapi seorang sahabat yang bisa menjadi tempatnya bercerita dan menghabiskan waktu bersama. Aku yakin itu Umma" ujar Donghae.

Leeteuk tersenyum kecil mendengar pendapat dari putranya yang kini genap berusia 16 tahun. "Kau belum makan malam bukan?" ucap leeteuk.

"Aku manunggu Appa saja" kata Donghae.

Tak berapa lama terdengar pintu yang terbuka dan kemudian tertutup lagi. Leeteuk dan Donghae tahu siapa orang yang baru saja memasuki rumah sempit itu.

"Appa pulang.. eoh? Kenapa dengan lengan Minnie?" tanya Kangin. Membuka rumah dan tak nampak istri serta kedua anaknya di ruang tamu yang merangkap ruang tengah itu tidak membuat Kangin pusing harus mencari di mana. Tak ada tempat lagi selain kamar putri dan putranya.

"Minnie jatuh dari ayunan. Lengannya patah" Leeteuk meraih tas suaminya, berlalu menyiapkan air hangat untuk mandi suaminya.

"Apa ada yang menjahili adikmu?" Kangin duduk di samping putri kecilnya memberi kecupan singkat di dahi, kedua pipi kurus dan terakhir di bibir mungil Sungmin.

Donghae mengendikan bahunya. "Aku tidak tahu, Minnie sudah meringkuk di tanah sembari menangis" jelasnya.

Kangin menghembuskan nafasnya kasar. Merasa prihatin melihat kondisi putri kecilnya yang tidak pandai bersosialisasi. Ia menatap pada putranya.

"Kau sudah makan?" tanyanya.

Donghae menggeleng. "Aku menunggu Appa" jawab Donghae. Kangin tersenyum, ia berdiri menghampiri putranya, mengacak rambut sedikit gondrong itu. "Appa mandi dulu" lalu melangkah keluar kamar.

.

.

.

"Bagaimana sekolah mu hari ini?" tanya Kangin sembari memasukkan makan malam kedalam mulutnya.

"Tidak ada yang special. Hanya mengurus beberapa berkas untuk di serahkan ke universitas" kata Donghae.

"Jongmal?" Kangin tak percaya.

Donghae tersenyum senang pada Ayahnya. "Hm. Appa tak perlu khawatir. Aku hanya harus mempertahankan nilaiku agar tetep bisa melanjutkan sekolah" ujarnya.

Kangin tersenyum bangga pada putranya. Donghae anak yang cerdas dan karena kecerdasanannya itu ia bisa melanjutkan sekolah dengan mengandalkan beasiswa, dan juga lompat kelas 2 kali ketika SMP dan SMA.

Jadi tidak aneh jika di umur 16 tahun ini, Donghae sudah duduk di kelas 3 SMA dan tak terasa sebentar lagi akan melanjutkan ke universitas, dengan beasiswa lagi tentunya. Upah gaji yang di dapat Kangin setiap bulan dari pabrik hanya mampu membeli persediaan makanan. Diam-diam ia mengitari keadaan rumahnya. Dua kamar tidur, satu dapur, kamar mandi dan ruang tamu ini. Tak ada barang yang bisa dicuri disini, bahkan televisi pun tak ada.

Jauh dalam hatinya Kangin menangis karena belum bisa membahagiakan keluarga kecilnya. Ia ingin membelikan beberapa potong gaun untuk istrinya, ia ingin membelikan beberapa boneka untuk putrinya dan ia ingin memberikan sepeda untuk putranya tapi ia tak mampu. Beruntung ia memiliki keluarga yang menerima keadaannya. Leeteuk, Donghae dan Sungmin tak merengek dan tak meminta apa-apa darinya.

.

.

.

Leeteuk menangis tak kuasa menahan rasa sedih ketika melihat kotak kayu persegi panjang yang di dalamnya terdapat jasad suami tercinta yang sudah terbujur kaku itu di masukan kedalam liang tanah yang sudah digali. Beberapa orang mulai menimbun kotak itu hingga sedikit menggunung.

Donghae maju dan menanjabkan batu nisan yang tertempel foto serta nama ayahnya. Sungmin kecil, meletakkan bunga lili yang ia bawa di gundukan tanah ini di ikuti orang-orang terdekat.

'Selamat jalan Appa. Aku berjanji akan menggantikan tugas Appa menjaga Umma dan Sungmin. Hiduplah dengan tenang di sana. Aku mencintaimu' batin Donghae sembari mengusap nisan ayahnya.

Air mata tak terasa meluncur begitu saja, Donghae tak berniat menghapusnya sama sekali. Ayahnya menjadi korban kecelakaan ketika akan pulang setelah bekerja. Kangin tak bisa terselamatkan karena banyak darah yang keluar dari kepalanya.

Sungmin kecil duduk di antara kakak dan Ibunya, hanya diam melihat bergantian pada Leeteuk, Donghae dan gundukan tanah di hadapannya.

"Appa.. jangan khawatir, Minnie, Umma dan Oppa akan baik-baik saja ne. Appa saranghae" ucap polos itu membuat Leeteuk dan Donghae menatap Sungmin. Bukannya tidak sedih, Sungmin menangis juga, tapi gadis kecil itu tidak terlarut dalam kesedihan, ia harus kuat dan tegar jangan sampai membuat Ummanya tambah bersedih pikir Sungmin.

Leeteuk langsung membawa putri kecilnya itu kedalam pelukannya. Donghae pun ikut memeluk Leeteuk.

'Yeobo.. apakah kau bisa melihat kami dari atas sana? Aku berjanji akan menjaga buah hati kita berdua' batin Leeteuk. Wanita itu mencium kening putra dan putrinya.

.

.

.

4 tahun kemudian

"Oppa" teriak Sungmin girang ketika melihat pelaku pembuka pintu yang tak lain adalah kakak satu-satunya. Gadis kecil yang berusia 11 tahun itu menghampiri Donghae dan mengambil alih tas Oppanya itu.

"Oppa.." panggil Sungmin manja.

"Hm..?" Donghae berdehem kemudian berlalu meninggalkan Sungmin menuju dapur. Pemuda berumur 2o tahun itu langsung menuangkan air dari teko ke gelas, tenggorokannya benar-benar terasa kering.

Matanya melirik sang adik yang masih menempel padanya, ia tersenyum kecil. "Ada apa mengikuti Oppa hm? Bukannya kerjakan PR, sana"

Sungmin berdecak. "Oppa tidak ingat?" tanyanya penuh harap.

"Ingat apa?" tanya Donghae tidak mengerti.

Sungmin mengerucutkan bibirnya merasa sebal. "Aish. Oppa menyebalkan" ujar Sungmin sedikit keras. Gadis kecil itu melempar tas kakaknya, dan tepat mengenai wajah Donghae. Menghentakkan kakinya lalu pergi meninggalakan kakaknya.

"Minnie-ya" panggil Donghae.

"Mwo-brugh" Sungmin cemberut, membalikkan badannya dan langsung sigap menangkap barang yang Donghae lemparkan padanya. Ia membelak tak percaya lalu menatap sang kakak dengan mata yang membulat.

Donghae tersenyum manis. "Oppa tidak lupa" ucapnya.

Greep

Sungmin berlari dan langsung menghambur memeluk tubuh kurus kering kakaknya. "Oppa gomawo. Saranghae"

Cup

Sungmin mengecup bibir kakaknya sebagai ucapan terima kasih. Ia melepas pelukan pada Donghae, beralih menatap boneka bear kecil berwarna pink. Donghae berjanji jika ia gajian nanti, kakaknya itu akan memberikan sebuah boneka sebagai hadiah karena pemuda itu belum sempat memberi kado ketika ia berulang tahun.

"Senang?" tanya Donghae sembari mengusap rambut adik nya itu. Betapa ia sangat menyayangi Sungmin. Gadis kecil itu penyemangatnya. Senyumnya memberi dorongan untuknya, agar terus berusaha dan bertahan.

Semenjak Appanya meninggal. Donghae yang menjadi kepala keluarga. Ia mengantikan Kangin bekerja di pabrik setelah pulang dari universitas. Bersyukur ia masih bisa membagi waktu antara belajar dan bekerja.

"Eum" Sungmin menganguk senang.

"Sudah makan?" tanya Donghae. Sungmin menganguk kembali. "Kalau begitu pergi kekamar kerjakan PR lalu tidur"

"Ne.." ujar Sungmin riang. Gadis kecil itu pun langsung masuk kedalam kamar.

Donghae mengalihkan pandangannya dari punggung kecil Sungmin ke pintu kamar yang sedikit terbuka itu. Langkahnya pelan ketika memasuki kamar Ibunya.

"Kau sudah pulang?"

Donghae tersentak ketika Leeteuk bangun, tersenyum lembut padanya. Pemuda itu menganguk lalu berjalan dan duduk di samping futon yang Leeteuk tiduri.

"Aku membangunkan Umma?" Donghae tidak enak.

Leeteuk berdecak lalu tersenyum. "Bagaimana Umma tidak terbangun mendengar suara mu dan adikmu itu" ujarnya.

"Bagaimana keadaan Umma hari ini?" tanyanya sembari memijit pelan kaki ibunya.

"Lebih baik" Leeteuk mengusap kepala putranya. Ia begitu beruntung memiliki putra dan putri yang selalu menemaninya. Jika tak ada mungkin sejak kematian Kangin ia tidak bisa bertahan.

Leeteuk menelisik wajah putranya yang termenung diam. Ia tahu ada sesuatu yang ingin di sampaikan putranya itu.

"Ada sesuatu yang Umma tidak ketahui?" Leeteuk menepuk pundak putranya membuat Donghae tersadar dari lamunannya. "Ada apa?" tanyanya lagi.

Donghae menghembuskan nafasnya sebelum bercerita. "Aku.. mendapat beasiswa untuk melanjutkan S2 di Seoul" cicit Donghae tak berani menatap wajah Ibunya.

"Jadi..?" Leeteuk menungu Donghae melanjutkan ucapannya tapi pemuda berusia 20 tahun itu malah bungkam. Leeteuk mengulurkan kedua tangannya, menangkup wajah putranya membuat Donghae menatapnya. Mengecup kening putranya sekilas. "Kau ingin kesana?"

"..."

Leeteuk tersenyum, ia mencondongkan tubuhnya kemudian sekali lagi mengecup kening Donghae lama. "Pergilah. Umma tidak akan menghalang-halangimu untuk tetap berada di desa ini" kata Leeteuk.

"Tapi bagaimana dengan Umma dan Minnie? Aku tidak bisa meninggalkan kalian" ucap Donghae.

Leeteuk menatap Donghae sendu. Apa ia menjadi benalu di kehidupan putranya itu? Ani! Putranya tidak pernah berpikir kotor seperti itu.

"Umma yakin, Umma dan Minnie bisa bertahan. Jadi jangan merasa berat untuk meninggalkan kami berdua. Pergilah belajar yang tinggi, jadilah orang yang sukses setelah itu bawa Minnie bersamamu" kata Leeteuk sembari menahan isakannya.

Sedangkan Donghae sudah menangis sejak tadi. "Aku akan membawa Umma juga bersamaku" nada suaranya bergetar. Leeteuk tersenyum lalu menganguk.

.

.

.

Leeteuk memeluk tubuh putranya erat menyalurkan betapa ia sangat menyayanginya. Donghae tak kalah erat memeluk tubuh ringkih Ibunya. Hari ini dia akan berangat ke Seoul.

"Hati-hati di sana, jangan menyusahakan temanmu arrasso" nasihat Leeteuk sembari melepas pelukannya. Donghae menganguk, untuk sementara ia akan ikut tinggal di rumah sahabatnya yang kuliah di sana. "Jangan telat makan" pesan Leeteuk.

"Hm"

"Belajar yang sungguh-sungguh"

"Ne arrasso Umma.." Donghae tersenyum lebar. Leeteuk memberi isyarat agar putranya itu melihat sosok yang sedari tadi diam disampingnya.

"Minnie-yah, kau tidak ingin memeluk Oppa?" goda Donghae. Ia bersimpuh hingga dihadapan adik perempuan yang sangat ia sayangi ini.

Sungmin sempat menangis keras ketika Donghae menyampaikan kepergiannya ke Seoul, bahkan adiknya itu tidak berbicara padanya beberapa hari. Ia dan Leeteuk terus membujuk Sungmin.

Ia tersenyum kecil melihat bibir itu terus mengerucut. Kenapa tubuh adiknya kecil sekali, tidak seperti tubuh anak perempuan berumur 11 tahun lainnya. Tak heran jika banyak yang menyangka Sungmin masih berumur 7 tahun.

"Oppa tidak sayang padaku" ujar Sungmin sambil memeluk boneka beruang pemberian kakaknya itu.

"Kau berpikir buruk tentang Oppa" Donghae memasang wajah sedihnya. "Oppa sangat menyayangi Minnie. Nanti jika libur, Oppa pasti akan pulang. Oppa janji" Donghae menyodorkan jari kelingkingnya.

Sungmin yang sudah menangis menatap jari kelingking dan wajah Oppanya bergantian. "Oppa rasa Minnie yang tidak menyayangi Oppa" ucap Donghae murung.

"Siapa bilang? Minnie sayang Oppa kok" bantah Sungmin.

"Jongmal?" Donghae sumringah. Sungmin menganguk semangat. "Kalau begitu.." Donghae menyodorkan jari kelingkingnya.

Dengan tak rela dan setengah hati, Sungmin mengaitkan kelingkingnya dengan milik sang kakak. "Itu baru putri Umma" puji Leeteuk.

Donghae merentangkan tangannya dan Sungmin langsung masuk kedalam pelukan kakaknya. "Jaga Umma ne" pesan Donghae.

"Um.. Oppa tidak usah khawatir" jawab Sungmin.

Donghae melepas pelukannya. Mencium kening Sungmin lalu bibir. Ia juga mencium kening dan bibir sang Umma kemudian pamit. Dan langsung menaiki kereta yang akan membawanya pergi dari desa Mokpo tempat kelahirannya.

.

.

.

3 bulan kemudian

Sungmin meringis melihat luka memar di bahu kirinya. Ia kemudian membuka pakaiannya. Huft, ia menghembuskan nafasnya. Baru saja kemarin memar di kakinya baru sembuh sekarang sudah ada memar baru lagi yang menghiasi tubuhnya.

Sungmin gadis kecil yang sulit beradaptasi. Tak ada teman yang ingin berdekatan dengannya malah teman-teman sekelas bahkan dari luar kelas lebih asyik untuk ada aduan sedikitpun keluar dari bibir mungil itu, ia hanya akan diam dan tersenyum lebar seakan tak terjadi apa-apa jika di hadapan Ibunya.

Setelah berganti baju, gadis kecil itu beranjak menuju dapur. Sekarang waktunya memuat bubur.

Tak lama ia sudah selesai dengan masakannya. Sungmin menyusun bubur serta gelas di nampan lalu berjalan menuju kamar Ummanya.

"Umma.." panggil Sungmin.

Leeteuk tersenyum kecil. Beginilah keadaan Leeteuk, sakit paru-paru yang di derita wanita itu semakin parah. Ia sudah tidak bisa bergerak bebas.

"Cha! Waktunya makan siang" ujar Sungmin. Gadis itu mulai menyuapi Ibunya dengan telaten. Ini sudah tiga bulan semenjak kepergian Donghae. Beruntung, tetangga Leeteuk memiliki pesawat telepon, hingga Donghae sempat memberi kabar beberapa kali, terakhir memberi kabar satu minggu yang lalu.

Leeteuk menatap wajah putrinya. "Mian" ujarnya pelan.

Sungmin mendongak tidak mengerti. "Mian, Umma menyusahkanmu" sambung Leeteuk. Sungmin tersenyum manis pada Ibunya. "Minnie tidak merasa di buat susah oleh Umma. Malahan Minnie yang harusnya minta maaf"

Sungmin memandang ibunya. "Minnie tidak bisa melakukan apa-apa selain ini" lanjut gadis itu.

Leeteuk mengisyaratkan Sungmin untuk lebih dekat padanya, wanita berdimple itu membawa tubuh mungil putrinya kedalam dekapannya. "Umma menyayangi Minnie" ujarnya.

"Minnie juga sayang Umma"

Setelah memastikan Ummanya makan dan minum obat, ia pamit. Sungmin melangkah menuju rumah tetangganya. Saatnya melipat pakaian yang sudah ia cuci tadi pagi.

Inilah kegiatan Sungmin sehari-hari. Mencuci pakaian para tetangga di pagi hari sebelum berangkat sekolah. Pulangnya melipat pakaian kadang ada yang meminta di strika. Malamnya ia akan membantu mencuci piring di kedai bibinya yang berada di persimpangan jalan hingga pukul 9 malam. Hanya untuk bisa mendapatkan uang.

Sungmin tidak pernah mengeluh. ia menjalani ini semua dengan hati yang terbuka. Tidak mungkin Sungmin menyuruh Ummanya yang jelas-jelas sakit untuk bekerja bukan.

.

.

.

Sungmin membenamkan wajahnya di kedua lutut menangis sejadi-jadinya. Duduk di dua gundukan, terlihat satu gundukan disampingnya masih basah karena masih baru.

"Umma...hiks..hiks..." tangis Sungmin.

Sungmin hanya mematung ketika melihat darah keluar dari mulut ibunya. Setelah tersadar dengan air mata yang sudah membasahi pipi, gadis kecil itu keluar rumah mencari bantuan.

Ibunya menghembuskan nafas terakhir tak lama setelah berada di klinik sederhana di pusat desa. Sungmin menangis sejadinya ketika melihat seorang Dokter menyelimuti tubuh Ummanya hingga kepala. Ia bukan anak bodoh yang tidak tahu apa arti semua itu. Ibunya pergi meninggalkannya, untuk selamanya.

"Oppa~ hiks" lirih Sungmin.

Gadis itu mendongak melihat dua batu nisan, tepatnya foto yang tertempel disana. Wajah tersenyum Appa dan Ummanya.

"Lalu Minnie bagaimana?" tanyanya lirih. Sungmin menatap wajah berseri Ibunya. "Kenapa Umma meninggalkan Minnie hiks.. hikss.. Minnie harus bilang apa jika Oppa pulang nanti hiks" lirihnya pelan.

Gadis itu beralih menatap wajah berseri Ayahnya. Iya, ada Ayahnya. "Appa~.. Appa pasti menjaga Umma disana kan?" ucapnya. "Hiks..Kalau begitu Minnie tidak perlu khawatir, karena Appa ada untuk menjaga Umma, iya kan"

Bibi Kim, menahan tangis melihat sosok mungil keponakannya. Ayah dan Ibu yang sudah tiada sedangkan sang kakak tidak berada disampingnya. Sungguh malang nasib keponakannya itu.

"Minnie-ya" panggilnya. Ini sudah hampir malam, ia tidak mau sampai Sungmin sakit.

Sungmin beranjak dari duduknya mencium foto Ayah dan Ummanya. "Minnie pergi dulu Appa, Umma. Saranghae"

.

.

.

Sungmin meremas kedua tangannya. Meyakinkan hatinya jika apa yang akan ia lakukan ini benar. Gadis manis itu menatap rumah kecil di hadapannya. Ia menangis ketika matanya seakan melihat kenangan-kenangan yang ada dirumah kecil itu.

Ia yang berlarian dengan kakak yang sedang mengejarnya. Ayah yang menasihatinya dan sang Ibu yang sibuk membuat makan untuk mereka berempat. Dan masih banyak kenangan lainnya yang terjadi di rumah itu.

"Hiks..hiks" hanya suara isakan kecil yang keluar dari mulut gadis itu.

Langit masih berwarna hitam karena waktu masih menunjukkan pukul 2 tengah malam. Ia meronggoh selembar kertas di kantungnya. Ia pandangai huruf demi huruf yang tertera di kertas itu. Alamat sahabat Oppanya.

Ia sudah mencari tahu alamat itu dan pergi menanyakannya kerumah sahabat Oppanya yang memang berada satu desa. Dengan tabungan yang sudah ia kumpul, cukup mungkin untuk ongkos ia naik kereta dan bekalnya di kota besar yang sebentar lagi akan ia tuju. Seorang diri tentunya.

Sungmin sudah berpamitan pada Umma dan Appanya. Ia juga sudah membersihkan rumah sejak siang tadi. Ia tersenyum kecil membayangkan sang bibi yang akan kalang kabut panik, melihat surat yang telah ia tinggalkan di ruang makan. Niatnya pergi ke Seoul sudah bulat.

"Umma~ Appa doakan Minnie. Semoga Minnie bisa cepat bertemu dengan Hae Oppa" ujarnya sembari melihat rumah kecilnya.

Gadis itu mengeratkan genggamannya pada tas punggung miliknya. Berbalik, melangkah menyusuri jalan kecil menuju stasiun kereta api yang akan membawanya ke Ibu kota.

.

.

.

Sungmin menganga lebar semenjak ia keluar dari stasiun bawah tanah, ia melangkah keluar dan langsung diseguhi dengan gedung-gedung pencakar langit. Gadis kecil berusia 11 tahun itu berjalan perlahan menyusuri trotoar jalan sembari mengandahkan kepalanya.

"Bagaimana Minnie bisa naik ke puncak gedung itu?" tanyanya pada diri sendiri. "Menaiki tangga?" ucapnya berfikir. Gadis itu kembali mendongak. "Pasti capek sekali" gumamnya.

Ini masih jam 6 pagi tapi jalan raya sudah padat dengan kendaraan yang berlalu lalang. Sungmin memasuki sebuah mini market, membeli sebungkus roti dan air mineral, kemudian kembali menyusuri jalanan. Ia berhenti ketika menemukan taman dan mulai memakan sarapan paginya.

Gadis kecil itu membuka tas punggungnya dan mengeluarkan sebuah figura foto keluarganya dan boneka beruang kecilnya. Ia tersenyum, walau begitu tampak dengan jelas raut kesedihan di parasnya.

"Umma.. Appaa hiks.. bogoshippo" lirihnya. Tak terasa air mata begitu saja keluar dari pelupuk matanya dan membasahi pipi. Sungmin mengelap pipinya kasar. Ia tidak boleh menyerah, segera mungkin harus bertemu dengan sang kakak tercinta.

Sungmin menghabiskan sarapannya. Mencium seluruh anggota keluarganya dalam foto lalu memasukkan kedalam tas, dan mulai berjalan kembali.

Pagi ini, matahari seakan enggan keluar dan menyinari bumi yang hanya segumpalan awan berwarna pekat menyelimuti. Setetes air turun dari langit lama-kelamaan semakin deras.

Sungmin panik ia bergegas mencari tempat berlindung, anak kecil itu melihat tempat telpon umum yang mampu menampungnya. Tubuh kecil itu basah kuyup sepenuhnya, Sungmin tersenyum lega ketika melihat tas punggung terbuat dari bahan parasit pemberian bibinya ketika ia naik kelas 5 SD, ia tidak perlu khawatir barang-barangnya tidak akan basah.

Deg

Sungmin membelakkan matanya, cepat-cepat gadis itu meronggoh saku celananya. "Hiks.." gadis kecil itu menangis ketika kertas bertuliskan alamat sahabat kakaknya itu, basah dan hampir tak berbentuk. Ia berjongkok memeluk kedua lututnya membenamkan wajahnya. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

"Eomma... Appa.. hiks... Oppa.. hiks... Oppa~" isak Sungmin mengiringi rincikan air hujan yang semakin keras.

.

.

.

Sungmin berjalan sembari menundukan kepalanya. Ia masih terus saja memikirkan tentang alamat rumah sahabat kakaknya. Ia berhenti dan mendudukan dirinya di halte bus. Tanpa menyadari ada sesosok pemuda yang berada satu tempat dengannya.

"Hiks.. hiks.."

Pemuda itu menoleh, ia sedikit menelisik anak kecil di pojok tempat duduk. Ia ingin acuh tapi tak bisa, ingin mendekat tapi ia segan.

Sungmin menangkupkan wajahnya dengan kedua tangan menangis, dan menangis entah bagaimana air mata itu terproduksi walaupun sudah ia keluarkan berapa banyak pun tetap saja masih ada.

"Hei"

Sungmin mendongak dengan wajah yang penuh harap jika suara laki-laki itu adalah kakaknya. Wajahnya langsung muram ketika sosok pemuda lain yang berada di hadapannya. Sungmin menilai jika pemuda itu hampir seumuran dengan kakaknya.

Sosok itu tersenyum, melihat mata rubah gadis kecil itu basah karena air mata. Ia gemas sekali melihatnya. Ia mengeluarkan tangannya untuk sekedar mengusap kepala gadis itu.

"Jangan takut. Aku bukan orang jahat kok" ujarnya ketika menyadari anak kecil itu merengut dan menghindar.

Pemuda itu membuka tas selempangnya, mengeluarkan sebungkus susshi yang belum sempat ia makan siang tadi. "Ambillah" katanya.

Sungmin tampak menimang, menerima atau menolak. Belum sempat menjawab, pemuda itu sudah lebih dulu menaruh kotak susshi itu di tangan Sungmin, lalu mengusap rambut panjang terurai gadis kecil itu.

"Kyuhyun-ah" teriak lantang seorang pemuda yang berada dalam mobil di pinggir jalan. "Mian aku telat menjemputmu" ucapnya lagi.

"Sudah biasa Hyung" teriaknya tak kalah keras. Ia menatap pada anak kecil di hadapannya. "Aku duluan ya. Pulanglah, ini sudah sore, nanti orang tuamu mencari, arraso" ujarnya sambil tersenyum. "Annyeong" pamitnya dan langsung berlari masuk ke dalam mobil sepupunya.

"Siapa anak kecil itu?" tanya pemuda berdimple itu pada sepupunya.

Pemuda yang baru masuk itu mengendikan bahunya. "Molla"

'Harusnya aku mengantar anak itu pulang' batin Kyuhyun sembari masih melihat sosok gadis kecil di yang masih duduk di halte bis. 'Aish, Sudahlah'

Mobil pun melaju, perlahan meninggalkan halte bus dan meninggalkan seorang gadis kecil di sana yang memandang mobil hitam itu dengan senyum kecil.

"Kamsahamnida, Kyuhyun Oppa" gumam Sungmin pada angin yang berhembus.

.

.

.

Sungmin melihat intens pada kedai jajangmyon di sebrang jalan. Ia mengusap perutnya. Uang dari hasil menabungnya sudah habis tak tersisa. Sejak dua hari yang lalu ia terlunta tak tahu kemana akan di tuju. Satu-satunya tempat adalah kakaknya tapi dimana?

Setelah uangnya habis sejak dua hari yang lalu Sungmin belum menemukan makanan. Ani, ia sering menemukan makanan tapi gadis itu hanya bisa memandangnya. Ia pernah di usir dengan kasar oleh seorang ahjusshi pedagang makanan ketika Sungmin hendak meminta satu piring nasi tanpa ada uang dan jadilah ia tidak mau mengulangi lagi.

Jika malam tiba, gadis kecil itu mulai mencari sebuah tempat yang di rasa pas untuk memejamkan mata seperti amparan toko, kursi taman dan lain-lain. Sempat berpikir untuk kembali ke stasiun kereta api tapi sial, di tidak tahu jalan menuju kesana. Gadis mungil itu tersesat ia juga tidak tahu, dirinya ada dimana sekarang.

"Apa yang kau lakukan disini anak manis?"

Sungmin tersentak kaget dan langsung membalikkan badannya melihat sesosok dewasa yang menyapanya tadi. Jelas terlihat, dalam foxy eyesnya menyalang waspada.

.

.

.

TBC

Chapter 1 publish

FF ini adalah FF request dari temen saya Amigo Bonamana Shawolelf (acun fbnya) dan ide cerita FF ini pun original miliknya. Saya hanya mengembangkan, menambah dan mengurangi untuk kebutuhan alur cerita.

Disini adakah chingudeul yang mengikuti FF Jongmal Saranghae? Jika ada saya mau minta maaf untuk beberapa chingudeul yang last chapter tidak ada namanya di ucapan terima kasih saya. Itu karena saya lupa menghapus tanda titik di pen nama chingudeul sampe jadi ilang mian ne.. #bow

So how about this FF?

mind to review?