Akashi Seijuurou tidak mengerti konsep rumah. Rumah adalah tempat di mana hatimu berada, menurutnya konsep tersebut tidak masuk akal. Rumah itu ya seharusnya adalah tempatmu tinggal, tempatmu bernaung. Bagaimana bisa orang mengasosiasikan sebuah tempat dengan hati? Seijuurou tidak mengerti kenapa konsep seperti itu begitu populer.

Padahal untuk ukuran anak umur enam tahun, Seijuurou tergolong sangat pintar.

Ia pernah mencoba bertanya pada ayahnya mengenai konsep tersebut tapi ayahnya gagal memberinya penjelasan yang memuaskan. Ayahnya justru memalingkan wajah darinya dan menjelaskan padanya definisi rumah yang selama ini sudah Seijuuoru ketahui dengan pandangan menerawang. Pandangan ayahnya membuat Seijuurou tidak yakin pikiran ayahnya bahkan ada di sana bersamanya.

Entah kenapa melihat pandangan itu membuat Seijuurou merasa pertanyaannya membuat ayahnya mengingat sesuatu yang telah lama hilang darinya, sesuatu yang ia rindukan, sesuatu yang berharga.

Pada akhirnya Seijuurou mencoba bertanya pada Masako, kepala asisten rumah tangganya yang sudah seperti ibunya sendiri. Penjelasan Masako sedikit berbeda dengan penjelasan yang biasa ia dapatkan dari buku-buku.

Masako menoleh pada Seijuurou ketika anak itu bertanya, memberikan tuan mudanya perhatian tapi tetap tak melalaikan pekerjaannya mencuci piring bekas sarapan pagi itu.

"Bagiku rumah adalah tempat di mana aku merasa paling nyaman. Tempat di mana aku merasa diterima. Tempat yang ingin kutuju tiap kali merasa gundah. Tempatku kembali," jelas Masako sambil tersenyum hangat pada Seijuurou.

Seijuurou masih belum merasa puas dengan jawaban itu. Jawaban Masako berbeda dengan yang selama ini Seijuurou dengar. Lagi pula bagaimana bisa ada begitu banyak definisi rumah? Apa definisi tersebut berbeda bagi tiap orang?

Tapi Seijuurou memutuskan lebih baik menanyakan contoh konkrit dari definisi tersebut.

"Rumah bagi Masako-san itu ada di mana?"

Senyum Masako melebar. Pandangannya menghangat. Wanita itu mematikan keran lantas mengelap tangannya ke handuk kecil yang tergantung di samping tempat cuci piring. Begitu selesai, ia menghadap Seijuurou. Sebelah tangannya terangkat, mengusap lembut puncak kepala berambut merah Seijuurou.

"Rumahku adalah di mana Tuan Muda berada."

Alis Seijuurou kontan berkerut mendengarnya. Nah, konsep rumah Masako justru menjadi lebih absurd lagi. Bukankah kata-katanya menyiratkan kalau Seijuurou-lah rumahnya? Jadi rumah juga bisa berarti seseorang?

Pada akhirnya Seijuurou memahami konsep tersebut tapi tetap tak dapat menerimanya.

Suatu hari keluarga Seijuurou kedatangan satu anggota baru. Seorang anak berambut hijau lumut berusia tiga tahun. Ketika ayahnya memperkenalkan Seijuurou pada anak itu, anak itu berdiri di belakang kaki ayahnya dengan sebelah tangannya mencengkeram sejumput celana ayahnya. Ia menatap Seijuurou dengan malu-malu.

Kenapa ayahnya membawa anak ini ke rumah? Begitu pikir Seijuurou waktu itu. Minimnya penjelasan sang ayah mengenai alasan keberadaan Shintarou di rumah mereka juga tidak membantu. Meski begitu Seijuurou tetap menggenggam tangan si anak, mengajaknya berkenalan.

Sejujurnya, Seijuurou tidak begitu menyukai anak itu –Shintarou, nama anak itu Shintarou—pada awalnya. Shintarou mencuri perhatian ayahnya dan ayahnya selalu memperlakukan Shintarou dengan lebih baik dari Seijuurou. Seumur hidup Seijuurou hampir tidak pernah dielus kepalanya oleh sang ayah tapi Shintarou bisa mendapatkannya dengan mudah. Pujian juga dengan mudah Shintarou terima sedangkan Seijuurou selalu merasa apa pun yang ia lakukan untuk ayahnya terasa kurang.

Tapi Seijuurou sadar ada sesuatu di balik usaha-usaha Shintarou mencuri perhatian ayah mereka. Ada perasaan seperti rindu dalam mata Shintarou tiap kali melihat ayah mereka. Ada perasaan seperti takut ketika melihat ayah mereka pergi tak lama setelah memperkenalkannya pada Seijuurou, seperti takut ayah mereka tak akan kembali. Ketakutan yang terlihat sedikit irasional menurut Seijuurou karena nyatanya ayah selalu kembali.

Seijuurou juga menyadari kalau pandangan Shintarou menjalar ke mana-mana tiap kali mereka memasuki ruang keluarga, seakan-akan ia mencoba memastikan tidak ada sesuatu yang aneh di sana. Meski begitu, ia akan menghindar dari melihat langit-langit, seakan langit-langit membuatnya takut. Setelah beberapa saat, ia akan mengembuskan napas lega.

Ada sesuatu yang membuatnya seperti itu. Perilaku Shintarou bukan hanya tingkah cari perhatian khas anak-anak biasa.

Malamnya, ayahnya memanggil Seijuurou ke ruang baca. Saat itu, ayahnya menjelaskan latar belakang Shintarou secara lebih mendetail. Tapi mungkin karena menurutnya Seijuurou masih anak-anak, ia hanya mengatakan orangtua kandung Shintarou sudah meninggal, Shintarou tidak punya kerabat lagi sehingga mereka yang akan merawatnya mulai sekarang.

Penjelasan ayahnya membuat sekelumit perasaan iba bersarang dalam hati Seijuurou. Tapi di saat yang sama, penjelasan seminim itu justru membangkitkan rasa penasaran dalam diri Seijuurou kecil.

Sebenarnya apa yang terjadi pada orangtua Shintarou dan di mana Shintarou waktu itu?

Karena penasaran, di malam yang sama Seijuurou mencoba bertanya pada Shintarou mengenai kehidupannya sebelum menjadi bagian keluarga Akashi. Shintarou lantas bercerita. Usianya yang baru tiga membuat Shintarou tidak benar-benar memahami apa yang terjadi pada ayah dan ibunya. Ia hanya tahu orangtuanya sudah tidak di sini lagi.

Shintarou berkata ia hanya ingat ia melihat ayahnya tergantung di langit-langit ketika ia pulang dan ibunya tiba-tiba ambruk setelah menuangkan dua cairan dalam ember. Tapi Seijuurou paham apa yang sebenarnya terjadi.

Rasa kasihan dalam hati Seijuurou membesar, mengalahkan sejumput rasa tak suka dalam hatinya. Bagaimana bisa Seijuurou tidak menyukainya setelah semua yang ia katakan? Bagaimana pun juga, Shintarou lebih membutuhkan perhatian ayah mereka saat ini daripada Seijuurou.

Malam itu, di malam yang sama dengan Shintarou menceritakan segalanya, Seijuurou memeluk Shintarou. Sejujurnya, Seijuurou tidak terbiasa dengan kontak fisik seintim ini tapi kala itu ia merasakan satu dorongan kuat untuk memeluk adik barunya.

Shintarou terkejut, Seijuurou tahu. Tapi pada akhirnya anak berambut hijau lumut tersebut melingkarkan tangannya di sekeliling Seijuurou dengan sama eratnya.

Seijuurou masih belum bisa sepenuhnya menerima konsep rumah tapi ia merasa Shintarou baru saja kehilangan rumahnya dan ia bersedia –ia ingin—menjadi rumah baru bagi adiknya.

Malam itu Seijuurou berjanji, pada Shintarou dan pada diri sendiri, kalau ia akan memberikan Shintarou sebuah rumah, sebuah tempat yang membuatnya nyaman, yang membuatnya merasa diterima, yang membuatnya melupakan masa lalu.


Ketika usianya sembilan, ayahnya lagi-lagi membawakannya satu adik baru.

Seijuurou tengah mengajari Shintarou main shogi ketika ayahnya dan anggota baru keluarganya datang. Anak yang kali ini dibawa ayahnya jauh berbeda dengan Shintarou. Namanya Atsushi dan ia suka sekali makan. Ia tinggi bahkan untuk ukuran anak lima tahun. Rambutnya berwarna ungu dan ia selalu terlihat malas.

Ketika melihatnya pertama kali, Seijuurou kontan bertanya-tanya cerita apa yang disimpan Atsushi. Tapi ia memutuskan untuk tidak bertanya, paling tidak, tidak sekarang. Ia dan Shintarou justru fokus membuat anggota baru keluarga mereka merasa nyaman.

Ketika Shintarou berulang tahun dan mereka berkumpul merayakannya dengan kue dan lilin, Atsushi langsung menegang. Terutama ketika ia melihat lilin dinyalakan. Anak itu kelihatan sedang menahan diri agar tidak menepis lilin di atas kue Shintarou jauh-jauh. Seijuurou menyadarinya tentu saja, lantas menggenggam tangan Atsushi, mengelus punggung tangannya untuk menenangkannya. Diam-diam ia mengatakan pada adiknya sebaris 'tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja' hingga ia lebih tenang. Bersama-sama malam itu mereka menyanyi dan makan kue sepuasnya.

Di malam yang sama, setelah adik-adiknya pergi tidur, ayah Seijuurou memanggilnya untuk bicara. Kali ini, ayahnya menceritakan masa lalu Atsushi juga Shintarou secara detail. Mungkin ia berpikir Seijuurou sudah cukup besar untuk diceritakan hal-hal kelam seperti ini.

Seandainya saja ia tahu kalau Seijuurou sudah tahu cerita Shintarou sejak tiga tahun lalu.

Dari ayahnya, Seijuurou tahu kalau keluarga Atsushi meninggal dalam kebakaran yang meratakan toko kue keluarganya. Pantas saja ia kelihatan tegang ketika melihat api, pikir Seijuurou kala itu.

Dalam hati Seijuurou terbersit perasaan yang sama dengan yang dirasakannya ketika Shintarou menceritakan masa lalunya. Seijuurou merasa ia perlu, ia ingin melindungi Atsushi. Sekali lagi ia ingin memberikan sebuah rumah untuk adiknya.

Seijuurou tidak begitu pandai memasak, bagaimana pun juga usianya baru sembilan dan ia hanya tahu memasak dari pelajaran keterampilan di sekolah dan dari Masako. Tapi untuk menunjukkan pada adiknya kalau api sesungguhnya tidak berbahaya jika ditangani dengan tepat, Seijuurou berusaha untuk memasak sesekali.

Ia hanya akan membuat masakan-masakan mudah, seperti telur dadar dan sup miso tapi ia memastikan Atsushi ada di dekatnya, bahkan memintanya membantu sesekali. Awalnya Atsushi kelihatan seperti ingin menyeret Seijuurou jauh-jauh dari dapur jika kompor sudah dinyalakan tapi ketika dilihatnya Seijuurou baik-baik saja setelah dua-tiga kali memasak dan rumah keluarga Akashi masih berdiri, ia memberanikan diri membantu.

Ketika akhirnya Atsushi berani menyalakan kompor sendiri, Seijuurou merasa bangga. Bangga pada adiknya yang berhasil mengalahkan ketakutannya juga bangga pada diri sendiri.


Usianya menginjak dua belas ketika dua orang anak masuk dalam keluarganya.

Anak yang berambut pirang bernama Ryouta dan yang berambut biru gelap bernama Daiki, ayahnya memberitahunya malam sebelum kedua anak itu datang. Kedua anak itu mirip seperti Shintarou ketika pertama kali dibawa oleh ayahnya. Mereka berdua berdiri di belakang kaki ayahnya, mengintip Seijuurou sesekali.

Ryouta menatap Seijuurou malu-malu tapi Daiki tidak. Entah kenapa anak berambut biru gelap tersebut memosisikan dirinya di antara Seijuurou dan Ryouta. Matanya menatap Seijuurou tajam, seakan ia tengah memutuskan apakah Seijuurou benar-benar orang baik dan sampai ia bisa memutuskan, ia akan menjadi tameng untuk Ryouta.

Bagi Seijuurou, Daiki terlihat seperti seorang dewasa yang terjebak dalam tubuh anak-anak.

Melihat sikap Daiki membuat Seijuurou bertanya-tanya apa yang sudah dilewatinya hingga ia bersikap seprotektif itu pada Ryouta.

Seijuurou kemudian berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi kedua anak itu. Sebuah senyum hangat ia pasang di wajah. Ia memperkenalkan diri dan mengawali usahanya mendekati mereka dengan pertanyaan-pertanyaan standar seperti nama, umur, dan lain sebagainya.

Mengejutkan bagi Seijuurou karena Ryouta menjawab dengan lantang, dengan penuh percaya diri. Sosok malu-malu yang beberapa saat lalu bersembunyi di belakang ayahnya dan Daiki lenyap begitu saja.

Sebaliknya, Daiki memperkenalkan diri dengan was-was. Sebuah tembok penghalang masih berdiri di antara mereka, tembok yang entah kenapa berusaha Daiki pertahankan.

Dalam benak, Seijuurou bertanya-tanya apa ia tidak salah dengar ketika mereka menyebutkan umur mereka karena menurut Seijuurou, Daiki lebih kelihatan seperti kakak Ryouta daripada sebaliknya.

Melihat sikap Daiki yang tak kunjung berubah, Seijuurou berpikir mungkin Daiki hanya tidak terbiasa dan seiring berjalannya waktu ia akan membuka diri jadi Seijuurou memutuskan untuk membiarkannya sementara waktu.

Ryouta ternyata lebih ceria dari yang Seijuurou kira pada awalnya. Anak berambut pirang itu seperti personifikasi matahari; cerah dan penuh energi. Main bersama, mendengarkan ceritanya, menonton beberapa film kesukaannya, dan beberapa kontak fisik berhasil membuat Ryouta membuka diri sepenuhnya padanya.

Sekarang Seijuurou tak pernah tak disambut dengan sebuah pelukan dari Ryouta tiap kali ia pulang sekolah.

Dengan Daiki… Seijuurou tidak benar-benar yakin apa yang sebaiknya ia lakukan. Ia berusaha menghabiskan waktu bersama Daiki. Mereka main game bersama, menonton film bersama, bercanda, dan meski Daiki sudah cukup membuka diri hingga terlihat nyaman dengan keberadaan Seijuurou, masih jelas terlihat kalau ia menahan diri.

"Apa Daiki tidak suka pada Kakak?" tanya Seijuurou suatu hari ketika ia tengah memasangkan piyama Daiki. Seijuurou berpikir mungkin sebaiknya ia bertanya saja untuk memastikan. Sepasang tangannya tetap bergerak mengancingkan atasan piyama Daiki.

Daiki terlihat terkejut dengan pertanyaan Seijuurou. "Tidak…"

"Kalau begitu kenapa Daiki sepertinya masih menahan diri ketika dengan Kakak? Apa Kakak membuat Daiki tidak nyaman?"

Untuk beberapa saat ia diam saja sembari menatap sosok Ryouta yang terbungkus selimut di atas tempat tidur. Dada Ryouta naik-turun teratur, jelas kalau ia sudah terlelap. Setelah yakin Ryouta sudah tidur, Daiki mengalihkan perhatiannya pada Seijuurou lagi.

Pandangan mata Daiki berubah. Alisnya mengerut dan matanya menyipit, seakan tengah mencoba menahan sakit. Cepat-cepat ia tundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya dari Seijuurou.

"Aku tidak mau terlalu dekat," hati Seijuurou serasa ditusuk mendengarnya, "kalau aku terlalu dekat dengan Kakak lalu Kakak pergi meninggalkan kami, rasanya akan sakit sekali bagiku."

Sekarang ganti Seijuurou yang terkejut. Jadi itu alasannya? Daiki tidak mau terlalu dekat dengan Seijuurou karena takut terluka jika Seijuurou pergi?

Kedua tangan Seijuurou mencengkeram bahu Daiki, memintanya menatap Seijuurou. Tapi anak itu bersikeras menunduk.

"Kenapa Daiki berpikir begitu?"

Alis Daiki mengerut makin dalam. Ia berkata lirih, "Karena semuanya seperti itu kecuali Ryouta…"

Seijuurou mendengus.

"Dengar," Seijuurou mengangkat dagu Daiki hingga anak itu menatapnya. Merah bertemu biru. "Kakak tidak akan meninggalkan kalian. Tidak akan pernah. Kakak janji."

Daiki diam saja hingga Seijuurou berpikir anak itu tidak percaya dengan kata-katanya. Tapi tak lama setelahnya Daiki mengalungkan tangannya di leher Seijuurou dan memeluknya erat-erat, seakan takut kalau ia melonggarkan tangannya sedikit saja, Seijuurou akan menguap dari hadapannya.

"Jangan meninggalkanku," kata Daiki lirih di samping telinga Seijuurou. Rasa takut kental dalam kata-katanya.

Seijuurou membalas pelukan Daiki sama eratnya.

Aku tidak akan meninggalkan kalian karena aku akan menjadi rumah untuk kalian, janji Seijuurou dalam hati.


Ketika ayahnya mengembuskan napas terakhir, Seijuurou merasa setengah dari dirinya ikut pergi bersama sang ayah.

Seijuurou berpikir, inikah yang dirasakan adik-adiknya ketika mereka kehilangan seseorang yang berharga?

Apa ini rasanya kehilangan rumah?


Kalau boleh jujur, Seijuurou ingin sekali ambruk dan menangis hingga beban di hatinya berkurang. Kata-kata penghiburan yang disampaikan orang-orang padanya sama sekali tidak membantu membuat perasaannya membaik.

Kata-kata seperti 'kalian harus tabah' atau 'semasa hidup ayahmu adalah orang yang sangat baik' justru membuat kematian Akashi Seijiro terasa semakin nyata. Kata-kata tersebut membuat Seijuurou sadar sepenuhnya kalau ayahnya benar-benar sudah pergi dan tidak akan pernah kembali. Upacara pemakaman yang tengah berlangsung di sekelilingnya membuatnya sadar kalau kepergian ayahnya kali ini berbeda. Ayahnya tidak pergi bekerja, ia tidak akan kembali lagi nanti malam seperti biasa.

Ayahnya tidak ada lagi. Ayahnya benar-benar pergi. Seijuurou cari ke mana pun ia tak akan menemukan ayahnya.

Tapi kemudian Tetsuya menarik lembut celana panjang hitam yang ia kenakan dan Seijuurou merasa seakan ditarik kembali ke kenyataan. Seijuurou menunduk, mendapati kalau tidak hanya Tetsuya yang ada di sana, tapi juga empat adiknya yang lain.

Mereka membutuhkanku, pikir Seijuurou. Seijuurou memejamkan mata, menahan air mata dan menelan kembali isak tangis yang mengancam keluar dari tenggorokannya.

Ia berjongkok di hadapan adik-adiknya. Seulas senyum lemah ia berikan pada mereka, terutama pada adik barunya, adiknya yang paling kecil itu. Seakan bisa mendeteksi perasaan Seijuurou, Tetsuya memeluk erat leher Seijuurou. Adik-adiknya yang lain menyusul.

Seijuurou memejamkan mata. Pelukan adik-adiknya menguatkannya, menjadi semacam jangkar yang menahannya ke kenyataan. Dalam pelukan adik-adiknya, ia merasa lebih rileks, merasa lebih nyaman, merasa lebih seperti di rumah. Tapi di saat yang sama, ia merasa sangat terekspos. Hatinya serasa seakan dikupas, menampilkan emosi telanjangnya untuk dilihat orang-orang.

Takut akan menangis jika dipeluk lebih lama lagi, Seijuurou melepaskan pelukan mereka. Meski begitu, adik-adik Seijuurou masih enggan jauh-jauh dari sang kakak.

Perilaku mereka yang seakan meneriakkan ketakutan mereka kehilangan lagi membantu Seijuurou untuk jadi lebih kuat menghadapi kenyataan.


Seijuurou tak pernah menyangka keputusannya untuk menjadi rumah bagi adik-adiknya akan terasa seberat ini.

Menjadi rumah untuk adik-adiknya berarti ia perlu menyediakan situasi yang membuat mereka merasa diterima. Tapi Shintarou tak bisa menerima Tetsuya untuk alasan yang bahkan tidak diketahui Seijuurou.

Baru beberapa hari mereka ditinggal sang ayah dan masalah sudah merundung mereka.

Takut mendominasi perasaan Seijuurou kala itu. Ia takut gagal menepati janjinya pada ayahnya. Ia takut tak bisa menjadi rumah bagi adik-adiknya.

Seijuurou takut kehilangan suakanya.


Sekali lagi, suaka bagi dan yang diciptakan Seijuurou terancam hancur. Kali ini justru karena kebodohannya sendiri.

Seandainya ia tidak bersikap kekanakan dengan membawa-bawa masalah kantor ke rumah, seandainya ia lebih perhatian pada Ryouta, seandainya ia mendengarkan Ryouta lebih awal, mungkin masalahnya tidak akan jadi serumit ini.

Melihat Ryouta jelas-jelas menjauhinya membuat Seijuurou merasa hatinya diiris-iris. Ryouta yang biasanya sehangat matahari padanya kini bersikap sedingin musim dingin. Apa yang sudah ia lakukan?

Bisakah waktu diputar ulang?

Bisakah Seijuurou memperbaiki ini?

Tidak ada yang menuntunnya setiap kali ia menghadapi masalah, itu sebabnya ia selalu merasa kehilangan arah tiap kali dihadapi dengan masalah semacam ini. Tapi ia tetap mencoba sekuat yang ia bisa.

Ketika Ryouta akhirnya mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan dan hubungan mereka kembali membaik, Seijuurou bersyukur pada apa pun itu yang mengabulkan doanya.

Sekali lagi suakanya terselamatkan.


Berapa kali pun Seijuurou mencoba menjelaskan, memohon, dan meminta maaf, Daiki tidak menanggapinya. Seijuurou berpikir mungkin anak itu hanya perlu waktu tapi ternyata tidak. Berbulan-bulan, bertahun-tahun terlewati tanpa ada perubahan positif.

Satu-satunya perubahan yang terjadi adalah perubahan sikap Daiki pada Seijuurou. Ia tidak lagi menerima bentuk kasih sayang apa pun darinya.

Ketika pertama kali mereka bertemu, Seijuurou kesulitan memahami Daiki. Bertahun-tahun kebersamaan mereka ternyata tidak benar-benar mengubah itu.

Daiki selalu menjadi sosok yang lebih dewasa dari umurnya sebenarnya. Pahitnya hidup telah membentuknya, lebih dari adik-adik Seijuurou yang lain, menjadi sesosok anak yang tangguh sekaligus pengertian.

Tapi sekali ini ia tidak ingin mengerti. Ia memutuskan untuk menutup telinga rapat-rapat dari penjelasan serta permintaan maaf Seijuurou.

Sejujurnya, Seijuurou tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Benar-benar tidak tahu.

Cara yang biasa ia gunakan untuk menyelesaikan masalah sama sekali tak bisa dipakai kali ini.

Untuk pertama kalinya, Seijuurou hanya bisa melihat ketika suaka baginya sekaligus suaka yang ia ciptakan hancur keping demi keping.

Pada akhirnya Seijuurou memutuskan untuk menyelamatkan keping-keping yang masih utuh.


Angin dingin menampar pipi serta rambut Seijuurou. Payung di tangannya hampir tak berguna karena ia sama sekali tak fokus memayungi diri sendiri. Ia tidak peduli kalau bajunya sedikit basah, ia tidak peduli kalau orang-orang kebingungan melihatnya berlari seperti orang kesetanan menembus hujan dalam pakaian olahraga tipis. Satu-satunya hal yang ada di pikirannya adalah kondisi Atsushi.

Rasa khawatir yang begitu kental serasa menggenang dalam hatinya, mengaburkan pikirannya hingga ia nyaris tak lagi bisa berpikir lurus.

Seijuurou takut, takut sekali memikirkan semua kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Adegan ketika ayahnya meninggal kembali terputar dalam benaknya. Bukankah ini sama dengan waktu itu? Waktu itu ia juga mendapat telepon dan ia juga bergegas menuju rumah sakit untuk melihat keadaan sang ayah.

Sepanjang jalan menuju apartemen Himuro, Seijuurou berdoa pada apa pun, siapa pun, yang bersedia mendengarkannya.

Tolong jangan biarkan akhir kali ini sama dengan waktu itu. Tolong jangan ambil Atsushi juga, begitulah doanya.


Seijuurou tidak benar-benar mengerti apa yang terjadi. Tiba-tiba saja Daiki merangsek masuk ke kamarnya dengan laptop Seijuurou di tangan lantas adiknya itu menuntut penjelasan. Begitu Seijuurou selesai menjelaskan, wajah Daiki terlihat seperti orang yang baru saja ditinju di perut.

Satu hal yang dapat ditangkap Seijuurou saat itu adalah telah terjadi miskomunikasi antara ia dan adiknya.

Dalam semalam, kesalahpahaman antara ia dan adiknya yang sudah berlangsung tujuh tahun selesai begitu saja. Seijuurou hampir saja tertawa dibuatnya. Seandainya saja ia tahu, masalah ini akan selesai lebih cepat.

Keesokan harinya, Seijuurou akhirnya mengerti kenapa tiba-tiba Daiki mengkonfrontasinya semalam. Ternyata Momoi ada di balik semua itu. Entah bagaimana wanita itu bisa mengerti apa yang Daiki inginkan meski belum terlalu lama mengenal anak itu.

Seijuurou tidak benar-benar peduli bagaimana, yang terpenting baginya sekarang adalah keping-keping suakanya yang dulu sempat tercerai berai kini kembali menyatu. Tentu saja masih ada retakan di tempat dulunya kepingan itu merekat. Tapi untuk saat ini, begini saja cukup.

Bagaimana pun juga, ia masih punya banyak waktu untuk menambal retakan tersebut.


Akhir-akhir ini Seijuurou merasakan perasaan aneh ketika bersama dengan Momoi. Seijuurou tidak mengerti perasaan apa ini dan bagaimana ia bisa merasakan ini tapi di saat yang sama ia tidak benar-benar peduli. Tidak mengerti juga tidak apa, toh tidak ada yang mengharuskannya mengerti.

Entah kenapa, perasaan ini membuatnya ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Momoi, membuatnya ingin membicarakan lebih banyak hal dengan Momoi, ingin mengenal Momoi lebih jauh.

Seijuurou merasa nyaman ketika bersama Momoi.

Baginya Momoi terasa seperti rumah.


Ketika Tetsuya berkata ia telah bertemu ibunya beberapa kali dan sepertinya tidak punya niatan untuk berhenti, hati Seijuurou serasa ditusuk-tusuk. Rasa takut kemudian mengambil alih pikirannya.

Apa ini berarti ia akan kehilangan kepingan rumahnya lagi?


Meluapkan perasaan sekaligus keinginannya terasa aneh, asing baginya. Begitu semua yang dirasakannya, dipikirkannya, dan diinginkannya keluar, Seijuurou hampir ingin mengutuki diri sendiri karena telah melakukan hal bodoh. Tapi di luar perkiraannya, ternyata adik-adiknya justru senang mendengar apa yang sesungguhnya ia rasakan, ia inginkan.

Seijuurou sadar ia bukan superman dan tak akan pernah bisa menjadi seperti itu. Selama ini ia hanya memaksa diri untuk menjadi kuat, memaksa diri mengesampingkan keinginan pribadi demi adik-adiknya. Ia pikir akan lebih baik bagi semuanya jika seperti itu.

Ternyata ia salah.

Adik-adiknya tidak butuh superman, tidak menginginkan superman. Adik-adiknya membutuhkan, menginginkan, Akashi Seijuurou sang manusia.

Berbeda dengan yang selama ini ia sangka, ternyata menunjukkan sisi manusianya justru menyelamatkan suakanya.

Jika memang bersikap seperti manusia bisa menyelamatkan suakanya, ia tak keberatan sering-sering melakukannya.


Berkumpul bersama keluarganya seperti ini, ia dan lima adiknya mengelilingi meja makan dengan percakapan ringan mengisi suasana di tengah mereka, membuat Seijuurou sadar.

Selama ini Seijuurou telah keliru. Ia tidak benar-benar mengerti konsep rumah, makanya ia pikir ia tidak memiliki rumah.

Dua puluh dua tahun ia berusaha untuk menjadi rumah bagi adik-adiknya, tapi sesungguhnya adik-adiknyalah yang telah memberinya sebuah rumah.


Seijuurou menoleh, dalam diam memandangi Momo—bukan, Satsuki yang berdiri di sebelahnya. Tudung putih menutupi sebagian besar kepala wanita itu, tapi wajah cantiknya tetap dapat Seijuurou lihat sempurna. Mungkin menyadari kalau ia tengah dipandangi, Satsuki menoleh, memberikan senyum simpul yang terkesan sangat cantik pada Seijuurou.

Seijuurou meraih tangan Satsuki, menggenggamnya.

Rumah Seijuurou baru saja meluas.


"Ayo gendong dia, Sei-kun," kata Satsuki, ia menyodorkan seorang bayi mungil yang dibungkus kain merah muda di tangannya pada Seijuurou.

Seijuurou ragu. Satsuki tertawa melihatnya.

Sekali lagi, wanita itu menyodorkan bayi mungil di tangannya pada Seijuurou, sedikit memaksa Seijuurou.

"Tapi Satsuki, aku benar-benar tidak tahu bagaimana cara menggendongnya. Bagaimana kalau dia jatuh?" kata Seijuuro menolak. Ia bukannya tidak ingin menggendong putrinya sendiri, ia hanya takut melukai bayi mungil itu karena ia terlihat begitu rapuh.

Bayi selalu terlihat rapuh sebenarnya. Oleh karena itu Seijuurou tidak benar-benar berani menyentuh mereka. Ketika Kouki lahir pun Seijuurou memilih menunggu beberapa bulan baru ia berani menggendong keponakannya itu.

Satsuki tersenyum. Ia meraih tangan Seijuurou. Dengan sabar, wanita itu mengarahkan Seijuurou. Tak berapa lama kemudian bayi mungil di tangan Satsuki sudah berpindah tangan.

Mungil sekali, pikir Seijuurou begitu bayi tersebut berpindah ke tangannya sepenuhnya. Dipandanginya wajah polos yang terlelap dalam pelukannya. Ia begitu kecil, begitu rapuh, begitu… polos.

Insting kebapakannya menendang masuk. Aku harus melindunginya, pikir Seijuurou detik itu juga. Keinginan melindunginya bahkan lebih kuat dari ketika ia bertemu Shintarou atau bahkan dari ketika ia menggendong Kouki pertama kali.

Secara instingtif, Seijuurou mendekatkan wajahnya ke wajah bayi mungil tersebut lantas menyentuhkan ujung hidungnya dengan ujung hidung bayi tersebut. Matanya ia pejamkan, menikmati momen kedekatan ini.

Padahal anak ini hanya terlahir ke dunia, tapi ia bisa membangkitkan berbagai perasaan dalam Seijuurou. Padahal anak ini hanya terlahir ke dunia, tapi Seijuurou sudah sangat menyayangi anak ini hingga rasanya ia rela memberikan apa pun untuknya.

Anak dalam pelukannya belum bisa melakukan apa-apa selain menangis, tapi dalam dirinya Seijuurou menemukan sekeping rumah.

Hari itu, hari ketika putrinya lahir ke dunia, Seijuurou menemukan kalau rumahnya kembali meluas.


Special thanks to: Ayasyun, Prince'ss218, Kaito Akahime, 7Shafa's DiFA, Frincess620, UchiHarunoKid, Hanee-chan, Tamu, ShirShira, Kavyana, Shiro-chan1827, Sayaka Minamoto, Yose Hyuann, kyokohikari, EmperorVer, 27aquarrow72, Ai and August 19, ainkyu, kokuo chara, UchiHarunoCherry, affan9, Gazani L. Zahra, valery0x0x, dan KAMU. Siapa pun kamu yang sudah baca fic ini sampai akhir, yang sudah nge-fav, yang nge-alert ceritanya ataupun saya. THANK YOU VERY MUCH.

balesan buat yang gak login:

Tamu: wahaha kejutan ya jadinya? Tapi kan lebih enak, sekarang udah tamat jadi gak perlu nunggu tiap bulan lagi hehe. Makasih pujiannya, tapi setelah kupikir lagi kayaknya aku gak bisa bikin 2 ending itu hehe soalnya aku sama sekali gak bisa mikirin ceritanya. Makasih banyak karena udah ngikutin ceritanya sampe akhir, makasih juga buat supportnya. Semangat buatmu juga! :)

valery0x0x: gak papa, yang penting kamu masih bersedia baca hehe. Walah sampe gemeteran gitu wkwk. Makasih banyak karena udah ngikutin cerita ini sampe akhir dan juga buat supportnya :)

Gazani L. Zahra: ya emang sempet hiatus sih wkwkwkwk. Makasih pujiannya hehe. Makasih banyak buat pujian, support, juga buat kesabarannya ngikutin cerita ini sampe akhir :')

Setelah 3 tahun, akhirnya cerita ini selesai juga. Aku sama sekali gak nyangka cerita yang berawal dari imajinasi iseng ini bisa sampe sejauh ini dan ternyata cukup diminati. Mungkin buat orang lain ini gak seberapa, tapi buatku yang rendah diri, rasanya ini sesuatu banget. Review manis kalian bantu naikin rasa percaya diriku dan rasanya nyampein makasih ke kalian aja tuh gak cukup :')

Dan aku mau nyampein selamat tinggal juga, karena setelah ini aku mau berenti dari nulis fic hehe. Gak berenti nulis kok, cuma pindah lapak aja. Kalo berkenan, mulai tahun depan, silakan kunjungin aku di wattpad. Namaku juga Persona-Dee di sana. Aku beneran berharap bisa ketemu kalian lagi di sana hehe.

I want to say I love you so much, I love you to the moon and back thank you but I think those words alone can't describe all my feelings for you. Tapi ketahuilah kalo support kalian selama ini udah buat 3 tahunku jadi lebih cerah.

Makasih, makasih, makasih banyaaak banget untuk selama ini :')