KAmichiZU :

Wahahahaha- #plak!

aku sih pengen kopelan. Tapi masih dipikirin yang terbaiknya gimana nih.

Yang ama momoi ya Himuro. Kan setelah Kagami selesai battle ada dia kan. XD

21. Nightingale :

Ya, semacam itulah... lebih tepatnya Kiseki no Sedai itu sebenarnya apa . XD

Oh –Hay juga~

Kagami Tania :

Maklum, umur yang bikin juga udah berabad-abad :"D

SayuriDaiseijou :

Ahahahaha :D

Iya nih udah diapdet. Baca ya~

ShilaFantasy :

Ini rada disinggung di chap ini sama si freak Oha-asa XD.. tapi cuma sekilas sih...

Akari Kareina :

Xixixixixixi XB

Lets see~

CALIC0 :

Akhirnya punya stalker ~ T^T /dia mah bangga/

Kalo ama Mukkun sih aku mikirnya Kagami lebih kekaya ibu... wahahahaha- aku belum nemu momen pas buat bikin Mukkun kesemeannya keluar pas ama Kagami.

Setelah Sekolah :

Silahkan nikmati~

Ini juga lumayan panjang loh~

37 halaman yang ada di mc. wordku XD

Blair chan :

Udah apdet nih..

Silahkan baca ya... maaf kalau lama T^T

shirouta :

wahhhhhhhh... pikiranmu ada benarnya... Kisedai emang isinya anak mesum semua #dibuang

Well, target mereka emang Kagami sih.. toh dia sendiri yang dipilih Akashi –okay.. no spoiler~ :X

AoKagaKuroLover :

Aku juga nunggu lama sampai ini jari mau gerak ngertik XD

Ichiru kaito :

Emang yaoi~

Tapi belum sampai tahap Hentai plus-plus kok~

suira seans :

Aku bikin juga karna di ffn Indo jarang /hampir nggak ada/ nih uke Kaga rame-rame alias harem. Makanya aku bikin..

MidoKaga siap santap! –tapi chap depan :D /woi!/

252 :

kesabaran butuh untuk suatu keberhasilan /apekatelo/

kagami taiga :

Kalo gitu selamat baca~

SUICCHON :

Salam kenal~

Duh,,, harus peduli dong sama Kagami semenya siapa.. kan dia musti bahagia sentosa XD

Aprieelyan :

Yang bikin juga greget sendiri nih XD

Guest :

Ihh... kamu juga ngegemesin XD

Fuu March :

Nih gw apdet Fuu... tapi apdet berbulan-bulan kemudian.. wahahahaha /bantai aja ni orang/

onyx chan :

Okeeeh!

bella-chin :

Okeh, okeh..

Tapi mungkin bakal jadi KuroKaga /what?!/

Soalnya Kagami is Uke! ekhm! meski menyalahi tata aturan seme-uke XD

Fitri susanti :

Oke.. nih udah ada sambungannya.. met baca~

Tomoyo :

Iya ini dilanjut ko~

silahkan nikmati sajiannya~

Thanks to you, my readers n my reviewers. Thanks for follow n like my story~

#tebar peluk cium#

*** Kagari Hate The Real World ***

Kagami Taiga : 16 tahun

Kise Ryouta : 17 tahun

Aomine Daiki : 18 tahun

Midorima Shintarou : 18 tahun

Murasakibara Atsushi : 20 tahun

Akashi Seijuuro : 21 tahun

Kiseki no Sedai chapter 6

Cause and EffectofActions

(Sebab dan Akibat dari Perbuatan)

.

.

.

Kiseki no Sedai

.

.

.

Kagami Taiga itu orangnya ngga neko-neko, bukan neko yang artinya meong, tapi ia itu tipe nerima apapun yang di dapatnya, asal yang diterimanya itu selaras sama apa yang dilakukannya. Kagami Taiga itu baik sama orang, ia tidak bisa melihat orang kesulitan tanpa membantu. Pernah sekali ia menolong seorang Kakek yang peliharaannya tidak mau turun dari atap, Kagami membantunya untuk menurunkan. Sayangnya ia berakhir dikejar-kejar anjing peliharaan Sang Kakek yang menyebabkan ia pobia sama anjing sampai sekarang.

Kagami juga orangnya ramah. Benar kok, ia tidak bohong. Kagami memang ramah, tapi sama orang-orang tertentu saja. Kalau sama makhluk berkulit gosong dengan rambut biru tua yang tidak ada sinkron-sinkronnya perpaduan kedua warna itu. Maaf-maaf saja, Kagami lebih memilih menjadi orang judes-hayu-kita-hajar-hajaran. Karena makhluk gosong itu juga membuatnya trauma untuk masuk toilet umum dengan bilik-bilik sebagai pemisah. Walau sedang mepet, walaupun Kagami dalam keadaan genting, walau perut mules-mules mencret. Walaupun toilet yang harus ia masuki juga berbeda. Tapi kalau dengan orang yang sama, apa itu tidak membuat traumanya kambuh seketika?

"Pilih bilik lain, Aho! Sempit tahu!"

"Sudah diam! Geser sedikit!"

"Kau bodoh, kenapa harus ke toilet! Lari saja ke luar dan cari mobilmu, Sialan!"

"Diam Bakagami! Ini darurat, dan ini juga salahmu!"

"Apanya yang salahku!"

"Salahmu karena kau meneriakan namaku!"

"Kau yang tidak tahu malu masuk toko pakaian dalam wanita!"

Kagami empet, Kagami ingin nabok Aomine. Pemuda gosong itu sudah membuatnya berada dalam situasi bodoh dikejar-kejar fans gilanya di tengah mall. Ini kedua kalinya. Dua kali. Demi Tuhan, seandainya ia tidak punya janji dengan Si Bodoh ini. Ia pasti tidak akan mau kabur-kaburan dari rumah dan berakhir di toilet umum seperti ini.

Oh, benar. Ini semua berawal dari pagi ini.

Semuanya selalu berawal dari pagi. Ya, kemalangannya.

.

.

.

.

.

.

Menuruni tangga biasanya tak sesulit ini, menapaki satu-persatu anak tangga biasanya tidak seberat ini. Kagami membuang napas penuh kelegaan setelah kakinya mencapai lantai bawah. Ia berterima kasih karena kedua kakinya masih menempel ditempat yang sama seperti terakhir kali ia melihatnya. Kagami bersyukur, setidaknya bagian tubuhnya tidak benar-benar copot seperti yang dirasakannya.

Dengan tegukan air liur ditenggorokan, ia berjalan mendekati meja makan. Lagi-lagi memaksa tubuhnya yang sudah pegal-pegal. Rasanya seperti diinjak-injak, ditarik kanan kiri bawah atas bersamaan, dipukuli oleh palu. Jadi inilah yang namanya latihan menari ala boy band ternama. Kagami harus merasakan keletihan pada tubuh seusai latihan selesai. Badan pegal-pegal, tidurpun tak mau pulas. Semalaman ia mengaduh karena sakit disekujur badan. Melek dua pertiga malam.

"Kagami-cchi? Genki?"

Kagami malas menanggapi pertanyaan Si pirang rada miring otak di samping tempatnya akan duduk. Bokongnya yang juga nyut-nyutan butuh konsentrasi untuk menempel pada kursi.

"Oha-asa bilang hari ini aku harus membawa bantalan duduk, tapi untuk kali ini sepertinya kau lebih membutuhkan."

Terima kasih. Tapi kali ini Kagami hanya ingin duduk dengan tenang, jadi Kagami menggeleng pada Midorima. Mungkin maksud pemuda dengan ketertarikan berlebih pada ramalan bintang itu baik, tapi Kagami juga tidak ingin dianggap punya ambeyen karena memakai bantalan untuk duduk.

"Apa Akashi terlalu berlebihan padamu? Heh, kau memang perjaka amatiran."

Siapa yang amatiran? Dan kenapa bawa-bawa keperjakaannya segala? Entah kenapa rasanya setiap melihat Aomine, Kagami ingin membuatnya babak belur ditempat. Orang itu memang menyebalkan dari awal.

"Kagamichin?"

Iya, kau juga Murasakibara. Terima kasih, tapi ia saat ini sedang tidak ingin makankeripik kentang.

"A –aku baik-baik saja." ucap Kagami, meski wajahnya yang pucat kurang darah itu sama sekali tak membenarkan ucapannya. Apa boleh buat, kurang tidur dan badannya yang terasa akan remuk benar-benar menyiksa.

"Kita sudah berkumpul, bisa kita mulai sarapannya, Akashi?" Midorima yang bicara.

Oh, ya. Biyang dari sakit-sakit ditubuhnya juga ada diantara mereka, Akashi –laptop dengan layar yang menampilkan setengah badan Akashi –maksud Kagami. Kagami menekuk alisnya bingung, kenapa dengan laptop itu?

"Ya, silahkan makan sarapan kalian."

Tadi itu memang Akashi yang bicara, tapi kenapa ia tidak ada di sini dan malah digantikan laptop yang menampilkan wajahnya? Err... apa Kagami juga mendengar beberapa orang bicara di samping Akashi?

"Akashi tidak bisa berada di sini karena ia sedang rapat."

Kagami menoleh pada Midorima, pemuda dengan rambut hijau itu mulai memakan sarapannya.

"Walau Akashi tidak di sini, dia selalu ikut sarapan pagi. Anggap laptop itu Akashi." katanya dengan tenang. Kagami sendiri tidak terlalu mengerti, tapi berhubung perutnya sudah mulai menabuh genderam lapar. Ia makan saja, tidak perlu banyak dipikirkan.

.

.

.

"Kalau begitu sudah ya, Kagami-cchi! Aku pergi dulu!"

Kise melambai penuh semangat, kelakuannya seperti bocah yang akan pergi sekolah. Di samping pemuda riang itu ada Momoi yang menyeret tangan satunya. Sepertinya manager wanita itu terlihat kesal karena Kagami mendengar beberapa ucapan terlambat dan cepat sebelum keduanya keluar pintu.

Tak lebih dari semenit pemuda berambut hijau ikut keluar dari rumah, saat Kagami pikir pemuda itu sudah pergi. Midorima berbalik dan menatapnya, "Jangan lakukan sesuatu yang tidak biasa, Akashi selalu mengawasi ." itu yang dibilangnya. Kagami mengabaikan.

"Kagamichin," Murasakibara tidak banyak bicara, ia hanya memberikan sebungkus umaibo dan pergi.

Kagami menggaruk kepalanya bingung, maksud si jangkung itu apa ya? Entahlah, sekarang hanya tinggal satu orang yang belum pergi. Siapa lagi kalau bukan Si kulit gosong Ahomine. Ia menoleh ke belakang dan sebelah alisnya terangkat melihat yang disebut malah asik tidur-tiduran di sofa, kedua tangannya memegang majalah remaja dengan sampul foto Kiseki no Sedai dan dirinya. Foto yang membuatnya kesal beberapa hari yang lalu. Mengingat itu, ia jadi kesal sekarang.

"Apa?"

Kembali dari pikirannya, Kagami baru sadar jika Aomine menatapnya dengan tampang datar. Sepertinya ia ketahuan sudah melihat pemuda itu.

"Bukan apa-apa." ucap Kagami. Lebih baik ia pergi ke kamarnya dari pada harus berada disatu ruangan bersama Aomine. Ia yakin sebentar saja di sini bisa membuatnya marah-marah tidak jelas karena ucapan pemuda itu.

"Itu yang kau katakan setelah ketahuan diam-diam melihatku?" Aomine duduk dengan menyilang kaki. Wajahnya sudah siap dalam mode usil.

Abaikan, Kagami mencoba untuk mengabaikan.

"Oi! Aku tahu kau bodoh, tapi kau tidak tuli kan?"

Langkah Kagami terhenti, "Kenapa kau tidak pergi seperti yang lain?" –agar ia bisa menikmati harinya dengan damai.

Aomine mengerutkan alisnya, "Untuk apa aku pergi?" tanyanya. Beberapa detik kemudian Kagami melihat Aomine tersenyum, senyum yang tidak ada baik-baiknya.

"Aku akan pergi," bangun dari sofa, Aomine berjalan menghampirinya. Kagami hanya menatap santai, sebodoh amat kalau memang pemuda itu mau pergi. Yang penting ia bisa sendiri, menghafal lagu dan lain-lain. Tugas yang diberikan Akashi sudah terlalu banyak untuk ia memikirkan hal lain.

Namun Kagami terheran begitu Aomine memegang pergelangan tangannya, "Tapi denganmu,"

"Hah?"

Kagami ditarik mengikuti ke mana Aomine melangkah. Sebelum ia sempat protes, tahu-tahu ia sudah berada di luar rumah. Ogah nurut saja, Kagami menarik tangan miliknya, melepaskannya dari genggaman Aho yang tiak ketulungan Ahonya.

"Jangan menarik tanganku tiba-tiba, Bodoh!" semprot Kagami. Ia menatap sinis Aomine yang berdecak melihat perlawanannya.

Aomine berdiri menghadapnya, "Kau ingin keluar?"

"Keluar?" Kagami tidak mengerti.

"Tch! Memangnya kau tidak bosan terus berada di rumah ini?"

"Tapi –" bibir kembali mengatup. Dipikir-pikir, ia memang mulai merasa jenuh. Apa lagi ia tidak diperbolehkan memegang alat komunikasi sama sekali. Tapi ia juga punya tugas yang harus dilakukannya, menghafal semua lagu Boyband mereka, gerakannya pula. Tapi ia juga ingin keluar, rasanya sudah rindu juga suasana di luar sana. Terlebih lagi ia sudah diet makanan di majiba selama ia dikurung di sini, yeah, Kagami memang merasa dikurung, tidak bisa ia pungkiri. Namun saat memikirkan seseorang dengan rambut merah dan mata heteronya, Kagami bergidik.

"Akashi menyuruhku menghafal lagu dan gerakan, kau pergi saja sendiri." putus Kagami, meski ia juga ingin keluar dari rumah ini.

Aomine hanya menatapnya dengan tampang bosan sebelum kembali pergelangan tangan Kagami ditarik.

"Hei –Aho! Kubilang –"

"Kau terlalu banyak berpikir, dan Akashi? Dia tidak ada di sini, jadi jangan bawa-bawa dia saat ini. Sekarang aku yang memutuskan," Aomine bicara dengan langkah semakin mendekati mobil di depan. Kagami melihat seseorang, mungkin seorang pelayan yang berdiri di samping mobil berwarna hitam itu.

"Kau juga punya dua hal yang harus kau lakukan untukku, bukan? Atau kau ingin bilang tidak pernah menjanjikan itu, Bakagami?"

"Kau bukan pengecut kan?"

What? Apa Si gosong itu bilang? Kagami pengecut, dirinya pengecut?

Sekali hentakan, tangannya berhasil lepas dari Aomine. Ia menatap pemuda bersurai biru tua itu dengan kesal.

"Aku bisa jalan sendiri!"

Aomine bodoh! Warna biru bodoh! Kiseki no Sedai bodoh! Ia tidak peduli, lihat saja nanti! Kagami pasti akan membalas pemuda menyebalkan dengan wajah menyebalkannya itu.

Dan, begitulah ceritanya sampai ia bisa berada dalam situasi sekarang ini. Di toilet, menghindari puluhan fans yang nampaknya akan semakin bertambah. Di toilet, menunggu untuk entah berapa lama sampai kerumunan masa yang kebanyakan dari mereka adalah wanita. Di toilet, bersama orang yang dicari-cari kerumunan itu. Di toilet, tempatnya harus misuh-misuh tidak jelas karena mau saja diajak pergi oleh Aho satu ini.

Di toilet, bersama orang mesum yang Kagami yakin memiliki kecenderungan sebagai gay. Tuhan tidak sayang dirinya, sepertinya begitu.

"Geser sedikit."

Kagami tidak tahan lagi.

"Aku mau keluar." ucapnya sembari memegang kenop pintu bilik. Kagami mendelik saat tangan Aomine menahan aksinya.

"Apa kau bodoh! Jika kau keluar, kita bisa ketahuan!"

"Yang dikejar mereka itu kau, bukan aku. Jadi tidak ada masalah jika aku keluar dari sini."

Itu memang benar. Tapi Aomine bisa dicambuk Akashi seratus –tidak, tapi dua ratus kali seandainya keberadaan Kagami diketahui publik, ia bisa digantung terbalik oleh Sang leader. Karena bagi Akashi, Kagami lebih berharga dari berlian termahal di dunia sekali pun saat ini.

"Okay," Aomine mengetuk-ngetuk keningnya dengan buku jari telunjuk. "Tapi sebaiknya kita lihat situasi di luar dulu." ujarnya.

"Kau naik ke kloset dan lihat keluar."

"Kenapa harus aku?" tanya Kagami. Kalau hanya begitu, Aomine saja juga bisa kan?

"Kenapa sejak tadi bisamu hanya protes? Apa kau pikir bisa pergi dari sini kalau mereka masih mengawasi? Atau aku perlu menggendongmu dari pada naik kloset di sana?"

Tidak dan tidak terima kasih. Ogah banget digendong sama orang tampang sengak dengan kepribadian buruk macam Aomine. Dalam hati menggerutu, Kagami menaiki kloset. Dua kaki memijak, sedang kepalanya menyembul sembunyi-sembunyi. Antisipasi jika musuh menyerang –lupakan, ia tidak sedang berperang sekarang. Hanya menghindari fans fanatik orang yang tidak ada bagus-bagusnya untuk diidolakan.

Kagami berpegangan pada dinding, matanya mengamati keluar bilik. Sepi. Ia rasa aman. Namun saat kepalanya menoleh ke kanan, ia menemukan seseorang tengah berjongkok di kloset. Ponsel ditangan kanan, tangan kiri berada di tengah selangkangan. Bergerak naik dan turun.

"..."

Fuck! Fucker! You are really be kidding, right!?

"Oi! Bagaimana?" Aomine bertanya tak sabaran. Melihat Kagami berdiri di depannya hanya diam seperti patung lama-lama. Rasanya menyepak kaki yang berpijak pada kloset cukup menarik.

"Ssshh... Ahhh~"

Aomine merem-melek. Tadi itu, apa? Ia menoleh ke kiri. Suara gaib yang di dengarnya tadi berasal dari bilik sebelah.

""Ungh~"

Itu, seperti yang ia pikirkan kah? Ada seseorang di sana, dan orang itu –Aomine menengadah, Kagami menampakan ekspresi tengang kaku. Mata sedikit melebar dengan mulut terbuka. Ia mengalihkan pandangan ke depan. Kagami berdiri, ujung kaus abu gelap sedikit terangkat, kancing celana jeansnya terlihat. Seringai mampir diwajah Aomine.

Srek...

"Ap –ugh...!"

Kagami menunduk. Mata melotot sejadinya melihat tangan Aomine meremas selangkangannya. Ia mendelik dan menangkap pergelangan tangan gelap itu.

"Apa yang kau lakukan?" suaranya dalam, menahan antara ngilu dan berusaha untuk berbisik.

"Ho~ Kau mengeras karena melihat seseorang bermain solo?"

Wajah Kagami menekuk, ia meremas tangan Aomine lebih keras. Sial! Aho sialan! Kenapa Aomine bisa tahu?!

"Kenapa?"

Kagami menggeram, mendengar Aomine bicara dengan suara tawa tertahan sungguh membuatnya kesal. Dan lagi, kenapa pemuda itu harus meremas miliknya. Ini, terasa sangat kencang sekali.

"Kau juga mau memainkan juniormu ini?"

Hell no! Meski hormon remajanya menguasai, Kagami ogah melakukan hal itu disembarang tempat. Apalagi dekat-dekat sama orang macam Aomine. Apalagi nyatanya kaki tambahan diantara selangkangannya diremas Aomine.

"Jerk! Lepaskan, Aho!" Keringat dingin mengalir dipelipis Kagami. Ia memang terangsang, tapi tidak sampai ingin keluar. Tapi sekarang berbeda kalau batang tempat sesuatu keluar itu malah diremas-remas.

"Heh, jangan bercanda. Bukankah kau di sini yang tidak ingin kulepaskan?"

Kagami mengambil napas dalam. Tangan Aomine bergerak mengelus-elusnya. Ini bahkan lebih bahaya dari waktu dulu Aomine merapenya. Shit! Orang satu ini ternyata memang aslinya mesum sekali!

"Kau sudah sekeras ini hanya dengan melihat itu?"

Tolong beri Kagami lakban, solasi atau apalah itu sejenisnya agar ia bisa menutup mulut yang tak bisa diam itu. Kenapa rasanya Aomine tahu sekali jika saat ini ia tak bisa leluasa membuka mulut. Khawatirnya bukan kata-kata yang keluar, tapi malah rintihan dari mulutnya. Kagami yakin sekarang itulah yang diinginkan orang di depannya.

Kaki Kagami merapat, matanya melotot dengan marah. Ia tidak bisa berdiri dengan baik, ngilu diselangkangan membuatnya lebih membungkuk. Kepalanya tepat di atas Aomine yang menengadah memperhatikan. Gelagatnya terlihat benar-benar tidak punya maksud baik.

Dan –apa itu cengiran layaknya anak kecil punya mainan baru diwajah Aomine?! Sumpah. Pemuda ini minta dihajar.

"Butuh bantuan?"

DUAGH!

Aomine ditendang. Aomine nggak disayang. Amit-amit Kagami sayang, lihat wajahnya sekarang saja sudah membuatnya mual ingin muntah-muntah.

"Go to the fuckin' hell! You dumbass!" semprot Kagami terlalu kesal. Ia melotot dengan biji rubi dimata sampai terlihat bulat sempurna.

"Kau! –Eh –Eeh?!"

Krak!

Kagami menyeringai, Aomine panik saat pintu bilik di belakang bunyi-bunyi seperti patahan. Pemuda itu ingin bergerak menjauh tapi sekali lagi Kagami menendang perutnya.

Krak! –Brugh!

Aomine jatuh bebas dengan pintu rusak menindih lantai. Kagami tidak peduli, ia membenarkan resleting celana yang sempat dibuka Si Aho itu dan berdiri di depan Aomine yang terjatuh mengaduh di hadapannya. Ia memandang dengan penuh celaan, penuh syukur akhirnya bisa juga ia membalas perbuatan pemuda itu padanya.

Satu ide masuk ke kepala saat Kagami melangkah di samping Aomine. Tangan yang menjadi tumpuan pemuda itu untuk bangun terlihat menggiurkan untuk diinjak. Oh –dan itulah yang ia lakukan. Menginjaknya.

"UADAW! –BRENGSEK! KENAPA KAU INJAK TANGANKU?!"

Kagami pura-pura tidak dengar. Ia berlari keluar toilet dengan wajah puas berseri-seri. Bahagianya bisa balas dendam.

Berdecih. Tangan yang jadi sasaran injak Kagami dielus-elus Aomine. Ia membangunkan tubuhnya, duduk sebentar untuk menghilangkan pusing dikepala. Melirik ke kiri, bilik tetangga terbuka dengan seseorang tampang bodoh menatapnya bingung, terkejut dan sedikit takut. Celananya diresleting tanpa dikancing, terburu-buru karena mendengar keributan dari luar mungkin.

"A –ada apa?"

Aomine mengabaikan pertanyaan itu. Moodnya buruk seburuk-buruknya. Berani sekali Bakagami itu meninggalkan –Aomine mengerjap, lambat-lambat bola matanya membulat.

"Shit! –KAGAMIIII!"

Aomine berteriak seraya buru-buru berlari keluar toilet. Ia celingak-celinguk kanan kiri, matanya kembali membulat saat rombongan wanita berteriak ketika melihatnya. Ia lupa jika seharusnya sedang bersembunyi. Aomine tancap gas, kaki berlari menghindari puluhan orang yang mengejarnya.

"Aomine-sama!"

"Kyaaaa!"

Pemuda itu mengumpat, kanan kiri, setiap ia melewati jalan untuk menghindar malah semakin banyak yang mengejarnya. Ia menyumpah serapahi nasibnya saat ini. Ia bakal mati, kalau tidak dikerubuni fans ya mati karena dipenggal Akashi. Kenapa dipenggal leadernya jadi pilihan lain? Karena sekarang ini Aomine kehilangan Kagami. Kagami hilang sama dengan nyawanya juga diujung gunting tajam pemilik mata hetero itu.

"AOMINE-SAMA!"

"Gah! Awas kau Bakagami!" Aomine lari sekuat tenaga.

.

.

.

.

.

Cukup jauh Kagami berlari, tahu-tahu ia sudah berada di jalan yang entah apa namanya. Kagami celingak-celinguk, gedung mall besar tempatnya meninggalkan Aomine entah kenapa sudah terlihat amat jauh. Menghentikan larinya, Kagami berhenti di depan toko kue dengan kaca besar sebagai jendela. Ia diam.

"Dimana iniiii?!"

Mengacak-acak rambut. Berjongkok dengan seluruh tubuh terasa diserang tremor nenek-nenek jompo. Wajah mungkin seperti baru saja bertemu shinigami. Ini gawat, lepas dari panter gosong alias Si Ahomine sekarang ia tersesat di tengah kota. Tidak membawa uang sepeserpun. Jangankan uang, dompet saja ia tidak bawa. Bagaimana bisa ia membawanya jika tiba-tiba saja diajak keluar Aomine. Memikirkan membawanya saja tidak.

Kagami mengutuk. Kagami misuh-misuh, orang berlalu lalang ketakutan sampai tak mau berjalan lebih dari satu meter di dekatnya. Kagami ingin menghajar Aomine lagi.

Ini salahnya Kagami bisa tersesat seperti ini. Andai saja pemuda itu tidak mengajaknya keluar, hal ini tidak akan terjadi padanya.

Ia menghela napas, sangat lama sebelum akhirnya berdiri. Dari pada diam lebih baik ia mencari jalan keluarnya. Syukur-syukur nanti ada yang mengenalinya dan memberinya tumpangan untuk pulang.

Dari pada mengambil jalan utama, Kagami berbelok di sepersimpangan. Jalanan kecil diantara dua gedung pertokoan hingga sampai dijalanan di mana hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang. Ia celingak-celinguk disepanjang ia berjalan, tapi tidak ada yang ia kenali dari jalan ini. Apa boleh buat, Kagami itu orang baru di Jepang, baru karena ia lama tinggal di negeri orang. Jalan yang dihafalnya paling-paling hanya jalan menuju sekolah, menuju rumah dan majiba, selebihnya, yah... ikuti saja Senpai-tachi, nanti juga sampai tujuan.

"Ugh... bagaimana caraku kembali?"

Kagami menggaruk belakang kepalanya. Sedang berpikir keras, tubuhnya oleng saat seseorang menabraknya dari belakang.

"Maaf! Aku sedang buru-buru!"

Yang menabrak pergi dengan cepatnya. Kagami hanya bisa mengumpat dalam hati seraya melihat kemana orang yang menabraknya itu pergi. Alisnya tertekuk ketika matanya menangkap keramaian di arah yang dituju orang itu. Penasaran, Kagami berjalan mendekat, dilihat baik-baik ternyata keramaian itu berada di area lapangan basket umum.

Sampai ditujuan, Kagami tak bisa melihat apa yang tengah dilihat orang-orang itu. Ia tergusur oleh keramaian di sekitarnya sampai terdorong lagi ke belakang. Ia mendengar orang-orang itu meneriakan hal yang sama. "Blue" –biru, begitu yang mereka teriakan. Menyerah dengan usahanya, ia menepuk pundak seseorang terdekatnya.

"Ada apa ini?" tanyanya.

"Blue sedang beraksi!"

"Blue?" Kagami mengernyit.

"Oh –kau tidak tahu? Blue itu street dancer yang terkenal akhir-akhir ini!"

'Street dancer?'

Seperti Tatsuya kah? Kagami makin penasaran, lupa tujuannya untuk mencari jalan pulang.

"Hei, kau mau melihatnya dari dekat?"

Kagami menatap orang di sebelahnya, ia mengangguk, "Tapi sepertinya sulit," ucapnya kenyataan. Kembali ia melihat kerumunan orang di hadapannya. Melihat mereka berdempetan saja sudah sesak duluan baginya.

"Kalau begitu, coba kau menunggu sampai dia pass. Tunggu saja di salah satu tiang Ring."

"Pass? Ring? Memangnya kenapa?" tanya Kagami. Ia heran sendiri saat melihat orang itu malah tersenyum saja sebelum kembali menjejalkan diri dikerumunan.

Pertanyaannya tidak dijawab. Kagami menggerutu namun mengikuti saran dari orang tadi. Ia menuju salah satu tiang dan menyandar di sana. Sekitar tiga meter darinya kerumunan orang semakin riuh dengan teriakan mereka. Ia jadi seperti orang tersesat sendiri di sini –ngomong-ngomong, ia memang tersesatkan sekarang?

Ia menghela napas, kepalanya menengadah melihat langit. Biru, tidak ada awan di atas sana. Cuaca cerah seperti ini, dan Kagami harus dalam keadaan tidak baik sama sekali. Ia hanya ingin pulang dan menjalani hidupnya sebelum hari itu terjadi, sebelum ia masuk boyband tidak jelas yang isinya orang aneh semua.

Lama melamun, mata Kagami menyipit karena terlalu lama melihat ke atas. Di saat itu juga ia melihat sebuah titik diantara birunya langit. Titik itu lama-kelamaan semakin membesar. Warnanya gelap, mungkin itu warna cokelat? Dan benda itu mengarah kepadanya. Benda yang sepertinya ia tahu apa.

Pluk!

"Bola basket?"

Kagami menatap benda ditangannya keheranan. Bola itu ia tangkap setelah melewati ring di atasnya.

"Maaf,"

Kagami mengalihkan pandangannya ke depan.

"..."

"Bola itu milikku,"

"..."

Yang pertama ia lihat. Putih. Topeng putih yang menutupi seluruh wajah dengan rapatnya. Lalu, biru. Biru yang bergoyang-goyang lembut saat angin melewati helai-helai rambut pendek orang di depannya. Entah bagaimana, dimatanya terasa ada efek slow motion saat rambutnya bergerak terterpa angin.

Kagami diam. Kagami memerhatikan. Kemudian -

"Gyaah!" –ia berteriak. Bola ditangan lepas, memantul-mantul sebelum menggelinding hingga menyentuh kaki orang di depannya. Kagami jatuh saking terkejutnya. Bokong menyentuh pijakan semen dengan keras. Sejak kapan ada orang di depannnya? Dan, kenapa dengan topeng itu?!

"Ano, daijoubu desu ka?"

Jantung Kagami belum pulih sepenuhnya, tapi kembali dipacu cepat begitu melihat orang bertopeng di depannya mengulurkan sebelah tangan kepadanya. Orang ini, benar-benar orang kan? Maksudnya, dia bukan hantu kan? Hantu siang bolong.

"Ooooi! Blue! Bagaimana bolanya?"

Kagami menoleh, orang itu pun sama. Ia melihat seseorang di dekat kerumunan melambaikan tangan. Kalau dilihat-lihat, Kagami seperti mengenalnya. Tunggu –bukankah orang itu yang beberapa saat lalu ia ajak bicara? Kagami melirik orang di depannya, orang itu sedang melambaikan tangannya juga. Yang membuatnya penasaran sekarang, orang itu memanggil Si topeng putih dengan panggilan Blue.

'Apa dia Blue?'

"Ha'i, Ogiwara-kun. Bolanya di sini."

Melihat seseorang yang dipanggil Ogiwara itu mendekat, Kagami membangunkan tubuhnya. Ia menepuk-nepuk celana jeansnya yang terkena debu dan menatap kedua orang di depannya dengan bingung, heran dan campuran lainnya penasaran.

"Ah –kau? Kita bertemu lagi!" pemuda dengan rambut cokelat berhoodie cokelat dengan celana training putih itu menyapa Kagami. Senyuman diwajahnya kali ini benar-benar ramah. Kagami bingung mau bilang apa, akhirnya ia hanya mengangguk dan mendengarkan percakapan dua orang di depannya.

"Blue, kau terlalu keras tadi. Ringnya bergetar, artinya aku tidak memasukannya tepat di tengah."

"Itu karena kau tadi terus melihat kearah keramaian."

"Hei! Siapa yang tadi bilang mau menunjukan teknik itu?"

"Ah, aku harus kembali." yang bersurai biru melangkah pergi.

"Oiiiii! Jangan lari!"

Kagami diam. Diamnya karena ia tidak mengerti. Yang satu pergi, tinggal yang satunya lagi. Yang namanya Ogiwara itu menghela napas lalu menggeleng, lalu menatapnya. Kagami balik menatap.

"Aku benar kan? Kau bisa melihatnya dari sini?" dia menunjukan barisan giginya pada Kagami, tersenyum lebar.

"O –oh," Kagami sebenarnya tidak terlalu mengerti, "Jadi... dia itu Blue?"

"Yep!" pemuda di depannya mengangguk, lalu menepuk pundak Kagami, "Jadi, siapa namamu? Aku –" Kagami melihat pemuda itu sedikit bergumam sebelum melanjutkan ucapannya, "Panggil saja Ogiwara."

"Kagami Taiga,"

"Tiger ya? Macan? Ahahaha! Sepertinya aku tahu dari mana nama itu berasal!"

'Apa maksudnya?! Dia mengejekku. Dia mengejekku kan!' urat dahi Kagami berkedut. Ia tertawa penuh dengan paksaan menanggapi ucapan pemuda di depannya. Entah kenapa kok ia jadi kesal.

"Ngomong-ngomong, Kagami –boleh kupanggil begitu? Kau mau bergabung dengan kami?"

Kagami mengangguk, "Ya, boleh sih. Tapi, maksudnya bergabung?"

Yang ditanya hanya tersenyum, lalu menggerakan kepalanya seperti mengajak Kagami untuk ikut saat pemuda itu berjalan. Ah, harus kah ia ikut? Karena sebenarnya keadaannya sekarang kan sedang buru-buru. Buru-buru menemukan jalan pulang maksudnya.

"Kagami, ayo!"

Keluar dari lamunannya, Kagami melihat Ogiwara menunggunya dengan satu tangan berada dipinggang. Yah, bagaimana nantilah.

"A –ah, okay."

.

.

.

.

.

"Jadi, apa alasan yang akan kau buat, Daiki?"

Aomine keki, Aomine gemetaran. Kakinya menapak kaku pada pijakan berukiran bunga crimson halaman depan. Keringat mengucur deras dari pelipisnya, bajunya juga basah karena keringat. Yang paling genting lagi, ia ingin pipis.

Bukan!

Lupakan apa yang dikatakannya tadi. Kencing tidak penting untuknya sekarang. Bahkan mungkin ia tidak akan bisa lagi pipis setelah ini, bagaimana bisa jika ia bakal mati berdiri saat ini. Detik ini. Karena raja neraka sedang berada tepat lima langkah di depannya. Menatapnya dengan bola mata merah dan emas. Tidak ada senyuman dibibirnya yang sekarang terlihat menekuk. Menambah datar ekspresinya selayak pantat teflon di dapur. Dimata Aomine, entah mengapa terlihat ada puluhan kelelawar yang terbang dari balik sosok itu. Imajinasi itu mengerikan. Aomine tidak mau membayangkan.

"Aka –Seijuurou," Aomine lebih baik mati bunuh diri. Sumpah.

"Aku bertanya padamu."

Aomine menjerit dalam hati.

"Etto –se –sebenarnya aku hanya mengajaknya jalan-jalan lalu –" tenggorokan Aomine seret mendadak. "Dia hilang," suaranya menciut.

"Souka?"

Akashi berjalan, langkah kakinya terdengar seperti ada efek gema. Dum. Dum. Dum. Dan lama kelamaan hawa disekitar Aomine terasa dingin dan mencekam.

"Daiki."

Mata berbeda warna menatapnya dengan dingin, dan saat langkah terakhir diambil Akashi, Aomine merasakan tubuhnya seperti tertarik ke belakang. Kaki lemas tak bertenaga. Ia hilang keseimbangan.

Burgh!

Aomine jatuh terduduk dihadapan Akashi yang melihatnya tanpa celah. Dilihat, begitu rendahan.

"Mungkin kau butuh waktu untuk mendinginkan kepalamu. Karena itu aku membuang semua kameramu." Akashi tersenyum. Tapi bukan karena ia senang atau karena hal baik lainnya. Ia tersenyum melihat Aomine yang pucat setelah mendengar ucapannya.

"Ne, nee! Akashicchi, boleh kubakar kostumnya!" suara cempreng muncul dari belakang Akashi. Aomine nampak semakin pucat saat mendengar kalimat yang dikeluarkan orang itu. Kise keparat.

"Oi! Kise –"

"Sekarang, Daiki," Aomine tak bisa berkata-kata, ia menatap Akashi dengan wajah sepasrah-pasrahnya. "Bangunkan dirimu, kau menghalangi jalanku."

Aomine berdiri, ia menyingkir seperti yang Akashi perintahkan.

Ia berdecih begitu Akashi pergi dengan mobilnya. Ia tahu Akashi marah, tapi rasanya berlebihan kalau semua kameranya dibuang hanya karena anak baru itu. Lagi pula, Aomine heran kenapa Akashi perlu repot-repot mencarinya sendiri. Dia kan bisa memerintahkan orang lain untuk melakukan itu.

"Kau sama sekali tidak pernah belajar," Midorima berdiri di ambang pintu, mata melihat Aomine menyalahkan.

"Haah? Jadi kau juga menyalahkanku, begitu?"

"Tidak ada yang akan membelamu dalam hal ini,"

"Aominecchi kena batunya~" Kise menyengir dengan gunting yang entah dari mana ia dapat sudah berada ditangan kanannya, "Waktunya bersih-bersih-ssu!" serunya girang seraya berlari masuk ke dalam rumah.

Aomine membulatkan mata, sepertinya kesialannya hari ini belum berakhir. "O –oi! Apa yang akan kau lakukan dengan gunting itu?! Kise! Jangan berani-beraninya kau!" teriakan itu meluncur bersamaan dengan kaki yang berlari mengejar Si rambut pirang.

"Yeeeeeey!"

"KISEEEE!"

"Kalian akan kena marah Akashi sepulangnya dia nanti," Midorima menghela napas, ia melangkah masuk ke rumah dengan santai. Tidak ingin ikut campur dalam keributan yang akan terjadi beberapa waktu setelah ini. Lebih baik ia pergi ke kamarnya dan melakukan hal lain yang lebih bermanfaat. Salah satunya mendoakan Kagami Taiga agar selamat setelah ini. Mungkin. Midorima sendiri tidak yakin.

.

.

.

.

.

.

"Akashi-sama,"

Mata merah dan emas melirik keluar kaca mobil satu arah, tatapan tertuju pada kerumunan orang bersorak-sorai di pinggiran lapangan basket pinggir jalan. Pucuk merah dan merah gelap dari kepala seseorang terlihat menyembul lebih tinggi saat satu tangan membawa bola masuk ke dalam ring. Akashi tersenyum tipis, ia kembali menatap layar laptopnya.

"Bawa dia kemari, Mayuzumi,"

"Ha'i," asisten kepercayaannya itu melangkah keluar mobil dengan patuh.

.

"Nice pass!"

Dua tangan bertepuk di udara, cengiran diwajah membawa ria setelah satu dunk berhasil dilakukan Kagami. Rasanya seperti bebas sekali setelah akhirnya ia bisa bermain basket seperti ini. Tidak ada yang harus dipelajari, tidak ada yang harus dihafal olehnya. Rasanya tubuhnya bisa melompat lebih tinggi dari yang tadi.

"Wooaah! Ternyata kau bagus juga bermain basket, Kagami!"

Cengiran Kagami tambah lebar, dadanya membusung bangga. Dipuji sekali-kali karena permainannya bagus itu tidak buruk juga.

"Kau juga. Apa kau pemain basket? –maksudku, dari klub basket?"

"Yeah, tapi sekolahku tidak terlalu terkenal. Oh, dan asal kau tahu, orang yang di sana itu lebih jago dariku!" pemuda bernama Ogiwara di depannya menunjuk seorang di pinggir lapangan. Pemuda bertopeng putih –Blue.

"Dia... bisa main basket?" Kagami bertanya ragu-ragu, tapi memang sih tidak boleh menilai seseorang dari tampangnya. Apalagi orang itu tampangnya nggak kelihatan. "Kenapa ia tidak bermain?" tanyanya lagi.

Kali ini Ogiwara menjawab dengan bahu mengangkat dan dribble pelan pada bola basket ditangannya. "Dia tidak bisa bermain saat cahaya meninggalkannya." ucap pemuda itu.

Kagami bingung, ucapan pemuda itu bahkan seperti tidak ada sangkut-pautnya dengan apa yang ia tanyakan tadi. Tapi kalau Si Blue itu memang sehebat itu, ia jadi ingin bermain dengannya.

"Kalau begitu, aku mau melihat –"

"Kagami-sama,"

Namanya dipanggil dari pinggir lapangan, Kagami melihat seseorang dengan setelan formal abu-abu dan kemeja putih membungkuk ketika ia menyadari kehadirannya. Kagami menekuk alisnya. Siapa?

"Sudah saatnya kembali, Akashi-sama menunggu anda."

Hampir kena serangan jantung. Kagami deg-degan sewaktu orang berpakaian formal itu menyebut nama Akashi. Mendadak badannya merinding. Apa artinya ia sudah ditemukan begitu? Dan yang menemukannya itu Akashi?

Memang ia ingin pulang, tersesat itu tadinya tidak enak. Apalagi tidak tahu ia berada di mana. Tapi kok saat nama Akashi nyantol seliwir-seliwir ditelinganya, Kagami malah milih ia tersesat seumur hidupnya. Rasa-rasanya seperti kalau ia ditemukan dan berhadapan dengan pemuda berambut merah delima itu, tersesat itu jauh lebih baik dari pada mendapat kesialan bertubi-tubi setelah menemui keturunan Hitler versi Jepang itu?

Kenapa Kagami bisa bilang orang bermarga Akashi itu keturunan Sang tirani? Oh, coba saja hidup satu atap selama sebulan dengannya kalau tidak percaya. Bukan lagi ditindas dan dipaksa memporsir tubuh sampai di ujung batas kemampuan, Kagami bahkan pernah keseleo dikaki karena salah gerak saat latihan menari. Dan tahu apa yang Akashi lakukan? Akashi memaksanya sembuh ditempat alias dengan satu plintiran dikaki minta ampun sakitnya. Plus-pulsnya ia ditertawakan Aomine karena berteriak kencang sekali. Sial!

"Anda harus pulang, Kagami-sama. Sekarang."

Kembali dari pikirannya. Kagami menatap orang dengan rambut sewarna uban dan wajah amat datarnya dengan sedikit ragu-ragu. Apalagi tatapan datar orang itu tidak benar-benar datar dimata Kagami. Rasanya, ia seperti dipaksa untuk menuruti ucapannya hanya dengan melihat mata itu.

"A –ah, baiklah," ukh... Bodohlah, ia turuti saja. Lagipula setelah ini juga ia tidak tahu harus ke mana.

Kagami mengalihkan pandangan pada pemuda di depannya, "Sepertinya aku harus pergi," sesaat Kagami melihat mata pemuda itu memicing kearah laki-laki yang menjemputnya sebelum kemudian berubah cepat setelah pandangannya terarah pada Kagami.

"Okay, kau sepertinya sudah dijemput. Kalau begitu, sampai jumpa. Semoga kita bisa bertemu lagi, main basket kalau bisa ya!" Ogiwara menepuk punggung Kagami. Ia hanya mengangguk untuk menanggapi ucapan pemuda itu sebelum berlari mendekati orang berambut putih bercampur abu di pinggir lapangan.

"Silahkan ikuti Saya,"

.

.

.

"Dia bilang 'Akashi', Blue,"

Helai rambut biru tersembunyi segera saat hoodie hitam dinaikan menutupi kepala, topeng diwajah dieratkan talinya. Mengatakan tidak untuk jatuh dan terus menutupi wajah dibaliknya.

"Kita pergi,"

.

.

.

.

Antara masuk kandang buaya, masuk kandang singa dan masuk mobil yang ada Akashinya. Dari ketiga pilihan itu Kagami lebih-lebih milih dua pilihan pertama dari pada harus satu mobil dengan Akashi sekarang. Setidaknya, buaya dan singa tidak akan diam saja kalau ada mangsa empuk masuk wilayah teritori mereka. Beda lagi kalau dengan embel-embel ada Akashinya, saat pintu mobil limosin –aduhai mencolok mata- dibuka saja Kagami sudah merasakan rambatan aura negatif nan dingin dan menyesakan, terlebih lagi ketika ia sudah masuk dan duduk manis di dalam mobil. Kagami rasanya beku seketika.

Di depannya Akashi duduk dengan sebelah tangan menopang dagu, satunya lagi sibuk dengan laptop di meja. Dengan kata lain, Kagami diabaikan. Keberadaannya bagai udara yang tidak terlihat sama sekali dimata Akashi. Tapi dari wajahnya yang terlampau datar kebangetan Kagami tidak bisa membaca apa isi kepala orang di depannya ini.

Ini sangat tidak nyaman. Rasanya suasana hening ini bisa membunuh Kagami perlahan-lahan. Apalagi dengan tidak adanya kata, atau setidaknya Kagami berharap diomeli lebih baik daripada diam begini. Karena dengan begitu ia tidak harus gugup seperti ini. Duh... dan kenapa hawa dingin di dalam mobil ini rasanya kok minus sekali?

"Besok kau sudah bisa kembali sekolah."

Kagami kaget begitu mendengar Akashi bicara. Ia menatap pemuda di depannya, namun Akashi masih tetap menatap layar laptopnya. Apa yang harus ia katakan?

"Latihan akan tetap berjalan setelah kau pulang sekolah. Tidak ada kegiatan klub, kau akan dijemput Mayuzumi."

What?! Terus bagaimana dengan latihan basketnya?

Kagami mau protes, tapi ia juga mikir-mikir dengan situasinya sekarang ini.

Kagami meneguk ludahnya, "Akashi –"

Akashi menutup laptopnya, mata heterokomikal menatap Kagami. "Aku tidak akan mengatakan ini untuk ketiga kalinya. Namaku, Taiga, otakmu tidak sedang mengalami amnesia."

Nama? Apa maksudnya? Sumpah Kagami tidak tahu kenapa tiba-tiba sepertinya Akashi menunjukan kemarahannya! Ia sih tahu Akashi pasti marah karena ia pergi tanpa izin. Tapi kenapa rasanya Akashi bukan marah soal itu saat ini! Kenapa orang ini susah sekali ditebaknya?! Kagami mau lompat keluar mobil! Ia mau lompat saja!

"Mayuzumi,"

"Ya, Akashi-sama."

Kagami berjengit saat mendengar suara dari belakangnya. Matanya menangkap speaker kecil tepat di atas kepalanya.

"Batalkan semua janji. Aku butuh istirahat." Akashi memandang keluar kaca mobil, mengacuhkan Kagami lagi.

.

.

.

.

Kagami melongo, mulut terbuka cukup lebar sampai butuh tongkat baseball untuk menyumpalnya. Matanya menatap tanpa berkedip gedung pencakar langit yang aduhai megahnya meski dilihat dari luar. Tulisan berlapis cat emas –atau itu memang emas asli- terpampang mewah sebagai nama dari gedung yang Kagami pijaki saat ini. Star Hotel, begitu dibacanya. Di bawah tulisan juga ada lima bintang yang begitu mentereng.

Saat Akashi bilang butuh istirahat, Kagami kira Akashi akan pulang ke rumah bukan malah ke hotel mewah seperti ini. Kagami tak habis pikir, berapa harga permalamnya jika ia ingin memakai salah satu kamar di hotel ini? Ia yakin uang sakunya sebulanpun tak akan cukup.

"Akashi-sama, selamat datang! Senang anda bisa berkunjung lagi kemari."

Sambutan kelewat riang itu membuat Kagami mengernyitkan alis. Pria tua gendut dengan kumis tebal dan rambut depan botak menyambut Akashi dengan senyuman. Senyum yang sepertinya tidak ada tulus-tulusnya sih. Apa orang itu manager tempat ini atau malah pemiliknya?

"Apa anda ingin menginap? Atau hanya untuk istirahat?" tanya pria tua itu pada Akashi.

"Menginap, kosongkan satu lantai di tengah. Kaouji-san."

Sa –satu lantai?!

Kagami mau pingsan, tolong bawakan ia tandu segera. Baru saja ia berpikir betapa mahalnya satu kamar permalam dan Akashi malah mengatakan ia ingin satu lantai dikosongkan? Apa itu tidak berlebihan? Buang-buang uang? Atau Akashi itu tipe orang yang suka melakukan hal-hal di luar akal sehat?

Pria tua bernama Kouji itu terlihat begitu sumringah dengan kedua tangan saling mengelus, "Baiklah! Sesuai permintaan anda, saya akan meminta lantai tengah untuk dikosongkan." ucapnya ramah, namun sikapnya berubah drastis saat mata pria itu melihat Kagami. Apa itu... ia seperti, dicela tanpa kata?

"Kau, apa yang kau lakukan di sini? Cepat pergi, ini bukan tempat yang bisa didatangi anak ingusan sepertimu!" nada bicaranya juga berubah.

"Hei! Apa maksudmu –" Kagami ingin membalas perkataan itu tapi ia keburu disela Akashi.

"Pemuda ini bersamaku,"

"O –oh! Be –begitu kah?" Si Kouji kampret gajah kepleset itu nampak sedikit terkejut dengan tingkah sedikit kaku sebelum kembali menatap Kagami. Kali ini terlihat lebih bersahabat, termasuk senyum yang ada manis-manis pengawetnya. Rasanya Kagami mau muntah, ketahuan sekali orang ini hanya peduli pada status sosial dan menginginkan uang saja.

Kagami memeletkan lidahnya dan mengikuti Akashi saat pemuda merah itu melangkah. Ia sedikit senang melihat pria tua itu misuh-misuh karena Kagami.

Dua puluh satu. Itulah lantai yang Akashi inginkan untuk dikosongkan. Dari ujung sampai ujungnya lagi Kagami bisa menebak jika lantai ini benar-benar kosong. Hanya ada Akashi dan juga dirinya sebagai penghuni. Kagami terus mengikuti lelaki merah itu tanpa mengucapkan apapun, matanya sibuk celingak-celinguk, hebat juga tempat yang ia datangi ini. Koridor yang dilewati Kagami penuh dengan warna emas dan merah marun, ditambah beberapa lukisan di dinding. Ada juga bunga disetiap samping pintu kamar.

Ingin sih ia bertanya, menyuarakan keingintahuannya kenapa Akashi membawanya ke sini –yang sebenarnya Kagami sendiri yang mengikuti Akashi- tapi kan kalau Si rambut merah itu tidak mengatakan apa-apa, artinya Kagami harus mengikutinya kan?

"Euh... Akashi," Kagami manggil, tapi untuk entah keberapa kali Akashi kembali mengacuhkannya. Pura-pura budeknya benar-benar kebangetan. Apa Akashi tidak tahu jika Kagami bingung sendiri kalau lawan bicara malah diam saja. Ia hanya bisa menghela napas dan mengikutinya saja.

'Aku punya firasat buruk tentang ini,'

Klik!

Hampir-hampir Kagami menabrak Akashi karena laki-laki itu berhenti mendadak di depan sebuah pintu. Pintu bernomor 305 ditulis dengan cat emas terbuka setelah Akashi menggesekan kartu hitam id kamarnya. Akashi masuk, tapi Kagami tetap diam ditempatnya berdiri. Kalau Akashi masuk kamar artinya dia ingin istirahat kan? Lalu untuk apa juga Kagami ikut masuk.

Haah... pada akhirnya Kagami benar-benar diacuhkan.

Set!

Kagami ngedip-ngedip ketika tangannya seperti disentuh sesuatu, tangan kirinya ditarik. tubuhnya reflek mengikuti. Jidatnya sakit terantuk pintu. Belum selesai mengaduh, punggung Kagami say hello sama dinding.

"Guh...," Kagami mengelus keningnya, "Akashi, jangan menarikku –"

Ia tidak melanjutkan. Kagami kehilangan kata, detik pertama ia bertatapan langsung dengan sepasang mata berwarna kontras. Lupa untuk bernapas. Dua warna itu menatapnya dengan begitu tajam, menusuk, dan seakan Kagami hanya harus melihatnya.

Glup!

Kenapa ia mendadak jadi tidak enak begini? And what with this position?!

Akashi di depannya, menengadah lurus untuk menatapnya. Ia bisa merasakan kemarahan Akashi kembali menguat dari apa yang ia lihat dimata Akashi. Ugh... dan pergelangan tangannya terasa semakin dicengkram, Kagami bisa merasakan kulitnya tertusuk kuku jari Akashi.

"I've told you before, for second time."

Deg. Deg. Deg.

"Akashi –"

Mata Akashi semakin terlihat dekat, entah mengapa seperti semakin dekat. Apa Akashi bisa tinggi dalam waktu secepat ini?

"Do not call me by that."

Bukan. Bukan Akashi yang tumbuh cepat, tapi Kagami yang semakin rendah ke bawah. Ia tidak bisa merasakan kakinya menapak dengan benar. Apa –apa yang terjadi –

-Brugh!

Kagami jatuh, lutut mencium lantai. Wajahnya tersarang diperut Akashi yang tertutup jasnya. Mata crimson terbuka dengan lebar.

Apa yang barusan itu?

Kagami mengangkat wajahnya, "Se –Seijuu –" tepat disaat itu ia melihat sebuah gunting tepat di atas mata kirinya. Ia terbelalak, tubuhnya tegang kaku.

"Ya, Taiga?" Akashi tersenyum, matanya ikut menyipit. "Apa kau sudah tahu apa kesalahanmu?"

Seratus persen Kagami yakin Akashi bukan orang waras. Lima puluh persen tambahan untuknya karena membuat Kagami begini.

What the hell happend with this guy?! FOR REAL!

Kagami was-was, gunting di atas mata kirinya terlihat sangat dekat sampai-sampai ia tidak bisa melihat ujungnya yang runcing dengan jelas. Satu senti kah? Tidak. Itu mungkin kurang dari satu senti. Sekarangpun, bergerak sedikit saja bisa sangat fatal dengan akhiran selamat tinggal sebelah matanya.

Horror.

"A –aku meninggalkan 'rumah' tanpa izin." Kagami menjawab dengan super gugup, jantung sudah gedebag-gedebug di rongga dadanya.

"Hmm?"

Apanya yang hmm! itu?! Please, situasi ini benar-benar gawat. Kenapa bisa ia berada disituasi sialan macam ini! Apa masuk boyband itu juga harus ada beginian-beginiannya? Macam cerita horror dengan satu orang gila yang suka menyiksa member boybandnya yang lain?! Kagami nggak lagi mimpi kan? Nggak lagi pingsan kesepak kuda terus mimpi buruk kayak gini kan ya?

Terus hal tidak masuk akal seperti ini nyata, begitu?

"Taiga?"

"E.. euh... Ma -maaf karena tidak mematuhimu?"

Kenyatannya kok pahit begini sih!

"Begitu?"

Kagami melihat Akashi menutup matanya, sebelum kembali terbuka. Terbuka bersamaan dengan gunting ditangannya yang ikut terbuka lebar. Dua capit besinya terpisah meski yang satu masih membuat Kagami was-was karena masih berada di atas matanya.

"Taiga, kau harus tahu apa itu disiplin."

Mata Kagami fokus pada gunting yang bergerak ke bawah, tapi bukannya disingkirkan, gunting itu menekan pipi Kagami. Apa yang sebenarnya Akashi mau lakukan padanya?!

"Terutama untuk aturanku. Saat aku mengatakan sesuatu, saat mulutku bicara. Apapun itu. Maka itu pula yang akan terjadi. Yang harus dipatuhi. Yang harus dilakukan. Kau harus pahami itu, Taiga."

Mata menyipit ketika Kagami merasa ujung lancip gunting sudah menggores kulitnya. Perih dan terasa ngilu saat bola matanya mengikuti goresan gunting ke arah samping wajahnya. Sepanjang itu pula Kagami merasakan perih.

Kagami baru bisa sedikit bernapas lega begitu Akashi melempar gunting ditangannya. Ancaman satu selesai. Yang terbesar yaitu Akashi sendiri masih berdiri di hadapannya dengan wajah penuh percaya diri dan tangan Kagami yang masih ditahannya. Hanya saja posisinya lebih rendah kali ini. Sampai-sampai Kagami bisa merasakan luka dipipinya perih terkena hembusan napas Akashi. Dan juga sesuatu yang basah dan menyentuh pipinya.

Kagami mengerjap, ia menjauh hingga punggungnya kembali menempel di dinding. Tangan kanannya menyentuh pipi kirinya. Memang basah. Dan, yang tadi itu, Akashi benar menjilat pipinya.

The fuck! Apa tidak cukup tripple shocked attacknya hari ini? Tuhan yang tidak sayang Kagami, sekali-kali sayangilah dirinya terutama disaat-saat seperti ini.

"Err.. Aka –maksudku Seijuuro, apa yang kau lakukan tadi?" Kagami dag dig dug, salah bicara sedikit mata Akashi sudah lain pandangan. Dan mengenai apa yang dilakukan Akashi barusan malah membuatnya jadi bingung dan mulai merafalkan do'a-do'a yang ia tahu. Semoga tidak ada lagi yang membuatnya bisa mendapatkan serangan jantung dadakan. Setidaknya ia harus membangunkan tubuhnya dulu agar –tunggu dulu, kenapa tubuhnya tidak bisa bergerak?

"Aku tidak bilang jika aku sudah selesai, Taiga." Akashi berjongkok dengan satu lutut menumpu di lantai.

"Hu –huh?" Okay, Kagami punya perasaan buruk tentang ini.

"Kau sudah melanggar perintahku, kau terima konsekuensinya."

Tunggu dulu, tunggu dulu, bisa jelaskan dulu. Hei, Akashi, ia tidak mengerti di sini. Tapi bukankah ia tadi sudah minta maaf, jadi apa lagi itu konsekuensi yang harus diterimanya?

Dan kenapa harus pakai melepaskan dasi segala?

"Err... Sei?" serius, Kagami hanya bisa melihat Akashi mengikat tangan mereka berdua dengan dasi. Ia tidak bisa menggerakan tubuhnya, lebih tepatnya kakinya jadi lemas saat berusaha ia gerakan. Sebenarnya ada apa dengannya?! Seseorang! Tolong Kagami coba!

Lick.

Dan Kagami jantungan beneran. Akashi kembali menjilat luka dipipinya, bahkan menjilat cuping telinganya juga.

"Akashi –ukh..." Kagami merasakan gigitan ditelinganya. Lalu jilatan lain memutari telinga, rasanya geli. Ia menjauhkan kepalanya dan menahan gerakan tubuh Akashi dengan sebelah tangannya yang bebas.

"Ah –eh, etto, bi –bisa tunggu dulu!" suara Kagami naik satu oktaf. Ia menatap Akashi dengan ragu-ragu dan gelisah sendiri. Bagaimana tidak, pertama ia ditarik masuk kamar, diancam pake gunting segala sampai pipinya luka, nah sekarang ini Kagami di –di di –dibegitukan seperti ingin –

"Taiga."

"Ya?" Kagami refleks menjawab. Namun rasanya ia menyesal buka suara, soalnya Akashi terlihat sangat tidak senang saat ini.

"Kau terlalu banyak bicara." ucap Akashi. Tubuhnya bangun dengan Kagami yang terpaksa mengikuti karena tangan kiri mereka yang masih terikat. Si rambut merah itu berjalan masuk kamar. Di mana Kagami bisa melihat sebuah ranjang besar dengan televisi yang tidak kalah besarnya berada di depan ranjang itu. Ia juga bisa melihat sebuah laptop, tab, I-phone, juga ponsel di atas ranjang.

Akashi mengambil salah satunya, ponsel hitam dengan garis merah, entah apa yang sedang ia lakukan namun setelah mengotak-atik ponsel ditangannya, Akashi terlihat menghubungi seseorang. Sementara Akashi sibuk, Kagami juga sibuk memperhatikan sekeliling. Ia sepenuhnya kagum pada tataan ruangan yang ia tempati saat ini, begitu juga ruangan di pojok dekat ia masuk tadi. Pastinya, dapur. Dapur terbuka yang bisa dilihat dari sisi mana saja. Terdapat juga mini bar di sebelah kanan.

"Besok, jam tujuh. Chihiro-san, bawakan seragam dan perlengkapan Taiga juga kemari. Tidak, hanya itu."

Kagami kembali menatap Akashi setelah ia rasa percakapan Akashi telah usai. Lelaki berambut merah itu menaruh ponselnya di ranjang dan begitu juga dia yang duduk ditepian. Kagami yang jelas mengikuti Akashi berdiri di depannya tanpa tahu harus apa. Dan lagi, kapan tangannya ini akan dilepas? Sungguh, bukan hanya gerakannya yang terbatas, tapi Kagami juga merasa tidak enak. Hei –ayolah, siapa yang tidak risih harus terus mengikuti pergerakan Akashi begini?!

Kalau dia mau tidur bagaimana? Kalau dia juga mau pipis bagaimana? Masa Kagami harus mengikutinya juga? Ogah banget.

"Taiga, duduk. Aku tidak bisa menggunakan tanganku jika kau berdiri saja di situ."

'Memangnya ini salah siapa!'

AH, ingin sekali Kagami berkata seperti itu. Tapi sekali lagi, ia hanya menurut dan duduk di ranjang, susahnya jadi orang satu kurungan sama singa ternyata begini.

"Uhh –Seijuuro?" Dan berapa lama lagi ia harus memanggil Akashi dengan nama kecilnya. Memangnya ia ini orang yang dekat-dekat amat sama dia? Satu masalah lagi, kenapa Akashi jadi duduk di belakangnya?

"Kenapa –kau duduk di belakangku?" Kagami bertanya, ia jadi geregetan sendiri dengan kelakuan Akashi. Sebenarnya apa sih mau ini orang?

Bukannya menjawab pertanyaan Kagami, Akashi malah membuka laptopnya. Ia mengetik password dengan cepas sampai Kagami tak ingat mana saja yang ia masukan. Dan karena laptop itu ada di atas paha Kagami, ia jadi bisa melihat apa yang Akashi lakukan. Bagaimanapun juga, di sini tangannya ikut bergerak saat Akashi mengetik sesuatu.

Sulitkah jika Kagami menginginkan tangannya kembali? Hanya itu, dan agar ia bisa lepas dari posisi tidak biasa ditambah Akashi yang bernapas tenang di dekat lehernya. Ini benar-benar tidak nyaman.

Rasanya seperti ia jadi orang mesum yang berpikiran tidak-tidak karena tindak tanduk Si rambut merah selalu menjurus ke itu-itu mulu. Tapi ia benar mesum kalau sudah berpikir ke sana juga. Akashi kan laki-laki, err... setidaknya Akashi itu bukan Aomine yang main serang di toilet umum. Tunggu, artinya ia mau diserang jika bukan di toilet begitu? Argh! Tentu tidak! Dan lagi kenapa Kagami jadi kepikiran sama Si Aho-homo-sialan-sekuhara-brengsek itu sekarang!

Lihat kan, hasilnya ia jadi kesal sendiri sekarang.

"Napasmu tidak beraturan, ada apa?"

"Tidak, bukan apa-apa." Kagami senyum-senyum kaku. Duh, kapan ini orang mau melepaskannya sih?

"Seijuuro, boleh aku tanya sesuatu?"

"Hmm, tergantung dari pertanyaanmu."

Kagami merinding anyep-anyep saat Akashi menempelkan hidung dan bibirnya dileher Kagami. Ini semakin ugh... gawat saja. "Kiseki no sedai itu –ugh... maksudku," Kagami berkeringat dingin, yang dilakukan Akashi dilehernya membuat ia tak bisa fokus pada apa yang mau ia utarakan. "Member di dalamnya, memang ada enam orang kan. Jadi, siapa yang aku gantikan?"

Akashi menjauhkan wajahnya dari leher Kagami setelah pertanyaannya itu. Kagami menoleh untuk melihatnya karena setelah beberapa saat, ia tak juga mendapat jawaban atau bahkan respon dari laki-laki itu. Namun yang ia dapat justru wajah lelah Akashi dengan kelopak mata menutup.

"Akashi?"

Tidak ada respon. Si merah itu benar-benar tertidur dengan posisi menyandari kepala tempat tidur. Dilihat dari manapun Akashi itu memang tidur. Apalagi dengan napasnya yang begitu teratur. Apa Akashi selelah itu sampai bisa tidur secepat ini? Ah, okay, Kagami memang mendengar sendiri jika tujuan Akashi ke sini memang untuk beristirahat. Tapi ia tidak menyangka jika Akashi bisa tertidur bahkan dalam posisi tidak nyaman begini.

"Lalu, bagaimana denganku?"

Kagami meratap. Kagami mendadak galau lagi. Kalau Akashi tidur, terus ia yang masih duduk di depannya dengan tangan terikat bersama ini bagaimana? Bergerak dari posisinya sekarang? Tidak, itu bisa saja membangunkan Akashi yang baru tidur. Melepaskan tangannya yang diikat, mau saja. Tapi ia tidak yakin Akashi akan diam-diam saja kalau Kagami melakukan itu. Mungkin bukan sekarang, tapi kalau Si Singa bangun nanti bagaimana? Bisa-bisa bukan hanya gunting yang menggores pipinya, lehernya bisa saja putus.

Kalau begini, Kagami terpaksa menunggu Akashi bangun sendiri. Hahh... mau sampai mana harinya ini jadi penuh kesialan?

.

.

.

.

"Taiga,"

"Nggh..."

Kagami meringkuk, permukaan halus dan hangat di sekitar kaki ditarik sampai menyelubungi tubuhnya. Rasanya nyaman sekali, karena itu ia tidak ingin membuka matanya barang sedetikpun. Terlalu nyaman sampai ia enggan untuk bangun.

"Taiga, bangun."

Alis mata berkerut-kerut, bisa tidak sih Kagami tidur dengan nyenyak saat ini.

"Nghh... Shut up, Tatsuya. Just... leave me for five minutes~"

Kagami kembali menggulung diri setelah tidak ada gangguan seusai ucapannya barusan. Hampir-hampir akan nyenyak lagi jika saja sesuatu yang dingin tidak menyentuh wajahnya. Ia kembali mengerutkan alis, sesuatu yang dingin itu terus menetes kewajahnya sampai ia harus menggunakan tangannya untuk menyingkirkannya. Tapi, telapak tangannya menyentuh sesuatu yang basah –apa ini air?

Crimson merah muncul dari balik kelopak mata. Kagami mengerjap sadar tidak sadar. Namun saat matanya menangkap sesuatu yang membayang di depannya, dan sesuatu itu berwarna merah mencolok. Ia membuka matanya lebar-lebar. Yang dilihatnya adalah wajah Akashi yang berada di atasnya, penuh dengan buliran air yang menetes-netes dari rambut merahnya yang basah, turun ke lehernya sebelum terserap serat benang handuk. Sebagian lagi mengalir kepelipis dan dagunya hingga menetes diwajah Kagami.

Akashi terlihat sangat segar sekali jika Kagami boleh berkomentar. Apalagi dengan kedua mata berbeda warna yang melihat kearahnya sekarang. Bisa Kagami bayangkan pemandangan yang dilihatnya ini akan banyak membuat fans Akashi rela melakukan apapun asal melihat leader Kiseki no Sedai ini dipagi hari.

"Mo –morning," Kagami jadi mendadak keki begini.

"Jika kau tidak bersiap sekarang, tujuh puluh persen kemungkinan kau akan terlambat ke sekolah."

Mendengar ucapan Akashi membuat Kagami panik seketika. Ia hampir saja meloncat dari tempat tidur jika saja tidak mengingat Akashi masih membungkuk kearahnya. Akhirnya ia menggeser tubuhnya dulu sebelum beranjak dari tempat tidur. Benar juga, hari ini ia mulai sekolah lagi!

"Tapi," Kagami langsung diam saat kata sekolah melintas dipikirannya, "Seragamku, bagaimana... ya?" Tidak mungkinkan ia pergi sekolah dengan pakaiannya sekarang?

"Di kamar mandi. Tas dan semua perlengkapanmu ada di mobil. Mayuzumi sudah menyiapkan semuanya." Akashi menjawab pertanyaan itu. Kagami melihat Akashi berjalan ke lemari pakaian dengan tangan yang mengusap-usapkan handuk ke kepalanya. Ia baru sadar Akashi hanya mengenakan handuk putih pendek yang dililitkan dipinggangnya. Dan, ini juga pertama kalinya bagi Kagami melihat Akashi seperti ini.

"Jika sudah selesai, pergilah ke lobi. Aku menunggumu di sana."

Kalau dilihat-lihat, punggung Akashi itu sangat putih.

"Taiga?"

Kagami mengerjap. Ia melihat Akashi yang menekuk alis melihat dirinya yang berdiri diam. Oh, shit! Ia harus cepat-cepat.

Buru-buru Kagami melepas pakaian di tubuhnya. Ia mencomot seragam sekolah di meja kecil di dekatnya dan memakainya. Celingak-celinguk, Kagami juga menemukan sikat gigi dan pasta gigi baru di sana. Sikat gigi dengan merk yang selalu dipakainya. Berpikir sejenak kenapa bisa kedua benda itu ada di sana, akhirnya ia menggunakan sikat gigi itu untuk menggosok giginya. Kumur-kumur lalu mencuci mukanya. Tidak ada waktu untuk memikirkan hal sepele.

Setelah dirasa ia cukup rapi untuk bisa pergi sekolah, Kagami keluar kamar mandi. Tapi ia tak melihat Akashi di sana, ia juga tak melihat timbunan gadget yang kemarin di lihatnya. Mungkin Akashi sudah duluan ke bawah dengan membawanya.

.

.

"Akashi!"

Kagami jalan buru-buru begitu melihat Akashi duduk di ruang tunggu lobi. Di depannya terdapat selembar roti panggang yang sudah diolesi selai dan juga susu hangat. Sepertinya sedang sarapan. Tapi setelah Kagami tiba, Akashi langsung berdiri dan melewatinya.

"Kita berangkat." ucapnya. Kagami mengangguk dengan sedikit lirik-lirik sama roti panggang yang ditnggalkan Akashi. Kalau diingat-ingat, rasanya makanan yang terakhir kali ia masukan keperut itu pagi kemarin saat sarapan di asrama Kiseki no Sedai. Wajar saja kalau ia kelaparan.

"Umph –" kaget.

Saat kepalanya menghadap ke depan ia dihadiahi sumpalan roti dimulutnya. Sebuah tangan yang memegang roti itu terjulur lurus dan menyambung dengan bagian tubuh laki-laki berambut merah delima di depannya, yang artinya tangan itu milik Akashi.

"Jangan pasang wajah seperti itu. Kau harus belajar menyembunyikan perasaanmu, Taiga. Idol tidak menunjukan wajah kelaparannya di depan umum." begitu kata Akashi seraya melepaskan roti di mulut Kagami saat ia sudah memegangnya sendiri.

"Sometime..." Kagami menelan roti dimulutnya. 'He can be so nice,'

Kakinya mengikuti Akashi berjalan keluar hotel dengan mobil dan assisten –err... siapa namanya? Mayu –Mayuzumi kalau Kagami tidak salah ingat, sudah menunggu di depan. Mobil yang ada di depannya sekarang juga berbeda dengan limosin kemarin, bisa dibilang mobil berwarna hitam ini lebih normal untuk berada di jalanan dan juga tidak begitu mencolok.

Kagami masuk ke dalam mobil setelah Akashi. Matanya langsung disuguhi nampan coklat berisi roti dan juga susu yang masih mengepulkan asap di atas jok. Ia menatap Akashi, lelaki itu tengah sibuk dengan laptopnya, lalu menatap isi nampan itu lagi. Satu roti yang diberikan Akashi tadi tentu tidak akan bisa mengganjal perut berlambung duanya. Kagami mendengar itu dari Tatsuya, tapi sepertinya itu bukan sebuah pujian. Tanpa banyak bicara ia mencomot roti itu, Akashi juga tidak terlihat keberatan.

Hari pertama masuk sekolah setelah ia masuk boyband, akan seperti apa nantinya.

.

.

.

.

"Ka-ga-miiiiiii!

Pukulan dikepala dari Hyuuga-senpai, tepukan keras dibahu oleh Izuki-senpai dan diakhiri dengan elusan dikepalanya menjadi hadiah terakhir dari Kiyoshi-senpai. Kagami tepar di lantai, tubuhnya serasa habis dikeroyok berandalan. Sakit-sakit semua. Awalnya ia hanya ingin menyapa anggota klub basket Seirin karena sudah lama absen dari latihan. Tapi yang ia dapat saat baru saja masuk gedung olahraga adalah tampolan-tampolan sayang aduhai menyakitkan.

"Sudah-sudah, Kagami kan baru saja masuk. Jangan buat keributan okay?" Kiyoshi-senpai menahan kapten tim mereka sebelum sebuah injakan mendarat dipunggung Kagami. "Kagami, kau baik-baik saja?"

"Lepaskan aku! Kiyoshi!"

"Hyuuga, tenanglah sedikit."

"Tenang untuk bisa lepas –ah! Itu dia!"

"Izuki! Diam!"

"Ahahaha! Mitobe, sepertinya Kagami langsung dapat hadiahnya!"

"..."

"Ano... Kagami, kau tidak apa-apa?"

"Furi, ambilkan dia minum."

Begitulah, setelah Senpai mereka dan yang lainnya pun ikut-ikutan ribut dengan cara masing-masing. Sementara ia yang berusaha berdiri dibantu Fukuda dan Furihata yang membawa sebotol air ditangan nampak sedikit menunjukan rasa prihatinnya.

"Sepertinya kau sudah dapat sapaan ya?"

Kagami tiba-tiba jadi kesal saat mendengar suara di belakangnya, ia membalik badannya dan menemukan Himuro berdiri dengan senyum sok-sok ramahnya.

"Kenapa kau tidak memberitahu mereka kalau aku tidak boleh menggunakan ponsel, hah!" tanya Kagami sengak, sinis-sinis dengan sebal sebagai bumbu tambahan. Himuro hanya tersenyum dan mendudukan diri di samping Furihata. Menonton keributan di depannya.

"So, what do you think? Its become nice shoot, right?"

"Like hell it become nice! You know, I –" Kagami tak melanjutkan, mana bisa ia memberitahu Himuro jika dirinya hampir-hampir tiap hari mengalami sekuhara oleh orang-orang itu. Bisa Kagami bayangkan bagaimana depresinya nanti jika Kakaknya itu tahu, padahal Himuro sendiri yang memaksanya masuk boyband. Kagami tidak mungkin membiarkan Himuro mengobrak-abrik tempat itu kan. Err.. masalahnya ia tahu Himuro itu rada-rada over kalau soal Kagami.

"I, what?" Himuro yang melihat Kagami diam jadi keheranan sendiri.

"No, Nothing." Kagami menjawab, "Aku harus pergi sekarang. Aku hanya berkunjung hari ini, tidak bisa latihan."

"Oi! Kagami!" Hyuuga yang entah sejak kapan menyelesaikan debat-debat tidak pentingnya memanggil dengan nada kurang enak didengar. Kagami bisa melihat dua tanduk keluar dari jidat seniornya itu.

"Apa maksudmu dengan pergi sekarang, hah?"

Kalau Kagami tidak tahu seseorang dengan amarah layaknya raja neraka itu bagaimana, mungkin Kagami yang sekarang akan takut setengah mati pada Hyuuga yang memperlihatkan wajah bagai penjaga neraka dengan cambuk duri tajam di tangannya.

"I –itu... sebenarnya..." Kagami menggaruk belakang kepalanya, "Aku sedang euh... dihukum saat ini."

"Dihukum?" Hyuuga menaikan sebelah alisnya.

"Memangnya hukum seperti apa dan oleh siapa, Kagami?" Furihata yang sejak tadi memegang botol air minum karena kagami tak juga menerimanya membuka suara. Pemuda dengan image sewarna tanah itu sepertinya sudah mewakili orang-orang disekitarnya untuk bertanya.

"Yah, soal itu –"

"Kagami-sama,"

Yang baru saja akan dibicarakan sudah datang menjemputnya. Kagami langsung menekuk bibir, mata menatap pasrah melihat seseorang di depan pintu gedung olahraga sudah menunggunya. Mayuzumi berdiri tegap, dengan setelan jas abu yang hampir mirip warna rambutnya.

"Siapa itu?"

Kagami tidak tahu siapa yang bertanya itu, "Assisten Akashi. Dia yang akan menjemputku mulai hari ini, karena itu aku tidak bisa ikut latihan."

"APA?!"

Kagami langsung budek.

"Hei, Kagami. Sejak kapan kau dikawal begitu?"

"Assisten? Artinya Akashi mengawasimu begitu?"

"Kau sejak kapan jadi dekat dengan Akashi?"

"Kagami maju sepuluh langkah daripada para fans Kiseki no Sedai! Itu baru temanku!"

"Apa artinya kau sudah resmi jadi anggota mereka?"

"Kukira mereka hanya salah paham dengan membawamu."

"Nee, nee, Kagami. Bagaimana hidup dengan orang terkenal?"

"Apa Kise juga memakai pakaian wanita di rumah?"

"Aku dengar Midorima suka sekali mengoleksi barang-barang aneh ya, apa itu benar?"

Kagami tidak tahan lagi.

"Gaaah! Cotto matte kure yo!" teriaknya pusing. Kenapa situasinya jadi mirip saat Kise kemari dulu?

"Aku benar-benar pusing tentang semua ini! Arrrgh! Tatsuya teme!"

"Kenapa aku dibawa?" Himuro bertanya polos, sejak tadi kan dia memang diam dan tidak ikut-ikutan. Tapi malah dirinya yang jadi sasaran Kagami.

Bodoh amat. Kagami tidak mau tahu lagi. Mau ada yang marah kek. Mau nanti disembur pelatihnya kek. Mau senpai-tachinya menghajarnya sampai bonyok. Mau Tatsuya memutuskan ganti gender kek. Kagami mau pulang. Acara rindu-rinduannya sama mereka malah jadi ajang tanya-tanya artis idola. Padahalkan Kagami maunya mereka sedikit hanya sedikitpun tak apa, bertanya keadaannya selama sebulan ini.

"O –oi! Kagami, mau ke mana kau?"

Pulanglah! Mau apa ia di sini kalau hanya seperti ini jadinya. Kagami berjalan dengan langkah lebar-lebar. Melewati Mayuzumi dan keluar tanpa menoleh sedikitpun ke belakang. Saat ini ia kesal sekali rasanya.

"Dia tidak marah pada kita kan?" Hyuuga menunjuk pintu keluar dengan tolehan minta persetujuan dari teman-temannya.

"Dia marah."

"Pasti marah."

"Tidak mungkin dia tidak marah."

"Oi! Kenapa kalian melihatku seolah ini semua salahku, hah?!" teriak Hyuuga muncrat-muncrat. Kacamatanya sampai melorot sampai tengah hidung. Kapten tim Seirin itu menghela napas dan membenarkan kacamatanya, "Pokoknya, jika Kagami sudah kembali. Hanya masalah waktu sampai ia ikut latihan lagi. Dan sebentar lagi pertandingan kita di Winter cup."

"Artinya, kita harus berusaha sampai dia kembali kan? Kau optimis sekali, Hyuuga!"

"Jangan menepuk bahuku sekeras itu, Teppei!"

"Haah, sepertinya aku harus minta maaf pada Taiga nanti." Himuro menatap teman-temannya dengan maklum. Repot juga kalau Kagami sudah marah kalau begini.

"Ano, Sumimasen,"

Himuro melirik asal suara dari kirinya. Ia hampir saja berjengit kalau tidak ingat karakternya dibuat setenang mungkin. Meski terkejut, Himuro berusaha untuk tidak memperlihatkannya. Lagi pula sejak kapan ada orang di sampingnya?

Ia berdehem dan menatap seseorang di sampingnya dengan ramah.

"Jangan pedulikan, inilah mereka kalau sedang bersama." ucapnya pada pemuda di sampingnya. "Kau memang baru masuk klub basket, jadi wajar kalau terasa aneh awalnya."

"Yah, akan lebih ramai lagi kalau yang tadi itu ikutan juga. Kagami Taiga, kalau kau mau tahu namanya."

"Kagami-kun, ya,"

Sepasang biru langit menatap bola basket ditangannya. Bibirnya tersungging senyum tipis yang tak akan bisa dilihat orang di sebelahnya.

'Ganbatte ne, Kagami-kun,'

.

.

.

.

.

.

.

Hari ini sangat menyebalkan. Kagami bukan orang yang mudah terbawa perasaan –kecuali soal semangatnya yang berapi-api, hanya saja kenapa hari ini terasa sangat menyebalkan baginya? Saat ini, tak ada yang ingin dilakukannya selain masuk kamar dan tidur. Atau setidaknya tidur-tiduran sampai ia bosan dan ketiduran.

Kagami menaiki tangga ke lantai dua. Rumah terasa sepi sekali, orang-orang di rumah ini pasti sedang pergi entah ke mana dan meninggalkannya sendiri di sini. Oh, itu bagus sekali karena Kagami memang tidak ingin bertemu siapapun sekarang.

"Oi, Kagami."

Kagami menutup matanya. Baru saja sampai di lantai dua, ia sudah mendengar suara seseorang yang menyebalkan. Memilih berbelok ke arah kanan, ia menghindari orang itu.

"Aku bicara padamu."

"Jangan sekarang. Aku sedang tidak ingin meladenimu." ucap Kagami kesal ditahan. Ia mempercepat langkahnya namun sebuah tarikan pada lengan kanannya membuat ia berdecak.

"Apa maumu, Aomine –" mendadak ia kehilangan kata. Kagami memandang bingung pada ekspresi yang dilihatnya diwajah Aomine. Pemuda berkulit gelap itu memasang wajah datar tanpa ada satupun mimik jahil seperti biasanya. Apa Aomine juga sedang badmood?

"Euh... kau kenapa?" tanya Kagami heran. Terlebih lagi saat remasan dilengannya semakin mengencang.

Aomine membalikan tubuhnya dan berjalan tanpa bicara apapun, Kagami juga terpaksa mengikutinya karena lengannya masih diremas. Shit! Apa-apaan ini?

"Hey! Aho, apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" tangan Kagami berusaha menepis namun entah mengapa ini berbeda dari yang kemarin.

'Kenapa tidak bisa?'

"Aomine!"

Kakinya terus saja melangkah mengikuti Aomine. Pemuda itu hanya berhenti sewaktu membuka pintu di depannya dan membawa Kagami masuk.

Brugh!

Kagami dilempar layaknya membuang sampah.

"Shit! What the hell wrong with you?" Kagami kesal. Ia mengambil entah apa sesuatu di lantai di dekat ia terduduk dan melemparnya pada Aomine. "Kau ini kenapa sih?" tanyanya.

Aomine hanya berdiri di depannya tanpa satu katapun. Sesuatu seperti kain yang tadi dilempar Kagami di singkirkan dari wajah pemuda itu. Kagami tidak bisa melihat dengan jelas di sini, ruangannya sekarang remang-remang karena hanya disinari oleh lampu tidur di belakangnya.

Klik!

Alis Kagami mengerut, sepertinya telinganya mendengar sesuatu yang dikunci dan Aomine yang berjalan mendekatinya.

"O –oi, ini tidak lucu. Aho, sebenarnya kau ini kenapa?" Okay, bukan salah Kagami kalau ia merasakan ada yang aneh dari Aomine. Biasanya pemuda itu banyak bicara –bicara yang membuatnya kesal. Tapi kenapa sekarang jadi diam begini?

Aomine menepuk tangannya, bersamaan dengan itu seluruh ruangan menjadi terang. Lampu kamar menyala otomatis. Kagami menyipitkan matanya karena serangan cahaya tiba-tiba. Begitu ia kembali melihat Aomine, pemuda itu sudah berjongkok tepat di depannya. Dan yang membuat Kagami terkejut adalah ekspresi yang ditunjukan Aomine. Kemarahan.

"Kenapa, katamu."

Kagami tidak tahu Aomine bisa bicara dengan nada sedingin itu.

"Aomine –"

"Lihat sekelilingmu, Kagami."

Itu katanya, dan ketika Kagami melihat kesekelilingnya, yang ia lihat adalah kekacauan dimana-mana. Banyak sekali pakaian robek berserakan di sana-sini, sepatu yang patah heels. Bahkan Kagami tidak bisa melihat lantai kamar ini karena tertutupi oleh pakaian-pakaian itu. Ruangan ini, sangat berantakan. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Kau yang akan membayar semua ini,"

"Huh –ummfh!"

Kagami terkejut bukan kepalang. Matanya melotot sampai-sampai ia yakin bola matanya akan keluar kalau ia tidak segera menutupnya.

Aomine menciumnya. Apa lagi yang bisa membuatnya terkejut selain ini?

Mendorong pemuda itu, Kagami berusaha melepaskan cengkraman di leher belakang dan bahunya.

"Aomine! –kuhh... kau gila ya! Hei –ummmh..."

Damn it! Kenapa Kagami tidak bisa menyingkirkan Aomine? Dan hei! Sekarang kemana tangan Aomine menggerayang, sejak kapan tangannya berada dipinggang Kagami. Mencoba untuk menyingkap baju seragamnya.

"... –mine –teme –" –brugh! Kagami di dorong, tubuh jatuh di atas pakaian compang-camping.

Ini serius. Bukan lagi sekedar pelecehan berkategori lelucon. Kagami merasa benar-benar akan dirape oleh Aomine.

Pemuda berkulit gelap di atasnya tetap tak berhenti menciumnya. Semakin lama Aomine menciumnya, ciuman itu semakin dalam.

Kagami tidak tahan lagi. Tangan mendorong wajah Aomine. Butuh waktu sampai wajah itu terangkat dan menjauh. Kagami memalingkan wajahnya begitu ada kesempatan. "Berhenti, Brengsek! Kau pikir apa yang kau lakukan! –khh –jangan buka bajuku!"

"Diam sedikit, Bodoh!"

Diam. Diam katanya? Kagami harus diam begitu?

"Kau pikir aku akan diam saja dan membiarkanmu melakukan ini, hah!"

Saat pemuda di atasnya berhenti bergerak, Kagami sigap mendorong lebih kuat. Aomine terjungkal ke belakang, ia mundur.

"Berhenti, okay. Aku tidak tahu apa masalahmu, tapi jangan limpahkan padaku." Kagami bicara. Detak jantungnya sudah seperti habis lari berkilo-kilo. Kejadian ini sama sekali tak terpikir diotaknya.

Aomine duduk, kaki kanan ditekuk kaki kiri berselonjor. Siku tangan bertemu lutut. Jarinya menyisir rambut lembab berkeringat. "Aku tidak tahu kau setakut itu padaku." katanya dengan seringai tipis membarengi.

Tekukan alis bercabang menjadi tanda kebingungan. Apa otak Aomine sedang tidak beres? Butuh perbaikan. Ganti dengan yang baru? Kagami tidak tahu kesimpulan itu datangnya dari mana.

"Aku tidak takut."

"Oh –lalu kenapa dengan tubuhmu itu?"

Tubuh –tidak ia sadari. Kagami bahkan tidak merasakannya. Sejak kapan tubuhnya gemetaran, tangan meremas kuat kain yang menjadi alas. Otot jarinya tegang.

"Heh. Akashi tidak pernah salah menilai seseorang."

"Akashi –apa maksudmu." sulit bicara, mulutnya terasa kering.

Ada seringai diwajah Aomine. Si kulit gelap itu melihatnya dengan tatapan penuh meremehkan.

"Maksudnya adalah kami mendapatkan hal yang lebih dari sekedar 'pengganti'."

Sikap siaga Kagami tunjukan begitu Aomine membangunkan tubuhnya. Bukan saatnya bicara –Kagami yakin pemuda di depannya ini otaknya masih somplak setengah, setengahnya lagi kendur dan bergelantungan kurang kencang disekrup.

"Sekarang –"

BRAK!

Pintu terjelebak. Terbuka lebar sampai kenop menyentuh dinding tempat daunnya bertengger. Kagami merem-melek setengah melongo. Warna hijau di atas kepala ia ketahui sebagai rambut. Setelan jas hitam kemeja abu menjadi busana Si pelakon di depan pintu.

"Apa yang sedang kalian lakukan?" suara menyelidik sembunyi-sembunyi keluar dari bibir berpoles perawatan kelembaban.

Aomine berdecak dengan tampang sangar meski di bawah standar. Kagami memerhatikan. Percikan imajiner listrik-listrik statis muncul dari mata biru dan hijau. Bertubrukan.

Hampir-hampir Kagami yakin kedua orang di depannya adalah pemain live action Anime yang benar adanya live di depan Kagami. Seratus persen Kagami lupa situasi. Apa lagi manik hijau yang berpaling dari adu tatapan melihatnya kemudian.

"Aomine, cukup untuk yang kemarin. Jangan hari ini,"

"Apa maumu, Midorima."

Yang hijau tidak menjawab, kaki bersepatu pantofel masuk kamar Aomine tanpa dipersilahkan. Pantofel, bukan sandal rumahan. Menarik tangannya paksa, Kagami berdiri dengan kebingungan. Berikutnya ia berjalan mengikuti langkah Si hijau melewati Aomine.

"Midorima, dia tetap di sini."

Langkah terakhir. Kagami hampir menubruk punggung berbalut jas Midorima. Ia memerhatikan bagaimana pemuda itu berbalik dan menatap Aomine. Wajahnya tetap tenang seakan tak terpengaruh dengan intonasi tinggi dari kawannya.

"Kagami ikut denganku."

"Kau menantangku -?"

"The rules. Pasal keempat, dilarang untuk berkelahi ataupun memulai perselisihan di dalam rumah ini." Midorima memutus kontak mata. Berjalan lagi, tangan masih menarik Kagami.

Satu lirikan ke belakang. Aomine melihatnya tanpa berkedip sebelum terhalang dinding ketika Kagami berbelok.

"Cih!"

.

.

Kiseki no Sedai

.

.

"Kau tak apa?"

Tidak perlu Kagami yang mulai percakapan. Pemuda dengan image warna hijau sudah mengambil langkah pertama. Kagami duduk di kursi bundar. Depannya ada meja dapur yang membuatnya merasa de ja vu tiba-tiba.

"A –um." ia jawab dengan sekenanya. Garukan di belakang kepala tidak mengenyahkan suasana awrward yang ia rasakan. "Euh –Terima kasih,"

Manik hijau di balik kacamata melirik dikala aktifitas menuang air putih di gelas. "Untuk yang tadi? Tidak perlu berterima kasih. Aku sudah pernah melihat Aomine seperti itu sebelumnya. Ini kedua kalinya."

"Dua kali? Jadi maksudmu –euh... dia melakukan –" Kagami tidak tahu kata selanjutnya. Ia diam.

"Tidak perlu membahas yang lalu. Dia akan segera mendapat hukuman dari Akashi setelah ini." Midorima mendorong gelas bening berisi air ke depan Kagami. "Wajahmu. Aomine yang melakukannya?"

Refleknya untuk menyentuh pipi kirinya. Kagami merasa gurat halus segaris yang melintangi pipinya. Ia jadi mengingat hal yang tak ingin diingatnya. "Tidak. Akashi yang –melakukannya. Begitulah."

Dari sudut pandangnya, Kagami melihat hal tak biasa dari pemuda di depannya. Bukan tentang gelang karet merah jambu bergambar kecil-kecil buah stroberi selebar saru senti di tangan kiri. Tapi ini pertama kalinya ia bicara –banyak- pada Midorima. Si hijau itu bahkan bisa dihitung dengan jari saat bercakap dengan Kagami.

"Sebaiknya kau menjauh dari Aomine untuk dua tiga hari ini. Jangan berbuat hal yang membuatmu melanggar peraturan dan jangan buat Akashi marah. Itu yang terpenting." Kacamata dibenarkan. Midorima duduk sempurna di seberang meja dengan gelas menyentuh bibir meminum air.

Ini seperti, apa Si hijau ini mengkhawatirkan Kagami? Kalau bukan, sekedar memeringatkannya mungkin.

Kagami gatal ingin bertanya. "Kenapa kau memerhatikanku?"

Kagami tidak tahu, karena Kagami bukan orang yang pekaan. Tapi jika saja ia peka mungkin ia bisa melihat setetes air jatuh keluar dari mulut Midorima. Pemuda itu hampir tersedak.

"Kau tipe paling mudah sekaligus paling sulit diatasi." Kacamata dibenarkan kembali.

"Huh?" tampang melongo Kagami mungkin sudah pada kadar level bloon. Jawaban –itu jawaban kah- dari Midorima malah membuatnya bingung.

Mudah –sulit apa maksudnya coba.

"Kau." Ketika mendengar pemuda di depannya bicara lagi, Kagami melihat ke depan dan reflek memundurkan kepala. Wajah berbingkai kacamata sudah berada di depannya, badan condong ke depan melintasi meja. Kagami sampai bisa berkaca di mata hijau pemuda itu.

"Hati-hatilah saat berada di rumah ini."

"Aku tidak mengerti. Kenapa aku harus berhati-hati?"

"Aku tidak tahu kau sial atau apa. Ramalan bintang Leo buruk sejak satu bulan lalu. –Sejak kau masuk rumah ini."

"Sejak hidupmu mengenal kami. Sejak kau menarik perhatian Akashi –"

"Tunggu –tunggu sebentar!" Tangan Kagami terjulur ke depan membuat gerakan seperti mendorong-dorong. Kenapa rasanya ia baru saja mendengar sesuatu yang penting namun ia tidak mengerti. Rasanya seperti mencatat rumus matematika dari guru yang jelas-jelas dipakai untuk ujian namun Kagami tetap tak bisa mengerjakan.

"Sudah kubilang aku tidak mengerti. Yang kau katakan bagiku tidak masuk akal –aku juga tidak percaya ramalan bintang- aku hanya orang yang dikerjai sampai-sampai harus ikut audisi boyband kalian.

Selebihnya aku kebetulan bertemu –atau bertabrakan dengan Aomine lalu –lalu aku diaudisi dan diterima. Thats it. Tidak ada lebihnya lagi." tapi ada kurangnya. Kagami melewatkan kejadian di toilet bersama Aomine. "Bagaimana aku bisa menarik perhatian Akashi. Bertemu saja baru diaudisi."

"Karena itu kukatakan Akashi tertarik padamu." Midorima kembali ketempat duduknya. "Aku tahu seseorang yang menarik perhatiannya tidak akan bisa berbuat apapun. Sebagai contoh, aku. Dan orang-orang yang berada di rumah ini."

"Saat kau membuatnya tertarik. Tidak akan ada jalan kembali, kecuali kau dibuang olehnya sendiri."

Kepala dibentur ke meja sampai gelas berisi air tumpah membasahi helai rambut. Airnya tidak bening melainkan berwarna merah. Menetes-netes ke bawah meja. Imajiner khayalan tingkat babu dewa. Kagami pelongo-pelongo tidak tahu mau bicara apa. Pembicaraan jadi berat sebelah karena otak pas-pasannya butuh bertapa di gunung tangkuban gayung untuk bisa mencerna setiap kalimat dari Midorima.

Untuk pertama kalinya Kagami merasa tidak mau koar-koar pakai suara kerasnya.

"Untuk sementara ini mungkin lebih baik kau tidak berada di rumah jika hanya Aomine yang ada. Ganti pakaianmu. Kau ikut aku."

Kagami memasang tampang dengan tanda tanya besar diwajahnya.

"Aku sudah bicara pada Akashi dan dia setuju. Kau akan ikut denganku saat bekerja. Anggap sebagai pelatihan karena nantinya kau juga akan mengalaminya."

"Tapi bukankah aku tidak boleh terlihat di publik?"

"Ya. Tapi membuat media lebih penasaran dengan seseorang yang mengekori setiap personil Kiseki no Sedai, kau akan lebih dicari-cari. Debutmu bukan hanya sekedar debut biasa."

Kagami tidak tahu ada cara seperti itu untuk menaikan pamor anak baru.

"Okay."

Sepertinya hari sialnya tidak akan cepat berakhir. Kagami tidak tahu sampai kapan jalur melenceng dari hidupnya sebelum ini akan kembali lagi ke jalur yang benar.

Atau mungkin tidak ada lagi jalur yang benar untuknya.

To be continue~

A/N : Akhirnya selesai juga.. pyuuh... Aku nyelesain ini kemarin tapi karena kuota Cuma bisa dipake jam 1 ampe jam 7 jadi baru kuapdet nih...

Nggak banyak cingcong dah, yang penting selese!

Dan lagi, selamat buat aktor-aktor baru yang ikut maen di dalam chap ini.

Ada yang tau itu siapa?

XD

Senin, 28/12/2015 5.29 am