.

EXO FANFICTION

Stand by You

EXO BELONGS TO SM ENTERTAINMENT

Main Cast : Xi LuHan & Oh Sehun

Rated T

Genre : Drama, Hurt/Comfort, Family

WARNING : TYPO, BAD EYD, BAD STORY, BAD WORDS

~HunHan is Real~

.

.

.

Bulan ini adalah bulan awal untuk musim dingin. Butiran-butiran kecil salju mulai bersiap untuk menjatuhkan dirinya menebar langit. Deru angin malam mulai menambah suhu dingin tersebut. Kebanyakan orang-orang akan lebih memilih untuk berdiam diri dengan secangkir cokelat panas dan semangkuk sup hangat daripada berjalan-jalan keluar rumah.

Tapi tidak untuk namja cantik itu. Sekencang apapun angin menyerbu, ia tetap bertahan. Kaki-kaki kecilnya tetap ia paksakan keluar dari rumah. Bahkan jaket tebal yang ia kenakan tak sedikitpun membuatnya hangat.

"Cuaca hari ini ekstrim sekali…" keluhnya.

Namja itu kemudian masuk ke sebuah café dengan gaya khas Eropa untuk bekerja. Selama ini ia hidup sendirian dan harus bekerja paruh waktu untuk membiayai sekolah dan kebutuhan pokok lainnya. Ia sudah belajar mandiri sejak kecil. Ia harus membanting tulang dan memeras keringatnya untuk mencari uang setelah wanita yang sudah memberinya hidup baru untuknya itu meninggal dunia.

"Kau nampak lelah hari ini. Apa kau sedang sakit? Aku akan memberikanmu cuti selama dua hari, gunakanlah untuk istirahat di rumah…"

Luhan menggeleng lemah, "Terima kasih banyak, Baek-sshi…tapi aku masih ingin bekerja. Kurasa ini hanyalah efek dari pergantian cuaca yang terlampau drastis ini…"

Namja cantik itu tak ingin menyia-nyiakan sedetik pun waktunya untuk bermalas-malasan dirumah. Walaupun sakit pun dia masih tetap bekerja. Ia selalu menggenggam prinsip di hidupnya, bagaimana bisa aku menjadi orang sukses jika aku bermalas-malasan?

Luhan mengambil shift dari jam tiga sore sampai jam sepuluh malam, mengingat ia harus bersekolah. Sepulangnya ia dari bekerja biasanya ia akan menghabiskan waktunya di meja belajar. Ia adalah siswa dari SMA yang bisa dikatakan sebagai SMA terbaik di Seoul. Maka dari itu ia juga harus belajar dengan giat agar peringkatnya selalu teratas dan beasiswa-nya tidak tercabut oleh pihak sekolah.

Walaupun hidupnya terasa berat dan membuat tubuhnya berkali-kali hampir remuk, tapi Luhan menjalaninya dengan senang hati. Wanita yang sudah memungutnya 10 tahun yang lalu mengajarinya untuk selalu mensyukuri hidup.

Hidup ini indah, selama kau mengikuti peraturan yang ada, semua akan baik-baik saja…

Luhan tersenyum getir. Betapa ia merindukkan wanita itu. Ingatan tentangnya begitu membekas dihatinya. Wanita itu selalu tersenyum dikala ia menangis. Wanita itu selalu tersenyum dikala ia sakit. Bahkan wanita itu masih tetap tersenyum dikala sebuah peti perlahan-lahan mulai menutup tubuhnya dan membawanya ke gundukan tanah liat.

"Eomma…" lirih Luhan pelan.

"Lu? Kau tadi berkata apa? Maaf aku tak mendengarmu," ujar Baekhyun sambil mengerutkan dahi kecilnya.

"A-aniya…bukan apa-apa, Baek-sshi." Jawab Luhan.

Baekhyun hanya mengangguk-angguk pertanda mengerti. "Ini sudah malam, sebaiknya kau pulang. Café sebentar lagi akan tutup, jadwal piket hari ini adalah Jongdae, bukan? Cepatlah pulang dan istirahat. Kau terlihat mengerikan, Lu…" canda Baekhyun.

Luhan terkikik geli. "Baiklah, terimakasih, Baek-sshi. Aku pamit dulu,"

Luhan lalu berjalan keluar dari café untuk kembali ke rumahnya. Ia merogoh ponsel di sakunya dan menekan tombol hijau pada kontak yang tertera.

"Hallo?"

"Ne, Sehun-ah. Kau sedang apa? Apa kau sudah makan?"

"Aku sedang mengajari Kyungsoo matematika di rumahnya, ia sedang memasak makanan untukku. Aku sedang sibuk."

TUT…

Sehun memutus sambungan telepon secara sepihak. Hal ini harus membuat Luhan menelan sakit pada hatinya mentah-mentah. Ia meremas ponselnya dengan keras, mengusap aliran air mata di pipinya dengan kasar.

Bagaimana bisa ia tidak sakit hati? Sehun adalah kekasihnya. Mereka sudah menjalani hubungan selama hampir satu tahun lamanya. Tapi entah mengapa, Sehun selalu menjauhinya. Menganggapnya tak lebih dari sekedar angin. Dan juga entah mengapa, Luhan selalu berusaha untuk mengertinya. Ia selalu memperlakukan Sehun dengan baik walaupun Sehun bersikap sebaliknya. Ia selalu mengalah jika Sehun lebih memilih Kyungsoo, sahabat kecilnya dan Sehun dibanding dirinya. Ia sangat mengerti.

Ia juga paham bagaimana kondisi Kyungsoo daripada dirinya. Kyungsoo bertubuh lemah dan mudah jatuh sakit. Itu sebabnya, Sehun lebih mementingkan kondisi Kyungsoo daripada dirinya.

Pernah suatu hari, ia mengajak Kyungsoo untuk bermain di taman saat kecil. Kyungsoo mengangguk setuju. Ia dan Kyungsoo bermain kejar-kejaran, ia tak sadar jika Kyungsoo mulai kelelahan dan akhirnya jatuh pingsan. Ketika Sehun mengetahui itu, ia memarahi Luhan habis-habisan dan mendiamkannya hampir sebulan lamanya. Sejak saat itulah Sehun mulai bersikap overprotective kepada Kyungsoo.

Luhan kemudian masuk ke kamarnya untuk istirahat sejenak, pandangannya mulai mengarah ke sebuah pigura kecil di atas meja belajarnya. Pigura itu berisi foto dirinya bersama Sehun saat kencan pertama mereka. Ia mengingat dengan betul kapan dan dimana foto itu diambil.

Foto itu diambil ketika acara kencan pertamanya bersama Sehun setelah tiga bulan lamanya menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Luhan mengajaknya ke taman hiburan malam di tengah kota. Sehun hanya mengangguk, dengan syarat bahwa Kyungsoo juga ikut pergi bersama mereka. Awalnya Luhan menolak dengan alasan ini adalah acara kencan mereka yang pertama. Tapi Sehun menolak dengan mentah-mentah dan mengancam ia tak akan pergi bersama Luhan jika Kyungsoo tak ikut bersama mereka.

"Bagaimana bisa kau bersikap seperti itu? Kyungsoo adalah sahabatmu juga sahabatku sejak kecil, mengapa kau bisa seegois itu? Kyungsoo memiliki tubuh dan perasaan yang lemah, ia tak sepertimu yang kuat!"

Luhan menitikkan air matanya pelan.

"Aku sangat berbeda dengan apa yang kau pikirkan, Sehun-ah…keadaanku bahkan tak jauh lebih parah dari Kyungsoo."

Ia lalu menggali ingatannya saat kencan pertamanya dengan Sehun. Mereka berjalan bertiga mengelilingi taman hiburan itu. Luhan berjalan lebih dulu sendirian, sementara Sehun dan Kyungsoo berjalan dibelakangnya sambil bergandengan tangan. Luhan tau itu, maka dari itu ia lebih memilih untuk memisahkan diri dan belajar mengerti.

Mereka lalu memutuskan untuk menaiki komedi putar. Seperti yang diduga, Sehun duduk di sebelah Kyungsoo sambil memeluk pinggang Kyungsoo dengan mesra. Sementara Luhan duduk di depan mereka, ia mati-matian menahan air matanya agar tak jatuh.

"Luhan-sshi, kenapa sedari tadi diam saja?"

Luhan menatap Kyungsoo sejenak. Ia begitu menyayangi Kyungsoo karna ia adalah sahabatnya sejak kecil yang selalu menemaninya disaat ia sendiri, maka dari itu selalu mencoba untuk memahaminya.

"Tidak apa-apa, Kyungsoo-ah. Aku hanya terpesona dengan pemandangan luar, lihatlah! Lampu-lampu yang menyala begitu cantik…" jawab Luhan sambil menampakkan senyum terbaiknya, menyembunyikan luka.

Luhan tersenyum getir. Ia lalu mengedarkan pandangannya keluar jendela. Matanya menatap bintang-bintang yang bertebaran begitu cantik di langit. Karya Tuhan memanglah selalu mempesona.

"Sehun-ah, ayo kita foto berdua!" ajak Luhan sambil menarik lengan Sehun yang sedang menemani Kyungsoo membeli camilan pop stick.

Sehun menatap Luhan sejenak, hanya sejenak. Ia lalu mengadarkan pandangannya ke Kyungsoo.

"Kyungsoo, kau mau foto bersama?" ujar Sehun dengan lembut. Sangat lembut.

Kyungsoo memandangi wajah Sehun. Ada sorot kenyamanan disana. Ia lalu mengangguk-anggukan kepalanya lucu, membuat Sehun terkekeh pelan. Sementara Luhan yang sedari tadi memandangi mereka berdua hanya tersenyum lemah, mereka berdua adalah orang yang berarti untuknya, ia tak dapat berbuat apa-apa selain berusaha menyembunyikan segala lukanya.

Luhan lalu menarik Sehun untuk masuk ke dalam box untuk mereka berfoto dan menyuruh Kyungsoo untuk berada diluar sebentar. Luhan menampakkan senyum terbaiknya agar hasilnya nanti terlihat bagus, sementara Sehun hanya diam tanpa ekspresi dan terus memutar bola matanya malas.

"Sudah bukan? Sekarang giliranku dengan Kyungsoo, tunggulah diluar sebentar." Ujar Sehun sambil hendak melenggangkan kakinya keluar memanggil sosok yang dicarinya.

"Tapi, Sehun-ah…kita baru sekali berfo-"

"Kenapa kau selalu egois, hah? Apa kau tak kasihan kepada Kyungsoo yang menunggu diluar sendirian? Apa kau tak khawatir? Lagipula ini hanya berfoto, aku juga ingin berfoto bersama sahabatku. Bukan hanya kau."

DEG

Hati Luhan terasa dirajam beribu-ribu jarum. Luhan menggigiti bawah bibirnya pelan, mencoba menahan semuanya. Ia berusaha tersenyum.

"Baiklah jika itu maumu, aku minta maaf. Kau disini saja, aku akan memanggil Kyungsoo." Ujar Luhan lirih.

Luhan menunggu hampir satu jam berada di luar box tersebut menunggu Sehun dan Kyungsoo keluar. Terdengar canda tawa disana. Luhan menitikkan air matanya lagi.

"Dasar, Luhan bodoh! Kenapa kau menangis? Seharusnya kau ikut senang karna sahabatmu merasa senang. Dasar bodoh!" umpat Luhan pelan.

Sedetik kemudian kedua orang yang sedari Luhan tunggu keluar. Raut wajah mereka nampak senang. Mau tak mau Luhan mulai tersenyum ringan. Ia akan tetap merasa senang jika Sehun selalu tersenyum walaupun bukan untuknya atau dengannya, tak peduli siapapun yang membuat sudut bibir namja itu terangkat.

"Bagaimana fotonya?" ujar Luhan dengan nada yang ia usahakan seceria mungkin.

"Sangat menyenangkan! Aku dan Sehunnie berfoto banyak kali ini. Maafkan kami ne Luhan-ah karna sudah membuatmu menunggu. Oh, iya, apakah kau ingin berfoto dengan Sehun lagi?"

Luhan tersenyum mendengar penuturan Kyungsoo. Ia kemudian menatap Sehun, raut wajahnya terlihata ogah-ogahan setelah mendengar Kyungsoo menawarinya untuk berfoto lagi bersamanya. Luhan kembali tersenyum penuh arti.

"Kurasa lain kali saja. Lagipula wajahku sedang jelek hari ini," ucap Luhan sambil bercanda, Kyungsoo terkekeh pelan.

"Luhan-ah selalu tampan setiap saat, tak usah mengkhawatirkan hal itu." Jawab Kyungsoo. "Ah, hari sudah malam. Kurasa aku harus pulang duluan. Tidak apa-apa kan jika aku duluan? Kalian bersenang-senanglah," lanjut Kyungsoo sambil mengecek waktu yang tertera di gadget-nya.

"Aku akan mengantarmu." Sahut Sehun tiba-tiba.

Luhan kecewa.

"Tapi bagaimana dengan Luhan-ah? Dia sendirian.."

Terima kasih, Kyungsoo.

"Dia bisa menjaga dirinya sendiri. Berhentilah mengkhawatirkannya, kau harus mengkhawatirkan dirimu sendiri. Jantungmu lemah, aku tak ingin kau kenapa-kenapa di tengah jalan nanti."

Kau benar, Sehun-ah. Jagalah Kyungsoo, abaikan saja aku. Pergilah…

"Tapi…"

"Kyungsoo…" kali ini nada Sehun melembut. Kyungsoo menghela nafasnya pelan.

"Baiklah kalau begitu. Luhan-ah, apa kau tidak apa-apa kami tinggal?"

Luhan mengangguk-angguk lemah.

"Aku tidak apa-apa, pergilah…Sehun-ah, jaga Kyungsoo. Jangan sampai dia kenapa-kenapa, ne…" ucap Luhan parau. Mereka kemudian berpamitan dan berjalan menuju parkiran untuk pulang.

Lagi-lagi Luhan menghembuskan nafasnya. Hanya dengan memikirkan Sehun saja, hatinya sudah begitu tak karuan.

"Sebenarnya, siapa kekasihmu, Sehun-ah? Kau memintaku untuk menjadi kekasihmu, tapi kau tak pernah mau mengakuiku. Kau bahkan tak pernah mengatakan kepadaku bahwa kau mencintaiku, dan dengan bodohnya aku menerima semua itu…" lirih Luhan pelan.

Penat. Itulah yang Luhan rasakan sekarang. Semua hal yang sudah ia alami selama ini membuatnya begitu kebingungan. Hidup memang tak seindah karangan bunga. Takdir mengacaukan jalan dugaan.

.

.

Hari ini adalah hari minggu, hari dimana Luhan bisa beristirahat setelah enam hari penuh ia memeras keringat dan berkutat sampai dini hari di meja belajarnya yang sudah usang.

Luhan kemudian bangun dari ranjangnya, jam masih menunjukkan pukul enam pagi. Luhan kemudian beranjak dari kamar tidurnya, tubuhnya linglung hingga menghantam lantai. Ia menggeram dengan keras sakit yang berasal dari kepalanya. Tangannya menjambak rambut-rambutnya dengan keras hingga membuat rambutnya sendiri rontok.

"Kumohon, berhentilah…" ujar Luhan entah dengan siapa.

Luhan sudah tak dapat menahannya. Ia kemudian menghantamkan kepalanya dengan sangat keras ke dinding hingga darah mulai mengalir di dahinya. Sakit kepalanya mulai terhenti, digantikan dengan rasa perih dari kulit dahinya hingga membuat Luhan meringis.

"Kurasa ini lebih baik. Aku akan mengalami gegar otak jika setiap hari seperti ini," ujarnya pada dirinya sendiri.

Ia pun berjalan ke arah mandi untuk sekedar membersihkan diri. Selesai, ia beranjak ke kamarnya dan mengganti pakaiannya serba hitam.

Luhan menuju ke toko bunga untuk membeli sebuket bunga lily putih yang segar. Ia lalu beranjak menuju ke sebuah tempat, tempat itu sunyi. Hanya ada dirinya dan beberapa penjaga yang menjaga tempat tersebut. Ia kemudian mendekatkan dirinya ke sebuah gundukan tanah yang sekarang sudah terlapisi keramik-keramik sederhana dan sebuah nama yang tertera di atasnya.

RIP

Im Hyun Ae

12/04-13/02

Luhan menaruh sebuket bunga lily putih itu di atas makam tersebut. Ia memejamkan mata, hendak berdoa.

"Eomma, apa kabarmu disana? Apakah kau sedang berada di surga? Aku merindukanmu…"

Luhan mengusap dengan lembut batu nisan tersebut. Ia kemudian memejamkan matanya, mengingat masa-masa saat ia dan eomma-nya bertemu.

Flashback On

Kedua kaki kecil itu masih tetap menapak di atas tanah yang terselimuti salju putih. Wajah dan matanya sayu karna merasakan hawa dingin yang menusuk kulitnya cukup lama. Tubuh mungilnya ia dekap dengan kedua lengannya.

"Ibu, kita mau kemana? Lulu takut, disini sepi." Tanya anak itu sambil memandang wajah ibunya. Ibunya hanya diam dan terus berjalan tanpa memedulikan keluhan anaknya yang merasa takut dan kedinginan.

"Ib-"

"Bisakah kau tutup mulutmu? Aku sangat risih mendengar suaramu." Bentak ibunya.

Anak itu kaget. Kepalanya menunduk. Ia ingin menangis sejadi-jadinya, tapi ia takut jika ibunya semakin marah kepadanya. Ia pun hanya diam.

"Maaf, Ibu…"

Wanita yang dipanggil ibu itu pun menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah air mancur di tengah kota yang kebetulan malam itu sangat sepi.

Wanita itu menghela nafas, "Lu, dengarkan Ibu. Ibu akan pergi sebentar untuk menemui teman Ibu, kau duduk disini dulu, ya. Tasnya akan Ibu tinggal, Ibu pergi dulu."

"Baik, Ibu." Jawab anak itu sambil menatap punggung Ibunya yang semakin lama semakin menjauh. Anak itu bukan anak bodoh yang hanya menuruti apa perkataan orang-orang tanpa mengetahui apa sebenarnya arti kata itu.

Ia cukup paham apa maksud dari semua ini.

"Ibu benar-benar membuangku…"

.

.

Sudah hampir tiga jam anak itu duduk sendirian. Lengan kecilnya terus memeluk tubuhnya sendiri. Anak itu hanya diam. Ia tak menangis. Ia tak meminta tolong. Ia tak mencari dan memanggil-manggil nama Ibunya. Ia hanya diam sambil terus menatap langit.

"Kau sendirian?"

Merasa ada yang mengajaknya berbicara, ia pun menolehkan kepalanya.

"Sebenarnya tadi aku bersama Ibu, tapi Ibu sudah pergi."

"Pergi? Pergi kemana?"

Anak itu terdiam sejenak, " Ibu pulang…"

Wanita yang bertanya itu mengerutkan dahinya. "Pulang? Lalu kenapa kau tidak ikut pulang bersama Ibumu? Disini sangat sepi dan dingin. Sangat berbahaya untuk anak kecil sepertimu,"

Anak itu terdiam. Tanganya ia gunakan untuk melilitkan syal di lehernya yang hampir terlepas.

"Aku tidak punya rumah untuk pulang. Tadi aku memang bersama Ibu, tapi Ibu sengaja meninggalkanku. Lihatlah, tas ini berisikan beberapa baju ku dan juga sedikit makanan dan uang. Ibu sengaja membuangku."

Wanita itu terdiam. Merasa iba kepada anak kecil yang terlihat sangat kurus dan tak terawat itu.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kau ikut ke rumah bibi, hm? Bibi akan menjadikanmu putra semata wayang bibi. Bibi tidak punya anak, makanya rumah Bibi sangat sepi. Mau, ya?"

Anak itu terkejut. Benarkah? Apa ini hanya halusinasinya? Selama ini tidak ada orang yang mau dekat-dekat denganya selain Ibu kandungnya. Mereka bilang ia adalah anak haram. Ia bahkan menjadi bahan cemohan dan siksaan temannya di sekolah. Belum setelah ia kembali ke rumah. Ibunya dirumah selalu meneriaki dan menampar wajahnya.

Ibunya selalu menyalahkannya. Ibunya selalu berkata bahwa ia adalah penyebab Ibunya menderita. Bahkan, Ibunya pernah berkata bahwa ia selalu mencoba membunuhnya sejak ia masih dalam kandungan. Tapi, ya, ia selalu gagal. Semua kejadian itu membuatnya menjadi trauma dan takut. Ia menjadi pendiam dan tak berekspresi. Walaupun Ibunya selalu menampar dan menendangnya, ia tetap diam. Tapi walaupun begitu, ia tetap mencintai Ibunya.

"Bibi mau mengangkat Lulu menjadi anak Bibi? Benarkah?"

Wanita itu mengangguk yakin. "Tentu saja, Bibi berjanji Bibi akan menjagamu sebagaimana Ibu menjaga anaknya. Bibi tidak akan pernah meninggalkanmu. Jadi, bagaimana?"

"Mau…Lulu mau…" ucap anak itu sambil merintikkan air matanya.

Wanita itu mengusap air matanya dengan halus. "Ssst, jangan menangis, ne? Bibi tidak mau melihat ada air mata yang menetes di kedua matamu."

Anak itu mengangguk sambil mengusap kedua matanya dengan kedua telapak mungilnya.

"Nah, begitu. Jadi, siapa namamu?"

"Luhan…Xi Luhan…"

Wanita itu tersenyum. Tanganya ia gunakan untuk mengelus kedua pipi kenyal Luhan. Ia kemudian menarik tubuh kecil itu ke dalam pelukannya.

"Luhan, ne? Baiklah Luhan, sekarang namamu adalah Im Luhan. Dan namaku adalah Im Hyun Ae. Dan mulai sekarang, Lulu harus memanggilku Ibu, ne?"

Luhan menangis. Rintikan air matanya perlahan-lahan mulai menderas. Ia tak tahu harus bagaimana. Rasa senang, bahagia, lega, semua terasa menjadi satu.

"I…Ibu…"

Wanita itu tersenyum lembut, "Kau benar-benar anak yang baik. Ya sudah, ayo kita pulang ke rumah. Ibu akan menyiapkan sup hangat dan cokelat panas untukmu. Kau mau?"

Luhan mengangguk lemah. Senyum wanita itu semakin lebar. Ia kemudian menggandeng tangan kecil Luhan sambil terus mengelusnya pelan.

"Ayo, kita pulang."

.

.

To Be Coninued….

.

.

Author is come back! Astaga demi apa author ini suka banget publish cerita baru tapi yang lama ga di lanjut-lanjutin #apaanbanget

Nah, ini project baru author, karna kemarin author coba project ff fantasy tapi gaada yang suka, yaudah jadi bikin kayak beginian #plak

Oke ini masih chapter 1, masih banyak misteri. Rencananya sih mau twoshoot terus sequel, tapi errrr…ah gimana susah dijelasinnya.

Oke sekian, happy reading para exostans, khususnya exostans yang gapunya duit buat nonton TLP termasuk saya sendiri :"))

Sign,

Tania Novita 7/11/14