Disclaimer : J.K Rowling

Pairing : Dramione

Rated : T semi M

Setting : Tahun ke tujuh Harry Potter setelah perang melawan Voldemort

Warning : Cerita aneh, gaje, typos dll.


Hermione kini masih terisak keras, tapi Draco yang benar-benar merasa kacau akhirnya dia menghentakkan kaki nya ke lantai ruangan itu dengan keras sebelum dia benar-benar meninggalkan gadis itu sendiri diruangan, yang masih terisak kencang.


Chapter 8 : Complicated.

.

Enjoy!

.

.

.

"Grang—Princess?."

Isakan Hermione masih sulit dihentikan. Walau dirinya telah mendengar suara baritone yang kini dia yakin bahwa ada seseorang dihadapannya. Tubuhnya masih sedikit gemetar. Bahkan wajah cantiknya masih dia sembunyikan diantara lutut kakinya.

"Kau kenapa Granger?."

Sejujurnya Hermione sedikit tersentak akan perlakuan seseorang dihadapannya itu yang saat ini juga telah memeluk tubuh mungilnya. Entah apa yang Hermione rasakan, sepertinya tubuh—yang Hermione yakin dia adalah seorang lelaki— kini adalah sesuatu yang amat dibutuhkannya. Hermione kembali tenggelam dalam tangisnya di bidang datar milik lelaki itu. Walau tangisnya tak sepecah tadi, entah juga mengapa Hermione saat ini telah merasa menjadi diri perempuan yang sesungguhnya. Gadis itu yakin jika kalian ada di posisinya, pasti kalian akan melakukan hal yang sama, kembali menangis. Meski kejadian itu sudah hampir kau pasrahkan.

"A—apa yang Draco lakukan?."

Kedua tangan kekar lelaki itu memegang rahang Hermione, mencoba untuk melihat wajahnya. Walau diruangan itu gelap, tapi cahanya sumbu api disisi lima jengkal darinya sedikit menambah penerangan. Meski, memang remang-remang.

Hermione menatap sorot mata hijau lelaki yang kini menopang rahangnya. Lelaki itu berlutut dihadapan dirinya yang sedaritadi terduduk.

Saat itu juga Hermione kembali menenggelamkan wajahnya ke dada bidang lelaki itu. Lalu memeluknya erat.

"Aku bertanya, apa yang dia lakukan padamu Granger? Apa yang Draco lakukan hingga membuatmu seperti ini?."

Hermione mencoba menstabilkan dirinya sendiri. Isakannya sudah tak separah tadi, meski tubuhnya masih sedikit goyah dan gemetar.

"Dra—Draco… salah… paham, The—o."

Lelaki itu, Theodore Nott.

Theo secara perlahan melepaskan Hermione dari pelukannya, lalu lelaki itu berpindah posisi disamping Hermione. Saat itu juga Theo menyandarkan kepala Hermione dibahunya. Theo terduduk tenang, tangannya menggenggam bahu Hermione sambil se-sekali mengusap rambutnya. Lalu lelaki itu bergumam pelan, "Ceritakan semuanya padaku."

Dengan napas yang masih tersenggal-senggal, Hermione menceritakan semua kejadian yang dimulai dari awal dia datang ke pesta. Saat dia bertemu dengan dirinya dan Blaise dibar, saat seorang lelaki mabuk murid kelas 6 menyerangnya, dan saat Draco menamparnya.

Theo meringis total saat mendengar cerita Hermione sewaktu Draco menamparnya.

'Aku tak tahu kalau Draco benar-benar sekasar itu. Pastilah saat ini hatinya sudah memiliki Granger. Ya, aku yakin Draco sangat mencintainya sekarang, hingga dia sampai melakukan hal yang tidak wajar seperti itu. —aku benar-benar baru mendengar Draco bersikap seperti ini apalagi terhadap seorang gadis. Aku kenal Draco Malfoy sedari kecil. Dirinya tidak akan berbuat hal yang tidak masuk akal, kalau tidak ada alasannya.' Batin seorang Theodore Nott.

Hening sejenak.

"Dan—ke—kenapa kau ada disini Theo?."

Theo menatap datar gadis itu yang telah berpandangan lesu. Mata manik hazelnya itu tampak sudah lelah mengeluarkan hujan yang deras. Setelah helaan napas yang berat, dia berkata dengan tenang.

"Tadi aku melihat Draco di bar, dia kacau sekali. Kurasa saat ini dia sudah mabuk parah. —HHH entah aku merasa kalau ini ada hubungannya denganmu juga Princess, jadi aku coba mengunjungi ruangan tempat favorit Draco jika sedang ingin menyendiri. Ya, di ruangan inilah tempatnya. —Dan lalu aku menemukanmu disini."

.


.

"Draco sudah cukup! Kau ini apa-apaan sih jadi kacau seperti ini!."

"Jangan tambah lagi Draco. Cukup!."

"Draco otakmu bisa rusak kalau terus-terusan meminum alkohol yang berat seperti itu!"

"Draco hentikan!."

PYAAAR

Suara puluhan gelas kaca beserta botol-botol alkohol besar jatuh berserakan dilantai. Sontak suara yang memekakan itu dapat mengalahkan bunyi musik dj yang amat keras. Semua mata bertuju pada bar yang terletak disebelah kanan meja billiard. Alunan musik dan seluruh aktivitas lain terhenti seketika.

"Kau ini apa-apaan Daphne?!." Teriak Draco yang membuat seluruh orang disekitarnya tersentak.

"Kalau aku mabuk, sakit, bahkan gila sekalipun, itu bukan urusanmu!." Teriaknya lagi.

Daphne sepenuhnya tersentak akan teriakannya. Baru pertama kali, lelaki yang telah menjadi teman asramanya selama tujuh tahun itu membentaknya kasar.

"Draco, aku hanya memperingatkanmu. Bukan berarti aku—."

"Tapi kau tidak perlu mendorong gelas-gelas itu hingga jatuh berkeping di lantai!."

"A—aku hanya tidak ingin kau—."

"Tidak perlu menasihatiku, aku bukan anak kecil!."

"Draco kau mabuk!."

"Lalu apa masalahmu jika aku mabuk!."

Mata Draco sudah hampir sepenuhnya putih, memang itu adalah efek mabuk yang saat ini telah terjadi. Meski mabuknya belum parah karena ulah Daphne yang tadi memecahkan seluruh botol dan gelas hingga kegiatan lelaki itu sepenuhnya terhenti.

Sementara semua yang ada disana menyaksikan pertengkaran yang amat sangat jarang terjadi. Ralat. Bahkan tidak pernah terjadi. Semua yang berada disana hingga diam tak bisa berbuat apa-apa. Astoria yang sedaritadi disamping Blaise Zabini pun hanya mampu menyaksikannya. Mereka berdua tentunya amat kaget akan hal pertengkaran yang terjadi barusan. Mana mungkin Draco dan Daphne bertengkar. Yang Blaise tahu, bagi Draco, 'Daphne adalah seorang gadis yang pantas untuk dihargai karena kelembutan dan keanggunannya. Dan Blaise tahu, Daphne adalah salah satu gadis yang dekat dengan lelaki pirang itu tanpa pernah Draco sentuh sedikitpun. Draco juga pernah berkata bahwa Daphne sudah dia anggap seperi saudara perempuannya sendiri. Tapi bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa yang sebenarnya Draco pikirkan?'

"Kembali ke asrama Draco. Tinggalkan tempat ini!." Teriak payau Daphne.

"Gadis sialan! —"

Sekarang semua mata yang menyaksikannya kembali melebar tajam. Blaise Zabini dan Astoria sampai maju menghampiri mereka. Ternyata Draco benar-benar sudah mabuk, hingga dirinya hilang kesadaran. Tangan kanan Draco mengambil potongan gelas kaca yang tadi terjatuh dan akan menusuknya tepat ke muka cantik Daphne.

Tapi untungnya ada seseorang yang kembali datang menghalaunya.

Tangan lelaki yang menahan potongan gelas kaca itu tertusuk dan darahnya meluncur keluar dengan deras. Pesta kali ini benar-benar kacau rupanya.

"Draco cukup! Hentikan." Teriak seorang gadis yang suaranya begitu familiar ditelinga Draco. Dengan mata yang sudah sepenuhnya beler pengaruh alkohol, dan juga tubuh goyahnya, Draco melepaskan potongan kaca itu lalu memegang kepalanya yang terasa pening amat sangat.

Draco sebisa mungkin melihat apa yang ada didepannya. Meski sepenuhnya remang-remang, namun Draco masih dapat mengangkap pandangannya. Seorang Theodore melindungi Daphne hingga membiarkan tangannya sendiri tertusuk kaca tajam yang tadi dia lontarkan. Daphne yang terkejut, tubuhnya merosot kebawah dan kemudian disangga Astoria. Mata Blaise juga membelalak saat melihat tangan Theo yang luar biasa berwarna merah. Darah yang keluar sangat banyak. Dan saat Draco memperjelas pandangannya, dia melihat tangan Theo yang sepenuhnya digenggam Hermione—yang datang bersamaan dengan datangnya lelaki itu— dan kepala lelaki itu yang kini telah bersandar dibahu mulus milik Hermione Granger.

"Well.. well.. sekarang kau menaruh hati pada Theo ya, Granger.. Ternyata sedaritadi kau bersamanya. Aku tahu sekarang siapa yang pertama kali membuat kiss mark di lehermu. Dasar jala—."

BUKKK

Sekarang keadaan kian memburuk. Semua yang berada disekeliling bar mundur dua langkah akibat aksi Theodore yang secara tiba-tiba menonjok Draco tepat dipipinya menggunakan tangan yang tidak berlumur darah.

Baru kali inilah Blaise Zabini melotot luar biasa. Meski dia tidak tahu apa yang telah terjadi, tapi kini kedua sahabatnya telah bertengkar dihadapannya. Dan saat ini yang bisa dia lakukan hanyalah diam. Dia tidak bisa memihak manapun. Pikirannya masih melaut luas dengan apa yang terjadi barusan. Pertama kalinya dalam sejarah, Draco dan Theo berkelahi didepannya.

"Dasar pengecut! Cuih. Kau hanya berani dengan perempuan! Dasar pengecut!." Teriak Theodore Nott yang membuat semua kembali tersentak.

"Theo hentikan!." Teriak Hermione saat melihat Theo yang baru saja akan kembali melepaskan tinjunya. Gadis itu memegang tangan Theo. "Ku mohon, Theo.. hentikannn…" pintanya lirih. Air matanya turun satu butir. Theo memandang manik hazelnya sesaat lalu mengangguk pelan.

"Kita.. kita ke asrama Theo.. tanganmu sangat parah… aku akan coba mengobatinya menggunakan mantra." kata Hermione setengah berbisik, dan Theo pun menganggukinya lagi.

Draco hanya bisa melihat punggung dari keduanya yang kini telah berjalan menjauhinya.

"Nott! Tunggu! Kita belum selesai!." Teriak Draco, dia lalu berdiri dari posisinya yang tadi jatuh tersungkur akibat tonjokan Theo. Theo dan Hermione menoleh. Tapi kemudian yang mereka lihat selanjutnya adalah teriakan Blaise Zabini yang mengurungkan niatnya.

"Draco cukup! Kita kembali ke asrama sekarang!."

'Draco.. kenapa semuanya jadi seperti ini?.' Batin Hermione disaat perjalanan menuju asrama Slytherin.

.


.

.

Melalui celah-celah lubang kecil terbias ke-orenan warna yang mendekati jingga. Semuanya masih terasa pening amat sangat. Terlintas dalam pikiran kejadian yang Draco yakini itu hanyalah segala mimpi belaka.

"Draco… cukup hentikan!."teriakan yang begitu familiar ditelinga Draco.

Teriakan itulah yang membuatnya tersadar akan realita dunia nyata.

"Ha—hari apa ini?!." Teriaknya payau sambil terbangun kasar. Lelaki itu mengacak rambut pirangnya. Yang dia liat sekarang hanyalah sebuah biasan warna kejinggaan disela sela kaca jendela, dan langit yang sepenuhnya telah menunjukkan hari kian petang melalui ventilasi diatasnya.

Fyuuuhh. Draco menoleh ke arah kanan setelah mendengar sebuah helaan napas berat seseorang. Lelaki berkulit hitam manis itu sedang berkutat dengan perkamen dan tintanya tepat diatas sebuah ranjang tidur miliknya. "Akhirnya kau sudah bangun Draco…"

Draco menyipitkan matanya. Baru kali ini Draco merasakan Blaise Zabini sangat lesu dan sorot matanya yang tidak memancarkan unsur keceriaan. Yang Draco tahu, Blaise Zabini selalu menampakkan ekspresi ceria-nya dalam keadaan apapun.

"Ada apa Blaise?." Tanyanya ketus. Sementara yang ditanya menghela napas berat lagi.

"Apa yang telah terjadi?."

Blaise Zabini membuang kasar perkamen-perkamennya ke lantai. Dia bingung harus memulai semuanya dari mana. Jemari lelaki manis itu memijat-mijat sendiri pelipisnya. Kerutan-kerutan dari pelipisnya membuat Draco juga kian mengerutkan dahinya. "Sebenarnya apa yang telah terjadi Zabini?! Hari apa ini? Kenapa aku tak sadarkan diri? Kenapa—Jawab aku Zabini!."

Teriakan serta pertayaan bertubi-tubi dari seorang Draco Malfoy membuat seseorang yang baru saja memasuki kamar itu tersentak kaget. Ekspresi seseorang itu semakin membuat emosi Draco melunjak.

"Dan—kenapa kau disini sih?! Seenaknya saja kau masuk!." Seseorang itu meringis hebat. Draco baru saja akan berdiri mengusir orang itu, namun sejenak dia mengurungkan niatnya.

"Ini kamarku Malfoy. Theodore sendiri yang memintaku untuk bertukar kamar. Entah aku tidak tahu kalian ada dalam permasalahan apa. Tapi yang jelas, Theo memohon untuk itu, dengan sifat sementara."

Theo? AKH! Draco memekik lalu memegang kepalanya yang kini seketika menjadi luar biasa pening. Dia sedikit mengingat kejadian-kejadian yang mungkin telah dia lalui didunia nyata. Pertengkaran. Pertengkaran…? Apa itu benar-benar bukan sebuah mimpi khayalan?

Theo.? —Granger…? "DAMN." Umpat Draco.

Seorang lelaki tadi adalah Justin. Seorang muggle-born yang berpindah asrama ke Slytherin beberapa bulan lalu.

Blaise Zabini berdiri lalu menghampiri sahabatnya itu, sementara Justin melangkah mundur untuk menyaksikannya tanpa ikut campur sedikitpun.

"Ini hari jumat, Draco.. kau mabuk tadi malam saat pesta perayaan. Dan aku telah mengizinkanmu disetiap kelas tadi, aku bilang kau sakit. Dan— sekarang sudah sore. Sebaiknya kau mandi untuk memfreshkan otakmu."

Draco mencoba menarik napas sedalam-dalamnya, lalu menghembuskannya perlahan. Kini dia sudah berkesimpulan bahwa sesungguhnya kejadian-kejadian yang mengerikan itu benar-benar dilaluinya, semalam. Tidak ada rekayasa dan tidak ada khayalan bahkan mimpi belaka.

Kini lelaki pirang itu telah mengingat semua kejadian tadi malam walau tidak se-detailnya. Meski dirinya dalam keadaan mabuk, tapi tentulah masih ada sedikit kesadaran yang mampu membawa ingatannya bergerak untuk mengingatnya. Karena bisa dibilang mabuknya itu belum dapat dikatakan 'parah'. Lelaki itu memekik lagi. Dan sekarang tibanya lelaki itu berkutat dalam pikirannya, kalau seperti ini.. lebih baik dia mabuk separah-parahnya hingga melupakan kejadian kemarin malam seutuhnya.

"Jadi benar ya, Theo dan Granger gadis sialan itu berhubungan dekat sebelumnya? Hah. Aku sama sekali tak menyangkanya." Ucapnya datar. Blaise Zabini dan Justin sedikit tersentak akan ucapannya.

"Kalau masalah itu tidak mungkin Draco. Kau jangan menuduh—."

"Menuduh kau bilang Blaise?! Hah! Kalau memang dia itu tidak berkelakuan seperti itu, untuk apa sekarang dia lari dariku? Menggunakan presepsi pindah kamar pula!."

Kali ini Blaise Zabini benar-benar diam mematung.

Draco memekik kasar, kemudian bangun dari posisinya dan segera mengambil tongkat sihir dimejanya. Dengan ayunan yang mengagumkan, Draco mengambil kemeja dan celana hitam panjangnya lalu dia melesatkan tubuh goyahnya ke dalam kamar mandi. Hanya dalam hitungan detik saja, Draco sudah keluar dari sana dalam keadaan rapi, wangi, dan rupawan.

Blaise menaikkan alisnya. Justin yang tidak mau mendekatkan diri pada masalah, akhirnya mencoba merebahkan tubuhnya sendiri di ranjang.

"Mau kemana kau?." Tanya Blaise memberanikan diri saat melihat ekspresi Draco yang luar biasa datar.

"Manor." Jawabnya singkat yang membuat Blaise melotot.

"Ta—tapi libur natal masih dua minggu lagi dan kau sudah—"

"Besok hari sabtu. Lagipula aku bisa stress kalau berada disini."

Setelah mengatakan kalimat-kalimat itu, Draco keluar kamar dengan wibawanya, meninggalkan Blaise yang tak bergeming untuk melanturkan beberapa kata.

.


Draco Malfoy dengan gaya berjalannya yang membuat seluruh gadis di koridor Hogwarts itu tak berkedip menatapnya baru saja usai berbicara empat mata dengan sang kepala sekolah di ruangannya. Lelaki itu sudah benar-benar minta izin untuk pulang ke manor sebentar, meski alasan yang dia lontarkan memang benar-benar tak masuk akal. Hanya karena menginginkan suasana rumah —tapi setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya kepala sekolah mengambil jalan tengah untuk lelaki yang tak pernah punya pilihan itu. Hanya untuk semalam saja.

Bahkan kepala sekolah juga mengizinkannya untuk berapparate di dalam Hogwarts. Hanya sekali ini saja. Karena sesungguhnya prof. Minerva tahu, pastilah Draco memiliki permasalahan anak muda hingga dirinya menjadi kalang kabut seperti yang dilihatnya.

Dengan langkah yang sedikit gontai, lelaki pirang itu mencoba memfokuskan dirinya untuk tidak memikirkan apapun, apalagi yang menjadi sangkut mautnya dengan kejadian semalam. Karena itulah lelaki itu menatap pandangannya kosong kedepan.

Tapi apa daya, otaknya kini tetap saja tak menurutinya. Pikirannya tiba-tiba teringat oleh beberapa sosok yang hari ini belum sama sekali dia lihat.

Daphne, Astoria, mana mungkin petang begini mereka masih berkutat didalam kamarnya. Yang Draco hafal betul, mereka selalu berada diruang rekreasi untuk sekedar bergosip ria bersama anak perempuan lainnya. Tapi nyatanya, saat dia melewati ruang rekreasi beberapa menit yang lalu mereka tidak ada. Hanya ada segerombolan anak-anak perempuan kelas empat dan lima, yang langsung berkaburan saat Draco lewat.

Theo. Sesungguhnya Draco memang tak berharap bertemu dengannya hari ini. Atau mungkin selamanya? Dia sudah benar-benar kesal dan tak tahu lagi ingin berbuat apa terhadap mantan-sahabatnya itu. Memang segalanya terasa abstrak baginya, hanya dengan alasan seorang gadis, Draco benar-benar tak menyangka ternyata itulah yang menjadi faktor keretakan persahabatannya, yang telah mereka jalin sejak memasuki kelas satu di Hogwarts.

Hermione Granger.

Yang Draco yakini, pastilah gadis itu sedang berada di asrama Gryffindor atau mungkin Hufflepuff atau bahkan asrama ketua murid. Menceritakan segala kejadian yang telah terjadi. Dan Draco juga berprasangka bahwa besok pasti akan ada permusuhan antara dirinya dan juga Harry Potter serta duo Weasley seperti dahulu. Dan segalanya pasti menjadi seperti dulu.

Draco menggelengkan kepalanya. Lelaki itu benar-benar tak menyangka segalanya akan berputar kembali ke arah 360 derajat.

.

Langkah kaki yang tegap itu sekarang tengah melangkah ke bagian menara astronomi, tempat prof. Dumbledore terbunuh. Draco Malfoy sesempatnya mengunjungi beberapa tempat seperti halaman belakang, ruang kebutuhan dan koridor-koridor sepi Hogwarts guna untuk sekedar mengkosongkan pikiran sebelum dirinya akan berapparate ke manor nanti.

Dan mungkin ini tujuan terakhirnya, menara astronomi.

Setelah menaiki tangga melingkar, Draco kini sudah berada tepat diatas. Rambut pirang serta jas hitam elegannya berkibar sempurna. Dengan pandangan datar, lelaki itu melangkah keluar menuju ujung darinya. Memejamkan mata, mencoba merileks-kan suasana.

Kedamaian.

Setidaknya dia merasakannya sekarang. Yang meski dia tahu kalau itu hanya dapat bersifat sementara.

.


.

Hermione Granger sedaritadi hanyalah membolak-balikkan buku-buku tebal di tempat favoritnya, perpustakaan.

Setelah kejadian semalam yang baginya begitu amat melelahkan, seharian ini dia memilih untuk berlama-lama diperpustakaan dan memilih untuk belum kembali ke asrama Slytherin. Gadis itu benar-benar tidak sanggup bila harus bertemu dengan Draco Malfoy.

Dan sesungguhnya yang lelaki pirang itu pikirkan memanglah salah. Hermione sama sekali belum menceritakan apapun mengenai kejadian tadi malam kepada sahabatnya. Dia benar-benar merasa belum sanggup pula untuk menceritakannya, walaupun dengan Ginny, baginya sama saja.

"Cobalah kau bujuk dia agar tak murung seperti itu, Theo. Berulang kali aku dan Astoria membujuknya, selalu gagal." Bisik Daphne dari kejauhan Hermione Granger.

Pantaslah Draco tidak menemukan mereka sedaritadi. Karena yang mereka lakukan adalah kegiatan tidak membaca di perpustakaan. Oh salahkan Hermione yang tadi mengajak Daphne dan Astoria guna untuk berbagi ilmunya—mengajarkan beberapa pelajaran. Yang Hermione yakin cara itu pasti sukses untuk menghilangkan segala problematika sekarang. Namun, sepertinya hal itu benar-benar tidak berhasil untuk mengatasi kegalauannya. Gadis itu malah kemudian murung sendirian. Beberapa cara dilakukan Daphne dan Astoria seperti menggosip, mengajak untuk membicarakan fashion dan sebagainya, namun hasilnya tetap sama saja.

Hermione memang tak kuasa akan semuanya. Dirinya merasa tak tahu lagi apa yang harus dilakukan.

"A—apa maksudmu Daphne?."

"Bodoh kau Theo. Oh ayolah.. kau kan punya banyak cara untuk memikat gadis-gadis. Kau pasti bisa untuk menghiburnya. Aku khawatir dengannya, Theo. Kurasa dia benar-benar putus asa."

Theo diam sejenak. Disampingnya, Astoria mengangguk-anggukkan kepalanya mencoba memberi keyakinan kepada lelaki tampan disampingnya itu. Dengan sekali anggukan mantap, Theo mencoba untuk melangkah mendekati Hermione Granger.

Lelaki itu menggaruk-garukkan kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Sejujurnya dia amat bingung dengan apa yang harus dilakukannya sekarang. Derap kaki langkahan Theo amat sangat pelan.

"Errrr—princess? Hei. kau dengar aku?."

Sementara gadis itu hanya menoleh sekali dan merasa tak tertarik. Theodore menghela napas panjang, lalu mengarahkan pandangan ke Daphne dan Astoria yang mengacungkan jempolnya kemudian dua gadis itu keluar dari perpustakaan. 'Dasar.' Umpat Theo ketika melihat kedua punggung gadis itu menghilang dari balik pintu.

'Kalau bukan karena Daphne yang memintaku, aku tidak akan mau bersusah payah seperti ini.' Batin lelaki itu.

"Kau mau ikut denganku princess?."

Tidak ada jawaban.

"Merlin princess… Sudah dua jam kau disini tanpa arti apa-apa, lebih baik kau menerima ajakanku. Ayolah…"

Tidak ada jawaban.

Dengan sebuah helaan napas pasrah, Theo menarik tangan gadis itu. Hermione yang tersentak pun mau tidak mau tertarik. "The—hei."

"Mau kemana?." Tanya gadis itu pasrah.

Theo menghela napas lagi, tanpa berkata. Karena sesungguhnya mau kemana juga dia belum tahu.

Theodore menggandeng gadis itu menyusuri koridor-koridor Hogwarts. Seluruh mata fans Theo yang berada diantaranya melotot tajam. Bagaimana mungkin sekarang mereka secara tiba-tiba mendapat pandangan yang begitu menyakitkan mata.

"Theo cukup berhenti!." Pinta Hermione saat menyadari segalanya. Segala tatapan tak mengenakkan, segala gerutuan dari gadis-gadis pemuja Theodore, segala ekspresi konyol semua orang.

"Hiraukan saja." Jawab Theo sekenanya.

Dengan semua kekuatan yang ada pada diri gadis itu, tentu saja dia tahu dirinya tak mungkin dapat mengalahkan Theodore Nott. Meski gadis itu membawa tongkat sihir, tapilah apa daya, dia juga tak tega menggunakannya. Theo kan hanya mencoba menghiburnya.

Dan yang Hermione pinta sekarang, semoga Theo dapat dengan segera menenangkan pikiran serta hatinya, bagaimanapun caranya.

"Nah sekarang naiklah princess…"

Dengan laga layaknya seorang pangeran, Theodore mencoba mengambil tangan Hermione dari satu anakan tangga. Tangga yang melingkar.

Hermione ternyata sampai tak sadar, bahwa Theo sekarang telah membawanya ke suatu tempat bersejarah Hogwarts. Tempat dimana seorang professor yang paling jenius dibunuh oleh sang professor misterius yang tulus.

Menara astronomi.

Hermione menaruh tangannya, dan Theo pun seolah menjemputnya. Mereka menaiki tangga melingkar dengan rupawan.

"Kita seperti suami isteri saja ya." Kata Theo datar dan disusul tawaan tulus dari Hermione Granger. "Dan sebentar lagi rambut kita akan berkibar. Kita seperti berada di negri dongeng nantinya."

Hermione menggelengkan kepalanya.

"Khayalanmu seperti bocah Theo."

"Hei. sekali-kali kan tak apa." Jawabnya datar.

Hermione menaikkan alis, kemudian dia melihat ekspresi konyol Theodore setelahnya, gadis itu terbahak. Bahkan Theo yang bingung pun ikut tertawa.

Draco Malfoy yang sedaritadi masih memejamkan matanya —merasakan kedamaian yang sesungguhnya— pun akhirnya membukanya paksa. Suara tawaan dan suara-suara itu memanglah tak asing lagi ditelinganya. Dengan sergap dia menoleh ke belakang, tubuhnya berputar 180 derajat.

Krep.

Setelah baru sampai dipuncak tangga, Hermione merasa kakinya terpaku sekarang. Begitu juga dengan Theodore.

Rahang Draco Malfoy mengeras hebat. Sekarang dihadapannya sendiri dia melihat. Tanpa mabuk, melainkan sadar. Mereka bergandengan tangan dengan mesra dan sepertinya raut wajah mereka ceria juga senang. Meski mendadak tanpa ekspresi saat bertemu dengannya.

Hermione melihat tubuh rupawan seorang Draco Malfoy berdiri tepat tiga meter dihadapannya, dengan setelan jas hitam serta kibaran rambut pirangnya. Gadis itu merasakan kakinya lumpuh seketika. Segera dia melepaskan paksa tangan Theodore. Dia tak tahu apa yang harus dilakukannya, selain diam.

"Well. Rupanya ada yang ingin berkasmaran disini ya?." Lalu lelaki itu menyunggingkan seringaiannya.

Theo dapat melihat ekspresi raut muka kesal, dan sedih Draco secara bersamaan. Sungguh, kali ini dia bingung harus berbuat apa. "Dra—Draco kau salah paham. Izinkan aku menjelaskannya."

"Jangan panggil aku Draco, Nott! Panggil aku Malfoy!." Teriakan Draco membuat Theo dan juga Hermione tersentak hebat.

Draco Malfoy benar-benar kesal.

"Oke, Malfoy. Aku bisa menjelaskan semuanya. Kau jangan—."

"Jangan apa!."

Lelaki pirang itu mendekatkan dirinya ke arah Theodore dan Hermione yang sedaritadi diam mematung. Tangan lelaki itu mengepal. Wajahnya menunjukkan ekspresi kekesalan yang mendalam.

BUUKK

Hermione sekarang kaget bukan kepalang. Theodore jatuh tersungkur setelah berguling ditangga melingkar. Dan sekarang Hermione berada pada posisi yang membingungkan. Jika dia tolong Theo, Draco semakin marah padanya. Dan jika dia tak menolongnya—

"Draco! Cukup. Aku bisa menjelaskan semuanya—a..ku—."

"Panggil aku Malfoy, Granger."

Hermione segera mengatupkan mulutnya. Sebuah kalimat yang sesungguhnya Hermione amat tersentak akibatnya.

Dengan keadaan yang masih diam mematung, kini gadis itu hanya melihat kibaran jubah yang menghilang sekejap dihadapan matanya. Wajahnya mengekspresikan kekecewaan yang amat mendalam. Buih air mata kembali jatuh membasahi pipi gadis itu.

Draco Malfoy telah ber-apparate beberapa detik yang lalu.

.

To be countinued

.


.

Maaf bangettt updated nya lamaaaa:(

Aku ada kegiatan lain gitu jadi maaf ya:( Tadinya aku mau discountinued, eh aku dapet semangat dari temen2 aku hehe jadinya aku terusin deh..

Maaf kalo ada yang gasuka sama fict ini ya, soalnya aku juga ga maksa buat suka kok hehe:)

Semoga aku bisa updated nya ga lama-lama ya:) Amin...

Btw ini semakin mendekati ending hehe

.

Terimakasih banyak buat semua yang sudah mereview/mem-fav/mem-follow fict ini:)

.

See you next chapter!:)

Salam.