Evergreen

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi. Tidak ada keuntungan material apapun yang didapat dari pembuatan karya ini. Ditulis hanya untuk hiburan dan berbagi kesenangan semata.

Pairing: Midorima Shintarou/Momoi Satsuki. Genre: Romance/Family. Rating: K+.

(Di saat Midorima Shintarou harus mengakhiri karir pianonya, dia bertemu dengan penari balet yang bernasib sama dengannya, Momoi Satsuki.)


Baru nada fa yang ditekan oleh Midorima di piano yang telah dipindahkan ke gudang itu, tapi ayahnya sudah berada di depan pintu, tangan tersilang dan tubuh bersandar pada bingkai pintu gudang, dengan sorot iris nyaris setajam tatapan elang yang mengejar mangsa.

Midorima membuang muka setelah bertemu tatap sesaat dengan lelaki tinggi itu. Nada yang dibuat oleh tangannya berlanjut, sebuah lagu klasik dimainkannya, tak peduli bahwa ada perubahan ekspresi pada wajah sang ayah, meski dia melihat melalui ujung matanya.

"Aku sudah mendengarnya dari ibumu."

"Aku akan tetap mengikutinya," lagu terus berlanjut, nada mengalun lembut, apik dan indah ketika Midorima menarikan jari-jemarinya secara bergantian di barisan putih dan hitam.

"Ini akan jadi pertunjukan terakhirmu. Setelahnya kauharus belajar baik-baik untuk bisa masuk ke jurusan itu."

Kalimat tadi tertutupi nada piano, namun masih jelas di indera pendengar Midorima yang begitu peka untuk segala jenis suara bahkan nada. Sang ayah langsung meninggalkannya, dan tangan Midorima berhenti di tengah-tengah pertunjukan solo tanpa audiensnya. Tak rampung keindahan itu dia perdengarkan.

Ini adalah sebuah harga mati.


"Sa-chan, Ibu kira kausudah diperingatkan tentang sepatu ini."

Keputusannya untuk membiarkan sang ibu memeriksa lemari koleksi sepatunya adalah benar-benar salah. Momoi menyesal, dan ia cuma bisa tersenyum masam kemudian menggigit sudut bibirnya.

"Ibu akan taruh sepatu ini di gudang. Ini yang terakhir, Sa-chan."

"Tapi Bu—" gadis muda itu mencegah dengan menarik sudut baju ibunya yang telah akan meninggalkan kamarnya, "—tolong, ini yang terakhir. Aku akan mengikuti pertunjukan besar bulan depan. Uang honornya besar, Bu. Tolong izinkan ya? Ya?"

"Memang berapa honormu? Sini, biar Ibu yang gantikan uang itu."

"Ini bukan hanya soal gaji, Bu ... aku ingin berkarya. Tolong, izinkan aku, ya ..."

Ada helaan napas sebentar sebelum jawaban diberikan. Momoi menunggu dengan was-was. "Tapi ini yang terakhir. Setelahnya, semua perlengkapan baletmu akan ibu berikan ke panti asuhan."

Momoi mengalihkan pandangannya ke bawah, dia masih belum bisa menerima ini semua, sebenarnya. Tapi, mau bagaimana lagi? Apalah kekuatan dan dayanya untuk mematahkan kehendak sang ibu.

"Terima ... kasih."


"Ahaaa, akhirnya kaudatang juga, Midorima. Ayo, kita latihan."

Midorima meletakkan tasnya baik-baik di dalam loker yang tak pernah dikuncinya itu. Ia tengah berada di sebuah ruang besar dengan satu grand piano dan cermin besar di setiap bagian dindingnya. Beberapa penari tengah melakukan peregangan di tengah-tengah ruangan. Midorima segera menuju ke piano, kawan yang tadi menyambutnya mengiringi langkahnya, di tangannya ada tumpukan kertas yang disatukan dengan penjepit. Kumal, berantakan, namun isinya adalah not penting.

"Aku sudah menambahkan satu lagu lagi untuk ending pertunjukannya. Lagunya tidak terlalu susah, aku yakin orang dengan level sepertimu bisa menghafalnya dengan cepat di waktu yang singkat."

Midorima duduk di bangku, dia mulai melepas lilitan perban di jari-jari tangan kanannya.

"Lagunya enak. Westlife, Evergreen. Aku merombaknya menjadi lebih mellow dan lembut agar cocok dijadikan penutup sebuah pertunjukan balet yang manis."

"Hn. Aku mengerti."

"Mulai saja latihannya, Midorima. Mereka sudah menunggu."

Midorima menerima partitur dari sang kawan, dia tunjukkan kemahirannya dalam berpiano untuk pertunjukan itu.

Lelaki itu punya bakat langka yang membuatnya terkenal di kalangan para pemain piano. Hanya sekali mendengar lagu, dia bisa langsung mempraktekkannya. Dibunyikan secara samar, pun, dia bisa mengenali nada apa itu. Dia hidup dengan disertai keajaiban untuk musik, terutama piano.

Tapi sayang, ada keadaan yang ditetapkan orang tuanya yang membuat dia tak bisa melangkah lebih jauh.

Midorima memainkan lagu yang halus untuk para penari itu, yang menawan indera pendengar. Semua penari menari dengan anggun, selaras dengan musik Midorima yang menghipnotis. Dengan memejamkan mata, Midorima sendiri pun sangat menghayati musiknya. Liuk-liuk gerakan para penari sangat lentur, layak untuk disandingkan dengan permainan brilian Midorima, mereka orang-orang pilihan dari beberapa sanggar yang juga sering berpartisipasi dalam berbagai pertunjukan balet.

Ini adalah keindahan harmonisasi musik dan tari balet, yang disiapkan untuk menghibur ratusan orang bulan depan pada sebuah event besar di gedung musik terbesar di Tokyo.

Lagu itu belum selesai, jadi Midorima berhenti di menit kesepuluh.

"Bagus, bagus," Miyaji, kawan Midorima itu, bertepuk tangan. "Sepuluh menit untuk mempelajari bagian akhir dari lagu ini, cukup, 'kan, Midorima? Penari, kalian boleh istirahat sebentar!"

Midorima membenarkan letak kacamatanya sambil membaca kertas terakhir yang masih lumayan rapi itu. "Aku akan melakukannya," dia pun meletakkan kembali kertas itu di atas piano. "Tapi sebelum itu, aku meragukan satu hal."

"Apa?"

"Kita tidak pernah melakukan pertunjukkan dengan penari kurang dari sepuluh orang. Kenapa kali ini hanya ada sembilan?"

Miyaji menyeringai kecil. "Hei, kita punya ratunya. Aku sudah merekrutnya dari sanggar tari balet yang paling bagus di Tokyo."

"Ratu?"

"Dia penari center," pemuda itu kelihatan yakin, "Nona Moritaka sudah melatihnya koreografi ini secara khusus untuk kita," dia menyebut salah satu kawannya yang menjadi pelatih balet.

Midorima hanya mengangkat alis.

"Dia jarang latihan, cuma gara-gara orang tuanya tidak suka dia ikut balet lagi karena dia harus memikirkan kuliahnya. Tapi jangan dikira, dia cerdas sekali dalam balet. Sekali-dua kali lihat, langsung lihai. Makanya, aku memilihnya untuk pertunjukan besar ini."

Midorima yang awalnya tidak tertarik, tertegun sebentar.

Miyaji tertawa, "Kenapa? Kaget? Jangan khawatir, bukan cuma kau yang berpikiran begitu. Aku juga merasa, bahwa dia mirip denganmu."

Midorima tidak lagi menjawab. Dia mulai mempelajari not tanpa mempedulikan Miyaji.

"Dia akan mulai ikut latihan minggu depan. Kurasa dia bisa segera menyelaraskan diri meski waktunya sudah mepet."

Midorima menutup pembicaraan dengan mulai memainkan nada Evergreen.


"Momoi."

Momoi—yang tengah melakukan peregangan dengan mencium lututnya, mengangkat kepala, "Ya, Moritaka-senpai?"

"Minggu depan mulai latihan dengan kelompok Miyaji-kun, ya," dia duduk di samping Momoi. "Kau harus bersemangat, pokoknya! Kau akan dipertemukan dengan seorang pemain piano jenius, temannya Miyaji-kun. Aku yakin ini akan jadi pertunjukan keren yang luar biasa."

"Ya ..." Momoi menatap kosong pada pantulan dirinya di cermin, "Pertunjukan terakhir yang keren," kata 'terakhir' mendapatkan penekanan yang berat.

Moritaka menepuk bahu Momoi, "Jangan bersedih. Jalan yang dipilihkan orang tuamu, siapa tahu adalah yang terbaik. Kaumasih boleh, kok, datang ke sini kadang-kadang, kalau rindu dengan balet. Kalau kau menurut pada apa yang dimaui ibumu, aku yakin beliau akan melunak seiring waktu dan mau mengizinkanmu menari balet sesekali untuk menghilangkan kebosanan."

"... Semoga," tatapannya masih sayu. Meski dia mencoba memajang raut cerah, sinar matanya tak mampu berbohong.

"Hei, ayolah, mana Momoi yang biasanya bersemangat itu?"

Momoi pun tersenyum kecil, lantas tertawa. "Oke, oke, aku akan bersemangat lagi. Terima kasih, senpai!"

Moritaka merangkul Momoi, kemudian berbisik, "Pemain pianonya ganteng dan seumur denganmu, lho. Aku yakin kaupasti senang kenalan dengannya."


Biasanya, Midorima datang agak terlambat, tetapi hari ini berbeda. Entah dorongan apa yang membuatnya berkehendak untuk datang sepuluh menit lebih awal, dengan tujuan agar dia bisa menikmati waktu sendiri dengan piano—benda yang pasti akan dirindukannya sebentar lagi.

Ternyata, kehendak itulah yang mengantarkannya pada perkenalan yang ditakdirkan.

Gadis itu datang lebih awal ke tempat latihan milik keluarga Miyaji dan menari seorang diri sebelum semuanya datang.

Midorima menyaksikannya. Tariannya, liukannya yang lincah, segala keindahan seni tari bisa dia curahkan lewat gerakannya yang lentur dan menawan.

Memang, Midorima masih memajang ekspresi datar bahkan ketika gadis itu selesai dengan koreografi itu—tarian yang akan ditampilkan pada pertunjukan beberapa minggu lagi. Tapi, dia tahu bahwa orang ini menarik, dan Midorima langsung mampu menebak bahwa inilah orang yang dimaksud Miyaji. Auranya memang seperti penari balet pro.

Gadis itu menoleh, alisnya refleks terangkat. "Oh, halo."

Midorima mendekati loker. "Selamat sore."

"Aa, selamat sore. Apa kaudatang untuk berlatih?"

Midorima mengangguk sambil berjalan menuju piano. Namun, dia singgah sebentar di dekat tempat wanita itu berdiri. "Aku pemain piano untuk pertunjukan besar nanti."

"Oh—wah, senang bertemu denganmu. Aku diminta Miyaji-senpai untuk jadi penari utama di pertunjukan itu."

"Sudah dapat kuduga."

Momoi nyengir lebar, "Oh, kausudah bisa menebaknya, rupanya, hehehe."

"Auramu memperlihatkannya," Midorima pun mengulurkan tangan, "Midorima Shintarou."

Gadis itu membalas uluran tangan tersebut sambil memamerkan senyum riang, "Inisial nama kita sama, hihihi. Aku Momoi Satsuki."

Sepasang tangan itu pun berjabatan satu sama lain.

tbc.


A/N: sengaja menunda posting fic ini sampai tanggal ulang tahun midorima www inilah fic yang kusebut di TTAL kemaren. okay, i regret nothing(?). midorima pada dasarnya emang bisa main piano kan—then momoi yang serba pink fits to be a ballerina ... dan jadilah plot dasar fic ini. semoga bisa dinikmati, ya! o/