Ini bisa dibilang FF yg lumayan fenomenal di tahun 2011-2012an, karena salah satu authornya aka Amel hiatus, jd FF ini sempet terhenti. Dan karena banyak permintaan dari readers lama FF ini yg PM saya baik ke akun FFn maupun FB jd saya merayu kak Dee (authornya) utk lanjutin cerita ini, dan kebetulan beliau bersedia melanjutkan cerita ini, jadi saya bantu mempostingnya.

Sesuai janji saya update chapter 1A nya, wlopun 1A tapi chapter ini sangat panjang 6k+ words.

Sekali lagi, Ini bukan FF saya, tapi saya sudah dapat izin dari authornya uantuk mempublish ulang cerita ini.

Title : Endless Night

Cast : Yunjae, Yoosu add in the next chapter

Rating : NC 21/ Yaoi

Special cast: Kim Moonchul, Jung Yonghwa, Jungshin

Author: Yoshitsune aka Amel and Fujoshinta aka Dee

Chap: 1A

Jae Joong PoV-

Namaku Kim Jae Joong. Umurku dua puluh empat tahun. Aku hanyalah seorang pemuda biasa yang memiliki cita-cita luar biasa. Aku adalah seorang penulis novel, penulis novel khusus dewasa lebih tepatnya. Setiap hari aku selalu berpikir agar novel yang kutulis dapat terkenal di seluruh negeri dan menjadi pusat perhatian banyak orang. Dengan bakat menulis yang kumiliki, aku ingin karya-karyaku dikenal seperti halnya karya Shakespeare yang telah mendunia walau sebenarnya sangat sulit diwujudkan. Tapi itulah yang kuinginkan sejak memutuskan menjadi penulis. Setiap orang boleh memilki cita-cita, bukan? Dan itulah yang ingin kuwujudkan saat ini.

Sudah empat tahun aku bersembunyi di balik nama Han Yoo Hwan sebagai penulis novel khusus dewasa yang di dalamnya berisi kisah cinta romantis dan menggairahkan. Anak di bawah umur tidak diperkenankan membaca novelku karena seks terlalu cepat untuk mereka. Tapi jika ada yang masih nekad membacanya, aku tidak bisa melakukan apa-apa karena begitulah anak muda. Makin dilarang, makin ingin melakukan. Makin disembunyikan, malah semakin ingin tahu. Seperti halnya aku saat masih SMA dulu. Dimana awal pekerjaanku dimulai dari sebuah ruangan kecil dan sunyi di daerah Chungnam, kampung halamanku.

Masih teringat dengan jelas bagaimana aku berbohong pada keluargaku setiap selesai makan malam. Kukatakan pada mereka jika aku ke kamar untuk belajar. Ya.., memang benar aku belajar. Tapi bukan pelajaran sekolah yang kupelajari, melainkan pelajaran yang biasanya dipelajari pemuda tujuh belas tahun sepertiku saat itu. Hampir setiap malam aku membaca novel dewasa yang dipinjamkan oleh temanku untuk memenuhi rasa ingin tahu akan seks. Tiga atau empat jam bisa aku habiskan untuk membaca puluhan bahkan ratusan halaman yang menceritakan sepasang kekasih saling mencintai bertemu dan bercinta dengan konflik rumit yang menghiasi kisah cinta mereka.

Sering membaca menjadikanku tertantang membuat cerita sendiri. Aku membeli sebuah buku kosong dan mulai mengeluarkan segala imajinasi yang nantinya akan kutunjukkan kepada teman-teman dekat untuk dibaca. Dengan coretan disana-sini, kata-kata vulgar yang ada di setiap halaman, dan tulisan acak-acakan, sebuah buku pun nyaris dipenuhi oleh cerita-cerita aneh karanganku karena didalam cerita itu tidak ada alur dan konflik yang bisa mengaduk-aduk emosi pembaca. Aku bukanlah penulis profesional yang mahir melakukan pada bagian sisi alur dan konflik imemang pada saat itu, sebab dari awal sampai akhir cerita aku hanya menulis adegan seks yang sukses membuat nafsu teman-temanku tidak bisa ditahan lagi.

Aku mencintai duniaku. Aku mencintai pekerjaanku. Karena itu juga, aku tahan duduk berjam-jam di hadapan laptop untuk menuangkan imajinasi liar yang terperangkap di otakku. Tidak peduli pagi, siang, atau malam, begitu inspirasi datang aku akan segera menghampiri laptop hitamku yang setia menemani bagaikan seorang istri. Benda itu sudah menjadi bagian diriku yang tak terpisahkan. Tidur bersama, menyentuhnya, dan membelainya bagaikan membelai seorang wanita sudah menjadi kebiasaan bagiku.

Dulu tidak ada yang mengetahui jika aku memiliki identitas ganda. Aku merahasiakannya rapat-rapat bahkan dari keluargaku sekali pun. Menurutku lebih nyaman bekerja diam-diam seperti ini tanpa publikasi dari media cetak atau elektronik karena aku menyukai ketenangan. Cukuplah jika Han Yoo Hwan dan karyanya saja yang terkenal. Dengan begitu aku bisa menikmati hidup tenang sebagai Kim Jae Joong yang biasa-biasa saja.

Sepintar apapun menyimpan rahasia, pada akhirnya nanti akan terbongkar juga. Jika tidak oleh orang lain, pastilah oleh diri sendiri. Benar juga yang orang-orang katakan. Dan itulah yang terjadi denganku. Aku membongkar sendiri rahasia yang kusimpan selama ini. Orang itu adalah seorang teman chatting yang kukenal satu setengah bulan lalu. Namanya Park Yoo Chun. Dia adalah pembaca setia novel Han Yoo Hwan yang menurutnya sayang untuk dilewatkan.

Ada dua hal yang membuatku kagum dan ingin bertemu dengannya. Pertama, karena dia hapal semua puisi dan dialog-dialog penting di novelku. Kedua, dia akan memasukkan Han Yoo Hwan ke dalam daftar permintaan jika Tuhan akan memberinya tiga hal yang ingin dilakukan sebelum meninggal. Dia akan menulis ingin bertemu Han Yoo Hwan untuk pertama dan terakhir kalinya agar bisa meninggalkan dunia dengan tenang. Mengharukan sekali! Aku ingin menangis dibuatnya. Dan inilah yang menggerakkan hatiku untuk mengabulkan keinginan Park Yoo Chun walau pun Tuhan tidak memberikan tiga permintaan sebelum dia meninggal. Hari ini, sesuai perjanjian dua hari yang lalu, kami akan bertemu di tempat yang sudah disepakati

- End of PoV -

..

Endless Night

..

Jae Joong tersenyum di hadapan cermin saat melihat penampilannya yang sempurna. Tidak ada cela bagi dirinya dari atas kepala hingga ujung kaki. Semua begitu mengagumkan, hingga dia sendiri tidak tahan memuji bayangannya sendiri di dalam cermin. Seperti ibu tiri Putri Salju yang bertanya pada cermin, siapa yang paling cantik di dunia, Jae Joong pun mulai mendekati cermin dan mengelusnya perlahan. "Siapa yang paling tampan di dunia? Pasti aku, kan? Sudahlah. Aku sudah tahu jawabannya."

Seoul sangat panas hari ini. Berulang kali Jae Joong mengibas-ibaskan tangannya ke wajah untuk memberi sedikit kesejukan. Keadaan ini makin diperparah karena dia memakai jaket hitam yang membuat keringatnya mulai bermunculan. Dua pendapat sedang memperebutkan tempat utama di kepalanya. Di satu sisi Jae Joong ingin melepas jaket yang mengganggu, di satu sisi dia tidak ingin melepaskan, karena takut kulitnya menjadi hitam. Aset berharga harus dijaga sebaik mungkin. Tuhan menganugerahkan kulit putih dan halus yang membuat wanita iri pada seorang Kim Jae Joong. Sinar matahari yang menyengat sudah tentu menjadi musuh utama.

Gadis-gadis berpakaian minim yang berjalan di jalan yang berseberangan merangsang daya khayal Jae Joong sebagai penulis. Jae Joong membayangkan dirinya berubah menjadi wanita cantik yang berjalan di antara keramaian. Memakai pakaian minim, merasakan angin membelai lengan dan kakinya yang indah. Rambut panjangnya tertiup angin dan pria-pria akan menatap dengan kagum. Indah sekali!

Tanpa peduli pada kulit yang menjadi hitam dan sekelilingnya, Jae Joong membuka jaketnya dan mengikatkannya di pinggang. Satu atau dua orang wanita yang berjalan berlawanan arah melihat tanpa berkedip selama beberapa detik. Jae Joong membalas tatapan mereka dengan senyuman. Dia biarkan berpasang-pasang mata indah itu mengagumi otot bisepnya, pinggangnya yang ramping, dan tentu saja wajahnya yang sempurna. Kafe Rising Sun yang dijadikan tempat pertemuan sudah terlihat. Dengan berlari-lari kecil Jae Joong menuju kesana. Yang dibayangkannya sekarang adalah duduk di tempat sejuk tanpa rasa panas yang serasa membakar kulit. Dan tiga menit lagi dia bisa merasakan apa yang ada dalam bayangannya, rasa sejuk yang akan melingkupi seluruh tubuhnya.

._.

Pendingin Kafe Rising Sun menyejukkan kulit Jae Joong yang kepanasan. Dia biarkan lengan putihnya merasakan sensasi ini sebelum kembali memakai jaket. Kaus putih tanpa lengan yang membalut tubuh tidak bisa diandalkan lagi untuk menahan dingin yang mulai menusuk kulit. Seorang pelayan wanita menghampiri dan memberikan daftar menu. Tidak butuh waktu lama untuk memutuskan apa yang akan Jae Joong nikmati di tempat ini saat menemukan es krim stroberi ada di dalamnya. Di siang sepanas ini tidak ada yang lebih menyenangkan selain menyantap es krim stroberi sambil mendengarkan permainan piano yang dimainkan seorang pria di sudut kafe. Rhythm of The Rain mengalun merdu. Memberikan sedikit perasaan tenang saat Jae Joong melihat kendaraan yang berlalu tiada henti di luar sana dari jendela kaca besar di sebelahnya. Seorang wanita berjalan tergesa-gesa menggandeng anak laki-lakinya yang masih kecil, seorang pria yang terlihat lelah membuka minuman kalengnya di pinggir jalan, asap dan debu beterbangan mengotori wajah. Pemandangan yang selalu dia lihat selama di Seoul setiap harinya. Sebuah kota yang tidak pernah tidur dan selalu sibuk. Kota seterang kembang api di langit malam yang pekat tempat jutaan orang mengejar impiannya.

"Maaf..."

Jae Joong menoleh ke samping kanan. Seorang pria bertubuh tegap berdiri di sebelahnya.

"Apa kau Han Yoo Hwan?"

Pertanyaan bagus yang membuatnya tersadar kenapa dia ada di tempat ini. Tentu saja dialah orang yang ditunggu. Penggemar novel Han Yoo Hwan yang bernama Park Yoo Chun. Jae Joong menghargai kedatangannya yang lebih cepat lima belas menit. Orang yang sangat menghargai waktu dan tahu kalau menunggu adalah pekerjaan yang sangat membosankan sudah mulai jarang ditemukan saat ini. Sebagai seorang yang bekerja untuk orang lain, tentu dia sudah biasa mengatur waktunya dengan baik.

"Duduklah."

Mereka duduk berhadapan. Pesanan es krim Jae Joong datang kemudian. Jae Joong menawarkan apakah dia ingin memesan sesuatu atau tidak, tapi tawarannya ditolak dengan halus.

"Apa kau sudah menunggu lama?"

"Tidak." Jae Joong menyuapkan sesendok es krim, merasakan dinginnya di mulut hingga akhirnya melumer. Park Yoo Chun masih tersenyum sambil menatapnya. Dalam bayangan Jae Joong, hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan karena bisa bertemu seseorang yang bersemangat. Walau tidak pernah berbincang-bincang sekali pun, Jae Joong bisa tahu kalau Park Yoo Chun adalah seorang yang bersemangat dari kalimat-kalimatnya saat mereka chatting. Terutama saat menceritakan betapa dia sangat menyukai novel-novelnya, puisi-puisi di dalamnya, dan kisah menghanyutkan antara dua tokoh utamanya yang saling mencintai.

"Apa ada yang aneh dengan wajahku?'

"Tidak."

"Lalu kenapa kau melihatku seperti itu? Santai saja seperti saat kita chatting. Apa kau masih kelelahan karena bekerja semalam? Kau kurang istirahat?" Bayangan hitam di bawah matanya membuat Jae Joong mulai membayangkan bagaimana lelahnya dia bekerja. Bekerja di dunia malam memang harus siap kehilangan waktu tidur. Dan Park Yoo Chun yang seorang pelayan bar tentu harus mengalaminya setiap malam.

"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu."

"Apa?" Sambil menunggunya berbicara, Jae Joong mengaduk-aduk es krim seperti mengaduk teh. Kemudian menutupi ceri merah di atasnya dengan es krim yang mulai lumer hingga tidak terlihat lagi.

"Maaf. Sebenarnya...aku bukan Park Yoo Chun."

Gerakan tangan Jae Joong terhenti bagaikan ada yang menahan.

"Kau bukan Park Yoo Chun?!" Suaranya nyaris terdengar seperti teriakan. "Lalu...kau siapa? Kenapa kau bisa tahu kalau aku Han Yoo Hwan?"

"Yoo Chun bilang kalian akan bertemu di meja nomor delapan dan kau akan memakai pakaian serba hitam. Benar, kan?"

Sesungguhnya Jae Joong kecewa mendengar orang asing ini mengatakan dia bukanlah Park Yoo Chun. Dia merasa dibohongi karena sebelumnya sudah memperingatkan kalau chatting mereka adalah rahasia. Begitu juga pertemuan ini.

"Jangan takut. Aku teman Yoo Chun. Yoo Chun yang menyuruhku menggantikannya. Ada seorang teman yang harus diantar ke rumah sakit. Satu setengah jam yang lalu dia memberitahuku dan satu jam yang lalu dia ke rumah sakit."

Mengecewakan sekali. Kenapa bisa seperti ini, pikir Jae Joong. Perjalanannya yang sudah melawan panas hanya untuk bertemu Park Yoo Chun malah berakhir dengan buruk. Kebaikannya dengan membongkar identitas tidak mendapat balasan yang sesuai. Tiba-tiba dia menyesal kenapa terlalu baik pada seseorang yang tidak diketahui bagaimana wujudnya.

Rasa kecewa Jae Joong naik setingkat karena orang ini bukanlah pembaca novelnya. Dia datang dengan tangan kosong tanpa membawa apapun. Sikapnya biasa saja. Ekspresi wajah pun sangat datar. Tidak ada berjabat tangan, tidak ada novel yang harus ditandatangi. Analisanya mulai melunturkan semangat yang tadi berada di titik teratas. Jae Joong mulai membayangkan laptopnya yang sendirian di dalam kamar.

"Aku pernah membaca novelmu."

Mengejutkan! Jae Joong mencubit pahanya untuk meyakinkan jika ini bukanlah mimpi. Sakit. Ternyata benar, ini bukan mimpi.

"Benarkah? Yang mana?"

"Novelmu yang ketiga. Yoo Chun menyarankanku untuk membacanya. Dia bilang ceritanya sangat seru dan bahkan...dia sudah empat kali membacanya."

"Ya, dia juga pernah memberitahu itu saat kami chatting. Oh iya, aku belum tahu namamu. Siapa namamu?"

"Namaku Jung Yunho. Senang berkenalan denganmu."

"Aku Choi Ji Hoon. Senang berkenalan denganmu."

"Kau memakai nama samaran rupanya."

"Sesuatu yang biasa bagi seorang penulis menggunakan nama samaran. Aku termasuk salah satunya. Orang tidak akan tahu siapa aku sebenarnya, dan juga siapa Han Yoo Hwan yang sebenarnya. Bukankah ini sangat menarik?"

"Wah, kalau begitu kau sangat misterius."

"Mungkin. Ah, aku hampir lupa...Yoo Chun pernah memberitahu, kalau dia memiliki dua orang teman dekat yang juga pelayan. Apakah kau salah satunya?"

"Ya. Dan yang satu lagi...yang diantar Yoo Chun ke rumah sakit." Yunho tersenyum melihat Jae Joong menggigit sendoknya seperti anak kecil. Mata mereka kemudian bertatapan, tapi Jae Joong menghindar dengan menyuapkan sesendok es krim ke mulutnya.

"Aku juga tidak menyangka bisa bertemu denganmu. Kukira Yoo Chun berbohong, ternyata tidak."

"Kau menyukai novelku?"

"Ya. Aku menyukainya."

"Kenapa?" Jae Joong menatap Yunho, "Kenapa kau menyukainya?"

"Karena mirip denganku," jawab Yunho pelan.

"Di bagian mana yang mirip?"

"Pekerjaan."

"Pekerjaan?" tanya Jae Joong lagi.

Yunho menggangguk dan memajukan duduknya agar bisa lebih dekat dengan Jae Joong. Dia melihat ke sekeliling untuk memastikan agar tidak ada yang mendengar selain mereka.

"Kang Hyun Mi..." Kebetulan Jae Joong sedang menggigit sendok. Karena terkejut, sendok itu pun jatuh di atas meja.

"Kau terkejut?"

"Tidak. Wah...aku tidak menyangka. Sungguh!"

Kang Hyun Mi... Dia adalah karakter utama wanita di novel ketiga Jae Joong. Seorang wanita muda penari striptis yang kemudian bertemu dengan karakter utama pria bernama Min Young Jun. Hubungan mereka adalah terlarang karena Min Young Jun telah memiliki istri dan seorang anak. Karena itulah keduanya hanya bisa bertemu di malam hari untuk melepas rindu, bercinta, dan bermain-main dengan nafsu yang memuncak. Endless Night. Malam yang bagaikan tanpa akhir bagi sepasang kekasih dimabuk cinta. Berdua, bercinta, melewati malam menggairahkan seperti hari esok tidak akan datang.

"Kau terkejut. Aku bisa melihatnya." Yunho tertawa pelan, kemudian menatap Jae Joong. Matanya begitu hitam. Tatapannya pun tajam. Tapi Jae Joong bisa melihat ada kelembutan tersimpan di dalamnya. Mata itu mengingatkan pada karakter Choi Jung Ho yang seorang pembunuh dari novel pertamanya. Seperti inilah yang Jae Joong bayangkan saat menciptakan karakter Choi Jung Ho. Bermata tajam, tapi juga ada kelembutan yang tentunya hanya diberikan kepada wanita yang dia cintai.

"Aku juga pelayan. Yoo Chun melayani dengan makanan dan minuman. Tapi aku dengan tubuhku."

"Kau serius?" Jae Joong masih belum bisa percaya walau pun wajah Yunho terlihat sangat serius.

"Serius!"

Kali ini Jae Joong yang tertawa, sementara itu Yunho terus memperhatikan dengan diam. Jae Joong takut Yunho tersinggung. Tidak sepantasnya dia menertawakan pekerjaan orang yang baru dikenal. Bukan begitu seharusnya. Kemudian Jae Joong pun mengatur sikapnya dan berusaha menenangkan diri.

"Aku suka caramu mendekripsikan apa yang Kang Hyun Mi lakukan saat bekerja. Kau melakukannya dengan sangat baik. Kata-kata yang kau gunakan juga enak dibaca. Pasti sudah banyak waktu yang kau habiskan untuk menonton tarian striptis."

"Tidak juga. Sebenarnya...aku malah tidak pernah ke bar untuk melihat yang seperti itu. Kau mungkin tidak akan percaya kalau aku tidak menyukai kehidupan malam. Musik yang keras, tempat yang remang-remang, bau rokok, dan...seks."

Jae Joong memang tidak pernah menyaksikannya secara langsung. Dia hanya melihatnya di film, kemudian membiarkan imajinasi yang bekerja. Orang yang menyukai ketenangan seperti Jae Joong sangat tidak suka pada keramaian.

"Aku tidak percaya." Yunho tertawa lagi. Jae Joong bisa mengerti kenapa dia melakukannya. Jika dia menjadi Yunho dan sebaliknya, mungkin dia pun akan melakukan hal yang sama.

"Choi Ji Hoon, kau orang yang menarik."

"Terima kasih," kata Jae Joong dengan sedikit manja. "Kau juga orang yang menarik, Jung Yunho."

Hujan turun dengan deras. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh sambil menutupi kepala dengan tangan, koran, tas atau apa saja yang bisa digunakan agar tidak basah. Tiba-tiba Jae Joong mendapat inspirasi untuk menjadikan saat ini sebagai bagian dari novel barunya. Karakter utama pria akan menolong karakter utama wanita yang kehujanan. Mereka berbagi payung hingga hujan berhenti. Pelangi terbentang di langit sebagai tanda bertemunya dua orang yang ditakdirkan untuk saling mencintai. Kisah cinta yang indah dan mengharukan pun akan dimulai.

"Biarkan hujan menemaniku menangis, dan angin yang akan menyampaikan pesan bahwa aku mencintaimu..."

Jae Joong mengenalinya. Itu puisi yang dia buat untuk Kang Hyun Mi saat rindu pada kekasihnya.

"Kau hapal puisi itu, Jung Yunho?"

"Sedikit. Aku tidak bisa mengingatnya karena terlalu panjang. Tapi hebatnya, Yoo Chun bisa mengingat puisi itu dari awal sampai akhir."

Park Yoo Chun... Kalau dia yang berada disini, mungkin Jae Joong tidak akan bosan seperti sekarang. Jae Joong bisa mendengarnya mendeklamasikan puisi secara utuh, mendengarkan leluconnya, atau melihat ekspresi wajahnya saat berbicara. Rasanya sangat aneh jika berada di satu meja dengan orang yang baru dikenal, yang sepertinya lebih suka menatapnya daripada mengajak berbicara banyak. Bayangan Yunho yang terpantul di jendela berembun terlihat samar-samar oleh Jae Joong.

"Apa kau menyukai hujan?" Akhirnya Yunho berbicara juga. Setidaknya itu bisa mengurangi kebosanan Jae Joong karena sejak tadi mereka lebih sering diam.

"Ya. Hujan sering memberiku banyak inspirasi."

"Kau pasti sudah mendapatkannya, kan? Tadi aku melihatmu tersenyum seperti membayangkan sesuatu yang menyenangkan." Jae Joong mengiyakan dengan tersenyum. Yunho memajukan tubuhnya agar lebih dekat dengan Jae Joong.

"Apakah itu seks?"

Jika hanya ada mereka berdua, Jae Joong ingin sekalii tertawa keras sambil memukul-mukul meja. Atau mungkin menendang-nendang meja seperti orang gila. Yunho terlalu cepat membuat kesimpulan. Pikirannya terlalu jauh menyimpang. "Sedikit. Tempat ini tidak bisa menghasilkan banyak imajinasi ke arah itu. Membayangkan Kang Hyun Mi menari juga tidak bisa membantuku lagi."

"Oh, ya?"

Tidak sedikit pun Jae Joong mengalihkan pandangan ke arah lain. Dia mencoba menantang diri sendiri untuk menguji daya tahan seorang penari striptis dari matanya. Jae Joong ingin tahu seberapa kuat Jung Yunho bisa bertahan tanpa menunduk.

"Jangan bilang kalau kau membayangkanku menari."

"Sedikit."

"Aku bisa melakukannya lebih baik dari Kang Hyun Mi."

Pembicaraan mulai berpindah ke tempat yang Jae Joong inginkan. Makin Yunho memancingnya, Jae Joong akan dengan senang hati melayani. Keahliannya berbicara akan dikeluarkan perlahan-lahan.

"Bagaimana caranya?"

Yunho tidak menjawab. Lama sekali dia terdiam. Matanya tidak berhenti menantang mata Jae Joong. Dua orang yang sepertinya menyukai tantangan mulai bertarung lewat mata.

Jae Joong mulai menggigit bibir bawah untuk menggoda, ditambah dengan mengedipkan mata dan membuat suasana makin memanas. Di hadapannya, Yunho hanya tersenyum seperti menikmati apa yang Jae Joong lakukan. Sama sekali belum memperlihatkan tanda-tanda akan menyerah sedikit pun.

"Bagaimana caranya?" Jae Joong sengaja bertanya dengan suara sedikit mendesah. Senyumnya yang menggoda belum juga bisa meruntuhkan pertahan Yunho.

"Menari, tersenyum kepada semua wanita di bawah panggung, membuka pakaian, meraba, dan..."

"Dan...?"

Di bawah meja kaki Jae Joong mulai bergerak mencari apa yang dia inginkan. Ketika sudah menemukan kaki Yunho, Jae Joong menginjak dan sedikit menggeseknya. Yunho masih bertahan. Jae Joong merasa puas. Jae Joong yang belum puas masih ingin lebih dari sekadar menyentuhkan kaki.

Kaki Jae Joong mulai berani bergerak ke tempat yang paling berbahaya. Yunho sedikit membelalakkan mata ketika merasakan sesuatu berada di sekitar miliknya yang paling pribadi, yang tak lain adalah jari-jari mungil lelaki dihadapannya yang tengah beradu pandang. Sentuhan itu terasa lembut mengitari resleting celananya. Yunho tetap diam. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh pria dihadapannya ini. Jaejoong yang tampak tidak peduli mengetuk-ngetuk meja sambil menyenandungkan sebuah lagu. Cara standar yang digunakan wanita untuk menggoda pria seperti ini sudah sangat sering dia tangani. Jadi bukanlah hal sulit bagi Yunho untuk menuntaskannya.

Yunho menaikkan sedikit jeans Jae Joong untuk memberi ruang lebih bebas. Jarak kedua pahanya lebih diperlebar agar sentuhan jari-jari kaki itu dapat mengkesploitasi sesuatu di balik celana panjang putihnya. Dengan penuh kelembutan seperti membelai kaki seorang wanita, Yunho membelai kaki Jae Joong dari atas sampai ke bawah, dari bawah sampai ke atas.

Jae Joong yang menerima perlakuan seperti itu tentu saja terkejut. Dalam bayangannya Yunho akan mengumpat dengan kata-kata kasar, kemudian pergi meninggalkannya karena menganggap Choi Ji Hoon adalah orang gila dan tidak tahu malu. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Sebisa mungkin Jae Joong mengendalikan diri agar tetap tenang walau sebenarnya ingin tertawa karena merasa geli. Jae Joong naikkan tingkat kenakalannya dan mulai mendesah pelan. Tangan Yunho menahan kakinya yang sedikit bergerak agar diam. Yunho tersenyum puas, sementara Jae Joong sudah mulai tersiksa karena ulah sendiri. Matanya mulai terpejam. Keinginan Jae Joong untuk menang lebih besar daripada kalah. Desahannya dibuat makin cepat dan lebih keras. Kedua matanya menatap tajam, bibir yang tersenyum menggoda seolah memohon agar ini tidak segera berakhir.

"Kau gila." Jae Joong berhenti mendesah. Dilihatnya tangan kanan Yunho sudah berada di atas meja. Seketika wajahnya terasa panas. Ini adalah pertama kalinya dia bertindak melewati batas.

"Maaf, Jung Yunho. Aku hanya ingin main-main denganmu. Biasanya aku menggunakan cara tadi untuk menggoda teman-temanku saat SMA dulu."

"Benarkah?" Yunho mengambil setangkai mawar putih dari vas bening di tengah meja. Dia mencium baunya yang wangi kemudian mengembalikannya lagi.

Gerimis mulai menggantikan hujan. Langit tidak lagi segelap tadi. Orang-orang yang berteduh mulai berjalan satu demi satu. Jae Joong merasa lega karena sebentar lagi bisa segera pulang.

"Sudah banyak wanita yang memakai cara tadi untuk memancingku. Jadi aku sangat tahu cara menanganinya."

Khayalan Jae Joong kembali bekerja. Dalam bayangannya ada seorang wanita yang meminta lebih dari sekadar menyentuh setelah melihat Yunho menari sensual tanpa pakaian. Wanita itu bermata buas. Lidahnya keluar masuk seperti ular. Yunho yang masih tampak letih tak bisa berbuat apa-apa selain memberikan servis tambahan. Sungguh pekerjaan penuh tantangan dan membutuhkan banyak keberanian untuk melakukannya. Rasa malu harus dibuang jauh-jauh. Tangan-tangan orang tak dikenal menyentuh di sembarang tempat. Tua dan muda harus dilayani sebaik-baiknya hingga merasa puas. Jae Joong yakin tidak akan pernah bisa melakukannya sampai kapan pun. Dan tidak ingin mencobanya walau ada yang berani membayar mahal.

"Apakah aku memalukan?"

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Apa kau malu bertemu dengan orang sepertiku?"

Jae Joong menggeleng. Es krimnya sudah habis. Suara berdenting terdengar saat dia memasukkan sendok ke dalam gelas. "Tidak. Kenapa aku harus malu?"

"Karena pekerjaanku. Itu pekerjaan rendahan, kan?" Wajah Yunho terlihat sedih. Jae Joong bisa melihat dan merasakan kesedihan itu walau pun Yunho ingin menyembunyikannya dengan senyuman.

"Pekerjaanku juga rendahan." Yunho mengangkat kepalanya yang tertunduk. Tanpa sengaja satu kelopak mawar terlepas karena tidak sengaja tertarik olehnya.

"Apa maksudmu?"

"Kantor penerbitku pernah menerima beberapa e-mail yang mengkritik novelku. Mereka mengatakan novelku adalah karya tidak bermutu. Hanya mengumbar seks, merusak moral generasi muda, dan memperparah seks bebas. Bukankah yang aku tulis itu benar? Banyak kejadian seperti itu yang terjadi di sekitar kita, tapi ditutup-tutupi agar hanya sisi baik saja yang terlihat."

Yunho terus mendengarkan. Untuk pertama kalinya dia melihat wajah Jae Joong yang serius. Sangat berbeda dengan Jae Joong sebelumnya.

"Tapi aku tidak keberatan karena inilah duniaku. Tidak apa-apa jika mereka tidak suka. Bukankah semua orang berhak mengeluarkan pendapat? Walau pun mereka mengatakan novelku murahan dan tidak bermutu, ada satu hal yang membuatku bangga pada diri sendiri. Itu hasil pemikiranku," Jae Joong menunjuk kepalanya berulang kali, sementara Yunho masih terus memperhatikan.

"Aku memikirkannya siang dan malam. Aku tidak mengambil karya orang lain, memindahkannya, lalu mengakui jika itu milikku. Walau seribu orang memberi pujian, aku tidak akan merasa senang sedikit pun. Aku akan merasa sangat malu dan tidak akan pernah lagi menyebut diriku seorang penulis. Jadi lebih baik seperti ini. Silakan orang lain menilai novelku seperti yang mereka inginkan. Baik atau buruk, suka atau tidak, itu adalah karyaku sendiri. Aku sama sekali tidak keberatan."

"Kita berbeda. Kau bekerja dengan tulisan, sedangkan aku dengan tubuhku."

"Isinya sama saja, kan? Aku menulis orang-orang yang tidak berpakaian, kau melakukannya. Aku yang berteori, kau yang praktek."

Ketegangan mulai mencair. Yunho tidak bisa lagi menahan tawanya. Seorang pelayan yang kebetulan lewat menatap heran ke arah Yunho dan Jae Joong.

"Sudah lama aku tidak tertawa seperti ini. Aku suka kalimatmu, 'aku yang berteori, kau yang praktek.'"

"Jangan pernah lagi menganggap dirimu memalukan. Menurutku, kita jauh lebih baik dari pencuri, perampok, atau koruptor. Tapi...kau tidak pernah mencuri istri orang lain, kan?"

._.

Cuaca cepat sekali berubah. Dari panas menjadi hujan dan sekarang kembali panas. Jarak matahari seperti bertambah dekat ke bumi. Seketika Jae Joong ingin kembali lagi ke dalam kafe, menikmati es krim, dan merasakan sejuknya pendingin ruangan. Kalau saja tidak ingat pada 'istrinya' yang kesepian di dalam kamar, dia ingin memesan segelas es krim lagi dan menghabiskan waktu sampai sore.

Di depan kafe, Jae Joong dan Yunho berdiri berdampingan. Mereka mengamati keramaian di jalan sebelum akhirnya mengucapkan kata perpisahan.

"Senang bertemu denganmu, Choi Ji Hoon." Yunho mengulurkan tangannya dan kemudian disambut oleh Jae Joong. "Sangat menyenangkan bisa mengenalmu."

"Ya, sama-sama. Selain itu...maafkan kelakuanku yang tidak sopan. Kakiku," Jae Joong menunjuk ke bawah, ke kaki kanannya. "Dan juga otakku yang kadang tidak waras."

"Jangan pikirkan. Aku sudah biasa dengan itu. Hati-hati di jalan."

"Kau juga."

Bayangan di kaca mobil yang diparkir di pinggir jalan mengejutkan Jae Joong. Awalnya dia mengira bahwa ia tengah salah melihat dan menduga itu hanyalah orang yang mirip. Tapi perasaannya berkata lain setelah berjalan lagi beberapa langkah. Jae Joong berhenti secara tiba-tiba dan membalikkan tubuh. Itu memang dia. Itu bukanlah orang yang mirip. Di belakang Jae Joong, Yunho berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana panjang putihnya. "Kau...Kenapa...kau ada disini?"

"Aku juga mau pulang."

"Kau tidak mengikutiku, kan?" tanya Jae Joong curiga. "Benar?"

"Aku akan ke kanan setelah ini. Apa aku salah kalau melewati jalan saat aku pergi tadi?"

"Oh, ya?"

"Ya."

Mereka berdiri berhadapan. Yunho bisa melihat Jae Joong tidak mempercayai ucapannya. Dia bisa mengerti. Seorang penulis yang menyembunyikan identitas dari banyak orang tentu tidak ingin privasinya diganggu. Wajar saja menurut Yunho jika Jae Joong curiga diikuti.

"Jangan mengikutiku, Jung Yunho. Satu lagi...jangan katakan pada siapa pun karena ini adalah rahasia."

Yunho mengangguk dan menunjuk ke jalan yang akan dia lalui. Jae Joong mengacungkan kedua ibu jarinya sebagai tanda puas.

._.

._.

- Yunho PoV -

Akhirnya aku sampai juga. Ya, inilah tempat tinggalku selama ini. Apartemen lima lantai dengan kondisi pas-pasan ini adalah tempatku berlindung dari panas dan hujan. Halamannya kecil. Di depannya banyak sampah berserakan. Catnya yang berwarna abu-abu mulai terkelupas dan pudar, bermacam-macam pakaian tergantung menutupi jendela. Beberapa wanita duduk di beranda sambil berkipas-kipas dengan koran atau kipas lipat. Ada juga yang berkumpul di satu tempat dan berbincang-bincang sambil menunggu para suami pulang bekerja. Anak kecil dalam gendongan ibunya yang menangis, lalu ada pula seorang cucu bermain di pangkuan sang nenek. Pemandangan seperti ini sudah sering kulihat sejak tinggal disini dua tahun lalu.

Mungkin Yoo Chun sudah pulang dari rumah sakit sekarang. Aku akan mampir sebentar ke lantai tiga untuk memastikan. Sekalian ingin melihat bagaimana keadaan Junsu setelah ke dokter. Kuharap dia sudah membaik dan Yoo Chun tidak lagi mengkhawatirkannya. Tapi kurasa tidak. Yoo Chun tetap akan khawatir pada Junsu karena dia paling tidak bisa melihat orang-orang yang dekat dengannya sakit, sedih, atau menderita.

Pintu apartemen Yoo Chun sedikit terbuka. Aku mendengar suara dua orang pria sedang berbicara. Yang satu terdengar sangat tegas, yang satu lagi terdengar lemah tak bertenaga. Yoo Chun sedang menyuruh Junsu minum obat, tapi dia menolak karena tidak suka rasanya yang pahit. Junsu memang seperti itu bila sedang sakit. Dia sering membiarkannya hingga sembuh sendiri. Obat adalah sesuatu yang paling tidak Junsu sukai. Sama halnya seperti dia membenci jarum suntik atau infus.

Aku mendorong pintu perlahan dan melihat Junsu duduk sambil memeluk lutut di kursi. Di depannya Yoo Chun mengulurkan sebungkus obat berwarna hijau. Junsu menggeleng, Yoo Chun makin memaksanya. Junsu mulai seperti anak kecil yang manja karena keinginannya tidak dituruti. Melihat dua orang pria yang berstatus pasangan ini bertengkar kemudian berbaikan lagi, sudah menjadi hal biasa untukku. Setidaknya, mereka akan seperti itu dua kali dalam sebulan. Sifat kekanakan Junsu diimbangi dengan baik oleh sifat penyabar yang dimiliki Yoo Chun. Mereka mudah bertengkar, tapi mudah juga berbaikan.

- End of PoV -

._.

"Hai...Maaf mengganggu."

Yoo Chun dan Junsu menoleh bersamaan. Wajah Junsu berubah muram karena Yoo Chun menemukan teman untuk memaksanya minum obat. Yoo Chun selalu mengajak Yunho membujuknya jika dia mulai keras kepala. "Junsu, ayo minum obatnya. Kau mau sembuh, kan?"

"Kalian terlalu cemas. Hanya demam dan sedikit pusing tidak akan membuatku terkapar di ranjang berbulan-bulan."

"Bukannya begitu, Junsu. Aaahhh...mengertilah. Aku sangat mencemaskanmu."

"Aku tidak suka obat. Aku juga tidak mau ke rumah sakit, kan?"

"Aku tidak mau melihatmu terus sakit, Junsu."

"Aku tidak apa-apa."

"Wajahmu pucat! Apanya yang tidak sakit?"

"Park Yoo Chun, aku bukan anak kecil lagi!"

Pertengkaran makin memanas. Baik Yoo Chun atau Junsu tidak terlihat akan mengalah. Masing-masing merasa dirinyalah yang benar. Takut jika ini akan berlanjut ke tahap lebih serius, Yunho berdiri di tengah-tengah mereka dan menyuruh diam.

"Kalian bukan lagi anak kecil. Kenapa hal seperti ini dibesar-besarkan?"

"Junsu tidak mau minum obat. Itu masalah besar, Yunho."

"Lebih baik makan cokelat dan minum kopi daripada minum obat. Iya kan, Yunho?"

"Lupakan cokelat dan kopi. Aku tidak akan memihakmu kali ini. Turuti Yoo Chun dan minum obatmu."

Junsu mulai kesal karena tidak mendapat dukungan dari Yunho. Bibirnya mulai mengerucut.

"Kalian memang kompak. Seharusnya kalian saja yang menjadi pasangan."

"Junsuuuu...!"

Junsu memang mengambil obatnya dan ke dapur. Tapi tetap saja Yoo Chun belum bisa percaya Junsu akan meminum obat sesuai sarannya. Kebiasaan buruk Junsu membuang obat jika saat meminum tidak diawasi menjadi alasan utama Yoo Chun untuk menunggui di dapur. Setelah mengambilkan air minum, Yoo Chun terus mengawasi tanpa berpindah dari hadapan Junsu. Dia terus menyuruh Junsu agar menurut karena ini demi kebaikannya. Karena dia mencintai Junsu, tidak ingin melihatnya menderita, mengatakan betapa berhargarnya dia, dan kata-kata apa pun yang sekiranya dapat meluluhkan hati Junsu. Ketika sebutir obat masuk ke dalam mulutnya, Yoo Chun mulai tenang. Kekhawatirannya sudah mulai berkurang karena satu masalah telah selesai.

"Sekarang beristirahatlah di kamar. Tolong turuti keinginanku yang sederhana ini."

Yunho yang sejak tadi mengawasi di dekat pintu menunjuk ke arah kamar. Junsu mulai kesal. Berbaring di ranjang seharian sama sekali tidak sesuai untuk dirinya yang aktif.

"Kau harus tidur, Junsu. Jangan menyalakan TV untuk menonton acara apa pun, apalagi bermain game. Mengerti?"

"Cerewet!"

"Junsu!"

"Sudahlah, Yoo Chun. Junsu hanya ingin menarik perhatianmu. Biarkan dia beristirahat di kamar."

"Tapi aku tidak yakin dia melakukannya."

Apa yang Yoo Chun cemaskan memang terjadi. Junsu tidak berbaring di ranjang dengan mata terpejam seperti yang dia inginkan. Musik bervolume kecil mengiringi gerakan tubuhnya yang terlatih.

"Lihat dia, Yunho." Yoo Chun kesal dan ingin mengambil MP3 player Junsu di atas ranjang.

Tangan Yunho menghalangi dan itu mampu membuat Yoo Chun mundur. Sebagai sesama penari Yunho sangat tahu bagaimana perasaan Junsu yang tidak bisa beraktivitas karena sakit. Tentu Junsu sangat merindukan panggung dan para wanita yang selalu datang untuk menikmati tarian indah nan sensual yang dia bawakan. Yunho memperhatikan gerakan-gerakan tarian Junsu. Sesekali dia memberitahukan apa yang sebaiknya dilakukan Junsu agar tariannya makin terlihat indah.

"Jangan angkat tanganmu terlalu tinggi."

Dalam perkejaan, Yunho memang senior Junsu. Dalam masalah kelenturan gerakan, Yunho-lah yang lebih baik. Dulu sebelum latihan dimulai, Yunho akan mengajari Junsu dengan sabar bagaimana menjadi seorang penari sesungguhnya. Seorang penari yang akan diingat karena tariannya yang memukau, bukan karena ketampanan atau keindahan tubuhnya semata.

"Kau harus melakukannya lebih pelan."

Kancing kemeja Junsu mulai terlepas dari kaitan. Perlahan Junsu membukanya dan tampaklah kulitnya yang putih bagaikan salju di musim dingin.

"Sudahlah…Aku menyerah." Yoochun berjalan mencari rokok yang ditaruhnya dilemari bufet. Lemari buffet itu terletak tak jauh dari kursi dan meja tamunya. Mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya, menyalakan menggunakan korek api gas, kemudian menghisapnya dalam-dalam, dan menghembuskannya secara perlahan. Asap rokok yang keluar dari mulut dan hidungnya itu sungguh sangat teratur. Bahkan bila mau, ia bisa membentuk huruf O dengan asap itu.

Yoo Chun menepuk bagian kosong kursi panjang di sebelahnya agar Yunho duduk. Dia ingin mengetahui bagaimana pertemuan antara Yunho dan Han Yoo Hwan, penulis yang sangat ia kagumi sekaligus teman chatting-nya. Ada rasa kecewa di hati Yoo Chun. Tapi di satu sisi dia tidak dapat meninggalkan Junsu. Siapa yang tega jika melihat orang yang dicintai sakit? Daripada menemui seorang teman chatting, tentu lebih baik mendahulukan kekasih yang butuh perhatian . Yoo Chun berani bertaruh, di luar sana tentu banyak orang yang sependapat dengannya.

"Bagaimana pertemuan tadi dengan Han Yoo Hwan?" Setelah lama berdiam Yoochun akhirnya menanyakan hal ini. Tentu saja ia sangat penasaran dengan penulis yang dikaguminya. Seorang penulis yang betah membuatnya berlama-lama membaca karena puisi, bahasa yang dipakai, alur, dan konflik yang digunakan merupakan fakta dikehidupan masyarakat.

"Han Yoo Hwan adalah nama samarannya. Dia mengaku bernama Choi Ji Hoon."

Yoochun menghisap rokoknya lagi seakan ia tengah berpikir. Ciri khas dirinya bila sedang berpikir. Rokok adalah teman setia seorang Park Yoo Chun. Entah kenapa dengan merokok pemikirannya dapat menjadi jernih dan konsentrasinya akan tepat. Yoochun mengingat isi chatting-nya dengan Yoo Hwan. Pria itu memang memberitahu namanya adalah Choi Ji Hoon. Mengingat isi sebuah chatting itu gampang baginya, segampang mengingat isi novel Yoo Hwan. Bahkan sebuah percapakan yang terjadi lewat hampir sepuluh tahun pun ia masih bisa mengingat dengan baik.

"Ya, Choi Ji Hoon. Aku ingat dia pernah memberitahu nama aslinya adalah Choi Ji Hoon. Lalu bagaimana pribadi seorang Choi Ji Hoon dimatamu Yunho? Kau memiliki keakuratan dalam mengenali pribadi seseorang. Jadi aku ingin mendengar pendapatmu." Wajah Yoo Chun tidak lagi muram. Senyumnya yang menawan mulai terlihat. Matanya yang tadi seperti tidak memancarkan semangat hidup kembali bersinar.

"Choi Ji Hoon...Dia orang yang sangat menarik dari segi penampilan. Postur tubuhnya tidak terlalu tinggi, tapi sangat pas. Wajah bisa dikatakan cantik, melebihi kecantikan semua pelanggan wanitaku di bar. Kulitnya juga putih." Yunho menyenggolkan lengannya ke lengan Yoo Chun. Nyaris saja rokok Yoo Chun terjatuh ke atas pahanya kalau dia tidak berhati-hati.

"Untung bukan kau yang menemuinya. Kalau saja itu kau, aku takut kau akan melupakan Junsu."

"Ah, tentu saja tidak. Bagiku...Junsu-lah yang paling cantik. Kau tentu tahu itu, Yunho. Tunggu...dari tadi kau hanya menceritakan tentang penampilan Ji Hoon. Bagaimana kepribadiannya?" Terlihat sekali Yoochun penasaran meski ia juga ingin tahu bagaimana rupa dan penampilan sang penulis. Pendeskripsian Yunho terlalu hebat menurutnya. Walau begitu, tak sedikit pun Yoo Chun mengubah pendapatnya jika Junsu yang terbaik. Yunho tersenyum melihat Yoochun yang sangat penasaran akan pribadi Choi Ji Hoon. Sorot mata Yoochun menunjukkan rasa ingin tahunya yang besar.

"Dia sangat misterius. Sangat berhati-hati lebih tepatnya." Yunho mengingat ketika ia akan pulang. Choi Ji Hoon merasa tidak nyaman ketika mengetahui dia berada tak jauh dibelakangnya. Merasa diikuti, padahal bukan seperti itu yang terjadi.

"Choi Ji Hoon orang yang sangat baik, energik, dan juga lucu. Ya...seperti itu."

"Apa saja yang kalian bicarakan?" Yoo Chun menaikkan kaki kanannya ke atas kursi. Salah satu posisi favoritnya jika sedang merokok. Asap yang dihembuskan dari mulut Yoo Chun membuat Yunho sedikit tidak nyaman karena dadanya terasa sesak.

"Banyak. Salah satunya tentang pekerjaanku."

"Pekerjaan?" Tatapan Yoo Chun seakan mengatakan 'benarkah?'. Dia sangat tahu Yunho bukanlah tipe orang yang mudah mengatakan apa pekerjaannya. Bekerja di bar saja sudah mendapatkan tanggapan negatif, bagaimana kalau mengatakan apa yang dia lakukan saat bekerja.

"Kau mengatakannya?" Tanya Yoo Chun dengan nada tidak percaya.

"Ya," jawab Yunho mantap. "Kenapa? Dia menjadikan pekerjaanku sebagai pekerjaan tokoh utama wanita di novelnya. Kurasa...dia tidak akan menghinaku."

"Apa tanggapannya?"

"Dia tidak mencela pekerjaanku. Bahkan dia mengatakan aku lebih baik daripada pencuri atau perampok. Menarik, kan?" Yunho yang kelelahan menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Hari ini ia tidur tak lebih dari 3 jam. Pulang kerja tidak bisa langsung tertidur. Insomnia telah menjadi sahabatnya sejak mulai bekerja sebagai penari striptis di bar Wild Soul. Untuk sejenak Yunho ingin berlabuh di negeri mimpinya. Melepaskan segala lelah di tubuh yang setiap hari selalu terasa. Matanya mulai berat. Asap rokok Yoo Chun tidak lagi menjadi masalah karena kantuk mulai mengalahkan segalanya. Perlahan-lahan mata Yunho tertutup. Wajahnya yang tertidur terlihat begitu damai.

"Hei, kau belum selesai bercerita Jung Yunho...! Hah...!" Yoo Chun mengomel. Batang rokok yang ia hisap juga semakin memendek. Setelah menghisap untuk terakhir kali, ia mematikannya dengan menekan ujung rokok kedalam asbak di atas meja ruang tamu. Suara dengkuran lirih Yunho terdengar samar-samar. Yoo Chun hanya bisa menghela nafas dan memandang Yunho yang dia tahu juga pengidap insomnia berat. Bisa tidur hari ini merupakan suatu keajaiban. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul tiga sore. Masih ada waktu empat jam dari jam masuk kerja malam mereka. Yoochun pun beranjak dari kursi, masuk kedalam kamar, dan bersyukur melihat Junsu tengah tertidur lelap.

"Akhirnya kau tidur juga..." Dengan penuh sayang Yoo Chun membelai rambut Junsu yang hitam. Sebuah kecupan di dahi tidak lupa diberikan. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya selain tidur di samping Junsu. Menunggu malam tiba untuk kembali bekerja.

._.

._.

-Jae Joong PoV-

Hari yang cukup melelahkan. Akhirnya aku sampai juga di depan pintu apartemenku. Setelah pintu terbuka, dapat kuhirup lembutnya pewangi ruangan beraroma apel yang membuat lelahku perlahan lenyap.

Apartemen ini cukup besar untuk kutinggali sendiri. Aku pindah dari apartemen lamaku setelah tepat satu bulan Endless Night beredar di pasaran . Sebenarnya aku termasuk orang yang tidak suka menghamburkan uang. Tapi menyewa apartemen ini kulakuan demi ketenangan dan bebas dari penjajahan anak-anak tetangga yang sering bermain di tempatku. Terkadang mereka suka sekali mengganggu. Entah itu mendatangi kamar secara tiba-tiba, menekan-nekan huruf yang ada di laptop, atau memeluk leherku dari belakang hanya sekadar untuk mengajak bermain. Aku memang mudah akrab dengan anak-anak. Mungkin karena itu mereka suka bermain denganku. Selain itu, aku pun cukup dekat dengan orangtua mereka. Bahkan ada juga yang mempercayakanku untuk menjaga anaknya jika sedang bepergian.

Aku bergegas menuju kamar tidurku yang cukup besar. Kupandangi laptop hitamku di atas meja, lalu membuka dan menyalakannya. Suara laptop yang dinyalakan bagaikan melodi indah di telingaku. Ketika background berupa fotoku bersama staff editor dan kru penerbit novel tertampilkan, aku mulai duduk di kursi. Aku menekan-nekan touch pad dan mengarahkan pada tulisan start, kemudian mengklik explore. Seketika seluruh data tertampilkan. Aku mencari file-file novelku. Inspirasi yang kudapatkan di kafe tadi harus segera kukeluarkan. Agar lebih nyaman, aku membuka pakaian atasku dan melemparkannya ke ranjang. Cermin persegi yang di gantung di sebelah kiri pintu memantulkan bayangan diriku yang sedang duduk. Aku tersenyum memandangnya. Mengagumi betapa sempurnanya sosok di dalam cermin itu. Seperti tokoh utama pria yang memuja tokoh utama wanita di novelnya. Atau seperti Narcissus yang dihukum mencintai refleksi dirinya di sebuah kolam.

- End of PoV-

._.

Jaejoong menarikan jari-jari tangannya diatas laptop. Tulisan yang ia ketik kini sudah mencapai 180 halaman. Ketika mencapai ke arah bagian percintaan yang menggairahkan, entah kenapa tangannya berhenti mengetik. Seketika ia merasa ilhamnya menguap pergi. Tangannya mulai pegal. Leher pun mulai terasa sakit. Jaejoong menghela nafas dan melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul delapan.

Pada saat ini, Jae Joong teringat pada Yoo Chun yang dua hari lalu menemaninya chatting di saat inspirasi tak lagi datang. Lelucon yang Yoo Chun buat berhasil membangkitkan imajinasinya yang tertidur. Jae Joong melihat Yahoo! Messenger-nya dengan kecewa. Yoo Chun tidak online. Ia baru teringat bahwa sekarang adalah jam Yoo Chun bekerja di bar Wild Soul. Tentu saja begitu. Mana mungkin Yoo Chun bisa online saat sedang bekerja.

Pertemuan tadi siang yang tidak berjalan sesuai rencana membuat pikiran Jae Joong dipenuhi pertanyaan tentang Yoo Chun. Bagaimanakah rupa dan suaranya? Apakah dia sama menyenangkan seperti saat mereka chatting? Kecewakah dirinya? Kecewa? Ah… dia merasakan perasaan itu walau ada Yunho yang menggantikan kehadiran Yoo Chun. Jae Joong mengakui Yunho memang cukup menyenangkan. Tapi tentu akan lebih menyenangkan lagi jika Yoo Chun-lah yang datang. Seketika keinginannya untuk bertemu Yoo Chun menjadi lebih besar. Jae Joong merasa tak ada salahnya jika menemui Yoo Chun untuk memberikan kejutan. Sekaligus menuntaskan penasarannya pada Yoo Chun, dan tentu saja rasa penasaran Yoo Chun padanya. Jae Joong ingin pergi ke Bar Wild Soul malam ini juga. Dilawannya rasa malas untuk keluar apartemen yang sering muncul di malam hari, juga rasa tidak suka pada dunia malam yang selalu dihindari. Setelah menyimpan tulisan untuk novel barunya, Jae Joong beranjak menuju kamar mandi yang berada didalam kamar tidurnya.

..

..

..

TBC

Gimana?

Berminat?

Klo ada yg mau ditanyakan silahkan bisa lewat review, ato PM aja, ato bisa langsung PM ke akun FFn authornya langsung ' syarina. yunjaerotix '

Biasanya beliau akan menjawab melalui review di FF ini, kecuali klo nanya langsung lewat PM nya, mungkin akan langsung dijawab.

Untuk ngasih semangat sama authornya, boleh minta Reviewnya?

Karena FF ini masih dalam proses, baru smpe chap 3, tp chapternya beranak cucu ex : 1A, 1B, 2A, 2B dst...

Kenapa hrs dipisah pisah?

Saya jg ga tau mungkin nanti akan dijelasin sama authornya langsung, tp setiap chapter itu sangat panjang, pkonya memuaskan lah, kkkk...

saya hanya mempublish ya.

Thanks for reading ;)